close

April 2016

Sains

Universitas Jepang Kerja Sama Riset Restorasi Gambut Indonesia

Badan Restorasi Gambut (BRG) merintis kerja sama dengan Universitas Kyoto dan Institut Nasional untuk Humaniora (The National Institute of Humaniora, NIHU), Jepang untuk pengembangan riset mendukung restorasi gambut. Kepala BRG, Nazir Foead, memberikan Joint Statement di Kyoto pada Senin, 25 April 2016 pukul 9:15 waktu setempat bersama Presiden Universitas Kyoto, disaksikan Plt. Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman.

Nazir Foead, dalam kesempatan itu menyatakan pentingnya menjalin kerja sama yang berfokus pada aksi nyata dan riset terapan di lapangan tentang restorasi lahan gambut dan pemanfaatan lahan gambut yang berkelanjutan di wilayah kerja prioritas. “Aksi nyata pemulihan restorasi gambut akan dikerjakan di Riau bersamaan dengan program riset,” kata Kepala BRG.

Gubernur Riau, Arsyadjuliandi Rachman menyatakan bahwa Provinsi Riau dengan luas lahan gambut terbesar dalam target restorasi, perlu bersinergi dengan berbagai pihak agar dapat mensukseskan agenda aksi restorasi gambut. Riau telah mendukung komitmen nasional terkait aksi restorasi mengintegrasikan pengembangan komoditi lokal yang ramah terhadap gambut, seperti Budidaya Sagu. Laboratorium internasional restorasi rawa gambut tropis di Meranti, perlu mendapat dukungan untuk pengembangannya, dalam hal ini kerjasama dengan berbagai lembaga dan universitas di Jepang.

Dukungan riset dan kerja sama internasional diperlukan untuk memberikan basis ilmiah yang kuat pada intervensi restorasi. Universitas Kyoto mendukung upaya mengatasi permasalahan kebakaran lahan gambut yang berulang, dan rencana untuk memulihkan lahan gambut terdegradasi melalui pembentukan Badan Restorasi Gambut. “Kami berharap dapat bekerja sama dengan pemerintah RI di bidang penelitian dan pendidikan yang berkaitan dengan terdegradasinya lahan gambut Indonesia, pemanfaatan lahan gambut yang berkelanjutan dan restorasi gambut”, demikian disampaikan Rektor Universitas Kyoto, Prof Juichi Yamagiwa.

Selanjutnya, BRG, Universitas Kyoto dan NIHU sepakat untuk menuangkan komitmen kolaborasi ini dalam bentuk Memorandum of Understanding (MOU), pada bulan Juni 2016 di Jakarta.[rel]

read more
Ragam

Hari Bumi, FT USM Laksanakan Kuliah Pengabdian Masyarakat

Lebih kurang 100 orang mahasiswa dan 40 dosen Fakultas Teknik Universitas Serambi Mekkah (FT USM) melaksanakan kegiatan pengabdian yang bertajuk KUliah Pengabdian Masyarakat atau KPM. Kegiatan kali ini juga dalam memperingati Hari Bumi 22 April kemarin sehingga aksi lingkungan lebih mendominasi KPM. Kegiatan dilaksnakan di desa Lambaro Neujid Peukanbada Aceh Besar dari tanggal 23-24 April 2016.

Koordinator KPM, Saisa, ST, MT dalam siaran persnya mengatakan bahwa kegiatan ini rutin dilaksanakan setahun sekali. “Kita harap mahasiswa FT USM dapat mengaplikasikan ilmu keteknikannya di desa,” katanya. Selain itu desa yang menjadi lokasi kegiatan akan menjadi desa binaan FT USM.

KPM tahun ini bertemakan Selamatkan Bumi demi Masa Depan, dan kegiatannya terdiri dari penanaman pohon cemara, pinang, mahoni, ketapang dan pohon nangka. Selain itu juga dilaksanakan gotong royong seperti membersihkan dan mengecat meunasah serta memasang papan nama jalan dan 10 program pokok PKK.

Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama, Ir. T. Muhammad Zulfikar, MP dalam pembukaan acara hari Sabtu (23/4/2016) menyatakan kegiatan ini merupakan sinergi antara dunia kampus dan masyarakat. “Jadi nanti ketika mahasiswa selesai kuliah dapat kembali mengabdi ke masyarakat dengan baik,”ucapnya.

Desa Lambaro Neujid dipimpin oleh Keuchik M.Jamal dan memiliki penduduk 800 jiwa. Desa ini terletak di pinggir pantai dan bersisian dengan perbukitan. Sejumlah tempat tampak masih gersang dan butuh penghijauan. []

read more
Kebijakan Lingkungan

Perusahaan Lokal jadi Komprador Asing

Qanun/Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh 2013-2033 belum memperoleh persetujuan dari Kemendagri RI namun sudah menjadi dasar hukum dalam melakukan pembangunan Aceh.  Qanun RTRW Aceh ini telah mengajukan perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan yang telah ditetapkan melalui SK Menhut No. 103 tahun 2015.

Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) melihat perubahan fungsi dan peruntukan ini tidak berdasarkan analisis keilmuan melainkan lebih menggunakan pendekatan celah regulasi dan perspektif ekonomi semata, terlihat pada areal kawasan hutan yang telah diusulkan dan dirubah tersebut adalah kawasan hutan yang memiliki nilai sumber daya mineral seperti yang banyak terdapat di wilayah tengah Aceh dan selatan Aceh.

Perusahaan yang menguasai sebagian besar saham di perusahaan-perusahaan tersebut di atas adalah perusahaan milik asing, sehingga perusahaan lokal hanyalah alat pengantar saja setelah seterusnya sebagaian besar keuntungan akan diperoleh oleh asing (komprador).

Kawasan hutan yang dirubah tersebut kebanyakan adalah kawasan hutan lindung, hal ini tidak aneh karena kawasan lindung sudah dimoratorium izin secara nasional sehingga tidak ada izin yang boleh diberikan dalam kawasan tersebut, ditenggarai untuk memperoleh izin harus menurunkan dulu fungsi dan peruntukan kawasan lindung tersebut.

Secara tipologi topografi kawasan hutan yang diusulkan dan telah dirubah tersebut adalah merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan memiliki ketinggian yang lebih tinggi dari wilayah pemukiman penduduk, sehingga dipastikan akan terpengaruh oleh curah hujan yang menyebabkan banjir.

Tahun 2014 KPHA mencatat peristiwa bencana alam banjir dan longsor sebanyak 23 kali di Aceh dengan angka kerugian yang melebihi 1 miliar rupiah, baik itu kerugian yang dialami oleh masyarakat maupun kerugian yang timbul akibat rusak dan hancurnya infrastruktur yang telah dibangun pemerintah.

Tanpa memerlukan analisis yang hebat sekalipun kita bisa menyimpulkan bahwa penyusunan RTRW Aceh sarat dengan kepentingan investor, padahal jelas-jelas terlihat bahwa investasi bukan satu-satu nya jalan untuk mengangkat kehidupan Aceh menjadi lebih sejahtera.

Masyarakat Aceh menginginkan sejahtera tanpa harus merusak dan menghancurkan lingkungan hidup, namun mimpi ini tidak bersambut dengan visi misi pemerintah yang hanya memiliki perspektif eksploitatif.

Pemerintah hendaknya jangan mewarisi watak “komprador” bagi generasi penerus bangsa, sebuah watak yang hanya mengedepankan kebutuhan pragmatis tanpa melihat kebutuhan dan kepentingan generasi mendatang.
KPHA mengajak seluruh stakeholder Aceh untuk melihat kebutuhan pembangunan secara holistik dengan tidak meninggalkan batasan dan daya dukung lingkungan, kajian-kajian ilmiah dan pengalaman empiris harus menjadi cermin dalam membuat dan mengambil keputusan yang akan berdampak jangka panjang untuk anak bangsa.[rel]

read more
Hutan

Perambahan Hutan Lindung Pidie Jaya Merajalela

Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) mendeteksi adanya pembukaan kawasan hutan lindung di Pidie Jaya seluas lebih kurang 160 Ha yang sudah ditanami dengan tanaman sawit.  Pembukaan hutan lindung  ini terjadi di wilayah Kecamatan Bandar Baru Kabupaten Pidie Jaya. Temuan KPHA, pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan sawit ini dilakukan oleh salah satu oknum petinggi/ tokoh politik Aceh.

