close

September 2017

Perubahan Iklim

Walhi Aceh Sebut Galian C Sumber Malapetaka Kehidupan

walhi-aceh-sebut-galian-c-sumber-malapetaka-kehidupan
Ilustrasi tambang galian C. ©2015 Merdeka.com

Kekeringan melanda sebagian wilayah Indonesia, tak terkecuali di Aceh. Kekeringan juga berakibat fatal pada petani yang terpaksa harus merogoh kocek lebih dalam untuk mengaliri air ke sawah. Mereka harus membeli bahan bakar minyak supaya pompa bisa hidup dan mengaliri air ke sawah.

Petani di Gampong Siron Blang, Kecamatan Kuta Glie, Kabupaten Aceh Besar pernah mengalami krisis air hingga sawah mengering. Padahal mereka berdekatan dengan waduk dan sebelumnya tak pernah mengalami kekeringan. Di Kabupaten Pidie juga merasakan hal yang sama. Kekeringan membuat petani gagal panen, sehingga padi yang telah ditanam hanya menjadi pakan ternak. Petani merugi.

Salah satu penyebab kekeringan bukan hanya musim kemarau panjang. Walhi menyebut proyek galian C salah satu faktor penyebab terjadinya krisis air tanah. Banyak orang mengabaikannya karena beranggapan pertambangan jenis ini tidak terlalu berpengaruh terhadap dampak ke lingkungan.

“Selama ini banyak orang beranggapan galian C enggak berpengaruh. Padahal sangat berpengaruh terhadap ketersediaan air tanah,” kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Muhammad Nur saat ditemui di kantornya, Senin (11/9).

Dua bulan lalu publik dikagetkan mengeringnya sumber air di kawasan Mata Ie, Kabupaten Aceh Besar yang merupakan daerah sumber air. Selama ini, sumber air tersebut tidak pernah kering saat musim kemarau panjang. Akan tetapi, Juli 2017 lalu kolam sumber air di kawasan Mata Ie itu kering.

Walhi Aceh menilai, kekeringan yang melanda Banda Aceh dan Aceh Besar dua bulan terakhir tidak terlepas banyaknya sumber produksi air yang terganggu. Seperti perambahan hutan secara besar-besaran, galian C yang tak terkontrol hingga terganggu sumber produksi air tanah.

Nur menjelaskan, dampak yang paling nyata pertambangan galian C adalah rusaknya sumber air. Pasir, batu atau tanah yang dikeruk semakin mempersempit ruang gerak air untuk mengaliri dan memproduksi, sehingga terjadilah kekeringan.

“Galian C yang paling berdampak itu ketersediaan air,” ungkap Muhammad Nur.

Selain itu, galian C juga akan merusak tanaman pertanian. Resapan air semakin kecil akibat galian C. Sehingga suplai air ke sawah berkurang dan berakibat gagal panen.

Bila sumber air terganggu, dipastikan menjadi malapetaka bagi kehidupan masyarakat. Air yang menjadi kebutuhan pokok makhluk hidup terus berkurang hingga berakibat fatal.

Fakta perusahaan galian C yang beroperasi di seluruh Aceh sebanyak 131 pengusaha, baik eksploitasi, eksplorasi maupun produksi. Dari jumlah tersebut Walhi Aceh menduga 50 persen dari jumlah tersebut diduga ilegal. Belum lagi masih terdapat penambang galian C yang tidak terdata oleh pemerintah.

Dugaan ini berdasarkan data tercatat dari Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Aceh di Aceh Besar hanya ada 1,5 hektar galian C pasir dan batu. Fakta di lapangan, galian jenis tersebut tersebar dimana-mana. Seperti di Genteng, Kecamatan Peukan Bada, Krueng Raya, Krueng Jreu dan sejumlah tempat lainnya di Aceh Besar.

Selama ini Distamben Aceh menutup rapat data lengkap perusahaan galian C di Aceh. Saat Walhi Aceh meminta data tersebut, hanya diberikan tabel daftar pengusaha, baik perseorangan maupun perusahaan.

Walhi Aceh menilai, sulitnya mendapatkan data lengkap mengenai kelengkapan administrasi perusahaan galian C di Aceh, mengindikasikan banyak perusahaan belum melengkapi data sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Ini menunjukkan bahwa ada banyak praktik galian C secara illegal di Aceh Besar,” ucapnya. [merdeka]

read more
Flora FaunaKebijakan Lingkungan

BKSDA Aceh Evakuasi Elang Paria Tertabrak Speed Boat

bksda-aceh-evakuasi-elang-paria-tertabrak-speed-boat
Ilustrasi burung elang. © fullhdpictures.com

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) berhasil mengevakuasi seekor Elang Paria yang mengalami patah kaki, Rabu (13/9) di Danau Bunaran, Kecamatan Kuta Baharu, Kabupaten Aceh Singkil. Kondisi hewan dilindungi ini membutuhkan perawatan untuk pemulihan agar bisa dilepasliarkan kembali.

Elang Paria (Milvus migrans) ini diperkirakan berusia 3 tahun berjenis kelamin jantan. Patah kaki Elang Paria itu karena akibat terjadi benturan dengan speed boat.

“Elang itu dievakuasi oleh Seksi Konservasi Wilayah II Subulussalam BKSDA Aceh. Elang itu saat dievakuasi masih hidup dengan kaki patah,” kata Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo saat dihubungi, Jumat (15/9).

Dia mengungkapkan, kondisi bulu sayap Elang tersebut sudah digunting oleh warga yang menemukan pertama kalinya. Kendati demikian, secara umum Elang Paria itu dalam kondisi stabil dan hanya membutuhkan perawatan.

