close

April 2018

Flora Fauna

Gajah, Hewan yang Perlu Perhatian Khusus

Gajah merupakan salah satu hewan langka yang terdapat di Aceh. Bersama tiga hewan langka lainnya yaitu Harimau, Orangutan dan Badak, hewan-hewan langka ini hidup berdampingan dalam satu kawasan hutan luas di Aceh yang disebut Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Jumlah gajah saat ini diperkirakan sekitar 475-500 ekor di seluruh Aceh namun keberadaannya semakin terancam. Gajah butuh perhatian khusus mengingat karakteristiknya yang sangat unik.

Dengan luas ± 2,63 juta hektar, KEL mampu memenuhi kebutuhan konservasi dalam skala luas yang membentang dari Provinsi Aceh (± 2,2 juta hektar) dan Sumatera Utara (357.840 hektar). Bahkan seperempat dari seluruh jumlah jenis mamalia di Indonesia ada di kawasan ini. Hal yang patut dibanggakan untuk masyarakat Indonesia dan dunia.

Direktur Program Aceh Climate Change Initiative (ACCI), Wahdi Azmi menyampaikan hal tersebut dalam Seminar Lingkungan Internasional yang berlangsung Selasa (17/4/2018) di Gedung AAC Dayan Dawood, Darussalam Banda Aceh. Wahdi merupakan seorang aktivis lingkungan yang lama berkecimpung dalam usaha-usaha penyelamatan gajah. Alumni Fakultas Kedokteran Hewan ini menyajikan banyak sekali data terkait hewan liar tersebut.

Gajah merupakan hewan yang bertubuh besar, mempunyai jangkauan (home range) yang luas yaitu 32,4 – 166,9 km2. Selain itu gajah membutuhkan makanan yang banyak serta suasana yang aman dan nyaman agar perilaku kawin (breeding) tidak terganggu dan proses reproduksinya dapat berjalan dengan baik. Gajah termasuk satwa yang sangat peka terhadap bunyi-bunyian. Setiap kelompok gajah Sumatera dipimpin oleh induk betina yang paling besar.

“Gajah mempunya masa reproduksi yang panjang, hamil selama 22 bulan dan hanya melahirkan satu anak saja. Juga ada masa menyusui anak gajah,”kata Wahdi Azmi.

Sementara saat ini habitat gajah di KEL sudah semakin terancam akibat pembukaan lahan baik oleh perusahaan dan masyarakat. Dampaknya bisa dirasakan segera, konflik antara gajah dan manusia semakin meningkat. Gajah memasuki lahan yang dikelola manusia untuk mencari makan ataupun melintasi karena lahan tersebut dulunya merupakan home range gajah.

Gajah yang mati akibat konflik ini semakin banyak padahal untuk melestarikan gajah saja juga susah karena hewan ini butuh perhatian khusus. Tercatat 248 kasus kematian gajah selama 2007-2017 di Aceh.

“Zaman Sultan Iskandarmuda dahulu, gajah bisa hidup berdampingan dengan damai bersama manusia. Ada ribuan gajah hidup di ibukota kerajaan. Mereka tidak memakan tanaman milik manusia karena saat itu tanaman yang banyak ditanam seperti lada, merica dan rempah-rempah lainnya tidak disukai gajah,”ujar Wahdi.

Dalam rangka memonitor pergerakan gajah di Aceh, peneliti memasang GPS collar pada leher gajah sehingga keberadaan mereka terus dipantau secara berkala dalam waktu tertentu. []

 

read more
EnergiGreen StyleSains

Riset: Sampah Organik Banyak Mengandung Mikro Plastik

Sampah organik dari rumah tangga sering kali bercampur dengan plastik sehingga berkontribusi pada pencemaran lingkungan. Masyarakat sering memanfaatkan sampah organik untuk menghasilkan biogas dan mengolahnya menjadi pupuk organik. Partikel plastik kecil yang terdapat dalam pupuk ini dapat masuk ke tanah dan air. Hal ini diungkapkan oleh sebuah penelitian di Universitas Bayreuth yang telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah.
Penelitian ini merupakan hasil kerjasama antar disiplin di bawah kepemimpinan Prof. Dr. Ruth Freitag (ahli proses bioteknologi) dan Prof Dr Christian Laforsch (ahli ekologi hewan). Mereka meneliti sumber biogas yang berbeda untuk mencari tahu, antara lain, bagaimana sumber sampah organik dan teknologi pemrosesan yang dipilih serta pengaruh mesin yang berdampak pada kandungan plastik dari pupuk yang dihasilkan.

