close

January 2016

Green Style

Pentingkah Membangun Jaringan Jurnalis Lingkungan?

Direktur Green Journalist Aceh, Muhammad Nizar mengatakan, sangat penting membuat jaringan jurnalis lingkungan sebagai sarana memperkuat informasi dan tukar menukar pengalaman, menjaga semangat pemberitaan isu-isu lingkungan dan meningkatkan kapasitas jurnalis.

Hal itu disampaikannya dalam kegiatan Media Gathering ), yang digelar oleh USAID LESTARI bersama puluhan jurnalis dari berbagai daerah di Aceh di Oasis Atjeh Hotel, Banda Aceh, Sabtu (30/1).

Proyek USAID LESTARI adalah sebuah upaya Pemerintah Republik Indonesia (RI) menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), melestarikan keanekaragaman hayati di ekosistem hutan dan mangrove yang bernilai secara biologis serta kaya akan simpanan karbon. Dibangun di atas fondasi proyek USAID IFACS, LESTARI menerapkan pendekatan lanskap untuk menurunkan emisi GRK, dengan mengintegrasikan aksikonservasi hutan dan lahan gambut dan strategi pembangunan rendah emisi (LEDS) di lahan lain yang sudah terdegradasi. Upaya ini bisa dicapai melalui perbaikan tata guna lahan, tata kelola hutan lindung, perlindungan spesies kunci, praktik sektor swasta dan industri yang berkelanjutan, serta peningkatan keterlibatan berbagai pemangku kepentingan dalam kegiatan konservasi.

“Sangat penting dibuat jaringan seperti ini. Namun pembelajaran dari berbagai forum yang pernah terbentuk, banyak anggota forum tidak memiliki passion atau antusiasme terhadap isu, masih tergantung pada donor, dan sering terjebak kembali pada isu-isu lokal, tidak memiliki agenda forum yang jelas dan bersifat sukarelawan serta tak ada badan hukum ,” jelas Nizar.

Kegiatan LESTARI dilaksanakan di enam lanskap strategis di tiga pulau terbesar Indonesia, yang memiliki sebagian tutupan hutan primer yang masih utuh dan memiliki simpanan karbon terbesar. Di Sumatra bagian utara, Lanskap Leuser mencakup Kabupaten Aceh Selatan, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Aceh Barat Daya, termasuk Taman Nasional Leuser dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Di Kalimantan Tengah, LESTARI bekerja di Lanskap Katingan-Kahayan, yang mencakup Kabupaten Pulang Pisau, Katingan dan Gunung Mas, Kotamadya Palangkaraya, dan Taman Nasional Sebangau dan Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya.LESTARI juga bekerja di empat lanskap di Papua. Lanskap Sarmi dan Cyclops terletak sepanjang pesisir utara. Lanskap Lorentz Lowlands, mencakup Kabupaten Mimika dan Asmat ditambah sebagian dari Taman Nasional Lorentz, dan Lanskap Mappi-Bouven Digoel yang terletak di pesisir selatan Papua. LESTARI memiliki kantor pusat di Jakarta, dengan kantor cabang di setiap lanskap dan di ibukota Provinsi Aceh, Kalimantan Tengah dan Papua.

Sudahkah isu lingkungan mendapat tempat di media lokal? Menurut dia, Isu lingkungan ada diberitakan tapi belum dapat tempat yang layak. Masih sporadis, tidak ada kolom khusus alias masih digabung dengan kolom lain.
“Pemberitaan banyak seputar pernyataan semata, baik para tokoh atau pejabat. Nah disaat  ada kejadian atau insiden baru diberitakan. Padahal memberitakan lingkungan dapat dilakukan terus menerus, baik sebelum kejadian (prediksi), saat kejadian (penanganan) dan pasca kejadian (tanggap bencana, recovery dan penanggulangan),” pungkasnya.

Isu-isu pemberitaan lingkungan menurutnya dapat ditemukan di sektor kehutanan, perkebunan, energi, pesisir, polusi udara, air bersih, tata kota, pemukiman, bencana, konflik satwa, perubahan iklim, kebijakan, dan lain sebagainya.

