close

05/02/2016

Ragam

Antara Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan

Saat aktif di sebuah lembaga lingkungan nasional, kacamata yang saya gunakan kebanyakan adalah “kacamata kuda”. Saya melihat juga sebagian teman-teman lain sesama aktivis memakai kacamata yang sama. Sekedar mengingatkan “kacamata kuda” adalah sebuah istilah yang artinya melihat sesuatu fenomena dengan satu perspektif  atau sisi saja tanpa melihat faktor-faktor lain yang sebenarnya berpengaruh terhadap fenomena tersebut. Lawan kacamata kuda adala holistik atau keseluruhan. Jadi apa maksudnya?

Sebagai aktivis lingkungan, maka hal yang lumrah jika kami melihat peristiwa dengan perspektif lingkungan pula. Jika kami melihat sebuah fenomena kerusakan lingkungan maka kajian yang dilakukan hanyalah berdasarkan sudut pandang lingkungan semata atau an sich lingkungan. Sudah paham? Kayaknya berputar-putar ya. Maksudnya seperti inilah, jika ada kerusakan hutan, maka hal ini adalah perbuatan yang salah karena dalam ilmu lingkungan hal ini bisa merusak ekosistem yang terdapat dalam hutan. Contoh lain adalah hutan adalah sebuah kawasan yang tidak boleh diganggu gugat karena dianya berperan penting dalam kehidupan. Contoh lebih sederhana lagi bisa jadi adalah kebiasaan membuang sampah sembarangan. Jika masih ada yang membuang sampah sembarangan maka hal ini sering dikaitkan dengan keberadaan tong sampah semata. Padahal sebuah peristiwa banyak terkait dengan fenomena lain.

Manusia dalam kehidupannya sehari-hari sangat terkait dengan hal-hal lain. Semuanya sangkut menyangkut, ada urutan prioritas dan terkadang tak bisa dibolak balik. Misalnya saja menyangkut perilaku manusia. Jika ingin manusia berperilaku baik maka kepada yang bersangkutan haruslah diberi pendidikan budi pekerti. Tanpa mendapat pendidikan moral maka manusia tersebut mustahil bisa mempunyai akhlak yang bagus. Jadi bukan tunggu manusia tersebut memiliki akhlak yang baik dulu maka dia mendapat pendidikan. Tapia da juga hal-hal yang bisa dibolak-balik atau bahkan tidak berurutan. Misalnya apakah seseorang harus sekolah dulu baru bisa kaya? Atau kaya dulu baru bisa sekolah? Dalam kehidupan nyata tidak mesti berurutan sepertinya.

Kembali ke persoalan lingkungan untuk menganalisis lebih jauh fenomena lingkungan. Banyak sekali program lingkungan yang diluncurkan oleh berbagai pihak. Ada program yang diluncurkan untuk perlindungan satwa, program untuk mengatasi pencemaran sampah, program untuk mereboisasi hutan, program untuk mencegah pemanasan global dan sebagainya. Program ini menghabiskan dana yang tidak sedikit, miliaran dan didukung oleh lembaga-lembaga besar.  Tapi sayangnya program ini banyak yang keberhasilannya tidak sebanding dengan besarnya dana dan waktu yang telah dihabiskan untuknya. Ketika program selesai maka selesai pula lah kegiatan pelestarian lingkungan tersebut. Perilaku manusianya kembali seperti semula seolah-olah tak pernah ada program tersebut sebelumnya.

Sebagian berasalan bahwa masyarakat sibuk dengan urusannya mencari nafkah alias menjalankan aktivitas ekonominya. Sebagian lagi berpendapat bahwa program tersebut tidak menyentuh aspek sosial kemasyarakatan. Sebagian lagi menyatakan bahwa lingkungan memang sudah rusak sehingga sangat sulit untuk memperbaiknya seperti sedia kala. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan, mana yang lebih penting atau prioritas, ekonomi, sosial atau lingkungan?

Bagi pendukung ekonomi, maka kesejahteraan masyarakat terlebih dahulu harus ditingkatkan. Masyarakat butuh sandang, pangan dan papan. Bagaimana mereka bisa hidup tenang jika tiga kebutuhan pokok ini tidak terpenuhi? Jadi biarkan dulu masyarakat menebang hutan, menambang pasir, mengeruk gunung, menjual sawahnya dan sebagainya  demi hidup. Nanti jika sudah sejahtera maka orang-orang dengan sendirinya akan menjaga lingkungannya.

Bagi yang mengutamakan kehidupan sosial atau budaya menyebutkan bahwa budaya sangat penting dalam menegakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat. Hal ini sudah dilakukan nenek moyang kita selama berates-ratus tahun dan berhasil dalam melestarikan lingkungan. Budaya masyarakat yang menyatu dengan alam merupakan modal dasar yang kuat untuk melestarikan lingkungan. Budaya masyarakat dari dulu sudah mengajarkan bagaimana melestarikan lingkungan seperti larangan membuka hutan, larangan menebang pohon yang dekat dengan mata air, larangan melaut setiap hari jumat dan sebagainya. Tradisi ini memang semakin lama semakin terkikis oleh budaya global yang masuk ke setiap lapisan masyarakat Indonesia.

Sementara kelompok pegiat lingkungan mati-matian mengusung idenya untuk tetap memprioritaskan lingkungan terlebih dahulu. Jika lingkungan lestari maka kehidupan manusia dengan mudah akan menjadi sejahtera. Alam yang asri akan memberikan banyak manfaat bagi makhluk hidup sekitarnya, bukan hanya manusia semata. Air bersih, udara segar dan tanah yang subur merupakan kekayaan alam yang tak ternilai harganya bagi manusia.Tapi ide ini walau kelihatannya sangat ideal namun pelaksanaannya sangat sulit karena berkejaran dengan pembangunan ekonomi yang serakah.

Masih ada satu aliran lagi yang menyatakan bahwa tiga hal diatas harus dilaksanakan secara paralel atau bersamaan. Taka da satu sisi yang ditinggalkan alias harus komprehensif pelaksanaannya. Terlebih manusia Indonesia adalah manusia yang sangat kuat ikatan sosialnya. Namun lagi-lagi hal ini bukanlah hal yang mudah dalam penerapannya. Dalam pelaksanaannya ada keterbatasan-keterbatasan  yang menjadi tantangan yang tidak mudah diselesaikan.
Kajian mana yang lebih dahulu ekonomi, sosial atau lingkungan sampai hari ini belum tuntas. Aliran terakhir sepertinya bisa menjadi solusi dalam gerakan pelestarian lingkungan di Indonesia. Memang bukan hal yang mudah namun dengan kerja sama, koordinasi dan penggunaan teknologi yang tepat Insya Allah tantangan-tantangan di lapangan dapat diselesaikan. Taka da gading yang tak retak. Mari kita cari gading yang retaknya paling halus.[]

read more