close

April 2018

Flora Fauna

Para Ahli Gajah Asia-IUCN Lakukan Pertemuan Tahunan ke IX di Bangkok

Bangkok – Sebagai salah satu organisasi di bawah IUCN (badan konservasi dunia), Asian Elephant Specialist Group (AsESG) mengadakan pertemuan tahunan di Bangkok, Thailand pada tanggal 25-28 April 2018 ini. Organisasi yang beranggotakan para spesialis konservasi gajah Asia ini turut melibatkan perwakilan pemerintah dari masing-masing negara Asia yang memiliki populasi gajah.

Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan Thailand Jenderal Surasak Karnjanarat dalam sambutannya menyatakan bahwa konservasi jangka panjang dan perlindungan Gajah Asia hanya dapat dicapai melalui keseimbangan konservasi dan strategi manajemen yang baik. Thailand telah mengembangkan Rencana Induk Dua puluh Tahun untuk Konservasi Gajah untuk memastikan praktik terbaik untuk konservasi gajah liar dan gajah jinak secara berkelanjutan. “Pertemuan ini akan menjadi platform tidak hanya untuk mendiskusikan tindakan yang diambil, mengidentifikasi prioritas serta tantangan yang diperlukan untuk mengatasi masalah konservasi Gajah Asia tetapi juga memperkuat kolaborasi untuk melindungi Gajah Asia di masa depan,” katanya.

“Sangat menggembirakan melihat keragaman keahlian dengan dedikasi tinggi di antara anggota AsESG. Sebagai sekelompok ilmuwan dan ahli, adalah tugas kita untuk menggunakan atribut ini untuk menjamin kelangsungan hidup gajah Asia untuk generasi mendatang, ”kata Vivek Menon, Ketua IUCN-AsESG.

Delegasi pemerintah Indonesia turut hadir diwakili oleh Puja Utama Kasubdit Pengawetan Jenis, Direktorat KKH, Ditjen KSDAE – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia untuk menyampaikan update dari Indonesia tentang status konservasi gajah di Indonesia untuk mendapat masukan dari para ahli konservasi. Puja menyampaikan bahwa Indonesia sedang merampungkan revisi dari document strategi dan rencana aksi konservasi gajah sumatera dan gajah kalimantan dan ditargetkan akan selesai tahun ini untuk durasi 10 tahun ke depan, mengingat dokumen yang lalu telah habis masa berlakuknya pada tahun 2017 lalu. Indonesia adalah salah satu negara dari sedikit negara lainya yang telah memiliki dokumen strategi dan rencana aksi dan telah memasuki siklus 10 tahun kedua.

Puja juga menguraikan bahwa salah satu tantangan terbesar adalah kehilangan habitat gajah akibat dikonversi menjadi berbagai keperluan pembangunan sehingga akhirnya berujung pada meningkatnya insiden konflik antara manusia dan gajah. Namun disebutkan juga bahwa Indonesia sedang melakukan berbagai upaya untuk dapat mengelola habitat dan populasi gajah secara aktif sehingga konflik dapat diminimalisir, sehingga gajah dan manusia dapat hidup berdampingan secara lebih harmonis.

Puja menyebut beberapa terobosan yang sedang dilakukan oleh provinsi Aceh, Bengkulu dan Lampung dengan membentuk beberapa kawasan perlindungan gajah dengan melibatkan pemerintah daerah dan mengaplikasi berbagai metoda termasuk strategi barrier (penghalang) untuk memperkuat skema pengelolaan habitat gajah, disamping membangun berbagai tim yang didedikasikan untuk merespon konflik dan sebagai cikal bakal pengelola habitat dan populasi gajah di tingkat tapak. Indonesia sendiri, terutama berbagai daerah telah dan sedang mengalami masalah yang cukup berat dengan konflik gajah dengan lahan budidaya masyarakat.

Pada beberapa kasus gajah sesungguhnya tidak kekurangan habitat, hanya dibutuhkan pengelolaan habitat yang lebih aktif secara kolaboratif antara otoritas konservasi pusat dengan pemerintah daerah dan swasta yang nota bene adalah pemangku lahan dimana gajah liar berada.

Sementara itu, salah satu anggota IUCN Asian elephant specialist group (AsESG) dari Indonesia Wahdi Azmi juga diminta menyampaikan laporan dan perkembangan dari pertemuan pemerintah negara-negara di Asia yang memiliki populasi gajah (Asian Elephant Range State Meeting/AsERSM) yang dilaksanakan tahun lalu di Jakarta.

