close

24/04/2018

HutanKebijakan Lingkungan

DPR Aceh Akan Revisi Qanun RTRW untuk Selamatkan Hutan

BANDA ACEH – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tahun 2018 ini sudah memasukkan rencana revisi Qanun Nomor 19 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RT-RW). Revisi direncanakan memasukkan nomenklatur Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dalam qanun tersebut.

Qanun RT-RW sudah disahkan oleh Pemerintah Aceh tahun 2013 lalu. Setelah qanun ini disahkan mendapat sorotan dan kritikan bahkan qanun RT-RW sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh dan Gerakan Masyarakat Aceh Menggugat (GeRAM) tahun 2016 lalu.

Namun, perjuangan beberapa lembaga yang konsen terhadap lingkungan kandas di MK. Majelis hakim saat yang dipimpin oleh Agustinus Setia Wahyu Triwiranto didampingi hakim anggota Partahi Tulus Hutapea dan Casmaya Patah menolak gugatan KEL yang tak masuk dalam RT-RW Aceh.

Putusan tersebut dibacakan tanggal 29 November 2016 lalu, majelis hakim menilai Qanun RT-RW Aceh tidak perlu menyebutkan secara eksplisit tentang KEL Aceh. Alasan lain majelis hakim, proses pembuatan qanun sudah dilakukan secara prosedur dan aturan yang ada. Sehingga Qanun tersebut tidak dibatalkan dan masih dipergunakan hingga saat ini.

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh menilai tidak masuknya KEL dalam qanun RT-RW Aceh sejak 2012-2018 sarat dengan kepentingan agar cukong dan mafia lebih mudah menguasai hutan, baik untuk perkebunan maupun pertambangan.

Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani, SH menyebutkan, bila ingin terbuka, tidak masuknya nomenklatur KEL dalam qanun RT-RW Aceh telah membuat banyak kerugian materil. Diperkirakan sejak disahkan qanun tersebut kerugian materil bisa mencapai Rp 5 triliun lebih.

“Angka ini dilihat dari rasio kayu yang keluar, kemudian bentang alam yang rusak, konflik satwa, pertambangan ilegal, hingga banyak kerugian material,” kata Askhalani, Selasa (24/4) di Banda Aceh.

Menurutnya, dampak yang terjadi paska tidak masuknya KEL dalam Qanun RT-RW, perambahan hutan meningkat, penambangan ilegal terjadi hingga terjadi konflik satwa dengan manusia semakin sering terjadi. Kerugian negara akan lebih besar dibandingkan kalau pemerintah mau melakukan proteksi melalu regulasi.

“Suatu langkah maju dan luar biasa kalau DPRA hendak melakukan revisi RT-RW Aceh memasukkan nomenklatur KEL, ini bisa mencegah kerugian negara,” tegasnya.

Berdasarkan data dari Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), KEL merupakan hutan tropis yang membentang di 13 kabupaten/kota di Aceh luas mencapai 2.255.577 Ha, mencakup 40 persen total luas Aceh berdasarkan SK Menhut No.190/Kpts-II/2001.

Paska disahkannya qanun RT-RW yang tidak memasukkan nomenklatur KEL telah berkontribusi terjadi deforestasi sejak 2014-2017 mencapai 31.117 hektar. Kemudian kembali meningkat sejak 2016-2017 mencapai 7.006 hektar.

Adapun laju deforestasi dalam KEL yang paling tinggi berada di Kabupaten Aceh Selatan. Pada tahun 2016 lalu hutan di Aceh Selatan 299,723 hektar, turun menjadi 297,904 hektar, ada mengalami kehilangan sebesar 1.819 hektar.

Peringkat kedua kehilangan hutan yang masuk dalam KEL yaitu Kabupaten Aceh Timur. Pada tahun 2016 lalu hutan di Aceh Timur yang masuk KEL seluas 233.863 hektar, turun menjadi 232.635 pada tahun 2017, mengalami kehilangan hutan seluas 1.229 hektar.

Sedangkan kabupaten peringkat ketiga mengalami kehilangan hutan yaitu di Nagan Raya tahun 2016 luas hutan mencapai 128.357 hektar, turun pada tahun 2017 tersisa 127.375 hektar, atau susut 982 hektar. Gayo Lues hanya susut 660 hektar dari luas hutan tahun 2016 lalu 402.073 dan turun pada tahun 2017 tersisa 401.413 hektar.

Kondisi inilah yang kemudian banyak masyarakat sipil menaruh harapan besar agar nomenklatur KEL kembali dimasukkan dalam qanun RT-RW. Sehingga dengan adanya proteksi oleh pemerintah melalui regulasi, laju deforestasi, konflik satwa, perambahan hutan hingga ancaman banjir bisa dimininalisir.

Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah memasukkan revisi qanun RT-RW sejak awal 2018 menjadi qanun prioritas dibahas tahun ini. DPRA menilai, revisi qanun RT-RW sudah saatnya dilakukan, karena ada banyak yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan Aceh saat ini. DPRA menilai ada poin-poin penting yang harus direvisi dan ditambah nomenklatur lainnya seperti memasukkan KEL dalam qanun tersebut.

“Benar, revisi dari qanun Aceh, sudah kita prioritas tahun 2018. Perlu direvisi dengan perkembangan terkini sehingga 2018 qanun tersebut perlu kita lakukan revisi, ada poin-poin kalau kita lihat dengan kekinian Aceh,” kata Ketua DPRA, Tgk Muharuddin.

Katanya, bila dilihat ada sejumlah persoalan yang harus direvisi, seperti tapal batas, masalah KEL yang masih perlu dikaji lebih mendalam untuk dimasukkan dalam qanun, sehingga diharapkan qanun RT-RW bisa lebih sempurna nantinya.

“Sudah kita tunjuk tim pembahasnya, semoga nanti teman yang peduli dengan lingkungan bisa memberikan kontribusi yang lebih, kita harapkan melalui regulasi ini qanun akan bermanfaat untuk masyarakat,” tegasnya.

Selain revisi qanun RT-RW, Tgk Muharuddin juga menyebutkan ada memasukkan qanun inisiatif DPRA yaitu tentang qanun Perlindungan Satwa Liar di Aceh. Qanun tersebut saat ini juga sudah ditunjuk tim pembahasnya.

“Barang kali dikawal bersama-sama qanun ini, yang jelas sudah kita tetapkan dan sedang dibahas,” jelasnya.

Menurut Tgk Muharuddin, penting dibuat qanun Perlindungan Satwa Liar untuk melindungi satwa-satwa dilindungi itu dari kepunahan. Selama ini DPRA sudah sering menerima masukan dan informasi, perburuan satwa dilindungi masih marak terjadi, seperti memburu harimau, gajah dan sejumlah satwa lainnya.

Rencana revisi qanun RT-RW dan adanya qanun inisiatif DPRA tentang Perlindungan Satwa Liar di Aceh menjadi era baru untuk menyelamatkan khususnya KEL pada khususnya, hutan Aceh secara umum. Termasuk bisa mencegah terjadi konflik satwa, perdagangan satwa yang dilindungi hingga ancaman kepunahan dan bencana alam bisa terhindari.[]

 

read more