Ketika sebagian besar sampah organik berasal dari rumah tangga pribadi, jumlah partikel plastik yang dikandungnya sangat tinggi. Partikel-partikel biasanya terbuat dari polystyrene atau polietilena – bahan yang biasanya digunakan dalam kemasan kelontong dan barang konsumen lainnya. Sebagian besar partikel dapat diidentifikasi sebagai bagian dari kantong, paket, dan kontainer lain yang dibuang di tempat sampah organik karena kebiasaan memilah yang kurang bagus. Bahkan jika residu dari fermentasi secara hati-hati disaring, partikel plastik dengan diameter kurang dari beberapa milimeter masih dapat ditemukan dalam pupuk.

Pabrik biogas yang hanya memanfaatkan limbah organik dari industri dan perdagangan, bagaimanapun, menunjukkan proporsi poliester yang sangat tinggi. Dalam banyak kasus, plastik ini tampaknya berasal dari wadah dan bahan pelindung yang digunakan untuk mengemas dan mengangkut buah-buahan dan sayuran.

Situasinya benar-benar berbeda dalam fasilitas yang hanya menggunakan sisa tanaman untuk menghasilkan biogas. Dalam tanaman itu, para peneliti dari Universitas Bayreuth tidak dapat menemukan partikel-partikel plastik di residu fermentasi atau hanya sangat sedikit. Situasinya mirip dengan fasilitas yang menghasilkan gas mereka dari limbah kotoran. Dalam biogas yang berasal tumbuhan, partikel plastik hanya ditemukan sesekali (jika ada).

Namun, penelitian juga menunjukkan bahwa kandungan plastik dalam pupuk tidak hanya ditentukan oleh asal sampah organik. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi tingkat dan jenis kontaminasi untuk sebagian besar adalah pengolahan limbah sebelum fermentasi dan pengolahan lebih lanjut dari residu fermentasi.

“Usaha memilah benda asing seperti plastik, logam, atau gelas dari sampah organik sebelum fermentasi harus dilakukan. Tentu saja, akan lebih baik untuk tidak membiarkan mereka masuk ke dalam sampah organik, ”jelas Prof Dr Ruth Freitag. “Sampah organik adalah sumber daya penting dalam ekonomi daur ulang, yang layak untuk dilakukan secara intensif sekarang dan di masa depan. Studi kami menunjukkan bahwa kontaminasi partikel-partikel mikroplastik sebagian besar dapat dicegah, tetapi ini mengharuskan anggota masyarakat dan operator pabrik untuk bertindak secara bertanggung jawab, ”kata Prof. Freitag.

Meningkatnya pencemaran lingkungan karena plastik telah menjadi prioritas penelitian di Universitas Bayreuth selama bertahun-tahun. Sebagai contoh, sekelompok peneliti yang dipimpin oleh ahli ekologi Prof Dr Christian Laforsch telah melakukan penyelidikan rinci mengenai pencemaran mikroplastik di sungai dan danau di Jerman. “Untuk mengungkapkan konsekuensi dari perkembangan yang mengkhawatirkan ini dan untuk dapat merespon dengan langkah-langkah yang sesuai, pertama-tama kita perlu mengetahui bagaimana partikel-partikel plastik masuk ke dalam ekosistem. Ini juga salah satu pertanyaan awal dalam studi baru kami tentang pupuk organik yang terbuat dari sampah organik. Temuan jelas menunjukkan bahwa anggota masyarakat, di rumah mereka dan lingkungan komunal, dapat memberikan kontribusi untuk konservasi dan ekonomi daur ulang ekologis, ”Laforsch menekankan.

Studi baru hanya mempertimbangkan partikel mikroplastik yang berukuran 1 sampai 5 mm. Partikel yang lebih kecil tidak dipelajari, meskipun mereka mungkin juga terdapat dalam kontaminasi sampah organik. Berdasarkan data yang dikumpulkan, satu ton kompos limbah rumah tangga dan industri mengandung antara 7.000 hingga 440.000 partikel mikroplastik. Mempertimbangkan lima juta ton kompos yang diproduksi di Jerman setiap tahun, beberapa miliar partikel mikroplastik dilepas ke lingkungan dengan cara ini.