Wahdi yang didampingi Heidi Riddle Donny Gunaryadi dari Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) menyampaikan hasil dan tindak lanjut tentang penyelenggaraan pertemuan kedua pemerintah tingkat tinggi tersebut setelah sepuluh tahun dilaksanakan untuk pertama kalinya di Malaysia pada tahun 2006. Wahdi menggarisbawahi bahwa pada pertemuan AsERSM tersebut telah menjadi tonggak sejarah dimana untuk pertama kalinya perwakilan pemerintah di Asia melahirkan sebuah deklarasi konservasi gajah yang diberi nama “The Jakarta Declaration for Asian Elephant Conservation” dimana deklarasi tersebut menetapkan prioritas dan agenda bersama pemerintah negara Asia.[rel]

read more
Hutan

KEL Masih Terus Dirusak Oleh Perusahaan Sawit

BANDA ACEH – Perusahaan kepala sawit di Aceh secara umum masih saja menjadi penyebab utama kebakaran hutan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Meskipun telah dikeluarkannya instruksi dari Presiden Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta surat dari Gubernur Aceh tentang moratorium, namun laju deforestasi tetap terjadi.

Berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan oleh Rainforest Action Network (RAN) menemukan fakta di wilayah Singkil-Bengkung yang masuk KEL masih saja terjadi pembukaan lahan baru. Padahal Presiden sudah mengeluarkan moratorium ekspansi sawit dan review izin untuk menghentikan pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di KEL.

Lokasi tersebut merupakan kawasan rawa gambut hutan padat yang menjadi hot spot keanekaragaman hayati dunia atau sebuah kawasan yang dikenal sebagai ‘ibukota orangutan dunia’, karena berfungsi sebagai rumah bagi spesies kera besar yang terancam punah.

Hutan dataran rendah yang subur ini juga diakui oleh para ilmuwan iklim sebagai salah satu lanskap paling kaya karbon di bumi, yang ketika dikeringkan dan dibakar akan menghasilkan polusi dalam skala besar pada lapisan atmosfer, seperti catatan kebakaran lahan gambut yang terjadi di provinsi Aceh pada bulan Februari tahun ini.

Direktur Kebijakan Hutan,  Rainforest Action Network RAN), Gemma Tillack, mengatakan, aktifitas perusakan hutan ini terbukti terjadi dalam kawasan konsesi perkebunan kelapa sawit PT. Laot Bangko, saat ini juga masih sedang berkonflik dengan masyarakat terkait lahan.

Periode 25 Mei hingga Desember 2017 ada 13 hektar lahan dalam konsesi dibuka, meskipun sempat terhenti beberapa bulan. Namun aktivitas tersebut kembali dilanjutkan pada Januari 2018 lalu dengan membuka 4 hekar lahan baru.

“Pada Februari 2018, titik api juga ditemukan dalam lokasi tersebut menunjukkan bahwa kondisi hutan tetap terancam,” kata Gemma Tillack.

Sementara itu PT. Indo Sawit Perkasa (PT. ISP) pada awal tahun 2017 sempat diprofilkan sebagai salah satu pelaku perusakan hutan di wilayah Singkil-Bengkung. Hingga Maret 2018 masih melakukan aktivitas pembukaan lahan dengan menghancurkan hutan hujan dataran rendah dalam KEL.

“Bukti satelit menunjukkan bahwa PT. ISP telah menghancurkan lebih dari 67 hektar hutan,” jelasnya.

Menurutnya, hingga sekarang kelapa sawit masih diterima di pasar global dengan cara mengorbankan hutan dan melanggar hak asasi manusia. Maka solusi jangka panjang akan sulit ditemukan dalam menyelesaikan konflik lahan dan mengamankan perlindungan KEL.

Untuk mengintervensi jangka panjang agar tidak merusak hutan. Dibutuhkan intervensi oleh para pembeli dan distributor kelapa sawit, agar perusahaan penyuplai seperti PT. Indomas Mitra Teknik, PT. Samudra Sawit Nabati, PT. Bangun Sempurna Lestari, PT. Global Sawit Semesta, PT. Runding Putra Persada, PT. Nafasindo dan PT. Ensem Lestari tidak merusak hutan.

“Pabrik-pabrik ini perlu mengadopsi dan menegakkan kebijakan agar tidak memasok kelapa sawit dari perkebunan yang menghancurkan hutan di dalam Ekosistem Leuser dan gagal menyelesaikan konflik lahan,” tegasnya.

Gemma Tillack menilai butuh komitmen semua pihak untuk menghentikan semua pembukaan lahan untuk kelapa sawit, serta komitmen yang dibuat oleh Golden Agri Resources (GAR), Wilmar dan Musim Mas untuk memprioritaskan upaya perlindungan Ekosistem Leuser dan menghentikan pembukaan hutan hujan dataran rendah dan lahan gambut di wilayah Singkil-Bengkung.

