close

13/04/2018

EnergiGreen StyleSains

Riset: Sampah Organik Banyak Mengandung Mikro Plastik

Sampah organik dari rumah tangga sering kali bercampur dengan plastik sehingga berkontribusi pada pencemaran lingkungan. Masyarakat sering memanfaatkan sampah organik untuk menghasilkan biogas dan mengolahnya menjadi pupuk organik. Partikel plastik kecil yang terdapat dalam pupuk ini dapat masuk ke tanah dan air. Hal ini diungkapkan oleh sebuah penelitian di Universitas Bayreuth yang telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah.
Penelitian ini merupakan hasil kerjasama antar disiplin di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Ruth Freitag (ahli proses bioteknologi) dan Prof Dr Christian Laforsch (ahli ekologi hewan). Mereka meneliti sumber biogas yang berbeda untuk mencari tahu, antara lain, bagaimana sumber sampah organik dan teknologi pemrosesan yang dipilih serta pengaruh mesin yang berdampak pada kandungan plastik dari pupuk yang dihasilkan.

Ketika sebagian besar sampah organik berasal dari rumah tangga pribadi, jumlah partikel plastik yang dikandungnya sangat tinggi. Partikel-partikel biasanya terbuat dari polystyrene atau polietilena – bahan yang biasanya digunakan dalam kemasan kelontong dan barang konsumen lainnya. Sebagian besar partikel dapat diidentifikasi sebagai bagian dari kantong, paket, dan kontainer lain yang dibuang di tempat sampah organik karena kebiasaan memilah yang kurang bagus. Bahkan jika residu dari fermentasi secara hati-hati disaring, partikel plastik dengan diameter kurang dari beberapa milimeter masih dapat ditemukan dalam pupuk.

Pabrik biogas yang hanya memanfaatkan limbah organik dari industri dan perdagangan, bagaimanapun, menunjukkan proporsi poliester yang sangat tinggi. Dalam banyak kasus, plastik ini tampaknya berasal dari wadah dan bahan pelindung yang digunakan untuk mengemas dan mengangkut buah-buahan dan sayuran.

Situasinya benar-benar berbeda dalam fasilitas yang hanya menggunakan sisa tanaman untuk menghasilkan biogas. Dalam tanaman itu, para peneliti dari Universitas Bayreuth tidak dapat menemukan partikel-partikel plastik di residu fermentasi atau hanya sangat sedikit. Situasinya mirip dengan fasilitas yang menghasilkan gas mereka dari limbah kotoran. Dalam biogas yang berasal tumbuhan, partikel plastik hanya ditemukan sesekali (jika ada).

Namun, penelitian juga menunjukkan bahwa kandungan plastik dalam pupuk tidak hanya ditentukan oleh asal sampah organik. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat dan jenis kontaminasi untuk sebagian besar adalah pengolahan limbah sebelum fermentasi dan pengolahan lebih lanjut dari residu fermentasi.

“Usaha memilah benda asing seperti plastik, logam, atau gelas dari sampah organik sebelum fermentasi harus dilakukan. Tentu saja, akan lebih baik untuk tidak membiarkan mereka masuk ke dalam sampah organik, ”jelas Prof Dr Ruth Freitag. “Sampah organik adalah sumber daya penting dalam ekonomi daur ulang, yang layak untuk dilakukan secara intensif sekarang dan di masa depan. Studi kami menunjukkan bahwa kontaminasi partikel-partikel mikroplastik sebagian besar dapat dicegah, tetapi ini mengharuskan anggota masyarakat dan operator pabrik untuk bertindak secara bertanggung jawab, ”kata Prof. Freitag.

Meningkatnya pencemaran lingkungan karena plastik telah menjadi prioritas penelitian di Universitas Bayreuth selama bertahun-tahun. Sebagai contoh, sekelompok peneliti yang dipimpin oleh ahli ekologi Prof Dr Christian Laforsch telah melakukan penyelidikan rinci mengenai pencemaran mikroplastik di sungai dan danau di Jerman. “Untuk mengungkapkan konsekuensi dari perkembangan yang mengkhawatirkan ini dan untuk dapat merespon dengan langkah-langkah yang sesuai, pertama-tama kita perlu mengetahui bagaimana partikel-partikel plastik masuk ke dalam ekosistem. Ini juga salah satu pertanyaan awal dalam studi baru kami tentang pupuk organik yang terbuat dari sampah organik. Temuan jelas menunjukkan bahwa anggota masyarakat, di rumah mereka dan lingkungan komunal, dapat memberikan kontribusi untuk konservasi dan ekonomi daur ulang ekologis, ”Laforsch menekankan.