Sumber: www.uni-bayreuth.de

read more
HutanKebijakan LingkunganRagam

Hutan Gambut Rawa Tripa Nasibmu Kini

Rabu 8 Januari 2014 yang cerah di Meulaboh. Hakim PN Meulaboh bersiap-siap membaca putusan. Para pihak yang terkait nampak sedikit tegang, mungkin dalam hatinya berharap hakim berdiri di pihaknya. Hakim pun memutuskan bahwa PT Kallista Alam (KA) terbukti bersalah melakukan pembakaran lahan gambut Rawa Tripa sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan. KA diminta untuk membayar ganti rugi materil sebesar Rp.114,3 miliar dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp.251,7 miliar. Pihak penggugat dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan WALHI Aceh tersenyum cerah. Sementara pengacara tergugat tidak terima dan menyatakan banding.

Dalam sidang dengan nomor perkara No.12/PDT.G/2012/PN-MBO, gugatan pembakaran lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit, Rabu (8/1/2014), majelis hakim mengabulkan sebagian tuntutan penggugat. Majelis berpendapat berdasarkan keterangan para saksi, fakta-fakta di lapangan dalam sidang Pemeriksaan Setempat (PS) dan bukti-bukti yang diajukan kedua belah pihak maka gugatan pembakaran lahan terbukti dilakukan oleh KA. Sementara itu dikabulkannya ganti rugi materil dan biaya pemulihan lahan juga dikabulkan karena telah berdasarkan perhitungan para ahli. Pencarian keadilan untuk lingkungan pun bergulir panjang.

KA mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi kemudian kalah. Masih tak puas, KA mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, rupanya hakim sependapat dengan PN, KA pun pulang dengan kekalahan. Tinggal satu peluang lagi dan ini digunakan juga oleh KA yaitu mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dengan alasan mendapatkan bukti-bukti baru. PK pun tak memberikan kemenangan pada KA. Tergugat tetap diputuskan bersalah dan membayar denda sebagaimana diputuskan di atas. Apakah lantas perjuangan lingkungan menyelematkan hutan Rawa Tripa sudah selesai? Belum, jalan masih panjang. Rawa Tripa nyatanya masih saja diobrak-abrik oleh pihak-pihak tertentu. Denda pun yang rencananya untuk merehabilitasi Rawa Tripa tak kunjung di bayar. Bagaimana nasib Rawa Tripa kini?

Untuk mengetahui kondisi terkini hutan gambut Rawa Tripa, kami mewawancarai Koordinator Program Aceh, Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), TM Zulfikar, beberapa hari lalu.

Zulfikar menjelaskan status hukum lahan 1.605 Hektar yang dimenangkan oleh WALHI Aceh status hukumnya sudah final atau inkrah. Karena pengajuan Peninjauan Kembali (PK) oleh PT Kallista Alam ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).

Secara aktual kondisi lahan yang ditetapkan sebagai bagian dari Kawasan Lindung Gambut tersebut seperti tanah tak bertuan. Padahal sudah sangat jelas, pengelolaannya sudah diberikan kepada Pemerintah Aceh. Bahkan tahun 2016 lalu Gubernur Aceh Zaini Abdullah memerintahkan Dinas Kehutanan Aceh segera melakukan rehabilitasi atau pemulihan. ” Lahan tersebut merupakan tambahan untuk Kawasan Lindung Gambut yang total mencapai 13.000 hektar jika mengacu pada RTRW Aceh 2013-2033. Tinggal sekarang kita dorong Pemerintah Aceh lebih serius melakukan upaya-upaya lanjutan terkait restorasi di Kawasan Lindung Gambut Rawa Tripa,”kata Zulfikar.

Seharusnya lahan tersebut masih utuh, namun hasil pemantauan yang dilakukan oleh Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) kondisi lahan semakin hari semakin berkurang akibat konversi lahan yang dilakukan secara illegal.
Beberapa oknum di lapangan bahkan mencoba-coba mengkapling-kapling lahan tersebut baik secara perorangan maupun kolektif. Seharusnya Pemerintah Aceh beserta Pemerintah Kabupaten setempat segera mengambil tindakan sebelum nantinya permasalahan akan semakin rumit, tegasnya.