Gemma menghimbau agar perusahaan pemasok kelapa sawit seperti Wilmar, Musim Mas dan Golden Agri Resources (GAR) untuk segera menghentikan merusak  KEL. Termasuk segera menyelesaikan konflik lahan serta mendorong perlindungan hutan berbasis masyarakat dan mendukung usaha pemulihan hutan hujan di dataran rendah Aceh.[]

read more
Hutan

Save Sumatra Tiger Save Leuser Forest

Occupying only 1.3% of the world’s land surface, Indonesia is one of the world’s wealthiest nations regarding its biodiversity. Similarly, Aceh is also one of the enriched biodiversity province not only Sumatra but also Indonesia. Aceh province still has relatively entire remaining forest areas, the bulk of which lie within the Leuser Ecosystem, a 2.6 million hectare area of forest which dominates the core inland and upland areas of Aceh. Scientists and conservationists consider the Leuser Ecosystem to be among the most critical woods left in Southeast Asia, mainly because it is the last place of sufficient size and quality to support viable populations of rare species like Sumatran tigers, orangutans, rhinos, elephants, clouded leopards and sun bears. At least 105 mammal species, 382 bird species, and 95 reptile and amphibian species, including clouded leopards, hornbills and the enormous flowers in the world, can be found in the teeming forests of the Leuser Ecosystem. Formerly known as the “Emerald Island,” Sumatra’s once lush forest landscapes are now mostly gone, destroyed by decades of industrial encroachment. The Leuser Ecosystem is genuinely the last stand for survival for many treasured and iconic wildlife species. These ecosystem services are also recognized as essential for sustaining food and water security, by regulating water flows in both the monsoon and drought seasons, to irrigate rice fields and other cash crops, such as palm oil.

However, Tiger, symbol of the beast and beauty, is a threatened species worldwide. Recent estimate shows that tigers only occupy 7% of their historic Asian range and about 4000 are left in the wild (Dinerstein et al. 2007). Tiger stands at the top of the food pyramid and thus requires large areas to support its viable populations which in turn help to protect wide array of biodiversity that shares their habitat. Loss of tiger, therefore, may reduce ecosystem integrity through disrupting food web and consequently erode ecosystems’ natural ability to adapt to changing environmental conditions. Similarly, the Sumatran tiger (Panthera tigris sumatrae) is a tiger population that lives on the Indonesian island of Sumatra. It was listed as Critically Endangered on the IUCN Red List in 2008, as the population was estimated at 441 to 679 individuals, with no subpopulation larger than 50 individuals and a declining trend.

The Sumatran tiger is the only surviving population of the Sund Island’ group of tigers that included the now extinct Bali and Javan tigers. Sequences from complete mitochondrial genes of 34 tigers support the hypothesis that Sumatran tigers are diagnostically distinct from mainland subspecies. The Sumatran tiger is one of the smallest tigers, and about the size of big leopards and jaguars. Charles Frederick Partington, a scientist, wrote that Sumatran and Javan tigers were strong enough to break legs of horses or buffaloes with their paws, even though they were not as heavy as Bengal tigers. Sumatran tiger’s skull, pelage, and striping features are distinct from the Bengal and Javan tigers. It is darker in fur color and has broader stripes than the Javan tiger. Strips tend to dissolve into spots near their ends, and on the back, flanks and hind legs are lines of small, dark, small spots between regular stripes. The frequency of strips is higher than in other subspecies. Males have a prominent ruff, which is primarily marked in the Sumatran tiger.

Tigers need large contiguous forest blocks to thrive. Sumatran tigers strongly prefer uncultivated forest and make little use of plantations of acacia and oil palm even if these are available. Within natural forest areas, they tend to use areas with higher elevation, lower annual rainfall, farther from forest edge, and closer to forest centers. They prefer forest with dense understory cover and steep slope, and they actively avoid forest areas with high human influence in the forms of encroachment and settlement. Major threats include habitat loss of tiger due to expansion of palm oil plantations and planting of acacia plantations, prey-base depletion, and illegal trade primarily for the domestic market.

Moreover, Sumatran tigers persist in isolated populations across Sumatra. They occupy a wide array of habitats, ranging from sea level in the coastal lowland forest of Bukit Barisan Selatan National Park on the southeastern tip of Lampung Province to 3,200 m (10,500 ft) in mountain forests of Gunung Leuser National Park in Aceh Province. They have repeatedly been photographed at 2,600 m (8,500 ft) in a rugged region of northern Sumatra, and are present in 27 habitat patches larger than 250 km2 (97 sq mi). In 1978, the Sumatran tiger population was estimated at 1,000 individuals based on responses to a questionnaire survey. In 1985, a total of 26 protected areas across Sumatra containing about 800 tigers were identified. In 1992, an estimated 400–500 tigers lived in five national parks and two protected areas.

