close

22/03/2016

Ragam

Tahukah Anda Berapa Banyak Makanan yang Dibuang?

Di berbagai kebudayaan, pembuangan makanan dianggap melanggar moral. Lagi pula, terdapat hampir 800 juta jiwa di seluruh dunia yang menderita kelaparan. Namun menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) PBB, kita menyia-nyiakan cukup banyak makanan— 1,3 miliar ton per tahun di seluruh dunia. Angka ini  mencukupi kebutuhan pangan mereka, lebih dari dua kali. Ke manakah perginya semua makanan itu—yang jumlahnya sekitar sepertiga dari produksi di seluruh dunia?

Di negara berkembang, sebagian besar lenyap saat pasca panen akibat kekurangan fasilitas penyimpanan yang memadai, jalan yang bagus, dan alat pembeku. Sebagai perbandingan, negara maju membuang lebih banyak makanan di rantai suplai saat pelaku ritel memesan, menyajikan, atau memajang terlalu banyak. Selain itu juga saat konsumen mengabaikan sisa makanan yang di dalam kulkas atau membuang makanan mudah basi sebelum kadaluwarsa.

Membuang makanan juga berdampak buruk bagi lingkungan. Menghasilkan makanan yang tidak dikonsumsi—entah itu sosis atau biskuit—sama halnya dengan menyia-nyiakan air, pupuk, pestisida, bibit, bahan bakar, dan lahan yang dibutuhkan untuk menumbuhkan tanaman. Jumlahnya tidak tanggung-tanggung. Di seluruh dunia, produksi makanan yang terbuang dalam setahun menghabiskan air sebanyak setahun aliran Volga, sungai terbesar di Eropa.

Jumlah mencengangkan ini belum mencakup pembuangan dari peternakan, kapal nelayan, dan penjagalan. Jika diibaratkan negara, limbah makanan akan menjadi penghasil gas rumah kaca terbesar ketiga di dunia, setelah Tiongkok dan AS. Di planet dengan sumber daya terbatas, dengan ekspektasi tambahan penduduk sebanyak dua miliar pada 2050, pemborosan ini, menurut Stuart dalam bukunya Waste: Uncovering the Global Food Scandal, sungguh tidak senonoh.

Delapan puluh kilometer di utara Lima, Peru, di kota pertanian Huaral, Stuart menyeruput segelas jus satsuma segar bersama Luis Garibaldi, pemilik Fundo Maria Luisa, perkebunan jeruk mandarin terbesar di Peru. Mencondongkan badan ke depan di kursinya, Stuart bertanya: Berapa jumlah ekspor Anda? Berapa yang ditolak? Apa alasannya? Apa yang terjadi pada produk yang terbuang? Tujuh puluh persen panenannya, ujar Garibaldi, diekspor ke Uni Eropa dan Amerika Utara. Namun 30 persennya tidak memiliki ukuran, warna, dan tingkat kemanisan yang tepat, atau memiliki noda, parut, goresan, bekas terbakar sinar matahari, jamur, atau laba-laba. Sebagian besar dijual di pasar setempat, seharga hanya sepertiga harga ekspor.

Kami bermobil 300 kilometer ke selatan. Di wilayah Ica, Stuart mewawancarai petani yang setiap tahun meninggalkan begitu saja di kebunnya, jutaan asparagus yang batangnya terlalu kurus atau bengkok, atau kuntumnya terlalu terbuka untuk diekspor. Selanjutnya seorang produsen mengakui bahwa setiap tahun dia membuang lebih dari seribu ton jeruk Minneola tangelo dan seratus ton grapefruit (buah serupa jeruk) yang sedikit cacat ke parit pasir di belakang gudang pengemasannya.

Standar kelas—yang dikendalikan industri maupun diterapkan secara sukarela—telah lama diciptakan untuk memberikan petani dan pembeli, bahasa umum guna mengevaluasi produk dan menengahi perdebatan. Pembagian kelas juga bisa membantu mengurangi pembuangan makanan. Jika petani bisa membagi asparagus atau jeruk tangelo ke kelas-kelas yang telah ditetapkan, mereka akan mendapatkan peluang lebih besar untuk mencari pasar bagi produk “kedua” mereka. Supermarket selalu bebas menetapkan standar, tentunya, namun beberapa tahun terakhir pasar swalayan berskala besar mulai mengelola bagian produk bagaikan kontes kecantikan. Hal ini untuk menanggapi konsumen, kata mereka, yang meminta produk ideal: apel bulat mengilap, asparagus lurus berkuncup tertutup rapat.