Dari hasil investigasi yang dilakukan KPHA menunjukkan bahwa perkebunan sawit di hutan lindung tersebut tidak memiliki izin dari pemerintah Kabupaten Pidie (dinas terkait). Saat ini menurut hasil pantauan yang dilakukan tim KPHA juga terdapat sebanyak 680 Ha perkebunan sawit yang ditenggarai tidak memiliki izin.

Selain itu, hal ini sangat kontradiksi dengan kebijakan moratorium logging yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh tahun 2007, seharusnya pemerintah Aceh melalui instansi terkait Dinas Kehutanan Aceh mengeluarkan berbagai kegiatan  kebijakan untuk menyambut pelaksanaan moratorium logging agar memberikan hasil maksimal dan terukur.  Namun fakta di lapangan menunjukkan hal yang berbeda, bahwa kebijakan mnoratorium logging tidak ditindak lanjuti oleh SKPA dan akibatnya kawasan hutan semakin open akses terhadap kegiatan perambahan.

Kabupaten Pidie Jaya sebagai salah satu kabupaten yang sangat rentan terhadap bencana banjir dan kekeringan, harus memiliki mitigasi khusus terhadap perlindungan kawasan hutan, apalagi kawasan hutan lindung yang akan memberi menjamin persediaan air bersih bagi warga masyarakat Keterlibatan pihak-pihak tertentu bahkan kemungkinan pejabat negara juga patut dicurigai dalam pembukaan kawasan hutan lindung menjadi perkebunan sawit ini, karena ditengah gencarnya kebijakan nasional melalui mortorium izin hutan dan gambut yang terus diperpanjang oleh pemerintah Jokowi namun kenyataan di lapangan terus terjadi pembukaan kawasan lindung, dan ini tidak mungkin dilakukan oleh masyarakat biasa yang tidak punya kekuasaan dan kewenangan.

Terhadap fakta ini, KPHA mendesak pemerintah Kabupaten Pidie dan KPH  untuk melakukan langkah-langkah strategis menghentikan pembukaan kawasan hutan untuk perkebunan. Mengingat, tindakan tersebut tanpa beroleh izin, kita juga minta Polisi untuk melakukan penyelidikan karena kuat dugaan pembukaan hutan untuk perkebunan sawit terindikasi tindak pidana kehutanan.

KPHA menghimbau pemerintah dan masyarakat untuk terus mengawasai pembukaan kawasan hutan karena hal tersebut akan memberi pengaruh besar bagi sebuah wilayah, selain karena didorong oleh perubahan iklim yang semakin ekstrim juga ancaman bencana yang dampaknya cukup signifikan terhadap kehidupan masyarakat.[rel]

read more
Tajuk Lingkungan

Sumber Daya Alam: Harga Secangkir Kopi Anda Ditentukan Global

Menikmati sore bersama seorang rekan dengan secangkir teh, saya berbincang-bincang ringan. Pembicaraan ngalor-ngidul ntah kemana-mana. Mulai dari persoalan politik, ekonomi, sosial, kedatangan Leonardo DiCaprio ke Leuser hingga tema yang super asyik yaitu teori konspirasi. Teori konspirasi dimana-mana bunyinya sama saja, bahwa ada satu grand design yang besar di balik sebuah kegiatan yang melibatkan asing. Tertuduh utama siapa lagi kalau bukan Amerika hehehe…

Pembicaraan sampai pada tema pengelolaan sumber daya aam dan meningkatkan kemampuan lokal untuk bersaing dalam pasar bebas. Saya tidak pesan kopi, teman saya yang merupakan pejabat dari satu fakultas bergengsi di Banda Aceh hanya memesan Lemon Tea. Tapi jika sudah membicarakan sumber daya alam lokal yang menonjol di Aceh tak lain dan tak bukan pasti kita membicarakan kopi. Harga kopi belakangan cenderung membaik. Para penikmat kopi pun dimanjakan dengan berbagai macam suguhan kopi, espresso, latte, mochachino dan sebagainya. Susah juga mengingat satu persatu varian kopi ini.