The presence of tigers in the forest is an indicator of the well being of the ecosystem. The extinction of this top predator is an indication that its ecosystem is not sufficiently protected, and neither would it exist for long after that. Healthy tiger habitats help mitigate climate change, provide fresh water to animals and people, reduce the impact of natural disasters, and improve the health of local people. Therefore, Sumatra tiger not only protects our ecological balance but also it protects Leuser Ecosystem as well other Sumatra forest from illegal cutting of trees, other wildlife, and living organism. Lastly, it has been said that to preserve our biodiversity conserve tiger from all possible threats and make our earth sound. []

Writer is a Bangladesh student who join Darmasiswa program at at Syiah Kuala University

read more
HutanKebijakan Lingkungan

DPR Aceh Akan Revisi Qanun RTRW untuk Selamatkan Hutan

BANDA ACEH – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tahun 2018 ini sudah memasukkan rencana revisi Qanun Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RT-RW). Revisi direncanakan memasukkan nomenklatur Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam qanun tersebut.

Qanun RT-RW sudah disahkan oleh Pemerintah Aceh tahun 2013 lalu. Setelah qanun ini disahkan mendapat sorotan dan kritikan bahkan qanun RT-RW sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh dan Gerakan Masyarakat Aceh Menggugat (GeRAM) tahun 2016 lalu.

Namun, perjuangan beberapa lembaga yang konsen terhadap lingkungan kandas di MK. Majelis hakim saat yang dipimpin oleh Agustinus Setia Wahyu Triwiranto didampingi hakim anggota Partahi Tulus Hutapea dan Casmaya Patah menolak gugatan KEL yang tak masuk dalam RT-RW Aceh.

Putusan tersebut dibacakan tanggal 29 November 2016 lalu, majelis hakim menilai Qanun RT-RW Aceh tidak perlu menyebutkan secara eksplisit tentang KEL Aceh. Alasan lain majelis hakim, proses pembuatan qanun sudah dilakukan secara prosedur dan aturan yang ada. Sehingga Qanun tersebut tidak dibatalkan dan masih dipergunakan hingga saat ini.

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menilai tidak masuknya KEL dalam qanun RT-RW Aceh sejak 2012-2018 sarat dengan kepentingan agar cukong dan mafia lebih mudah menguasai hutan, baik untuk perkebunan maupun pertambangan.

Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, SH menyebutkan, bila ingin terbuka, tidak masuknya nomenklatur KEL dalam qanun RT-RW Aceh telah membuat banyak kerugian materil. Diperkirakan sejak disahkan qanun tersebut kerugian materil bisa mencapai Rp 5 triliun lebih.

“Angka ini dilihat dari rasio kayu yang keluar, kemudian bentang alam yang rusak, konflik satwa, pertambangan ilegal, hingga banyak kerugian material,” kata Askhalani, Selasa (24/4) di Banda Aceh.

Menurutnya, dampak yang terjadi paska tidak masuknya KEL dalam Qanun RT-RW, perambahan hutan meningkat, penambangan ilegal terjadi hingga terjadi konflik satwa dengan manusia semakin sering terjadi. Kerugian negara akan lebih besar dibandingkan kalau pemerintah mau melakukan proteksi melalu regulasi.

“Suatu langkah maju dan luar biasa kalau DPRA hendak melakukan revisi RT-RW Aceh memasukkan nomenklatur KEL, ini bisa mencegah kerugian negara,” tegasnya.

Berdasarkan data dari Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), KEL merupakan hutan tropis yang membentang di 13 kabupaten/kota di Aceh luas mencapai 2.255.577 Ha, mencakup 40 persen total luas Aceh berdasarkan SK Menhut No.190/Kpts-II/2001.

Paska disahkannya qanun RT-RW yang tidak memasukkan nomenklatur KEL telah berkontribusi terjadi deforestasi sejak 2014-2017 mencapai 31.117 hektar. Kemudian kembali meningkat sejak 2016-2017 mencapai 7.006 hektar.

Adapun laju deforestasi dalam KEL yang paling tinggi berada di Kabupaten Aceh Selatan. Pada tahun 2016 lalu hutan di Aceh Selatan 299,723 hektar, turun menjadi 297,904 hektar, ada mengalami kehilangan sebesar 1.819 hektar.

Peringkat kedua kehilangan hutan yang masuk dalam KEL yaitu Kabupaten Aceh Timur. Pada tahun 2016 lalu hutan di Aceh Timur yang masuk KEL seluas 233.863 hektar, turun menjadi 232.635 pada tahun 2017, mengalami kehilangan hutan seluas 1.229 hektar.

