close

12/04/2018

Green StyleRagam

Teknik Lingkungan USM Belajar Produksi Air Bersih ke PDAM Tirta Daroy

Banda Aceh – Air merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi manusia oleh karena itu perlu dikelola dengan sebaik mungkin. Bukan hanya kuantitasnya saja yang mencukupi namun juga kualitas, kontinuitas dan keterjangkauan air bersih dapat dirasakan masyarakat. Demikian sejumlah pembicaraan yang berlangsung bersama PDAM Tirta Daroy Banda Aceh.

Mahasiswa Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Serambi Mekkah melakukan kunjungan lapangan (field trip) ke unit pengolahan air bersih (water treatment plant) PDAM Tirta Daroy Banda Aceh, Kamis (12/4/2018). Dalam kunjungan tersebut ikut serta Ketua Program Studi Teknik Lingkungan, Muhammad Nizar, ST,MT dan sejumlah dosen. Sementara dari PDAM Tirta Daroy sendiri hadir Kabag Produksi Samirul Fuadi, SE dan ditemani oleh sejumlah staf.

Dalam kunjungan tersebut, Samirul menjelaskan bagaimana air minum diproduksi oleh PDAM Tirta Daroy. Proses produksi diawali dengan menyiapkan bahan baku yang berasal dari Sungai Krueng Aceh. “Kualitas dan kuantitas air sungai Krueng Aceh memegang peranan penting dalam produksi air minum” kata. Bahan baku tersebut kemudian melewati beberapa proses pemisahan dengan kotoran-kotoran, baik sampah maupun lumpur, kemudian dilakukan proses penghilangan bakteri atau kuman yang terdapat dalam air. Selanjutnya barulah air siap untuk didistribusikan ke masyarakat Banda Aceh yang merupakan pelanggan PDAM Tirta Daroy. Saat ini produksi air minum Tirta Daroy yaitu 700 ltr/detik dari WTP Lambaro dan 800 ltr/detik dari WTP Siron.

Samirul menjelaskan bahwa saat hujan air yang disalurkan ke masyarakat menjadi keruh akibat air sungai mengandung kekeruhan yang sangat tinggi. Hujan lebat biasanya menyebabkan terjadi banjir di hulu sungai yang membawa lumpur sangat banyak. Sementara sistem produksi air PDAM bersifat kontinyu, artinya air terus menerus diambil dari sungai, diolah dan didistribusikan dalam waktu terus menerus. Air kekeruhan tinggi tersebut, dengan masa transit di proses produksi sama dengan air pada masa normal maka lumpur yang mengendap tidak optimal. Sementara kapasitas peralatan produksi sudah diatur sedemikian rupa dalam kapasitas tertentu.

“Mengatasi air keruh perlu dibuat semacam tendon (tempat penampungan air sementara-red) jadi air dari sungai didiamkan dulu dalam tendon selama beberapa saat. Saat terjadi hujan lebat, kita tidak mengambil air dari sungai tapi dari tendon supaya tidak keruh. Namun karena keterbatasan tempat kita belum menyediakn tendon,”katanya.
Menyangkut mengapa air PDAM tidak bisa langsung diminum, hal ini disebabkan banyaknya pipa distribusi PDAM yang sudah rusak. Samirul mengatakan sebenarnya air PDAM Tirta Daroy sudah bisa langsung diminum. Namun harus diminum langsung dari sumbernya dimana belum tercemar dari cemaran yang berasal dalam pipa. Karat pipa, kebocoran pipa, penyedotan dengan pompa bisa menyebabkan air dari luar jaringan tersedot dalam jaringan dan air bisa tercemar.

Mahasiswa Teknik Lingkungan juga diajak berkeliling ke areal WTP dan dijelaskan bagaimana produksi air dilaksanakan sehingga sampai kepada konsumen.

Muhammad Nizar mengucapkan terima kasih sebesarnya kepada PDAM Tirta Daroy yang telah memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar pengolahan air. []

read more
Flora FaunaKebijakan Lingkungan

Membangun Barrier Perlindungan Gajah Sumatera

Laju deforestasi semakin mengkhawatirkan di Aceh membuat habitat satwa gajah sumatera (Elephas maximus sumatraensis) semakin memprihatinkan. Konflik satwa gajah dengan manusia, perebutan ruang hidup, semakin marak terjadi hingga telah membuat hewan bertubuh besar ini terancam punah.

