close

31/05/2015

Tajuk Lingkungan

Energi Terbarukan Belum Tentu Berkelanjutan

Banyak pihak beranggapan bahwa energi terbarukan adalah sesuatu yang mudah dilaksanakan, murah dan berkelanjutan. Siapapun, mulai dari masyarakat awam, orang desa, orang terpelajar, orang kota dapat menjalankan energi terbarukan tanpa ada masalah berarti. Ini yang sering disebut-sebut dalam berbagai tulisan di media populer. Apakah memang seperti halnya? Sebuah kasus pemanfaatan energi terbarukan di Aceh, menjadi pelajaran bagi kita semua.

Samarkilang, sebuah daerah pedalaman yang terletak di Kabupaten Bener Meriah, Propinsi Aceh. Ini adalah wilayah pedalaman yang masih kekurangan fasilitas publik seperti jalan dan akses listrik. Daerah ini berada di dalam area yang pegunungan dan dikelilingi oleh hutan yang relatif masih baik. Ada sejumlah sungai berarus deras yang mengalir di daerah ini. Sangat cocok untuk dibuat pembangkit listrik mikrohidro (PLTMH) pikir para pengambil kebijakan. Maka diluncurkanlah proyek pembangunan listrik tenaga air beberapa waktu lalu.

Untuk selanjutnya warga Samarkilang dapat bernafas lega dan menikmati rasa menjadi penduduk Republik Indonesia yang telah merdeka sejak tahun 1945 namun belum mereka nikmati. Kehidupan berjalan normal dan bersemangat. Sampai sekitar 10 bulan lalu. Generator pembangkit listrik di wilayah ini rusak berat. Salah satu suku cadangnya rusak. Untuk mengganti suku cadang tersebut dibutuhkan biaya sekitar 40 jutaan menurut salah satu sumber. Duit tak dapat diraih, mati lampu pun kembali menerjang.

Masyarakat bersama tokoh-tokoh setempat berusaha meminta pemerintah kabupaten membantu pengadaan suku cadang generator tersebut. Berbulan-bulan upaya meminta bantuan ini tidak membuahkan hasil. Mati lampu kembali menjadi bagian hidup mereka kembali. PLTMH mangkrak, tidak bisa berfungsi. Pemerintah tak mampu memperbaikinya. Bah, padahal katanya PLTMH yang termasuk energi terbarukan sangat mudah pengoperasiannya. Ada beberapa hal yang dilupakan.

Menyuplai arus listrik ke banyak rumah penduduk bukanlah pekerjaan main-main. PLTMH harus ada yang mengorganisasikannya, mengelolanya secara efisien. Lihat saja PT PLN yang mengurusi listrik Indonesia selalu kalang kabut. Stakeholder di Samarkilang mungkin pula bahwa mereka harus punya Perencanaan, Organisasi, Aktivitas dan Pengawasan untuk menjalankan PLTMH.

Bagaimana dengan pembiayaan? Yang namanya mesin dimana-dimana tentu butuh biaya perawatan, makin besar kapasitas mesin makin mahal pula peliharanya. Listrik dari energi alternatif belum tentu murah jika tidak dikelola secara efektif. Mungkin warga Samarkilang alpa untuk menyimpang biaya cadangan yang dibutuhkan sewaktu-sewaktu. Kalau mereka bisa mandiri dalam keuangan, tentu tidak perlu bersusah payah menyodorkan proposal permohonan bantuan.

Kemudian teknologi. Energi terbarukan memang dijalankan dengan teknologi yang relatif lebih mudah dibanding teknologi listrik konvensional. Tapi ingat tetap saja ada penggunaan teknologi yang harus dikuasai pengelola PLTMH agar mereka tahu bagaimana cara merawat mesin-mesin penghasil listrik tersebut. Dibanyak kasus, kotoran-kotoran dari air telah merusaka bagian-bagian mesin karena tidak ada penjagaan yang memadai terhadap air masuk.

Jadi kembali kita pertanyakan, apakah pemanfaatan energi terbarukan bisa berkelanjutan? Samarkilang hanya salah satu kasus saja. Kalau mau seacrh di mbah Google, ada banyak kasus-kasus pengembangan energi terbarukan yang macet. Sudah banyak rupiah yang terbuang sia-sia untuk energi terbarukan yang dilaksanakan tidak komprehensif.

Pada dasarnya pengelolaan energi terbarukan sama juga dengan energi-energi lain. Makin besar skalanya, maka semakin komplek persoalan yang timbul. Jadi sudah saatnya memperlakukan energi terbarukan dengan selayaknya.[]

read more