Dalam pemantauan isu lingkungan lewat media, jurnalis perlu mencatat data jumlah korban, jumlah kerugian, kerusakan, dan sebagainya. Kalau bisa membuat statistik sederhana misalnya frekuensi kejadian per periode, tabel perbandingan, serta memantau penggunaan anggaran terkait lingkungan. (Chai)

read more
Ragam

Limbah Pabrik Sawit Ensem Sawita Resahkan Masyarakat

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) asal pemilihan Kabupaten Aceh Timur, Iskandar Usman Al-Farlaky meminta Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Provinsi Aceh segera turun ke Bayeun, Kabupaten Aceh Timur, guna menyikapi aksi demo yang dilakukan masyarakat ke PKS PT Ensem Sawita, yang limbahnya meresahkan warga di sana.

Permintaan itu dilakukannya dengan melayangkan surat ke Bapedal Aceh, Rabu (27/1). Dalam suratnya, ia menyebutkan persoalan pencemaran limbah ini tidak bisa didiamkan begitu saja, karena menyangkut kesehatan masyarakat luas. “Bapedal kami minta melakukan investigasi. Jika ditemukan kondisi adanya pencemaran limbah dan polusi udara melebihi ambang batas, maka izin amdal harus dicabut,” ujarnya.

Warga yang selama ini mengaku mengalami gangguan kesehatan, katanya, juga berhak mendapat kompensasi dari perusahaan, tanpa harus menunggu proposal dari warga. karena berdasarkan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, perusahaan harus sangat memperhatikan kondisi kesehatan masyarakat di sekitar pabrik (PKS).

Langkah anggota dewan menyurati Bapedal Aceh ini, terkait aksi puluhan ibu-ibu dari lima gampong di Kecamatan Birem Bayeun, Langsa, Selasa (26/1), yang mendemo pengelola pabrik Pengolahan Kelapa Sawit (PKS) milik PT Ensem Sawita, di Gampong Aramiah.

Warga menuntut pihak perusahaan bertanggung jawab menciptakan lingkungan yang bebas limbah. Karena, bau busuk limbah dan asap dari PKS itu, telah menyebabkan warga terkena penyakit yang disebabkan pencemaran lingkungan.[]

Sumber: serambinews.com

read more
Hutan

Aktivis Rawa Tripa Desak Hakim Lingkungan Berlaku Adil

Tim Koalisi Penyelematan Rawa Tripa (TKPRT) memberi apresiasi kepada hakim-hakim yang bersertifikasi lingkungan di Pengadilan Negeri Meulaboh, Provinsi Aceh yang telah menghukum perusahaan dan direksi perusahaan yang membakar lahan gambut di Rawa Tripa dalam Kawasan ekosistem Leuser (KEL) di Nagan Raya dan Aceh Barat Daya.

TKPRT mencatat perusahaan kelapa sawit PT. Kallista Alam dan direksinya telah divonis bersalah oleh pengadilan baik perdata maupun pidana di PN Meulaboh.

Kemudian kasus pidana perusahaan kelapa sawit, manager PT. Dua Perkasa Lestari di Aceh Barat Daya juga telah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Tapak Tuan karena kebakaran lahan gambut masing-masing seluas 1.000 hektar.

Dari rentetan kasus tersebut, masih ada satu perusahaan kelapa sawit PT. Surya Panen Subur 2 (SPS 2) yang diduga telah melakukan pembakaran lahan gambut seluas 1.000 hektar di kawasan Rawa Tripa KEL, Kabupaten Nagan Raya belum mendapat vonis pengadilan secara pidana di PN Meulaboh.

Pengadilan Negeri Meulaboh akan membacakan vonis kepada PT. SPS 2  pada Kamis, 28 Januari 2016 besok, TKPRT mendesak hakim yang sudah bersertifikasi lingkungan menghukum perusahaan dan para direksinya dengan hukuman yang seadil-adilnya dan lebih memperhatikan kelestarian serta penyelamatan lingkungan hidup di Kawasan Rawa Tripa dalam KEL.

TKPRT mencatat proses persidangan perkara pidana PT. SPS 2 ini sudah berlangsung sangat lama yaitu sejak tahun 2013 lalu. TKPRT meminta hakim memberikan putusan yang bijak terhadap perkara pidana PT. SPS.