Studi baru hanya mempertimbangkan partikel mikroplastik yang berukuran 1 sampai 5 mm. Partikel yang lebih kecil tidak dipelajari, meskipun mereka mungkin juga terdapat dalam kontaminasi sampah organik. Berdasarkan data yang dikumpulkan, satu ton kompos limbah rumah tangga dan industri mengandung antara 7.000 hingga 440.000 partikel mikroplastik. Mempertimbangkan lima juta ton kompos yang diproduksi di Jerman setiap tahun, beberapa miliar partikel mikroplastik dilepas ke lingkungan dengan cara ini.

Sumber: www.uni-bayreuth.de

read more
HutanKebijakan LingkunganRagam

Hutan Gambut Rawa Tripa Nasibmu Kini

Rabu 8 Januari 2014 yang cerah di Meulaboh. Hakim PN Meulaboh bersiap-siap membaca putusan. Para pihak yang terkait nampak sedikit tegang, mungkin dalam hatinya berharap hakim berdiri di pihaknya. Hakim pun memutuskan bahwa PT Kallista Alam (KA) terbukti bersalah melakukan pembakaran lahan gambut Rawa Tripa sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan. KA diminta untuk membayar ganti rugi materil sebesar Rp.114,3 miliar dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp.251,7 miliar. Pihak penggugat dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan WALHI Aceh tersenyum cerah. Sementara pengacara tergugat tidak terima dan menyatakan banding.

Dalam sidang dengan nomor perkara No.12/PDT.G/2012/PN-MBO, gugatan pembakaran lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit, Rabu (8/1/2014), majelis hakim mengabulkan sebagian tuntutan penggugat. Majelis berpendapat berdasarkan keterangan para saksi, fakta-fakta di lapangan dalam sidang Pemeriksaan Setempat (PS) dan bukti-bukti yang diajukan kedua belah pihak maka gugatan pembakaran lahan terbukti dilakukan oleh KA. Sementara itu dikabulkannya ganti rugi materil dan biaya pemulihan lahan juga dikabulkan karena telah berdasarkan perhitungan para ahli. Pencarian keadilan untuk lingkungan pun bergulir panjang.

KA mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi kemudian kalah. Masih tak puas, KA mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, rupanya hakim sependapat dengan PN, KA pun pulang dengan kekalahan. Tinggal satu peluang lagi dan ini digunakan juga oleh KA yaitu mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan alasan mendapatkan bukti-bukti baru. PK pun tak memberikan kemenangan pada KA. Tergugat tetap diputuskan bersalah dan membayar denda sebagaimana diputuskan di atas. Apakah lantas perjuangan lingkungan menyelematkan hutan Rawa Tripa sudah selesai? Belum, jalan masih panjang. Rawa Tripa nyatanya masih saja diobrak-abrik oleh pihak-pihak tertentu. Denda pun yang rencananya untuk merehabilitasi Rawa Tripa tak kunjung di bayar. Bagaimana nasib Rawa Tripa kini?

Untuk mengetahui kondisi terkini hutan gambut Rawa Tripa, kami mewawancarai Koordinator Program Aceh, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), TM Zulfikar, beberapa hari lalu.

Zulfikar menjelaskan status hukum lahan 1.605 Hektar yang dimenangkan oleh WALHI Aceh status hukumnya sudah final atau inkrah. Karena pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh PT Kallista Alam ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).

Secara aktual kondisi lahan yang ditetapkan sebagai bagian dari Kawasan Lindung Gambut tersebut seperti tanah tak bertuan. Padahal sudah sangat jelas, pengelolaannya sudah diberikan kepada Pemerintah Aceh. Bahkan tahun 2016 lalu Gubernur Aceh Zaini Abdullah memerintahkan Dinas Kehutanan Aceh segera melakukan rehabilitasi atau pemulihan. ” Lahan tersebut merupakan tambahan untuk Kawasan Lindung Gambut yang total mencapai 13.000 hektar jika mengacu pada RTRW Aceh 2013-2033. Tinggal sekarang kita dorong Pemerintah Aceh lebih serius melakukan upaya-upaya lanjutan terkait restorasi di Kawasan Lindung Gambut Rawa Tripa,”kata Zulfikar.

