close

20/08/2015

Ragam

Awig-awig, Kearifan Warga Lombok Menjaga Perikanan

Penerapan awig-awig di Lombok Barat dan Lombok Timur dalam pengelolaan perikanan dapat melindungi nelayan tradisional dan menjaga budaya lokal yang terkait dengan perikanan. Penerapan awig-awig didasari oleh kesadaran masyarakat terhadap praktek penangkapan ikan yang merusak terjadi dan berdampak pada kehidupan mereka. Awig-awig juga telah menjadi aturan tertulis dalam pengelolaan perikanan di wilayah tersebut untuk menjaga laut mereka. Awig-awig merupakan aturan yang dibuat berdasarkan kesepakatan masyarakat untuk mengatur masalah tertentu untuk memelihara ketertiban dan keamanan dalam kehidupan bermasyarakat.

Demikian hasil kunjungan lapangan peserta Kegiatan Regional ICCA Knowledge Sharing and Capacity Building Event pada Rabu, 19 Agustus 2015 kemarin ke Jerowaru, Telok Jor, Lombok Timur. Pertemuan ICCA (Indigenoues People’s Community Conserved Area and Territories/ Wilayah dan Perbatasan Komunitas Terkonservasi milik Masyarakat Adat ). South East Asia Knowledge Sharing and Capacity Building sendiri dilaksanakan di Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat dari tanggal 17 Agustus hingga 22 Agustus 2015.

“Kearifan lokal masyarakat penting untuk dihargai. Mempelajari sejarah menjadi penting bagi masuarakat adat dalam menentukan kearifan local. Menghargai sejarah menjadi penting untuk menentukan masa depan masyarakat adat,” ungkap Grazia Borrini-Feyerabend, Global Coordinator ICCA dalam Workshop ICCA South East Asia Knowledge Sharing and Capacity Building Event di hari kedua (19/8).

“Sebelum kita mempelajari ICCA’s, kita harus mengerti sejarah mereka. Disana kita bisa mempelajari kearifan lokal mereka, dan menghargai pengertian kolektif mereka seperti ada peraturan dan denda adat yang bertujuan untuk konservasi wilayah mereka,” sambung Grazia.

Sementara itu, Temenggung Grip dari Suku Rimba, yang tinggal di hutan Taman Bukit Dua Belas, Jambi menyampaikan bahwa Suku Rimba sangat bergantung dengan alam, terutama hutan. Suku Rimba harus menjaga hutan dan lingkungan tempat mereka tinggal dengan beberapa peraturan yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat Suku Rimba dan pendatang di hutan Bukit Dua Belas. Jika ada yang melanggar, seperti menebang pohon yang sudah dikeramatkan, maka dia harus membayar dendan dengan kain adat. “Larangan dan denda ini dibuat semata-mata untuk menjaga ekosistem kita,” sambung Temenggung Grip.

Sutej Hugu, peserta dari Taiwan memaparkan bahwa di Taiwan ada peraturan-peraturan tertentu untuk konservasi alam mereka. Ada peraturan tentang beberapa ikan tertentu saja yang harus dimakan oleh laki-laki atau perempuan. “Hal ini diberlakukan untuk menjaga ekosistem laut menjadi terjaga, karena tidak semua ikan yang kami miliki di laut dikonsumsi,” kata Sutej.

Konservasi masyarakat adat merupakan bentuk keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan di ICCA Consortium. “ICCA bisa disebutkan sebagai model pengelolaan kawasan sumber daya alam berbasis kearifan lokal,” kata Catharina Dwihastarini, Koordinator Nasional Global Environment Facility, Small Grant Programme (GEF SGP) Indonesia.

Sejalan dengan kegiatan ICCA ini, GEF SGP Indonesia telah berkomitmen mendukung kegiatan komunitas adat yang dapat megelola sumber daya alamnya dan kearifan lokal menjadi berdaya. Karena komunitas adat itu bisa berdaya dan berkembang jika mereka juga sudah bisa menghasilkan suatu produk-produk dengan memanfatkan hasil alam yang mereka punya. “Menjadi penting jika kita bicara masyarakat adat, kita harus menjunjung dan melindungi keanekaragamanhayati yang ada di sekitar mereka. Sehingga mereka dapat hidup tenang di wilayah mereka, dan bisa memanfaatkan kearifan lokal untuk penghidupan mereka,” sambung Catharina. [rel]

read more