“Saat ini satwa Elang tersebut sudah dievakuasi ke kantor BKSDA Aceh di Banda Aceh untuk direhabilitasi sebelum dilepasliarkan ke habitat alaminya,” tutupnya. [merdeka]

read more
Flora FaunaKebijakan Lingkungan

2 Kukang, 2 Kucing Hutan dan 1 Siamang Disita dari Warga

2-kukang-2-kucing-hutan-dan-1-siamang-disita-dari-warga
Kukang diserahkan ke BKSDA. ©2015 Merdeka.com

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh mengamankan dua ekor Kukang (Nycticebus coucang), dua Kucing hutan (Felis bengalensis) dan Siamang (Symphalangus syndactylus) dari tangan warga. Dua ekor Kukang diamankan oleh petugas BKSDA resort Takengon, Rabu (6/9) lalu berjenis kelamin jantan dari seorang warga Gampong Kayu Kul, Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah.

Menurut keterangan dari pemilik atas nama Iwan Fitrah (33), dia menemukan kukang itu di halaman rumahnya. Lalu dipelihara oleh Iwan karena tidak mengetahui Kukang merupakan hewan dilindungi.

“Petugas mengetahui Iwan memelihara Kukang setelah anggota keluarganya mengunggah video Kukang ke media sosial. Kedua kukang tersebut kemudian diamankan petugas untuk dievaluasi dan diperiksa sebelum dilepasliarkan ke habitatnya,” kata Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo, Kamis (14/9).

Katanya, kukang tersebut kemudian langsung dilepasliarkan di Kawasan Hutan Taman Buru Lingga Isaq. Karena hasil pemeriksaan dan evaluasi petugas kondisi kesehatan Kukang baik, sehingga bisa dilepaskan ke habitatanya.

Selain itu, petugas BKSDA resort konservasi wilayah 5 Takengon juga mengamankan dua ekor kucing hutan jenis kelamin jantan dari tangan warga atas nama Asmel Diga (36). Dia warga Gampung Blang Gele, Kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah yang ia pelihara sekitar satu minggu.

Kondisi kedua kucing hutan tersebut dalam keadaan hidup. Menurut hasil evaluasi dari petugas, kucing hutan itu perlu penanganan lebih lanjut dikarenakan masih usia anakan.

“Sebelum diamankan petugas melakukan sosialisasi mengenai Tumbuhan dan Satwa liar (TSL), setelah tahu mereka mau menyerahkan kepada BKSDA Aceh karena termasuk binatang yang dilindungi,” ungkapnya.

Sementara itu Blangpidie, Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), petugas BKSDA Aceh bersama polisi berhasil mengevakuasi seekor satwa liar jenis Siamang usia diperkirakan 5-6 tahun jenis kelamin betina.

“Mata Siamang sebelah kanan buta, didapat informasi terluka akibat senjata,” tukasnya. [merdeka]

read more
HutanKebijakan LingkunganPerubahan Iklim

Walhi: 50 Persen Galian C di Aceh Diduga Ilegal

walhi-50-persen-galian-c-di-aceh-diduga-ilegal
Penertiban galian C di Deliserdang, Sumut. ©2013 Merdeka.com

Perusahaan galian C yang beroperasi di seluruh Aceh sebanyak 131 pengusaha, baik eksploitasi, eksplorasi maupun produksi. Dari jumlah tersebut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh menduga 50 persen dari jumlah tersebut diduga ilegal.

Selama ini data yang diperoleh Walhi Aceh hanya berupa tabel nama dan jenis izin perusahaan tersebut. Sedangkan Rencana Kelola Lingkungan (RKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPLH) tidak pernah diberikan.

Padahal RKL dan UPLH itu wajib dimiliki oleh perusahaan galian C. Karena untuk mendapatkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), perusahaan harus terlebih dahulu memiliki kajian RKL dan UPLH.

“Kita menduga 50 persen dari perusahaan galian C itu ilegal, tidak memiliki kajian RKL dan UPLH,” kata Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur di Kantornya, Senin (11/9).

Dugaan ini dinilai oleh Walhi Aceh, selama ini Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Aceh tertutup. Saat Walhi Aceh meminta data tersebut, hanya diberikan tabel daftar pengusaha, baik perseorangan maupun perusahaan.

Sehingga, Walhi Aceh menilai, sulitnya mendapatkan data lengkap mengenai kelengkapan administrasi perusahaan galian C di Aceh, mengindikasikan banyak perusahaan belum melengkapi data sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang galian C dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2010 mewajibkan seluruh perusahaan galian C memiliki administrasi tersebut di atas.

Diperkuat lagi dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang pelimpahan kewenangan pengeluaran izin dari kabupaten/kota ke provinsi, galian c itu harus memiliki kajian AMDAL yang lengkap. Lalu diperkuat kembali dengan PP Nomor 27 Tahun 2012 tentang izin lingkungan dalam bentuk UPL dan RKLH.

Atas dasar itu juga, Walhi Aceh menduga sebagian besar pengusaha galian C di Aceh belum memiliki RKL dan UPLH tersebut. Tentu ini merupakan praktek ilegal. Karena selama ini Distamben Aceh tidak pernah mempublikasikan data tersebut.

“Alasan mereka (Distamben), ini dokumen rahasia negara. Saya pikir ini bukan dokumen Negara, apa yang mengancam Negara bila dokumen itu diberikan. Seharusnya dipublikasikan agar masyarakat tau itu legal atau ilegal,” tukasnya.

Menurutnya, pemerintah dan pengusaha tidak perlu takut mempublikasikan bila semua perizinan lengkap. Karena ini juga bagian dari keterbukaan informasi publik, agar semua masyarakat tau apa usaha yang sedang dijalankan oleh perusahaan.[merdeka]

read more