close

10/11/2015

Kebijakan Lingkungan

Tak Ada Asap Kalau Ada Air

Beberapa minggu lalu, udara di langit kota Banda Aceh diselimuti kabut berwarna putih. Setelah diamati perlahan-lahan menjadi jelas bahwa ini bukanlah kabut sebagaimana yang biasa muncul di pagi hari atau saat udara sejuk. Ini adalah kumpulan asap yang berjumlah sangat banyak. Bisa diduga ini adalah asap kiriman dari kebakaran hutan yang sudah sejak tiga bulan lalu melanda sebagian kawasan hutan di Sumatera. Bukan hanya hutan Sumatera saja yang terbakar, sebagian hutan Kalimantan dan sejumlah kecil hutan di Jawa pun terbakar.

Saya bergumam dalam hati, akhirnya kabut asap ini sampai juga di kota paling ujung utara Pulau Sumatera. Jarak titik kebakaran dengan Aceh ratusan kilometer tapi ternyata asap ini mampu juga mendatangi Aceh. Sebenarnya beberapa kota di Aceh seperti Lhokseumawe, Langsa, Singkil, daerah-daerah yang lebih dekat dengan titik kebakaran sudah dilanda kabut asap terlebih dahulu. Banda Aceh sendiri juga sudah diselimuti kabut asap, namun kepekatannya masih ringan. Hanya beberapa hari ini saja kepekatannya semakin bertambah. Jarak pandang semakin terbatas, bernafas sedikit terganggu. Saya membayangkan, di Aceh ini saja segini dahsyatnya asap bagaimana pula di asalnya. Tingkat kepekatan asap dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Lihat saja, jarak pandang hanya mencapai 200 meter, ini sangat berbahaya bagi penerbangan. Beberapa pesawat terpaksa mendarat di Bandara Sultan Iskandar Muda karena tidak bisa mendarat di Bandara tujuan awalnya. Akibatnya ribuan orang menjadi terlantar tidak bisa mengikuti jadwalnya.

Banyak sekali kerugian yang ditimbulkan akibat bencana kebakaran hutan. Kerugian kesehatan, sudah ada beberapa orang yang meninggal akibat kerusakan organ yang menghirup asap. Belum lagi kerugian materi akibat lahan terbakar dan terganggunya arus transportasi, baik udara, laut, bahkan darat sekalipun. Apa penyebab kebakaran hutan ini? Tentu saja api. Tapi siapa pula yang menyalakan api sehingga memanggang ribuan hektar hutan? Apa tujuan dari mereka yang membakar hutan tersebut? Kenapa kebakaran bukannya semakin surut, tetapi malah semakin menjadi-jadi?

Kebijakan Membakar
Ternyata kebijakan juga mendorong terjadinya pembakaran hutan secara besar-besaran. Membakar hutan diperbolehkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dalam penjelasan untuk pasal 69 ayat 2 yang berbunyi “Ayat (2) Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya”.

Kemudian lagi beberapa pemerintah lokal membuat aturan setingkat Pergub yang mengatur pemberian izin untuk membakar hutan. Misalnya saja Pergub Kalimantan Tengah Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Perubahan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 52 Tahun 2008 Tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah yang membolehkan pembakaran hutan. Pergub ini diteken Gubernur Kalteng yang saat itu menjabat yaitu politikus PDIP Agustin Teras Narang.

Selain itu Propinsi Riau juga memiliki aturan Pergub yang nyaris senada, membolehkan pembakaran hutan yaitu Pergub Riau Nomor 11 Tahun 2014 tentanag Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Riau yang menyebutkan bahwa kepala desa atau lurah saja dapat memberikan izin pembukaan hutan dengan pembakaran. Lurah memberikan izin pembakar untuk lahan dengan luas dibawah dua hektare. Sedangkan pembukaan lahan dan pembakaran hutan lebih dari 50 hektare harus mendapatkan izin dari Gubernur Riau.

Kebijakan ini tentu saja memicu masyarakat membakar hutan dengan dalih untuk membuka lahan. Selain masyarakat, dalam skala besar perusahaan ikut membakar hutan dengan pertimbangan biaya yang lebih murah membakar hutan untuk membuka lahan ketimbang membuka hutan dengan cara konvensional. Lihat saja dampak raksasa yang ditimbulkan terutama pada hutan gambut.

Pembakaran Hutan Gambut
Kebijakan pemerintah mengizinkan pembukaan perkebunan di hutan gambut malah lebih memperparah kebakaran hutan. Hutan gambut dibabat, kemudian dibikin kanal-kanal seperti sungai kecil untuk mengeringkan hutan gambut tersebut. Pengeringan dilakukan agar mempermudah penanaman gambut. Tapi lihatlah akibatnya, lahan gambut menjadi kering, sangat mudah terbakar bagaikan sekam yang terpercik api.

Gambut yang terbakar bisa berlangsung berhari-hari karena bukan saja gambut dipermukaan tanah yang terbakar. Lapisan gambut yang kedalamannya bisa mencapai 4 meter lebih juga ikut terbakar secara perlahan. Ini bagaikan bagian dalam kasur kapas yang terbakar, dari permukaan tak nampak namun perlahan tapi pasti menghanguskan seluruh isinya. Tak ada kandungan air membuat kelembaban gambut berkurang drastis, permukaan gambut pun mengalami penurunan.

Peristiwa kebakaran hutan gambut bukanlah peristiwa pertama yang terjadi tahun ini saja di Indonesia. Sudah beberapa kali ganti pemerintahan kebakaran hutan tetap saja terjadi. Penanggulangannya pun persis seperti cara kerja pemadam kebakaran yang datang ketika api sudah mulai membakar objeknya. Ketika api padam, pulanglah pula pemadam kebakaran tersebut. Tidak ada kebijakan sistematis untuk menghentikan kebakaran hutan. Padahal hal ini sangat penting mengingat hutan yang terbakar ribuan hektar dan mengancam nyawa jutaan orang di beberapa propinsi.

Air Solusinya
Kebakaran hutan semakin sulit diatasi karena terjadi dimusim kering dan pengaruh cuaca ekstrem yang disebut La Nina. Beberapa daerah kebakaran sedang mengalami musim kering yang parah. Lahan-lahan gambut pun sudah semakin kering. Hutan sudah tak bisa lagi menyimpan air karena tak punya lagi pepohonan. Padahal sejauh ini hanya air lah yang paling efektif memadamkan api. Memang ada bahan kimia atau biasa disebut racun api yang bisa memadamkan api tetapi sangat mahal dan tidak efektif. Walaupun kini memadamkan api di hutan dengan air pun sudah mahal karena harus memborbardir hutan dengan jutaan liter air dari pesawat. Sungguh sebuah ironi, karena kita terpaksa “membuang” uang untuk menumpahkan air. Padahal banyak sekali rakyat sekitar hutan yang masih hidup miskin.

Kini duit yang idealnya bisa untuk mensejahterakan mereka dipakai untuk memadamkan hutan. Padahal jika pencegahan hutan dibuat sebuah program dengan melibatkan masyarakat, dengan dana yang sama pasti hasilnya akan berbeda. Hutan terjaga dan masyarakat bisa sejahtera. Makanya tak ada asap kalau ada air.[]

read more