Belajar dari pengalaman persidangan perdata kasus kebakaran hutan dan lahan di Pengadilan Negeri Palembang beberapa waktu lalu, dimana gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ke PT. Bumi Mekar Hijau (BMH) senilai 7,8 triliun ditolak oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Palembang. Sebaiknya hal tersebut tidak terulang kembali di Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh Barat. Saat itu Ketua Majelis Hakim PN Palembang Parlas Nababan memenangkan perusahaan tersebut dan menganggap tuduhan yang diberikan kepada perusahaan tidak bisa dibuktikan.

Kasus yang kemudian menjadi perhatian publik tersebut diduga/ada indikasi telah terjadi pelanggaran kode etik atau adanya perilaku hakim yang menyimpang ketika melakukan proses persidangan. Untuk itu kepada semua pihak diharapkan dapat melakukan pemantauan secara bersama-sama, ungkap TM Zulfikar, Communication Officer Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), yang juga salah seorang anggota TKPRT yang selama ini sangat aktif melakukan advokasi di Kawasan Lindung Gambut Tripa tersebut.

Oleh karena itu kepada majelis hakim lingkungan di Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh Barat sedapat mungkin bisa berlaku adil dan punya komitmen untuk menjaga lingkungan kita dari bencana kebakaran hutan dan lahan yang beberapa waktu ini kerap terjadi di beberapa tempat di Indonesia. (rel)

read more
Kebijakan Lingkungan

BKSDA & Polda Aceh Teken MoU Pidana Lingkungan

Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh (BKSDA) dan Polda Aceh, hari ini menandatangani nota kesepahaman bersama atau Memorandum of Understanding (MoU) di Hotel Grand Aceh Banda Aceh. Pihak BKSDA langsung dihadiri oleh kepalanya yaitu Genman Hasibuan, S.Hut, MM, sementara dari Polda Aceh diwakili oleh Direktur Reserse Kriminal Khusus, Kombes Drs. Joko Irwanto, M.Si. Isi Mou ini menyangkut Standar Operating Procedure (SOP) Penanganan Awal Terpadu Tindak Pidana terhadap Tumbuhan dan Satwa Liar yang dilindungi di Propinsi Aceh.

Ketika memberikan sambutan, Kombes Drs. Joko Irwanto, M.Si menyatakan bahwa begitu banyak spesies satwa dan tumbuhan liar yang dilindungi terdapat di Aceh. “Ada 300 fauna, belum lagi flora yang harus dilindungi, yang polisi sendiri tidak hafal semuanya,”katanya. Menurutnya, flora dan fauna tersebut merupakan amanah dari Allah SWT untuk dilestarikan dan dijaga dengan baik. “Jangan kayak harimau Jawa yang sudah punah, apa kita mau Harimau Sumatera bernasib serupa,”tambahnya.

Pada beberapa waktu lalu Polda Aceh juga telah meluncurkan SMS Centre pengaduan untuk tindak pidana perusakan lingkungan. Bagi masyarakat yang mengetahui terjadinya tindak pidana lingkungan dapat melaporkan ke nomor 0811 677 1010. Pelapor akan dirahasiakan identitasnya dan tidak diminta menjadi saksi kasus.

Kekayaan Aceh

Aceh  merupakan  satu‐satunya  provinsi  yang  masih  secara  lengkap  menyimpan  kekayaan  spesies  satwa seperti  Gajah   Sumatera   (Elephas   Maximus),   Orangutan   Sumatra   (Pongo   Abelii),   Harimau   Sumatera (Panthera tigris sumatraenus)  dan Badak Sumatra (Dicerorhinus  Sumatrensis).  Keberadaan  berbagai satwa liar yang dilindungi ini sangat penting dan esensial bagi terciptanya keanekaragaman  hayati (biodiversitas) untuk menjaga keseimbangan ekosistem, menuju kelestariannya.

Secara  umum,  Undang‐undang  Nomor  5 Tahun  1990 tentang  Konservasi  Sumber  Daya Alam Hayati  dan Ekosistemnya  (KSDAHE)  telah memandatkan  untuk melestarikan  sumber daya alam ini untuk mendukung  kesejahteraan   dan  meningkatkan   mutu  kehidupan  manusia,   melalui  perlindungan   system  penyangga  kehidupan,  pengawetan  keragaman  jenis flora dan fauna beserta ekosistemnya  dan pemanfaatan  secara lestari. Terciptanya penegakkan hukum terpadu yang konsisten adalah semata untuk melaksanakan amanat peraturan dan perundang‐undangan  ini.