Sedangkan kabupaten peringkat ketiga mengalami kehilangan hutan yaitu di Nagan Raya tahun 2016 luas hutan mencapai 128.357 hektar, turun pada tahun 2017 tersisa 127.375 hektar, atau susut 982 hektar. Gayo Lues hanya susut 660 hektar dari luas hutan tahun 2016 lalu 402.073 dan turun pada tahun 2017 tersisa 401.413 hektar.

Kondisi inilah yang kemudian banyak masyarakat sipil menaruh harapan besar agar nomenklatur KEL kembali dimasukkan dalam qanun RT-RW. Sehingga dengan adanya proteksi oleh pemerintah melalui regulasi, laju deforestasi, konflik satwa, perambahan hutan hingga ancaman banjir bisa dimininalisir.

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah memasukkan revisi qanun RT-RW sejak awal 2018 menjadi qanun prioritas dibahas tahun ini. DPRA menilai, revisi qanun RT-RW sudah saatnya dilakukan, karena ada banyak yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan Aceh saat ini. DPRA menilai ada poin-poin penting yang harus direvisi dan ditambah nomenklatur lainnya seperti memasukkan KEL dalam qanun tersebut.

“Benar, revisi dari qanun Aceh, sudah kita prioritas tahun 2018. Perlu direvisi dengan perkembangan terkini sehingga 2018 qanun tersebut perlu kita lakukan revisi, ada poin-poin kalau kita lihat dengan kekinian Aceh,” kata Ketua DPRA, Tgk Muharuddin.

Katanya, bila dilihat ada sejumlah persoalan yang harus direvisi, seperti tapal batas, masalah KEL yang masih perlu dikaji lebih mendalam untuk dimasukkan dalam qanun, sehingga diharapkan qanun RT-RW bisa lebih sempurna nantinya.

“Sudah kita tunjuk tim pembahasnya, semoga nanti teman yang peduli dengan lingkungan bisa memberikan kontribusi yang lebih, kita harapkan melalui regulasi ini qanun akan bermanfaat untuk masyarakat,” tegasnya.

Selain revisi qanun RT-RW, Tgk Muharuddin juga menyebutkan ada memasukkan qanun inisiatif DPRA yaitu tentang qanun Perlindungan Satwa Liar di Aceh. Qanun tersebut saat ini juga sudah ditunjuk tim pembahasnya.

“Barang kali dikawal bersama-sama qanun ini, yang jelas sudah kita tetapkan dan sedang dibahas,” jelasnya.

Menurut Tgk Muharuddin, penting dibuat qanun Perlindungan Satwa Liar untuk melindungi satwa-satwa dilindungi itu dari kepunahan. Selama ini DPRA sudah sering menerima masukan dan informasi, perburuan satwa dilindungi masih marak terjadi, seperti memburu harimau, gajah dan sejumlah satwa lainnya.

Rencana revisi qanun RT-RW dan adanya qanun inisiatif DPRA tentang Perlindungan Satwa Liar di Aceh menjadi era baru untuk menyelamatkan khususnya KEL pada khususnya, hutan Aceh secara umum. Termasuk bisa mencegah terjadi konflik satwa, perdagangan satwa yang dilindungi hingga ancaman kepunahan dan bencana alam bisa terhindari.[]

 

read more
Green StyleRagam

Mahasiswa Teknik Lingkungan USM Praktek Lapangan di TPS3R

Banda Aceh – Mahasiswa tidak hanya belajar dalam kelas saja membaca teori namun sangat penting untuk terjun langsung ke lapangan mempraktekkan konsep-konsep yang dipelajarinya. Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah (USM) pun tak ketinggalan melaksanakan praktek lapangan. Kali ini mempelajari bagaimana mengelola sampah dan membuatnya menjadi kompos, di Tempat Pembuangan Sampah Sementara Reuse, Reduse, Recycle (TPS3R) di kampung Surien Banda Aceh, Sabtu (21/4/2018).

Mahasiswa ditemani oleh dosen pengasuh mata kuliah Teknik Komposting, Bahagia, ST,MT, ikut bekerja dan mempelajari bagaimana mengolah sampah menjadi kompos. Mahasiswa Teknik Lingkungan memilah sampah sesuai jenisnya, mencacah sisa tanaman, mengaduk material kompos, menyaring kompos dan mengemas kompos dalam plastik yang siap untuk digunakan.

TPS3R adalah inovasi manajemen pengelolaan sampah yang dibangun oleh pemerintah dan dikelola oleh masyarakat setempat. Bagi masyarakat Kampung Surien, TPS3R ini menjadi solusi dalam mengelola sampah mereka. TPS3R dikelola oleh masyarakat dalam wadah KSM Guna Bersama.