“Semua ini soal kualitas dan penampilan,” kata Rick Stein, wakil presiden divisi bahan makanan segar di Food Marketing Institute. “Hanya penampilan terbaik yang akan membuat konsumen rela merogoh dompet.” Sebagian produk yang tidak menarik konsumen akan disumbangkan ke bank makanan atau diolah menjadi hidangan siap makan atau salad, namun sebagian besar kelebihan toko bahan pangan di AS tak disumbangkan maupun didaur ulang. Stuart memuji kampanye baru beberapa supermarket di AS dan UE untuk menjual produk “jelek” dengan harga diskon, namun dia lebih mengharapkan perbaikan secara  sistemik. “Akan jauh lebih baik jika standar itu dilonggarkan,” katanya seraya menatap lautan jeruk Peru yang terlantar dan tidak memiliki pasar kedua akibat penampilan buruk atau hal lainnya.

Selama tujuh hari Stuart mengunjungi pertanian dan gudang pengemasan, merentetkan pertanyaan, mengumpulkan data, dan mengambil sampel barang tolakan. Di antara kunjungannya dia meringkuk bagaikan kalong di bangku belakang mobil yang sesak dan mengetik. Tik, tik. Dia mempersiapkan logistik untuk perjalanan riset berikutnya, kemudian menerima undangan minum dari manajer umum Bank Makanan Peru. Tik, tik. Janji temu dengan penyelamat makanan yang baru saja terbang dari Santiago, Cili. Ke mana pun dia pergi, sepertinya orang-orang ingin menyampaikan kepada Stuart cerita mencengangkan tentang limbah makanan.

Stuart, kini, 38, lahir di London, bungsu dari tiga lelaki bersaudara. Dia tinggal di kota secara paruh waktu namun pada usia 14 sepenuhnya pindah bersama ayahnya ke wilayah pedesaan East Sussex. Di seberang lembah berdirilah rumah mewah kakeknya, properti luas dengan cukup pekerja untuk mengawaki tim kriket dalam pertandingan melawan desa setempat pada masa Perang Dunia II. Ayah Stuart, Simon, dibesarkan di sana, dan cerita tentang kekayaan pertanian mereka memikat putra bungsunya.

Tinggal berkilo-kilo meter dari kota terdekat namun secara psikologis akrab dengan pertanian kakeknya yang bisa mencukupi kebutuhan mereka, membentuk kepribadian Stuart. Ayahnya mengurus kebun sayur besar, dan Stuart memelihara babi dan ayam di sana. Sebagai penukar pupuk kandang, Simon memberi Tristram potongan sayurnya. “Jadi saya punya telur dan daging, dan kerap keluar bersama musang saya untuk berburu kelinci dan menembak rusa,” kata Stuart. Isi ruang penyimpanan makanan hampir selalu lengkap. Stuart mulai menjual daging babi dan telur kepada orangtua teman-teman sekolahnya, namun dia segera menyadari bahwa membeli pakan ternak bisa membuatnya bangkrut. Dia memulai di rute yang biasa dilewatinya: memunguti kentang berwujud buruk dan kue basi dari toko setempat dan dapur sekolahnya. Dia mengembangbiakkan babi betinanya, Gudrun, dan menyadari bahwa masyarakat di sekitarnya membuang sangat banyak makanan yang masih bagus setiap hari.

Kesadaran lingkungan Stuart kian terasah. Pada usia 12, dia menulis makalah tentang persamaan bahan bakar fosil dengan rokok—keduanya merusak badan dan menyebabkan kecanduan. Setelah menghabiskan sebagian waktunya di sebuah peternakan di Prancis, dia diterima di University of Cambridge, tempatnya mempelajari sastra Inggris dan mengalami pencerabutan keji dari surga agro-ekologisnya. Makanan sekolah dibuat “tanpa mengacu pada kriteria ramah lingkungan,” ujarnya. Untuk menanggapinya, dia bersama para aktivis kampus lainnya menikmati makanan yang berhasil mereka bebaskan dari tong sampah supermarket. Dia juga meminum sari apel yang diperas dari buah apel orang lain, berbagi otak panggang, limpa gulung, dan keripik kuping dari begitu banyak keturunan Gudrun, dan—setelah mengetahui bahwa rasanya enak—menghirup siput dari kebun teman-temannya.