Dalam kerangka upaya terciptanya penegakan hukum secara terpadu, pihak Kapolri, Kejaksaan Agung dan Menteri Negara Lingkungan  Hidup pada tahun 2011 telah menandatangani  Kesepakatan  Bersama Nomor: 11/MENLH/07/2011, Nomor  B/20/VII/2011, Nomor: KEP‐156/A/JA/07/2011 tentang Penegakan Hukum Lingkungan  Hidup Terpadu yang bertujuan  untuk meningkatkan  keterpaduan  dan optimalisasi  penegakan hukum  lingkungan  hidup antara Kementerian  Lingkungan  Hidup.  Strategi  yang disepakati  oleh Kepolisian Negara  Republik   Indonesia   dan  Kejaksaan   Republik  Indonesia  adalah   kerjasama   melalui   koordinasi, harmonisasi    pemaknaan hukum/ persamaan    persepsi   dalam  menghadapi  kasus   lingkungan    hidup, peningkatan kapasitas dan kompetensi, pertukaran data dan informasi serta pembentukan  Tim Penegakan Hukum Lingkungan Hidup Terpadu.

Di Aceh, dengan dukungan pihak LSM, telah terbentuk forum Gakkumdu yang terdiri dari pihak Polda Aceh, berbagai dinas di lingkungan Pemerintah  Daerah Aceh, Kejaksaan Tinggi dan Pengadilan Tinggi Aceh telah beberapa  kali  melakukan  pertemuan  rutin  di  Banda  Aceh.  Wadah  bersama  ini  berjalan  sebagai  sarana diskusi untuk pengkinian  dan tukar‐menukar  informasi serta pengetahuan  antar pihak, khususnya dengan pihak Kejaksaan maupun dengan dinas‐dinas terkait lainnya yang memiliki anggota dengan fungsi  sebagai PPNS. Di tahun 2015 ini, melalui skema pendanaan TFCA‐Sumatera,  LSGK melanjutkan dukungan terhadap proses penegakkan hukum terpadu yang efektif dan efisien ini, demi mendukung terciptanya keterpaduan kerjasama para pihak yang bertanggung jawab pada proses penegakan hukum di wilayah Aceh.

SOP ini  sebagai  pedoman  bagi hubungan  tata cara kerja (HTCK) yang lebih baik antar instansi  penegak  hukum  terkait  di Aceh,  khususnya  pihak  PPNS  BKSDA  Aceh  dan  Penyidik  Polri.  Panduan  tertulis  untuk  penanganan  awal Tindak Pidana terhadap Tumbuhan dan Satwa Liar (TPTSL) yang dilindungi di Provinsi Aceh diharapkan akan dapat menjadi  pedoman  bagi para penyidik  tersebut.  Penyusunan  Nota Kesepahaman  Bersama  dan SOP TPTSL dilaksanakan oleh Tim Pokja dilakukan sejak bulan Oktober tahun 2015. Tim Pokja penyusunan terdiri dari penyidik dari Ditreskrimsus Polda Aceh, Direktorat Bidang Hukum Polda Aceh, Direktorat Binmas Polda Aceh, PPNS dan tenaga ahli BKSDA Aceh, FFI Banda Aceh, LSGK, LBH Banda Aceh dan ACCI.

Pada  tanggal  18  Januari  2016,  Tim  Pokja  dimaksud  telah  menyelesaikan   draft  Naskah  Kesepahaman Bersama dan SOP TPTSL yang menghasilkan  draft final yang akan ditandatangani.  Berdasarkan  pertemuan tersebut,  BKSDA  Aceh  dan  Ditreskrimsus  Polda  Aceh  menyepakati  pelaksanaan  Penandatanganan   dan sekaligus  Sosialisasi   Nota  Kesepahaman   Bersama  dan  SOP  TPTSL  di  Provinsi  Aceh  tersebut  ke  para stakeholder pemerintahan Provinsi Aceh, penggiat lingkungan hidup dan kalangan media.[rel]

read more
Ragam

Indonesia Luncurkan Cetak Biru Keanekaragaman Hayati

Indonesia, rumah bagi sebagian besar kekayaan keanekaragaman hayati dunia, pada hari Kamis meluncurkan rencana aksi nasional untuk melindungi dan melestarikan penggunaan keanekaragaman hayati yang berlimpah bagi kesejahteraan 250 juta penduduknya.