KSM Guna Bersama mempekerjakan enam orang staf, mulai dari pembukuan, bendahara hingga petugas pengangkutan dan pengolah sampah, yang bekerja selama 26 hari dalam sebulan. KSM saat ini melayani 400 KK dalam kampung Surien yang memiliki tiga dusun dan setiap KK diwajibkan membayar retribusi Rp.10 ribu. KSM Guna Bersama saat ini masih menerima subsidi dari pemerintah melalui Ditjen Cipta Karya/Satker Direktorat Pengembangan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (PPLP) sebesar Rp.5,7 juta/bulan untuk biaya operasional.

Kepala Satker PPLP Prov Aceh, Yusrizal, ST, MT, menyebutkan Satker telah menjadikan TPS3R ini tidak hanya sebagai tempat pengolahan sampah dari sumber tetapi lebih dari itu TPS3R telah menciptakan lapangan kerja baru. Mulai dari pengambilan sampah, usaha pengolahan sampah organik sampai ke unit usaha tanaman organik. Satker selain memberikan subsidi juga memberikan pendampingan agar kegiatan di TPS3R dapat berjalan baik, lancar sesuai diharapkan.

“Tempat ini bisa menjadi tempat pembelajaran bagi masyarakat dan kampus juga.  Alangkah bagus bila semua kecamatan punya usaha seperti ini,”kata Yusrizal. Apalagi jika pemerintah daerah juga membantu dana operasional untuk TPS3R yang telah ada.

Selain itu Yusrizal juga menyampaikan bahwa pihaknya sedang memperjuangkan pembangunan TPS3R yang lebih bagus untuk di tempatkan di kampus-kampus. Sampah sekarang bisa dikelola dan punya nilai ekonomi dan pihak kampus siap membantu kegiatan tersebut, ujarnya.

Bahagia menyampaikan terima kasih kepada KSM Guna Bersama yang telah menyediakan waktu dan membantu mahasiswa melaksanakan Praktek Lapangan.

read more
Green StyleKebijakan Lingkungan

Bupati Aceh Jaya Bahas Barrier Gajah Bersama Masyarakat

Calang – Bupati Aceh Jaya mengundang berbagai instansi terkait, pemerintah Kecamatan Mukim dan Geuchik di kabupaten Aceh Jaya yang sering mengalami konflik gajah untuk mendiskusikan teknik penanggulangan yang berdampak jangka panjang. Pertemuan berlangsung di ruang pertemuan Setdakab Aceh Jaya, 20 April lalu. Acara sekaligus mensosialisasikan rencana pemasangan barrier (penghalang) buatan untuk memperkuat formasi barrier alami berupa tebing dan gugus perbukitan terjal, dan rawa dalam yang sudah ada sehingga diharapkan gajah akan tetap berada didalam habitat nya dan tidak keluar ke kawasan budidaya masyarakat.

Situasi konflik gajah liar dan manusia menempatkan kedua pihak pada situasi dirugikan, dimana solusi tunggal dalam penyelesaian masalah ini belum ada. Kepala Balai BKSDA Aceh Sapto Aji Prabowo, yang juga menjadi moderator pada acara diskusi tersebut menyampaikan bahwa sebagian besar persebaran populasi gajah di Aceh, berada di luar kawasan konservasi yang dikelola langsung oleh BKSDA Aceh. Persebaran populasi gajah liar lebih banyak berada diatas kawasan hutan yang dikelola oleh Dinas Kehutanan bahkan juga dikawasan APL yang sudah dibebani hak HGU oleh berbagai pihak swasta. Aceh Jaya adalah salah satu contoh yang unik dimana tidak satupun kawasan konservasi dibawah BKSDA berada di Kabupaten ini, tapi populasi gajah masih ada dan cukup signifikan.

Kepala BKSDA menyampaikan bahwa Aceh Jaya tidak kekurangan habitat gajah. Yang perlu dilakukan di masa depan adalah mengelola habitat ini secara lebih aktif, salah satunya dengan menerapkan strategi barrier buatan, sehingga Aceh Jaya akan memiliki kawasan perlindungan gajah yang tidak hanya menjadi solusi bagi kondisi konflik selama ini, tapi akan menjadi solusi bagi konservasi gajah dalam jangka panjang. Kepala BKSDA menyampaikan bahwa skema pengelolaan yang sedang dilakukan adalah secara kolaboratif melalui sebuah konsorsium yang terdiri dari BKSDA Aceh, KPH wilayah I dan lembaga CRU Aceh yang didukung oleh skema pendanaan dari TFCA Sumatera.

Kepala KPH wilayah I, Fajri turut menghimbau bebagai kalangan untuk mendukung program pemasangan barrier ini, karena tujuanya tidak lain adalah untuk kemaslahatan masyarakat semata, peletakan posisi barrier lebih banyak berada didalam kawasan hutan dalam pengelolaan KPH wilayah I. Akan tetapi karena orientasinya adalah mengikuti formasi barrier alami, maka bisa jadi beberapa lokasi barrier akan terletak diatas kawasan budidaya masyarakat.

