close

January 2018

HutanKebijakan Lingkungan

Tahun 2017 Deforestasi Aceh Merosot

Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menyebutkan bahwa deforestasi di Provinsi Aceh tahun 2017 mengalami penurunan. Mereka melakukan pemantauan menggunakan tekonologi penginderaan jarak jauh dari citra satelit. Sementara itu, Forum Konservasi Leuser (FKL) berdasarkan pengumpulan data lapangan Januari sampai Desember 2017 menyimpulkan ada peningkatan yang signifikan pada kasus perburuan dan illegal logging di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Hal tersebut disampaikan dalam konferensi pers Yayasan HAkA dan FKL di Banda Aceh 15 Januari 2018.

Konferensi pers yang dipimpin oleh Agung Dwinurcahya, GIS Manager Yayasan HAkA dan Ibnu Hasyim, Database Manager FKL, mereka mempresentasikan data hasil monitoring dari citra satelit meliputi seluruh provinsi Aceh dan ground checking temuan lapangan aktivitas ilegal di Kawasan Ekosistem Leuser untuk periode tahun 2017.

Agung menyebutkan bahwa kerusakan hutan di provinsi Aceh periode 2016 – 2017 adalah sebesar 17.333 hektar (ha). Dua tahun sebelumnya kerusakan hutan di Aceh berkisar di angka 21.000 ha. Adapun tiga besar kabupaten dengan tingkat kerusakan hutan terbesar adalah Aceh Utara (2.348 ha), disusul Aceh Tengah (1.928 ha) dan Aceh Selatan (1.850 ha). Temuan tersebut patut diduga menjadi penyebab banjir yang parah di Aceh Utara beberapa waktu lalu. Pada periode sebelumnya 2015 – 2016, Aceh Utara juga sudah menjadi kabupaten kedua tertinggi kerusakan hutannya.

Yayasan HAkA juga menganalisis kerusakan hutan di dalam kawasan hutan yang ditetapkan dengan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terakhir yaitu SK 103 tahun 2015. HAka menemukan fakta bahwa telah terjadi kerusakan hutan sebesar 9.761 ha atau 56 % deforestasi 2016-2017 terjadi dalam kawasan hutan. Hutan Produksi (HP) menempati urutan pertama yaitu sebesar 4.147 ha, disusul oleh Hutan Lindung (HL) yakni seluas 3.480 Ha. Hal ini perlu menjadi perhatian besar bagi pengelola kawasan untuk dapat lebih menjaga dan melindungi kawasan yang menjadi tanggungjawabnya.

Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh yang menjadi fokus area kerja HAkA juga tak luput dari analisis yang dilakukan. KEL Aceh juga sebanding dengan data seluruh Aceh, yaitu mengalami penurunan angka deforestasi. Perhitungan tim HAkA menghasilkan angka deforestasi di dalam KEL Aceh sebesar 6.875 ha. Kabupaten tertinggi deforestasi adalah Aceh Selatan (1.847 ha), disusul Aceh Timur (1.222 ha) dan Nagan Raya (946 ha). Tahun 2017 ini merupakan tahun terendah deforestasi dalam KEL Aceh. Tahun 2016 mencapai 10.351 ha bahkan tahun 2015 mencapai 13.700 ha. KEL Aceh yang telah ditetapkan menjadi Kawasan Strategis Nasional (KSN) tersebut harus lebih dijaga dan dikelola dengan mengedepankan konsep perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan yang lestari.

Yayasan HAkA juga memonitor titik api menggunakan data dari NASA (satelit VIIRS dan MODIS). Untuk tahun 2017, Titik api di Aceh terdeteksi sebanyak 4.344 titik. Satelit VIIRS yang lebih sensitif (resolusi 375m) mendeteksi api berhasil mendeteksi lebih banyak titik api yaitu sejumlah 3.705 buah sedangkan MODIS (resolusi 1 km) hanya mendeteksi sebanyak 639 buah titik api. Areal Penggunaan Lain (APL) menjadi area yang paling banyak terdeteksi api yaitu sejumlah 3.590 titik api, sedangkan Hutan Produksi menduduki nomor 2 yaitu sebanyak 242 titik api dan nomor 3 adalah Hutan Lindung sebanyak 239 titik api. Bulan Juli merupakan bulan tertinggi kejadian pembakaran lahan disusul bulan Oktober dan Juni. Kabupaten Nagan Raya merupakan kabupaten tertinggi terdeteksi titik api, disusul kabupaten Aceh Barat dan Aceh Selatan. Sedangkan, menurut data Global Forest Watch (GFW), terdeteksi titik api untuk provinsi Aceh sebanyak 5.551 titik di tahun 2016 dan meningkat menjadi 7.953 titik di tahun 2017.

Berdasarkan data ground checking monitoring lapangan oleh FKL di 12 Kabupaten dalam KEL, terdapat 1.528 kasus illegal logging terjadi pada periode tersebut dengan volume sekitar 7.421,3 meter kubik kayu. Angka aktivitas ilegal tersebut meningkat dari tahun 2016 dimana hanya 1.534 kasus pembalakan liar dengan volume 3.665 meter kubik kayu.