YEL bersama beberapa LSM lingkungan lainnya mencoba melakukan berbagai upaya dan langkah strategis terkait hutan rawa gambut Rawa Tripa. Salah satunya adalah mendesak agar kawasan tersebut dijadikan Kawasan Lindung Gambut diluar Kawasan Hutan. “Alhamdulillah telah membuahkan hasil, yakni dengan ditetapkannya kawasan Rawa Tripa sebagai Kawasan Lindung Gambut seluas lebih kurang 11.359 Hektar, lalu ditambah lagi dengan lahan sengketa dengan PT Kallista Alam seluas 1.605 Hektar, sehingga jika ditotal kawasan lindung gambut di Rawa Tripa mencapai 12.964 Hektar,”jelasnya. Jika lahan PT Surya Panen Subur II seluas 5000 Hektar yang pernah ditawarkan untuk dijadikan areal konservasi, maka jumlah kawasan lindung gambut mencapai + 18.000 Hektar. Namun hingga saat ini belum ada tindakan serius dari Pemerintah Aceh atau Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Aceh.

Disisi lain YEL sudah berusaha membantu melalui Program kerjasama TFCA Sumatera melakukan kegiatan restorasi di kawasan gambut Rawa Tripa. Beberapa kegiatan yang dilakukan seperti Pembangunan dam atau Blocking Canal sebanyak 31 titik untuk mempertahankan tinggi permukaan air sehingga kondisi rawa sebagai penyedia air dan perlindungan ekosistem dapat berjalan. Selain itu juga YEL melakukan penanaman ratusan ribu pohon di lokasi rawa gambut yang selama ini sudah hampir kritis, serta berbagai program kemasyarakatan lainnya.

Untuk rencana ke depan, sesuai hasil diskusi dengan parapihak, termasuk hasil workshop yang dilakukan bersama antara Pemerintah Aceh dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, maka perlu segera dicari format yang tepat untuk status lahan tersebut. Beberapa tawaran yang muncul seperti Kawasan Ekosistem Essensial (KEE), Kawasan Lindung serta Kawasan Konservasi. “Jadi untuk pilihan-pilihan ini harus diputuskan sehingga nantinya bisa ditetapkan melalui regulasi yang mengikat semua pihak,”kata Zulfikar.

Selain itu harus secepatnya ditentukan Badan atau Lembaga Pengelola, misalnya Unit Perlindungan Gambut, Badan Restorasi Gambut Aceh, atau apa saja namanya yang tepat, dan nantinya badan atau lembaga ini di SK kan melalui Ketetapan Gubernur Aceh.

Kawasan Rawa Gambut di Tripa ini sebagian besar merupakan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), sebagaimana yang diatur di dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dalam Pasal 150 sudah jelas sekali Kawasan ini menjadi Kewenangan Pemerintah Aceh. Selain itu Rawa Tripa berada di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya, maka perlu juga dilibatkan kedua Pemerintahan Kabupaten tersebut. Jadi ketika nanti sudah dibentuk lembaga pengelola lahan gambut, maka selain pihak Provinsi, maka Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya harus ada perwakilannya. Termasuk juga mengajak pihak lainnya seperti LSM, masyarakat setempat, perguruan tinggi serta perusahaan untuk terlibat dalam pengelolaan dan pemantauan Kawasan Lindung Gambut Rawa Tripa. []

read more
Green StyleRagam

Teknik Lingkungan USM Belajar Produksi Air Bersih ke PDAM Tirta Daroy

Banda Aceh – Air merupakan kebutuhan yang sangat vital bagi manusia oleh karena itu perlu dikelola dengan sebaik mungkin. Bukan hanya kuantitasnya saja yang mencukupi namun juga kualitas, kontinuitas dan keterjangkauan air bersih dapat dirasakan masyarakat. Demikian sejumlah pembicaraan yang berlangsung bersama PDAM Tirta Daroy Banda Aceh.

Mahasiswa Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Serambi Mekkah melakukan kunjungan lapangan (field trip) ke unit pengolahan air bersih (water treatment plant) PDAM Tirta Daroy Banda Aceh, Kamis (12/4/2018). Dalam kunjungan tersebut ikut serta Ketua Program Studi Teknik Lingkungan, Muhammad Nizar, ST,MT dan sejumlah dosen. Sementara dari PDAM Tirta Daroy sendiri hadir Kabag Produksi Samirul Fuadi, SE dan ditemani oleh sejumlah staf.