Terhadap rencana ini, berbagai respon positif diungkapkan oleh Camat Darul Hikmah, Camat Krueng Sabee, Camat Sampoiniet dan Camat Setia Bakti beserta para geuchik maupun mukim yang berhadir. Mereka berharap hendaknya program ini melibatkan secara langsung pihak kecamatan dan masyarakat desa dan diharapkan program ini tidak menghalangi masyarakat untuk melakukan usaha diatas lahan yang telah menjadi hak nya.

Direktur CRU Aceh Wahdi Azmi, yang ikut hadir bersama tim, menjelaskan bahwa pemasangan barrier buatan ini akan menambah kelengkapan strategi mitigasi konflik gajah di Aceh Jaya. Lokasi-lokasi pemasangan barrier ini sendiri telah diinspirasi oleh data dari GPS Collar (kalung GPS) yang telah dipasang di salah satu kelompok gajah di Aceh Jaya dimana data ini memberikan informasi setiap 4 jam sekali posisi pergerakan gajah, sehingga dapat mempelajari bagaimana kelompok gajah menggunakan habitatnya dan memberikan informasi titik-titik pintu masuk ke kawasan budidaya yang kemudian akan dipasang barrier.

Wahdi menyebut bahwa pihaknya bersama Pusat Kajian Satwa Liar (PKSL) di Fakultas Kedokteran Hewan Unsyiah mendukung BKSDA Aceh untuk memasang GPS collar pada gajah liar di Aceh. Progam ini juga didukung oleh peneliti Post Doctoral dari dari India bernama Dr. Gaius Wilson yang difasilitasi oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Syiah Kuala. BKSDA Aceh sudah memasang 5 GPS collar di Aceh dan masih berencana memasang beberapa lagi termasuk di bagian selatan dari kabupaten Aceh Jaya.

Staff ahli Bupati Muchtaruddin, yang juga mantan kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Aceh menutup pertemuan dengan sebuah refleksi sejrah betapa sulitnya menangani konflik gajah di Aceh jaya pada masa beliau bertugas. Konflik datang tidak mengenal waktu, kadang-kadang di bulan puasa dan hari raya masih disibukkan dengan urusan konflik gajah.

“Barrier ini hanya dipasang di beberapa tempat yang ada kekosongan barrier alami, bukan disepanjang batas habitat gajah. Mari kita dukung program ini demi kemaslahatan masyarakat banyak,” demikian ungkap beliau mengakhiri pertemuan.[rel

read more
Flora FaunaKebijakan Lingkungan

Pameran Foto “Ancaman dan Kerusakan Lingkungan Aceh”

Memperingati hari Bumi, Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) mengadakan pameran photo, orasi penyelamatan lingkungan serta penanaman pohon. Pameran photo menampilkan sedikitnya 40 frame photo yang menceritakan ancaman dan kerusakan lingkungan di Aceh. Peserta pameran ini merupakan jurnalis yang konsen meliput isu-isu lingkungan.

Pameran yang berlangsung satu hari, Sabtu (21/4/2018) dilaksanakan di pasar Aceh, Jalan di Diponegoro Kota Banda Aceh. Forum Jurnalis ini juga mengundang dan melibatkan sejumlah aktifis serta organisasi lingkungan untuk memberikan orasi penyelamatan lingkungan dari Ancaman dan Kerusakan yang kerap terjadi di Aceh. Wakil Gubernur Aceh, Nova Irwansyah, turut menghadiri pameran tersebut.

Ketua Panitia Ratno Sugito menyerahkan foto kepada Wagub Aceh Nova Iriansyah | Foto: Humas Pemerintah Aceh

Ratno Sugito selaku Ketua penyelenggara kegiatan mengatakan pameran foto yang menampilkan kawasan hutan, permburuan satwa serta ancaman bencana alam merupakan rangkaian memperingati hari bumi tanggal 22 April 2018.

“Bukan hanya pameran dan orasi tentang lingkungan yang kita selenggarakan, puncaknya akan dilaksanakan penanaman pohon di kawasan hutan Jantho,” kata Ratno Sugito.

Ia juga menyampaikan apresiasi kepada para fotografer dengan ikhlas menyerahkan karyanya pada kegiatan tersebut. “Ini bentuk perhatian jurnalis dalam menyampaikan fakta yang kerak mengancam kehidupan masyarakat Aceh bila alam di rusak”, tambah Ratno.