Tidak mengherankan jika Stuart pernah giat berteater. “Saya lumayan menyukainya,” ia berkata, walaupun kegiatan ini akhirnya “menghalanginya melanjutkan tugasnya yang sangat penting, yakni menyelamatkan Bumi.” Dia cukup menyadari bahwa para mahasiswa kaya yang memunguti wadah-wadah ricotta yang belum dibuka dari tempat sampah memiliki kekuatan untuk memengaruhi orang lain. Ketika itu, ujarnya, baik supermarket maupun agen-agen pemerintah belum memiliki kebijakan yang jelas mengenai limbah pangan. Hal ini akan segera berubah.

Pada 2002 kegemaran Stuart mengorek tempat sampah menarik cukup perhatian untuk membantunya menghasilkan video dokumenter mengenai pembuangan makanan bagi sebuah acara politik di BBC, dan aktivis di seluruh dunia menghubunginya untuk bermitra dalam penyelamatan makanan. (Saat itu dia tinggal di London.) Dengan cukup data mengenai di mana dan mengapa tepatnya bahan pangan hilang di rantai makanan, dia menyadari bahwa sesungguhnya ia bisa berbuat sesuatu mengenai hal ini. Saat itulah benih bukunya, Waste, mulai ditebar. Di dalam buku itu dia menginvestigasi penyebab dan dampak lingkungan pembuangan makanan di seluruh dunia.

Waste mendapatkan banyak pujian, namun Stuart menyadari bahwa buku yang sarat data tidak akan bisa menjaring jutaan pembaca, padahal dia benar-benar berharap jutaan orang akan mendukung upayanya. “Karena itulah saya membuat Feeding the 5.000,” ujarnya, meniru instruksi Yesus dalam Yohanes 6:12, yakni “Kumpulkanlah potongan kelebihannya, supaya jangan satu pun yang terbuang.” Diluncurkan pada 2009, Feeding the 5.000 akan menjadi batu loncatan Stuart—perjamuan umum gratis yang sepenuhnya dibuat dari makanan tak bertuan. Acara serupa dibuat ulang di lebih dari 30 kota. Ribuan orang turut menikmati hidangan, publikasi media mengikuti, dan masyarakat mulai gencar menyuarakan keberatan atas pembuangan makanan. Tak lama kemudian Stuart mulai memberikan ceramah di seluruh dunia dan mengkritik pedas aktor-aktor paling berkuasa dalam industri pangan. Banyak di antaranya harus membela diri dalam polemik yang diciptakannya. Supermarket mulai menganggapnya sebagai “duri dalam daging,” katanya. “Dan itu benar.”

Dari manakah kepercayaan diri luar biasa Stuart berasal? Entah dari mana memulainya. Stuart adalah sosok ambisius, agresif, dan penuh narsisme. Namun dia juga pintar bicara, jenaka, dan sangat menguasai bidangnya. “Ketika dia berbicara, Anda ingin mengikutinya,” ujar Dana Gunders, spesialis pembuangan makanan dari Natural Resources Defence Council yang menulis Waste Free Kitchen Handbook. “Dia benar-benar andal, bukan hanya dalam menularkan gairahnya kepada orang lain melainkan juga memeliharanya, mengisi pasukannya dengan orang-orang yang sama bergairahnya dalam mengambil tindakan untuk mengatasi pembuangan makanan.”

Stuart mengambil setiap kesempatan yang ada untuk menyantap makanan yang kurang menimbulkan selera—strategi untuk mengambil yang tidak bisa diambil dari tempat sampah, sekaligus memberikan contoh perilaku positif. Pada pagi pertamanya di Peru dia memakan dadih darah ayam. “Saya belum pernah makan itu,” ujarnya dengan gembira. Saat makan siang, dia menyantap daging marmot. Pada hari kedua, dia memesan babat sapi; pada hari ketiga, lidah dan bergelas-gelas pisco—brendi khas Peru.

Jika kita mengurangi pembuangan makanan, mengubah pola makan kita dengan mengurangi daging dan produk susu, lebih sedikit mengubah panenan bahan makanan menjadi bahan bakar nabati, dan memberdayakan lahan beperforma buruk, kita mungkin akan mampu memberi makan lebih dari delapan miliar manusia berpola makan sehat.

Asupan protein tampaknya memberikan energi bagi Stuart untuk menghadapi percakapan di pertanian dan gudang pengemasan, yang dengan cepat menjadi sarat angka. Sekian kilo, ton, kontainer, peti, persentase yang ditolak, diselamatkan, dibiarkan mati. Dia mampu mencerna seluruh detail itu. “Saya ingin bisa mengatakan kepada orang Eropa bahwa kesukaan mereka terhadap asparagus berkuncup tertutup setara dengan X juta hektare lahan, X juta galon air, dan X juta kilo pupuk yang terbuang.” Dia menarik napas. “Saya ingin diberitakan, dengan lugas mengatakan kepada orang-orang bahwa pilihan mereka bermakna.”