Dalam kunjungan tersebut, Samirul menjelaskan bagaimana air minum diproduksi oleh PDAM Tirta Daroy. Proses produksi diawali dengan menyiapkan bahan baku yang berasal dari Sungai Krueng Aceh. “Kualitas dan kuantitas air sungai Krueng Aceh memegang peranan penting dalam produksi air minum” kata. Bahan baku tersebut kemudian melewati beberapa proses pemisahan dengan kotoran-kotoran, baik sampah maupun lumpur, kemudian dilakukan proses penghilangan bakteri atau kuman yang terdapat dalam air. Selanjutnya barulah air siap untuk didistribusikan ke masyarakat Banda Aceh yang merupakan pelanggan PDAM Tirta Daroy. Saat ini produksi air minum Tirta Daroy yaitu 700 ltr/detik dari WTP Lambaro dan 800 ltr/detik dari WTP Siron.

Samirul menjelaskan bahwa saat hujan air yang disalurkan ke masyarakat menjadi keruh akibat air sungai mengandung kekeruhan yang sangat tinggi. Hujan lebat biasanya menyebabkan terjadi banjir di hulu sungai yang membawa lumpur sangat banyak. Sementara sistem produksi air PDAM bersifat kontinyu, artinya air terus menerus diambil dari sungai, diolah dan didistribusikan dalam waktu terus menerus. Air kekeruhan tinggi tersebut, dengan masa transit di proses produksi sama dengan air pada masa normal maka lumpur yang mengendap tidak optimal. Sementara kapasitas peralatan produksi sudah diatur sedemikian rupa dalam kapasitas tertentu.

“Mengatasi air keruh perlu dibuat semacam tendon (tempat penampungan air sementara-red) jadi air dari sungai didiamkan dulu dalam tendon selama beberapa saat. Saat terjadi hujan lebat, kita tidak mengambil air dari sungai tapi dari tendon supaya tidak keruh. Namun karena keterbatasan tempat kita belum menyediakn tendon,”katanya.
Menyangkut mengapa air PDAM tidak bisa langsung diminum, hal ini disebabkan banyaknya pipa distribusi PDAM yang sudah rusak. Samirul mengatakan sebenarnya air PDAM Tirta Daroy sudah bisa langsung diminum. Namun harus diminum langsung dari sumbernya dimana belum tercemar dari cemaran yang berasal dalam pipa. Karat pipa, kebocoran pipa, penyedotan dengan pompa bisa menyebabkan air dari luar jaringan tersedot dalam jaringan dan air bisa tercemar.

Mahasiswa Teknik Lingkungan juga diajak berkeliling ke areal WTP dan dijelaskan bagaimana produksi air dilaksanakan sehingga sampai kepada konsumen.

Muhammad Nizar mengucapkan terima kasih sebesarnya kepada PDAM Tirta Daroy yang telah memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk belajar pengolahan air. []

read more
Flora FaunaKebijakan Lingkungan

Membangun Barrier Perlindungan Gajah Sumatera

Laju deforestasi semakin mengkhawatirkan di Aceh membuat habitat satwa gajah sumatera (Elephas maximus sumatraensis) semakin memprihatinkan. Konflik satwa gajah dengan manusia, perebutan ruang hidup, semakin marak terjadi hingga telah membuat hewan bertubuh besar ini terancam punah.

Ditambah minimnya komitmen pemerintah telah menghambat dilakukan pencegahan konflik ini. Pola pencegahan jangka menengah seperti membangun barrier gajah harus terintegrasi antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya. Namun hal tersebut belum terlaksana dengan baik, karena ada kabupaten yang belum menyambut baik program barrier.

Konflik satwa gajah di Aceh marak terjadi kurun waktu 10 tahun terakhir. Padahal sebelumnya masyarakat dan satwa, khususnya gajah sumatera bisa hidup berdampingan dengan masyarakat, tanpa terusik satu sama lain.

Namun sekarang satwa yang dilindungi ini semakin berkonflik antara manusia dan satwa gajah. Akibatnya tak dapat dihindari gajah sering masuk ke pemukiman warga dan juga mengobrak-abrik perkebunan produktif masyarakat.