Berdasar hasil temuan lapangan tim FKL, kabupaten Aceh Tamiang tercatat sebagai kabupaten dengan aktivitas perambahan terluas di tahun 2017 yaitu mencapai 1.347 hektar. Hasil patroli di Aceh Tamiang juga terdata jumlah kasus paling banyak di KEL, yaitu 414 kasus. Total kerusakan hutan KEL yang terdata dari lapangan akibat perambahan pada periode tahun 2017 berjumlah 6.648 hektar dan terdata 1.368 kasus.

Data-data aktivitas perburuan dan pembangunan jalan juga diulas di konferensi pers tersebut. Di tahun 2017 terdapat 729 kasus perburuan dan 814 jerat untuk satwa landak, rusa, kijang, beruang, harimau dan gajah yang disita atau dimusnahkan. Untuk pembangunan jalan, terdata 439.4 km pembangunan jalan di dalam KEL.

Pada akhir konferensi pers tersebut, Yayasan HAkA dan FKL mendorong Pemerintah Aceh, Pemerintah dan seluruh komponen masyarakat untuk lebih menjaga hutannya terutama KEL karena KEL adalah sumber air bagi rakyat Aceh dan juga berjasa untuk mitigasi bencana. Semoga seluruh pihak semakin sadar pentingnya kelestarian hutan dan KEL untuk masa depan Aceh dan dunia yang terus membaik.[rel]

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Perhutanan Sosial, Potensi yang Belum Dimaksimalkan Pemerintah Aceh

Dalam sebuah dialog dengan anak-anak SD di sebuah kampung :

(penulis) : anak-anak, kalian tau apa itu hutan.? hutan itu yang mana ya.?
(anak SD) : tau pak.!! yang ada pohon besar pak dan dipotong kayunya.!
(penulis) : siapa yang punya hutan itu.?
(Anak SD) : PT pak.! (maksudnya perusahaan HPH)

Dialog di atas menunjukkan pemahaman penguasaan sumber daya yang terbentuk dalam pola pikir setelah setiap harinya disuguhi dengan pemandangan aktifitas pengelolaan hutan oleh perusahaan, dan ketika memasuki wilayah konsesi akan dicegat oleh petugas keamanan bahkan tidak jarang harus meninggalkan KTP untuk dapat memasukinya. Kondisi ini terbangun oleh rezim perizinan pengelolaan hutan yang diatur dalam regulasi oleh pemerintah, hak pengelolaan hutan yang diberikan dalam waktu yang panjang membentuk pemahaman kepemilikan di alam pemikiran anak-anak bahwa pengelolaan kawasan hutan itu diikuti dengan pembatasan ruang gerak, akses dan kelola.

Ketidak berpihakan tata kelola pengelolaan kawasan hutan oleh perusahaan melalui sistem perizinan yang diatur pemerintah menimbulkan konflik di masyarakat. Banyak catatan keprihatinan masyarakat yang selalu kalah melawan ekspansi perusahaan yang tiba-tiba mengambil kebun dan lahan masyarakat hanya karena peta konsesi yang dibuat pemerintah. Masyarakat harus mundur menahan diri atau dikriminalisasi yang berujung penjara.
………

Nukilan di atas merupakan refleksi dekade buruknya pengelolaan kawasan hutan dari masa Orde Baru sampai masa Reformasi. Sudah bukan rahasia lagi ketika banyak regulasi yang dihasilkan pemerintah merupakan “pesanan” dan “endorse” dari perusahaan bahkan luar negeri. Produk regulasi yang merugikan masyarakat dan menjadi sandera politik terhadap rezim pemerintahan menjadi lahan basah bagi pejabat negara untuk meraup banyak keuntungan pribadi (korupsi) dari pengurusan administrasi legal formal.

Memasuki masa kepemimpinan Jokowi – JK Indonesia mengalami perubahan yang signifikan dalam perspektif pengelolaan kawasan hutan. Salah satunya adalah dengan lahirnya skema Perhutanan Sosial (PS) yang memberikan ruang kelola lebih luas kepada masyarakat agar menghasilkan produk ekonomi hutan (jasa lingkungan, kayu dan non kayu) untuk peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan hutan yang selama ini tertinggal, terpinggirkan, dimarginalkan oleh pemerintah.

Gebrakan ini dituangkan dalam Permen LHK Nomor : P.83/MENLHK/SETJEND/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial yang dibuka dengan frasa “untuk mengurangi kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan pengelolaan/pemanfaatan kawasan hutan, maka diperlukan kegiatan Perhutanan Sosial melalui upaya pemberian akses legal kepada masyarakat setempat berupa pengelolaan Hutan Desa, Izin Usaha Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Kemitraan Kehutanan atau pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat untuk kesejahteraan masyarakat dan kelestarian sumber daya hutan”.