Rencana AKSI dan Strategi Keanekaragaman Hayati Indonesia (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan/IBSAP) 2015-2020, terlaksana berkat kerjasama antara Bappenas, LIPI, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dengan dukungan UNDP.

Peluncuran ini melibatkan pembicara utama dari Bappenas Dr. Ir. Imron Bulkin, Sekretaris Utama Bappenas,  Dirjen Konversi SDA dan Ekosistem Tachrir Fathoni, dan kepala LIPI Dr. Ir. Iskandar Zulkarnain. Acara ini juga dihadiri oleh Pimpinan PBB di Indonesia,  Douglas Broderick

Dr.Ir.Imron Bulkin, yang berpidato atas nama Kepala Bappenas Sofyan Djalil mengatakan, “Perlindungan Keanekaragaman Hayati erat hubungannya dengan ekonomi daerah dan tentunya pembangunan nasional.”

IBSAP menyediakan gambaran bagaimana keanekaragaman hayati ini bisa digunakan secara terus menerus untuk meningkatkan ekonomi dan kesempatan bertumbuh bagi Indonesia serta menyokong kebebasan perekonomian negara. Ini penting bagi Indonesia yang keanekaragaman hayatinya memberi keuntungan ekonomi yang signifikan, dengan total kontribusi dari keanekaragaman hayati dan ekosistem pada tahun 2012 sebesar US$ 329.9 juta. Namun bagaimanapun juga hal ini terancam dengan tingginya kemusnahan keanekaragaman hayati disebabkan oleh polusi, perubahan iklim, kebakaran hutan dan eksploitasi sumber daya alam melalui pembalakan dan perdagangan liar.

IBSAP merupakan langkah pasti bagi Indonesia menyambut Tujuan Pembangunan Berkelanjutan termasuk tujuan-tujuan hidup di daratan, laut, konsumsi yang bertanggungjawab, produksi dan perubahan iklim. UNDP saat ini bekerja di seluruh dunia untuk membantu negara-negara mencapai 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan pada 2030.

IBSAP ini akan memberi Indonesia landasan yang kokoh untuk membangun pengertian tentang pentingnya melindungi keanekaragaman hayati dan keuntungan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

Subulussalam, Mantan Kota Kayu Kini Merajut Mimpi

Lebih delapan tahun kota Subulussalam menyandang status sebagai daerah kota di wilayah pantai selatan provinsi Aceh. Tepatnya tanggal 2 Januari 2007, melalui UU Nomor 8 Tahun 2007, kota kecil yang sebelumnya berinduk ke kabupaten Aceh Singkil ini, resmi menjadi sebuah daerah kota. Dengan status tersebut, sejuta harapan untuk menjadi kota yang maju pun, terbentang dalam benak masyarakat Subulussalam. Harapan masyarakat tidak hanya menjadi beban moral bagi pemegang kebijakan di kota ini, tetapi juga menjadi tantangan bagi pemerintah Aceh secara umum, untuk memajukan kota Subulussalam. Majunya kota ini, menjadi cerminan Aceh diperbatasan.

Karena, dengan majunya Subulussalam, akan menepis anggapan bahwa Aceh daerah terbelakang.
Betapa tidak, letak Subulussalam yang berada di pintu gerbang Aceh, menjadi sorotan bagi masyarakat luar provinsi ini, terhadap berbagai kondisi yang terjadi di Subulussalam, tak terkecuali kondisi kesejahteraan. Karena harus diakui, sebelum berdiri sebagai sebuah daerah kota, kondisi ekonomi masyarakat Subulussalam cukup menusuk hati. Masa-masa sulit, terasa dilalui setelah habis masa jayanya pabrik-pabrik kayu di daerah ini. Hingga akhirnya, mimpi untuk kesejahteraan ketika itu, terkelupas seiring terkikisnya hutan Subulussalam.