Sebut saja misalnya di Kecamatan Mila, Kecamatan Keumala, Kecamatan Tangse khususnya di Gampong Cot Wieng Kabupaten Pidie telah banyak mengalami kerugian material. Selain itu terjadi konflik satwa gajah di Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Utara, Aceh Timur dan juga di sejumlah kabupaten lainnya yang berujung memakan korban jiwa.

Konflik satwa ini tidak terlepas maraknya perambahan hutan yang tak terkendali sejak masa rehabilitasi dan rekontruksi Aceh paska dilanda gempa dan tsunami 24 Desember 2004 lalu. Saat itu Aceh sedang membangun tentunya membutuhkan banyak kayu untuk membangun berbagai infrastruktur.

Ditambah lagi pembalakan liar hingga masuk ke hutan lindung telah berkontribusi besar terjadinya konflik satwa. Belum lagi pembukaan lahan baru untuk kebutuhan perluasan perkebunan sawit yang telah memantik konflik satwa gajah tersebut.

Aceh merupakan daerah populasi Gajah Sumatera terbanyak dari sejumlah provinsi lainnya di Sumatera. Saat ini ada sekitar 539 individu gajah lebih masih tersisa di hutan Aceh. Taksiran bisa lebih meningkat, karena ada ditemukan anak-anak gajah yang sudah lahir di habitatnya.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh telah berupaya untuk melakukan pencegahan dan perlindungan satwa gajah agar terlindungi. Seperti melakukan pencegahan dan penggiringan kembali satwa tersebut ke habitannya menggunakan gajah terlatih yang sudah jinak.

Namun semua upaya itu selalu tak efektif dan gajah tetap saja kembali memasuki perkampungan dan perkebunan warga.  Ini akibat manusia telah mengganggu habitatnya dengan maraknya pembalakan liar yang tak terkendali mengakibatkan hutan rusak.

Berdasarkan data perhitungan Badan Pusat Statistik (BPS) luas Aceh 5.677.081 hektar. Dari luas Aceh tersebut Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menghitung ada 53 persen merupakan hutan yaitu seluas 3.557.928 hektar.

Pada tahun 2017 luas hutan Aceh yang tersisa  3.019.423 Ha, mengalami deferostasi pada tahun 2016-2017 sebesar 17.820 Ha. Sedangkan hutan lindung di Aceh yang menjadi habitat satwa gajah dan lainnya mencapai 1,790,200 hektar.

Kondisi hutan lindung ini semakin menyusut setiap tahunnya. Pada tahun 2016 hutan lindung di Aceh mengalami deforestasi tersisa 1,626,108 hektar, tahun 2017 terus meningkat 1,621,290 hektar. Pada tahun 2016-2017 hutan lindung mengalami deforestasi sejumlah 4,818 hektar.

Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo mengatakan, semakin susutnya habitat gajah akibat dari perambahan hutan semakin sering terjadi konflik satwa gajah dan juga kematian hewan bertubuh besar ini juga tak dapat dihindari.

Berdasarkan data BKSDA Aceh, Sapto menyebutkan pada tahun 2012 ada 12 ekor gajah tewas, 2013 hanya 11 gajah, tahun 2014 kembali meningkat menjadi 13 ekor, tahun 2015 sebanyak 14 ekor dan tertinggi kurun wakt enam tahun ini, 2016 hanya 4 ekor gajah liar dan 1 ekor jinak dan terakhir 2017 ada 11 ekor gajah liar, satu jinak dan satu janin gajah.

Kendati demikian kabar gembiranya sebagaimana disampai oleh Sapto, ada kelompok-kelompok gajah di Bener Meriah, Pidie Aceh Timur ada bekas-bekas atau tanda-tanda kelahiran gajah. Namun tentunya tidak sebanding dengan angka kematian gajah yang terjadi di Aceh akibat habitatnya terganggu oleh ulah manusia sendiri.

Untuk mencegah konflik satwa dengan manusia dan mencegah semakin susut jumlah hewan dilindungi ini di hutan Aceh. BKSDA Aceh telah berupaya langkah-langkah strategis seperti pencegahan dalam jangka menengah.

“Sedangkan jangka pendek sudah sangat sering kita lakukan dengan menggiring gajah liar dengan gajah jinak ke habitatnya,” kata Sapto Aji Prabowo.