Pengunjung menyaksikan pameran foto | Foto: Humas Pemerintah Aceh

Para fotografer yang ikut berpartisipasi pada pameran tersebut yaitu Chaideer Mahyuddi, Irwansyah Putra, Fendra Tryshanie, T Umar, Zulkarnaini Masri, Zikrimaulana, Hendrik, Ratno Sugito, Zian Mustakin, Yusriyadi, Khairul Syakban, Syifa Yulinnas, Boy Haki, Ariska, Eward, Khalis Surry dan Muhammad Ishak.

Seniman Aceh sedang melakukan aksi teatrikal memperingati Hari Bumi | Foto: Humas Pemerintah Aceh

Rangkaian kegiatan ini di dukung sepenuhnya, USAID Lestari, Mongabay, Infis, PFI, AJI, IJTI, Walhi Aceh, HaKA, FKL, Sekolah MJC, Aceh Flight Forum, Aceh Movie Maker, Aceh Bergerak, Tropical Sociaty, Hutan Wakaf, ACCI, WCS, Pasar Atjeh, Keliling Aceh, Denya Foto & Studio dan Inisiatif Membangun [rel].

read more
Flora FaunaHutan

Mencegah Konflik Gajah-Manusia dengan Barrier Alam dan Artifisial

Hutan Leuser sebagai habitat Gajah Sumatera semakin terancam keberadaannya akibat perubahan fungsi lahan baik oleh perusahaan maupun masyarakat. Data terakhir menunjukan telah terjadi 248 kasus konflik antara hewan besar ini dengan manusia selama 10 tahun terakhir, yang kadang berujung pada kematian manusia ataupun gajah sendiri. Hewan langka ini terpaksa masuk ke lahan yang dikelola manusia untuk mencari makan ataupun lahan yang masuk dalam koridor home range gajah. Konflik ini harus dicegah agar tidak terus menimbulkan korban, salah satunya dengan memanfaatkan fungsi benteng (barrier) alam maupun buatan manusia (artificial).

Apa perbedaan antara barrier alam dan artifisial? Direktur Program Aceh Climate Change Initiative (ACCI), Wahdi Azmi kepada greenjournalist menjelaskan tentang kedua jenis barrier tersebut. Ia menjelaskan strategi barrier untuk gajah, adalah upaya menjaga agar gajah tetap berada di dalam habitatnya dan tidak masuk ke kawasan budidaya masyarakat dan menimbulkan konflik.

“Pembuatan barrier buatan, menurut saya harus mengikuti potensi barrier alami (natural barrier) yang sudah ada. barrier alami bisa berupa gugusan tebing perbukitan, jurang, atau rawa dalam. Biasanya barrier alami ini ada gap yang menjadi celah bagi gajah untuk keluar dari habitatnya dan masuk ke kawasan budidaya. Memang tidak semua daerah konflik gajah diuntungkan dengan keberadaan formasi barrier alami yang tersedia, karena wilayahnya datar, sehingga pemasangan barrier buatan harus menjadi sangat panjang dan mahal dan belum tentu bisa effektif, karena semakin panjang barrier maka semakin sulit untuk merawatnya agar tetap efektif. Kadang kadang longsor atau hujan deras pada tanah yang labil bisa membuât parit gajah tidak lagi effektif,”Wahdi memberikan penjelasan.

Wahdi menunjukan contoh gambar yang memuat kondisi topografi yang menjadi barrier alam bagi gajah. Kondisi topografi di sekitar Pinto Rime Gayo yang dilihat dari arah Aceh Tengah, di daerah Bener Meriah, dimana gajah menggunakan lembah di kanan kiri Krueng Peusangan sebagai koridor utama. Sementara di sebelah kanan terlihat pola-pola lahan pertanian dan perkebunan.

Gambar topografi wilayah yang menjadi barrier alam bagi gajah | Sumber: ACCI

“Garis merah yang saya gambar menunjukkan deretan tebing disepanjang Krueng Peusangan. Gajah terkadang naik ke atas dan masuk ke kawasan budi daya yang berada di sebelah kanan Krueng Peusangan. Gajah bisa naik ke atas melalui jalur celah celah landai. Celah celah tersebutlah yang sesungguhnya perlu identifikasi dan menjadi barrier,”ujarnya.

Barrier artifisial buatan manusia dapat berupa pagar ataupun parit dalam yang memanjang sehingga tidak bisa dilewati gajah. Barrier artifisial ini mempunya kelemahan yaitu biaya pembuatan dan perawatannya mahal sehingga perlu dikombinasikan dengan barrier alam. Namun ada yang perlu diingat, bahwa gajah adalah hewan yang cerdas. Mereka akan mempelajari situasi kondisi yang ada untuk mencari jalan keluar dari barrier tersebut oleh karenanya pemantauan gajah penting dilakukan.[]

read more
1 2 3
Page 1 of 3