Kesejahteraan memang menjadi impian setiap orang. Kesejahteraan juga tidak terlepas dari kondisi ekonomi masyarakat. Memberdayakan  ekonomi masyarakat, harus didorong pemegang kebijakan. Tidak akan terwujud mimpi menjadi daerah maju dan sejahtera, kalau tidak ada partisipasi masyarakatnya. Bila masyarakat tidak diberdayakan, maka mimpi hanya tinggal mimpi. Meskipun esok hari terbangun dan mata terbelalak melihat mentari pagi, namun hati terasa gelap, karena masih dibayangi malam.

Ketika masa jayanya ekspor kayu dari Subulussalam era tahun 1970 an, masyarakat berlomba-lomba untuk bekerja di pabrik-pabrik kayu milik para tengkulak-tengkulak yang hanya mengambil keuntungan sendiri. Tidak hanya penduduk Subulussalam yang berhasil “terhipnotis” oleh berbagai perusahaan kayu itu, tetapi masyarakat dari sejumlah wailayah di Aceh pun, ikut bekerja dan dibayang-bayangi materi yang menjanjikan.

Saat bisnis kayu runtuh, maka imbas terhadap ekonomi masyarakat yang “termanjakan” pun mulai terasa. Namun, kemana hendak mengadu, karena langkah belum tertuju. Ingin berlari mengerjar mimpi, tapi khawatir tersandung batu. Pada akhirnya, upaya untuk memetakan harapan dan meraih mimpi sejahtera dari kesulitan ekonomi itu, perlahan mulai terbuka. Lalu, pada tahun 1990 an, masyarakat baru beralih pada bisnis perkebunan, termasuk kelapa sawit yang dianggap potensial. Walaupun pada tahun 1998, terpaan krisis moneter melanda negeri ini, namun semangat usaha perkebunan masyarakat Subulussalam yang tidak pupus, menjadi batu loncatan ekonomi baru bagi masyarakat.

Perbedaan Perhatian
Seperti telur bebek yang dierami ayam, tanpa mengetahui bagaiman perhatian induk bebek terhadap anaknya. Padahal Aceh memiliki keistimewaan dan kekayaan alam yang melimpah, tapi sayang ketika itu, perhatian belum berpihak ke Subulussalam dan sejumlah daerah lainnya. Hidup di dalam air, tapi susah mencari ikan. Terbang bersama angin, tapi sulit melihat awan. Akhirnya, hidup ditengah hutan sendiri, hanya melihat kayu-kayu yang menjadi penyangga kehidupan, dibabat para pebisnis kayu. Karena Induk yang diharapkan, hanya melihat wilayah timur Aceh. Begitu keberadaan kota Subulussalam dalam teropong sejarah, ketika itu.

Bukan Subulussalam yang tak punya potensi ekonomi. Bukan pula Subulussalam yang tak punya Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam. Tapi, perhatian pemerintah provinsi Aceh ketika itu, membuat kota Subulussalam bersama daerah lainnya di wilayah barat selatan, seolah termarginalkan dari daerah pesisir timur Aceh.

Tunjukkan Jati Diri
Meskipun suram dalam sejarah, tapi namanya zaman terus berputar. Setelah dimekarkan dari kabupaten Aceh Singkil, dan diberikan tanggung jawab untuk megurus rumah tangganya sendiri, kota Subulussalam juga telah menunjukkan jati dirinya. Tercatat, pertumbuhan ekonomi Subulussalam setelah dimekarkan, mulai membaik. Jangka waktu 5 tahun setelah pemekaran, pertumbuhan ekonomi Subulussalam cukup baik, meskipun berfluktuasi pada awal pemekaran. Tercatat, tahun 2007 pertumbuhan ekonomi kota Subulussalam hanya -1,65 persen. Lalu tahun 2008 meningat menjadi 2,22 persen, tahun 2009 turun menjadi 1,89 persen. Kemudian, tahun 2010 naik mencapai 2,87 persen dan tahun 2011 meningkat menjadi 3,54 persen. (BPS Kota Subulussalam, 2012)

Demikian juga jumlah penduduk miskin, mengalami penurunan setelah 5 tahun dimekarkan dari kabupaten Aceh Singkil. Tahun 2008, jumlah penduduk miskin mencapai 17.700 jiwa dari jumlah penduduk 64.372 jiwa.  Tahun 2009 sebanyak 16.800 jiwa penduduk miskin dari jumlah penduduk 65.908 jiwa dan tahun 2010 sebanyak 16.452 jiwa dari jumlah penduduk 67.446 jiwa. Lalu, tahun 2011, penduduk miskin menjadi 16.500 jiwa dari jumlah penduduk 68.990 jiwa, dan pada tahun 2012 jumlah penduduk miskin turun menjadi 16.067, dari jumlah penduduk 70.520 jiwa.