Seiring dengan kekhawatiran pemerintah mengenai cara memberi makan lebih dari sembilan miliar manusia pada 2050, banyak yang berpendapat bahwa produksi makanan dunia harus ditingkatkan antara 70 hingga 100 persen. Namun pertanian dianggap sebagai salah satu ancaman terbesar bagi kesehatan planet kita. Sektor ini bertanggung jawab atas penggunaan 70 persen air bersih, 80 persen deforestasi tropis dan subtropis dunia, dan 30 hingga 35 persen emisi gas rumah kaca buatan manusia. Pertumbuhan populasi dan kebangkitan ekonomi menambah permintaan akan daging dan produk susu, yang membutuhkan banyak biji-bijian dan sumber daya lainnya untuk menghasilkan kalori yang relatif kecil. Dengan demikian, dampaknya pun akan semakin buruk. Tetapi, mengubah lebih banyak alam liar menjadi lahan pertanian mungkin tidak diperlukan, sebagian pakar berpendapat. Jika kita mengurangi pembuangan makanan, mengubah pola makan kita dengan mengurangi daging dan produk susu, lebih sedikit mengubah panenan bahan makanan menjadi bahan bakar nabati, dan memberdayakan lahan beperforma buruk, kita mungkin akan mampu memberi makan lebih dari delapan miliar manusia berpola makan sehat. Hal ini bisa dilakukan tanpa harus membabat lebih banyak hutan hujan tropis, membajak lebih banyak padang rumput, atau merusak lebih banyak lahan basah.

Stuart tidak pernah melupakan gambaran besar ini, namun dia menyadari bahwa perubahan paradigma terjadi berangsur-angsur. Ia pun berdiri di gurun pasir di belakang gedung pengemasan di Ica, dengan gigih mewawancarai Luis Torres, manajer umum Shuman Produce Peru. Akibat tidak ada pasar lokal yang mau menerima sisa ekspornya, setiap tahun Torres membuang sekitar 1.500 ton bawang bombay kecil atau berbentuk kurang bulat. Namun dia enggan menyalahkan pembeli atas kerugian ini.

Tiga tahun silam, selama sepekan Stuart menjelajahi pedesaan Kenya, berburu bahan untuk makan malam formal di Nairobi, tempat Program Lingkungan Hidup (UNEP) PBB akan menyoroti masalah pembuangan makanan. Seratus lima puluh kilometer dari ibu kota, dia menemui petani yang dipaksa oleh standar kosmetik Eropa untuk membuang 40 ton kacang polong, brokoli, kacang kapri, dan buncis per minggu—cukup untuk memberi makan 250.000 orang. Dalam setahun Stuart bersama kru kamera kembali ke Kenya dan mendapati bahwa petani menyingkirkan hampir setengah panenan mereka di ladang dan gudang pengemasan. Petani polong-polongan pun kehilangan lebih banyak karena harus memotong pucuk dan ekor dari produk mereka yang masih bertahan. Pihak supermarket juga secara rutin membatalkan pesanan di menit terakhir tanpa memberikan kompensasi kepada petani. Setelah Feedback memublikasikan gambar-gambar kacang polong tolakan dan menuduh jaringan supermarket besar telah mengalihkan biaya yang harus mereka tanggung ke petani yang relatif tidak berdaya, pedagang Inggris siap berdiskusi. Mereka akhirnya setuju membayar pembatalan pesanan dan memperpanjang kemasan mereka agar polong hanya perlu dipotong di salah satu ujungnya. Tidak hanya pembuangan makanan dan sumber daya yang berkurang, lahan yang dibutuhkan para petani juga berkurang beberapa hektare.

Laporan Feedback tentang polong-polongan Kenya pada 2015 hanyalah satu pencapaian di tahun yang menjadi titik balik itu. Di akhir 2015 PBB berjanji mengurangi pembuangan makanan hingga setengah pada 2030. Mekanisme pasti dari tujuan ambisius ini belum dijabarkan. Namun sejumlah negara dan perusahaan menciptakan dan mengadopsi pengukuran standar untuk menghitung buangan. Jika target terpenuhi, akan ada cukup makanan yang bisa diselamatkan untuk memenuhi kebutuhan setidaknya semiliar manusia.[]

Sumber: NatGeo Indonesia

read more