Seharusnya lahan tersebut masih utuh, namun hasil pemantauan yang dilakukan oleh Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) kondisi lahan semakin hari semakin berkurang akibat konversi lahan yang dilakukan secara illegal.
Beberapa oknum di lapangan bahkan mencoba-coba mengkapling-kapling lahan tersebut baik secara perorangan maupun kolektif. Seharusnya Pemerintah Aceh beserta Pemerintah Kabupaten setempat segera mengambil tindakan sebelum nantinya permasalahan akan semakin rumit, tegasnya.

YEL bersama beberapa LSM lingkungan lainnya mencoba melakukan berbagai upaya dan langkah strategis terkait hutan rawa gambut Rawa Tripa. Salah satunya adalah mendesak agar kawasan tersebut dijadikan Kawasan Lindung Gambut diluar Kawasan Hutan. “Alhamdulillah telah membuahkan hasil, yakni dengan ditetapkannya kawasan Rawa Tripa sebagai Kawasan Lindung Gambut seluas lebih kurang 11.359 Hektar, lalu ditambah lagi dengan lahan sengketa dengan PT Kallista Alam seluas 1.605 Hektar, sehingga jika ditotal kawasan lindung gambut di Rawa Tripa mencapai 12.964 Hektar,”jelasnya. Jika lahan PT Surya Panen Subur II seluas 5000 Hektar yang pernah ditawarkan untuk dijadikan areal konservasi, maka jumlah kawasan lindung gambut mencapai + 18.000 Hektar. Namun hingga saat ini belum ada tindakan serius dari Pemerintah Aceh atau Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh.

Disisi lain YEL sudah berusaha membantu melalui Program kerjasama TFCA Sumatera melakukan kegiatan restorasi di kawasan gambut Rawa Tripa. Beberapa kegiatan yang dilakukan seperti Pembangunan dam atau Blocking Canal sebanyak 31 titik untuk mempertahankan tinggi permukaan air sehingga kondisi rawa sebagai penyedia air dan perlindungan ekosistem dapat berjalan. Selain itu juga YEL melakukan penanaman ratusan ribu pohon di lokasi rawa gambut yang selama ini sudah hampir kritis, serta berbagai program kemasyarakatan lainnya.

Untuk rencana ke depan, sesuai hasil diskusi dengan parapihak, termasuk hasil workshop yang dilakukan bersama antara Pemerintah Aceh dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, maka perlu segera dicari format yang tepat untuk status lahan tersebut. Beberapa tawaran yang muncul seperti Kawasan Ekosistem Essensial (KEE), Kawasan Lindung serta Kawasan Konservasi. “Jadi untuk pilihan-pilihan ini harus diputuskan sehingga nantinya bisa ditetapkan melalui regulasi yang mengikat semua pihak,”kata Zulfikar.

Selain itu harus secepatnya ditentukan Badan atau Lembaga Pengelola, misalnya Unit Perlindungan Gambut, Badan Restorasi Gambut Aceh, atau apa saja namanya yang tepat, dan nantinya badan atau lembaga ini di SK kan melalui Ketetapan Gubernur Aceh.

Kawasan Rawa Gambut di Tripa ini sebagian besar merupakan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), sebagaimana yang diatur di dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam Pasal 150 sudah jelas sekali Kawasan ini menjadi Kewenangan Pemerintah Aceh. Selain itu Rawa Tripa berada di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, maka perlu juga dilibatkan kedua Pemerintahan Kabupaten tersebut. Jadi ketika nanti sudah dibentuk lembaga pengelola lahan gambut, maka selain pihak Provinsi, maka Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya harus ada perwakilannya. Termasuk juga mengajak pihak lainnya seperti LSM, masyarakat setempat, perguruan tinggi serta perusahaan untuk terlibat dalam pengelolaan dan pemantauan Kawasan Lindung Gambut Rawa Tripa. []

read more