Dari angka-angka tersebut, menunjukkan, jumlah penduduk miskin menurun secara perlahan. Hal ini menggambarkan, pemekaran menjadi daerah kota telah meningkatkan taraf kehidupan masyarakat. Setidaknya, dengan potensi ekonomi yang dimiliki, menjadi harapan besar untuk menggapai mimpi kesejahteraan. Berbagai potensi yang dimiliki, seperti perkebunan, pertanian, perdagangan, dan industri, dapat saja digerakkan melalui kebijakan pro rakyat. Apalagi, secara geografis letaknya yang berada pada jalur lintasan antara provinsi Sumatera Utara dengan wilayah barat selatan provinsi Aceh, sehingga memiliki potensi besar menggerakkan ekonomi di bidang perdagangan.

Semoga potensi ini dapat digerakkan pemerintah, agar masyarakat tidak lagi menjadi sasaran pekerja toke-toke kayu seperti tempo dulu, tetapi bisa merajut mimpi kesejahteraan bersama di pintu gerbang Aceh.[]

Penulis adalah wartawan Harian Analisa, berdomisili di Banda Aceh dan tulisan ini memenangkan lomba penulisan artikel dalam rangka HUT Kota Subulussalam tahun 2015.

read more
Ragam

Lenyapnya Lahan Pertanian Dunia Sudah Membahayakan

Tahun 2015 merupakan Tahun Internasional Tanah, suatu event internasional ditengah banyaknya masyarakat yang tidak memiliki lahan sendiri. Sebuah studi yang dilakukan oleh Grantham Centre for Sustainable Futures menunjukkan bahwa dalam 40 tahun terakhir, manusia telah menghancurkan 33 persen tanah lapisan atas bumi, lewat pembangunan dan praktek pertanian yang berbahaya. Fakta muram ini pertanda buruk untuk masa depan, karena kita mengandalkan tanah tidak hanya untuk mencari rezeki, tetapi juga sebagai perangkap karbon, komponen kunci dari hampir setiap ekosistem di Bumi, dan tempat berkembang biaknya organisme untuk kegiatan komersial dan manusia yang luar biasa, seperti bakteri yang berkontribusi terhadap perkembangan canggih farmasi. Sudah selayaknya kita menghargai tanah dan studi ini menunjukkan bahwa kita malah melakukan hal sebaliknya.

Pengikisan lapisan tanah sering tidak dipikirkan masyarakat karena mereka tidak erat terhubung dengan peternakan dan pengaturan lain di mana tanah memainkan peran penting. Ketika orang berpikir tentang kerusakan tanah, mereka mungkin membayangkan insiden Dust Bowl tahun 1930-an, yang disebabkan oleh praktek pertanian yang tidak berkelanjutan dan kondisi pertanian yang tak biasa. Mereka mungkin tidak menyadari luasnya penggurunan, salinasi tanah, dan masalah lainnya sehingga lahan tidak dapat digunakan. di Amerika Serikat saja, 50 are tanah pertanian digali pengembang setiap jam, dan belum lagi kerugian tanah tidak memperhitungkan kerusakan yang disebabkan oleh praktek pertanian yang buruk. 

Pengerukan besar-besaran merusak tanah, sehingga mustahil bagi mikroorganisme untuk bertahan hidup. Ketika tanah ditaburi pupuk berlebihan, fungisida, pestisida dan herbisida, hal ini malah menambah masalah. Alih guna lahan atau praktek pemanenan agresif yang menebang pohon dan semak yang biasanya menjadi menahan tanah di tempat dengan jaringan. Rusak, kering, erosi tanah tidak dapat menunjang hidup kecuali jika ditambah lebih banyak pupuk, erosi tanah disapu hujan dan banjir, terbawa ke laut dan membawa beban bahan kimia pertanian bersamanya. Seperti pupuk menyebabkan ledakan ganggang laut yang mengganggu ekosistem laut, menggambarkan efek berantai yang disebabkan oleh perusakan ekosistem tanah.[]

Sumber: enn.com

read more