Apa kaitan teori konspirasi dan harga komoditas kopi? Saya kaitkan saja dengan kebiasaan sejumlah orang yang suka memainkan sentimen anti barat atau anti global. Para sentimenters ini mencoba menganggungkan kehebatan kopi sebagai produk lokal yang bisa jadi alat persaingan global. Segera saya ingat satu kuliah yang pernah saya ikuti bahwa dunia semakin rata (terjemahan bebas dari The World is flat). Tak ada peristiwa global yang tidak mempengaruhi situasi lokal. Begitu juga dengan harga kopi. Global lah yang bikin harga kopi semakin moncer.

Saya kutip sedikit laporan Bank Dunia agar tulisan ini bisa terpercaya sedikit. Dalam laporannya tersebut disebutkan bahwa  gejolak harga komoditas internasional diteruskan sepenuhnya kepada harga-harga komoditas di dalam negeri. Dengan demikian dampak gejolak internasional terhadap perekonomian tidaklah hanya melalui perubahan dalam harga dan volume ekspor dan impor, tetapi juga melalui perubahan produksi yang disebabkan oleh perubahan harga-harga di dalam negeri. Penelitian juga menunjukkan bahwa dampak ekonomi tidaklah merata bagi seluruh negeri karena perbedaan tingkat keterpaduan antara propinsi. Kecepatan dan besaran perubahan harga di propinsi yang lebih terpencil secara umum akan lebih lambat dan kurang berarti dibanding daerah-daerah lain.

Bukan hanya harga komoditas kopi, harga berbagai komoditas pertanian pun ditentukan di pasar global. Harga jagung, gula, cokelat, kapas, pinang, sawit dan sebagainya, naik turunnya bukan pasar Aceh atau Pasar Lhokseumawe yang tentukan tapi pasar global. Contoh terbaik yang saya lihat dengan mata kepala sendiri adalah harga minyak nilam. Ketika Indonesia dilanda resesi besar akhir 1990-an, malah kondisi ini menyebabkan harga nilam meningkat pesat. Petani nilam di Aceh bagian barat ramai-ramai beli sepeda motor sehingga jadi joke “itu sepeda motor nilam”.

Contoh lain adalah kerajinan Aceh yang mana nilainya bisa dipengaruhi oleh nilai ekspor. Ketika kerajin lokal ini banyak diekspor keluar negeri maka harganya meningkat sehingga orang lokal pun tak sanggup membelinya. Pembeli di luar negeri sanggup membelinya dengan harga mahal jika kondisi perekonomian mereka bagus. Jika kondisi perekonomian negara mereka merosot maka merosot pula lah nilai kerajinan tersebut.

Belakang karena perekonomian sedang meningkat pesat, China menjadi salah satu pasar ekspor Indonesia, begitu juga sebaliknya. Industri mereka yang meningkat pesat mengharuskan mereka membeli energi dari sejumlah negara termasuk Indonesia. Energi yang dibeli China bisa gas dan batu bara. Akibatnya di Indonesia berlomba-lomba orang menggali bumi ini. Bumi pun menjadi bopeng-bopeng tak karuan. China kemudian berpikir ulang importnya ketika ekonominya mengalami perlambatan. Mereka mencari energi alternatif yang lebih murah dan bisa disediakan dari dalam negeri. Penambang minyak dan batubara dalam negeri kelimpungan.