Kementerian LHK menindaklanjuti dengan menyusun PIAPS (Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial) melalui Kementerian LHK. Data sementara PIAPS yang mengacu SK tersebut, Aceh memiliki potensi 467.670 ha untuk dikelola dan dimanfaatkan masyarakat. “Bentuknya, Hkm, HD, HTR, Hutan Adat dan kemitraan kehutanan.”
Keinginan tersebut sebenarnya sudah gayung bersambut dengan keinginan masyarakat di Aceh Besar dan Pidie, 18 Mukim di dua kabupaten tersebut menuntut hak mereka atas wilayah adat (Hutan Adat) yang masuk ke dalam konsesi HTI (Hutan Tanaman Industri) PT Aceh Nusa Indrapuri.

Menurut salah satu orang Mukim di Aceh Besar mereka ingin mengelola hutan adat mereka agar memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat (Kompas 29/8/2017). Hal ini mencuat karena selama ini masyarakat tidak melihat dampak positif dari pengelolaan yang dilakukan oleh perusahaan, permasalahan konflik batas dan klaim sepihak oleh perusahaan (tenurial) mewarnai kehidupan masyarakat mukim di dua kabupaten tersebut. Tuntutan masyarakat adat ini belum membuahkan hasil karena belum ada penetapan Hutan Adat Mukim di Aceh oleh Kementerian LHK yang disinyalir karena belum ada rekomendasi dari Pemerintah Provinsi.

Selain usulan tentang tentang Hutan Adat, menurut Pejabat Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial, Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan, Wiratno (27/11/2015), sampai dengan Oktober 2015 perkembangan perhutanan sosial di Aceh yaitu HKm telah ditetapkan seluas 23.964 ha. Sebarannya, Kab. Aceh Timur (13.658 ha), Kab. Aceh Tamiang (8.500 ha), Kab. Bener Meriah (95 ha), Kota Sabang (1.100 ha), Kab. Aceh Barat Daya (200 ha), dan Kab. Aceh Tengah (411 ha) (http://www.mongabay.co.id/2015).

Selama ini Pemerintah Aceh cenderung menuding pusat (Jakarta) yang tidak memahami kondisi daerah dalam melakukan pengelolaan kawasan hutan, hal ini terlihat dari keputusan moratorium logging yang dikeluarkan Pemerintah Aceh pada Juni 2007 silam. Pasca moratorium tersebut juga tidak kelihatan perubahan pengelolaan yang signifikan, karena pemerintah tersandera oleh izin HPH yang masih berlaku atas kawasan hutan walaupun dalam Ingub tersebut memerintahkan proses review terhadap perizinan yang ada. Stagnasi pengelolaan kawasan hutan (pasca moratorium logging) merupakan kesia-siaan bagi sumber daya alam yang sangat luas untuk berkonstribusi terhadap pertumbuhan ekonomi kawasan hutan, masyarakat dan Pendapatan Asli Daerah di Aceh. Hal ini terlihat sebagai bentuk ketidak siapan pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan populis dan program pembangunan sektor kehutanan.

Perhutanan Sosial merupakan peluang lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh dalam intervensi pembangunan sektor kehutanan skala luas, kawasan hutan akan menjadi modal yang besar bagi pengembangan produksi ekonomi kreatif masyarakat di seluruh Aceh. Kesempatan ini harus dipergunakan dengan maksimal karena akan meminimalisir kondisi open acces, kegiatan illegal, konflik batas dan kejahatan kehutanan lainnya. Perhutanan Sosial dapat disematkan pada lembaga ujung tombak Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang berbasis DAS di Provinsi Aceh.

Gubernur Aceh (Irwandi Yusuf) selaku salah satu gubernur “Green” di Indonesia harus mampu menunjukkan sentuhan keberpihakan kepada masyarakat melalui skema Perhutanan Sosial, salah satu yang sangat tepat dan cocok dengan substansi “ke-Acehan” adalah Hutan Adat yang telah diperkuat melalui Keputusan MK Nomor 35 tahun 2012, yang memungkinkan seluruh Hutan Aceh menjadi Hutan Adat yang dapat dikelola oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten.

Kesempatan ini terbatas sampai tahun 2019 sebagai masa periode kepemimpinan Jokowi-JK dan tidak ada jaminan akan menjadi agenda politik pada periode presiden terpilih selanjutnya. Ini menjadi titik tolak bagi Aceh untuk tidak lagi menyalahkan pusat (Jakarta) dalam pengambilan kebijakan terkait pengelolaan kawasan hutan dan Aceh berdaulat atas hutannya sendiri sesuai dengan cita-cita di dalam UU 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh.

Sangat disayangkan apabila kesempatan ini berlalu begitu saja tanpa memberikan dampak positif bagi perekonomian dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh, padahal jauh hari pasca kemerdekaan negara founding father telah merumuskan dalam UUD 1945 “Bumi dan air dan segala kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.[]

read more