Ditambah minimnya komitmen pemerintah telah menghambat dilakukan pencegahan konflik ini. Pola pencegahan jangka menengah seperti membangun barrier gajah harus terintegrasi antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya. Namun hal tersebut belum terlaksana dengan baik, karena ada kabupaten yang belum menyambut baik program barrier.

Konflik satwa gajah di Aceh marak terjadi kurun waktu 10 tahun terakhir. Padahal sebelumnya masyarakat dan satwa, khususnya gajah sumatera bisa hidup berdampingan dengan masyarakat, tanpa terusik satu sama lain.

Namun sekarang satwa yang dilindungi ini semakin berkonflik antara manusia dan satwa gajah. Akibatnya tak dapat dihindari gajah sering masuk ke pemukiman warga dan juga mengobrak-abrik perkebunan produktif masyarakat.

Sebut saja misalnya di Kecamatan Mila, Kecamatan Keumala, Kecamatan Tangse khususnya di Gampong Cot Wieng Kabupaten Pidie telah banyak mengalami kerugian material. Selain itu terjadi konflik satwa gajah di Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Utara, Aceh Timur dan juga di sejumlah kabupaten lainnya yang berujung memakan korban jiwa.

Konflik satwa ini tidak terlepas maraknya perambahan hutan yang tak terkendali sejak masa rehabilitasi dan rekontruksi Aceh paska dilanda gempa dan tsunami 24 Desember 2004 lalu. Saat itu Aceh sedang membangun tentunya membutuhkan banyak kayu untuk membangun berbagai infrastruktur.

Ditambah lagi pembalakan liar hingga masuk ke hutan lindung telah berkontribusi besar terjadinya konflik satwa. Belum lagi pembukaan lahan baru untuk kebutuhan perluasan perkebunan sawit yang telah memantik konflik satwa gajah tersebut.

Aceh merupakan daerah populasi Gajah Sumatera terbanyak dari sejumlah provinsi lainnya di Sumatera. Saat ini ada sekitar 539 individu gajah lebih masih tersisa di hutan Aceh. Taksiran bisa lebih meningkat, karena ada ditemukan anak-anak gajah yang sudah lahir di habitatnya.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh telah berupaya untuk melakukan pencegahan dan perlindungan satwa gajah agar terlindungi. Seperti melakukan pencegahan dan penggiringan kembali satwa tersebut ke habitannya menggunakan gajah terlatih yang sudah jinak.

Namun semua upaya itu selalu tak efektif dan gajah tetap saja kembali memasuki perkampungan dan perkebunan warga.  Ini akibat manusia telah mengganggu habitatnya dengan maraknya pembalakan liar yang tak terkendali mengakibatkan hutan rusak.

Berdasarkan data perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) luas Aceh 5.677.081 hektar. Dari luas Aceh tersebut Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menghitung ada 53 persen merupakan hutan yaitu seluas 3.557.928 hektar.

Pada tahun 2017 luas hutan Aceh yang tersisa  3.019.423 Ha, mengalami deferostasi pada tahun 2016-2017 sebesar 17.820 Ha. Sedangkan hutan lindung di Aceh yang menjadi habitat satwa gajah dan lainnya mencapai 1,790,200 hektar.

Kondisi hutan lindung ini semakin menyusut setiap tahunnya. Pada tahun 2016 hutan lindung di Aceh mengalami deforestasi tersisa 1,626,108 hektar, tahun 2017 terus meningkat 1,621,290 hektar. Pada tahun 2016-2017 hutan lindung mengalami deforestasi sejumlah 4,818 hektar.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo mengatakan, semakin susutnya habitat gajah akibat dari perambahan hutan semakin sering terjadi konflik satwa gajah dan juga kematian hewan bertubuh besar ini juga tak dapat dihindari.

Berdasarkan data BKSDA Aceh, Sapto menyebutkan pada tahun 2012 ada 12 ekor gajah tewas, 2013 hanya 11 gajah, tahun 2014 kembali meningkat menjadi 13 ekor, tahun 2015 sebanyak 14 ekor dan tertinggi kurun wakt enam tahun ini, 2016 hanya 4 ekor gajah liar dan 1 ekor jinak dan terakhir 2017 ada 11 ekor gajah liar, satu jinak dan satu janin gajah.