Apa yang mau saya katakan adalah berbaik-baiklah dalam mengelola sumber daya alam. Harga komoditas yang tinggi bukan jaminan kesejahteraan akan mengikuti. Sudah alam kita rusak yang menimbulkan bencana ekologi perekonomian tak pula membaik. Harga yang tinggi di tingkat global banyak juga dipengaruhi oleh spekulan. Sebaiknya kita harus bisa mandiri, produksi sendiri dan jual sendiri di dalam negeri. Gejolak harga lebih bisa dikontrol. Jangan sampai anda tidak mampu ngopi lagi gara-gara harga kopi melonjak di pasar dunia. Ataupun petani kopi malas menanam kopi gara-gara harga dunia merosot. Ingat, harga secangkir kopi mu ditentukan pasar global.[]

read more
Kebijakan Lingkungan

Badan Restorasi Gambut Identifikasi 100 Desa Gambut

Dua bulan sejak dibentuk pada Januari 2016 dan sebulan setelah melengkapi personelnya, Badan Restorasi Gambut Republik Indonesia (BRG) semakin mantap menjalankan tugas. Kepala BRG, Nazir Foead, dalam kesempatan pertemuan dengan media di Kantor Staf Presiden, Kamis, 31 Maret 2016, memaparkan sejumlah kemajuan dalam pelaksanaan program BRG kepada media. Pertemuan yang juga dihadiri oleh Kepala Kantor Staf Presiden, Teten Masduki, itu membahas antara lain rencana lokasi restorasi di 4 Kabupaten, yakni Kepulauan Meranti (Riau), Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin (Sumatra Selatan), dan Pulang Pisau (Kalimantan Tengah).

BRG baru saja memetakan daerah restorasi indikatif di empat Kabupaten tersebut yang dikerjakan bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Bappenas, Badan Informasi dan Geospasial (BIG), serta NGO. Lokasi tersebut terdiri dari 77% kawasan budidaya dan 23% kawasan lindung, dengan luas total 834.491 hektar. “Peta ini akan dikonsultasikan dengan para pihak terkait”, demikian ditambahkan oleh Budi Wardhana, Deputi bidang Perencanaan dan Kerja Sama BRG. Lebih lanjut, Budi menjelaskan bahwa penentuan arahan lokasi restorasi itu didasarkan pada empat kriteria yaitu: (i) Lahan yang bergambut; (ii) Kondisi tutupan lahan; (iii) Keberadaan kanal dan dampak pengembangan kanal; dan (iv) Historis kebakaran dalam 5 tahun terakhir.

Selanjutnya, arahan kegiatan restorasi akan ditentukan lebih lanjut berdasarkan pada status lahan, kondisi topografi dan hidrologis aliran air bawah permukaan, kegiatan budidaya dan kondisi sosial budaya masyarakat. Untuk itu, pemetaan detail di lokasi tersebut akan segera dilaksanakan.

Terkait dengan konstruksi restorasi, BRG tengah merampungkan panduan dan prosedur operasional standar (POS) pembangunan infrastruktur pembasahan gambut (sekat kanal/canal blocking), pembuatan persemaian (seedling nursery), penanaman di lahan gambut, dan pemasangan sumur pipa bor (deep wells). Deputi bidang Konstruksi, Operasi dan Pemeliharaan BRG, Alue Dohong, menyatakan pihaknya sedang mengkonsultasikan panduan dan POS dengan para pakar. Dengan panduan ini maka para pihak yang akan melakukan konstruksi infrastruktur restorasi hidrologi gambut akan mempunyai standar operasi kerja yang sama. Alue juga manambahkan bahwa pada pertengahan April ini akan dilaksanakan aksi cepat bersama masyarakat untuk membangun sekat kanal bersama masyarakat di Tebing Tinggi Timur, Kepulauan Meranti, Riau dan Kabupaten Pulang Pisau, dan pemasangan sumur bor (deep wells) di desa Rimbo Panjang, Kecamatan Tambang, Kabupaten Riau dan tiga desa di Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah berpedoman pada panduan dan POS yang sudah dibuat.

“Aksi restorasi bukan hanya tugas Pemerintah, tetapi juga menjadi tanggung jawab korporasi pemegang konsesi, apalagi sekarang diindikasikan hingga 77% lokasi indikatif restorasi ada di kawasan budidaya. Oleh sebab itu keberadaan standar kerja restorasi yang jelas dan monitoring pelaksanaannya menjadi kebutuhan mendesak dan kerjasama konstruktif dengan dunia usaha,”demikian disampaikan Kepala BRG. Selain itu, Kepala BRG juga mengarahkan agar BRG berupaya untuk sedini mungkin menghindari dampak sosial yang tidak diinginkan, serta menyesuaikan dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut, maka disusunlah kebijakan kerangka pengaman sosial (social safeguard). Di dalamnya terdapat prosedur konsultasi untuk mendapatkan persetujuan masyarakat terhadap pembangunan konstruksi dan program aksi restorasi lain. Persetujuan tersebut harus diperoleh setelah memberikan informasi di awal yang jelas kepada masyarakat.

Saat ini, BRG sedang memperluas lokasi-lokasi percontohan yang melibatkan masyarakat, seperti halnya percontohan perluasan pembangunan sekat kanal, penanaman menggunakan vegetasi lokal rawa gambut  dan opsi-opsi restorasi lainnya. BRG memaknai restorasi gambut pula sebagai restorasi sosial dimana partisipasi dan kesejahteraan masyarakat adalah kuncinya. Oleh sebab itu, desa akan menjadi pusat aksi restorasi. Selain itu, BRG tengah menyusun panduan program Desa Peduli Gambut. Program ini adalah acuan umum bagi berbagai inisiatif pelibatan masyarakat dalam restorasi gambut seperti halnya desa peduli api, masyarakat peduli api dan lain-lainnya.

Deputi bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan, Myrna A. Safitri, menyatakan pihaknya bersama sejumlah akademisi, lembaga swadaya masyarakat dan jejaring masyarakat gambut mulai merintis pendataan sekitar 100-an desa yang berada di berbagai lokasi lahan dan rawa gambut. Pemetaan sosial dan pengkinian data terhadap desa-desa itu pun mulai dilakukan. Program relawan dan mahasiswa yang ber-KKN juga sudah dikembangkan untuk langsung terjun ke desa-desa ini; untuk tahap awal BRG bekerjasama dengan Universitas Riau, Universitas Palangkaraya, UNS dan UGM, dan selanjutnya bersama universitas-universitas lainnya seperti Universitas Jambi, Universitas Sriwijaya, Universitas Tanjung Pura, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Cendrawasih dll. Target relawan dan mahasiswa yang akan dilibatkan berjumlah 2000 orang per tahun.

Basis ilmiah dari kegiatan restorasi diperkuat melalui sejumlah riset aksi. Saat ini BRG menjalin kerjasama dengan Pusat Penelitian dan Universitas yang selama ini telah menjalankan riset gambut baik untuk kepentingan budidaya maupun konservasi. Haris Gunawan, Deputi bidang Penelitian dan Pengembangan BRG menekankan pentingnya riset aksi dalam hal pengelolaan tata air dan vegetasi serta aspek sosial ekonomi budaya lainnya. Sebagai tahap awal yang akan dimulai bulan April tahun ini, BRG  akan membangun model etalase aksi restorasi ekosistem rawa gambut di Kabupaten Meranti (Riau) dan Kabupaten Pulang Pisau (Kalimantan Tengah). Dukungan dari Pemerintah Daerah, berbagai kalangan masyarakat, kalangan akademisi-peneliti dan para pihak, termasuk komitmen kerjasama riset aksi dari Universitas Kyoto dan Hokaido Jepang telah diperoleh untuk mendukung kegiatan tersebut.

Melengkapi struktur BRG, Kelompok Ahli yang terdiri dari 24 pakar dari berbagai latar belakang dan disiplin keilmuan telah dibentuk dan mulai bekerja. Sekretaris BRG, Hartono Prawiratmadja, menyampaikan pula bahwa Tim Restorasi Gambut Daerah akan segera dibentuk di daerah-daerah prioritas kerja BRG. Untuk menajamkan program, pada awal April 2016 di Jambi akan diselenggarakan Rapat Koordinasi Teknis bersama kementerian/lembaga dan pemerintah daerah terkait. Hartono juga menyiapkan organisasi tata kerja BRG di tingkat pusat.[rel]

read more