Kendati demikian kabar gembiranya sebagaimana disampai oleh Sapto, ada kelompok-kelompok gajah di Bener Meriah, Pidie Aceh Timur ada bekas-bekas atau tanda-tanda kelahiran gajah. Namun tentunya tidak sebanding dengan angka kematian gajah yang terjadi di Aceh akibat habitatnya terganggu oleh ulah manusia sendiri.

Untuk mencegah konflik satwa dengan manusia dan mencegah semakin susut jumlah hewan dilindungi ini di hutan Aceh. BKSDA Aceh telah berupaya langkah-langkah strategis seperti pencegahan dalam jangka menengah.

“Sedangkan jangka pendek sudah sangat sering kita lakukan dengan menggiring gajah liar dengan gajah jinak ke habitatnya,” kata Sapto Aji Prabowo.

Namun upaya itu tentu tidak cukup bisa mencegah konflik gajah dengan manusia. Demikian juga belum efektif bisa mencegah kematian gajah di hutan Aceh dengan program jangka pendek. Jangka pendek ini hanya mencegah sementara dan tidak bisa berkelanjutan.

Untuk mencegah konflik satwa dan meminimalisir kematian gajah dibutuhkan upaya penanggulangan jangka menengah dan jangka panjang. Jangka menengah sudah dilakukan saat ini dengan membangun barrier gajah untuk membatasi antara koridor gajah dengan pemukiman dan perkebunan warga.

Di kabupaten Aceh Jaya sekarang sudah dibangun barirer gajah seluas 230 ribu hektar, di Aceh Timur sedang dibangun 41 kilometer dan di Bener Meriah ada sekitar 1000 hektar.

Tentunya menurut Sapto, pembangunan barrier gajah ini belum efektif, karena keberadaan gajah tidak mengenal administrasi. Harus dibangunan secara berintegrasi antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya.

Sapto memberikan contoh, pembangunan barrier antara Kabupaten Aceh Timur harus diikuti juga dengan Kabupaten Aceh Utara. Demikian juga Kabupaten Bireuen dengan Bener Meriah. Bila tidak, makanya akan terputus dan gajah yang sedang berimigrasi akan kembali masuk ke pemukiman dan perkebunan warga.

“Membuat barrier itu harusnya terintegrasi satu wilayah dengan wilayah lainnya. Karena gajah itu tidak mengenal administrasi, mereka gak ada KTP (Kartu Tanda Penduduk),” sebutnya.

Oleh karena itu butuh komitmen semua kabupaten yang masuk dalam lintasan migrasi gajah. Bila tidak, kendati pun sudah dibangun barier gajah di suatu daerah, maka akan terputus dengan daerah tetangganya yang tidak melanjutkan pembangunan barier gajah tersebut, sehingga konflik satwa gajah kembali terjadi.

Sementara untuk program jangka panjang, kata Sapto, maka Aceh membutuhkan Kawasan Ekosistem Esensial. Dengan ada kawasan tersebut, konflik dan kematian gajah bisa dihindari.

Dalam Kawasan Ekosistem Esensial ini pemerintah harus membuat aturan bila masuk dalam hutan produksi, agar tidak menanam pohon yang mengundang datangnya gajah. Seperti sawit dan sejumlah tumbuhan lainnya yang menjadi makanan empuk gajah.

Akan tetapi, lebih baik ditanam seperti cengkeh, pala, coklat atau tanaman lainnya. Sehingga dengan adanya program jangka panjang ini konflik satwa gajah dengan manusia bisa dicegah dan populasi gajah di hutan Aceh bisa terselamatkan.

“Kalau dalam hutan ditanam sawit, itu sama saja kita mengundang gajah, karena itu memang pakannya gajah,” tukasnya.

Sapto berharap kepada seluruh kabupaten/kota agar bisa membangun barier secara berintegrasi. Sehingga konflik satwa gajah di Aceh bisa dicegah dan kematian gajah bisa ditekan hingga satwa dilindungi ini bisa selamat hingga ke anak cucu masa yang akan datang.

read more