Namun upaya itu tentu tidak cukup bisa mencegah konflik gajah dengan manusia. Demikian juga belum efektif bisa mencegah kematian gajah di hutan Aceh dengan program jangka pendek. Jangka pendek ini hanya mencegah sementara dan tidak bisa berkelanjutan.

Untuk mencegah konflik satwa dan meminimalisir kematian gajah dibutuhkan upaya penanggulangan jangka menengah dan jangka panjang. Jangka menengah sudah dilakukan saat ini dengan membangun barrier gajah untuk membatasi antara koridor gajah dengan pemukiman dan perkebunan warga.

Di kabupaten Aceh Jaya sekarang sudah dibangun barirer gajah seluas 230 ribu hektar, di Aceh Timur sedang dibangun 41 kilometer dan di Bener Meriah ada sekitar 1000 hektar.

Tentunya menurut Sapto, pembangunan barrier gajah ini belum efektif, karena keberadaan gajah tidak mengenal administrasi. Harus dibangunan secara berintegrasi antara satu kabupaten dengan kabupaten lainnya.

Sapto memberikan contoh, pembangunan barrier antara Kabupaten Aceh Timur harus diikuti juga dengan Kabupaten Aceh Utara. Demikian juga Kabupaten Bireuen dengan Bener Meriah. Bila tidak, makanya akan terputus dan gajah yang sedang berimigrasi akan kembali masuk ke pemukiman dan perkebunan warga.

“Membuat barrier itu harusnya terintegrasi satu wilayah dengan wilayah lainnya. Karena gajah itu tidak mengenal administrasi, mereka gak ada KTP (Kartu Tanda Penduduk),” sebutnya.

Oleh karena itu butuh komitmen semua kabupaten yang masuk dalam lintasan migrasi gajah. Bila tidak, kendati pun sudah dibangun barier gajah di suatu daerah, maka akan terputus dengan daerah tetangganya yang tidak melanjutkan pembangunan barier gajah tersebut, sehingga konflik satwa gajah kembali terjadi.

Sementara untuk program jangka panjang, kata Sapto, maka Aceh membutuhkan Kawasan Ekosistem Esensial. Dengan ada kawasan tersebut, konflik dan kematian gajah bisa dihindari.

Dalam Kawasan Ekosistem Esensial ini pemerintah harus membuat aturan bila masuk dalam hutan produksi, agar tidak menanam pohon yang mengundang datangnya gajah. Seperti sawit dan sejumlah tumbuhan lainnya yang menjadi makanan empuk gajah.

Akan tetapi, lebih baik ditanam seperti cengkeh, pala, coklat atau tanaman lainnya. Sehingga dengan adanya program jangka panjang ini konflik satwa gajah dengan manusia bisa dicegah dan populasi gajah di hutan Aceh bisa terselamatkan.

“Kalau dalam hutan ditanam sawit, itu sama saja kita mengundang gajah, karena itu memang pakannya gajah,” tukasnya.

Sapto berharap kepada seluruh kabupaten/kota agar bisa membangun barier secara berintegrasi. Sehingga konflik satwa gajah di Aceh bisa dicegah dan kematian gajah bisa ditekan hingga satwa dilindungi ini bisa selamat hingga ke anak cucu masa yang akan datang.

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Pemerintah Aceh dan Amerika Bahas Perlindungan TNGL

Banda Aceh – Konsul Amerika Serikat untuk Wilayah Sumatera, Juha P Salin didampingi Pejabat Khusus bidang Politik dan Ekonomi, Rachma Jaurinata, membahas isu lingkungan dan kawasan hutan Leuser yang selama ini menjadi perhatian dunia, Selasa (10/4/2018). Dalam pembahasan yang berlangsung di rumah dinas Wakil Gubernur Aceh ini, Juha menanyakan terkait isu pembangunan yang dilakukan di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang telah menarik perhatian para aktivis lingkungan, LSM bahkan dari Unesco tersebut.

“Kita ingin mendengarkan langsung dari Pemerintah Aceh terkait isu pembangunan di kawasan Gunung Leuser,” kata Juha.

Pada kesempatan tersebut, Nova menegaskan Pemerintah Aceh sangat komit terhadap perlindungan kawasan hutan. Hal itu juga merupakan bagian dari program Aceh Green yang diusung Pemerintah Aceh.

“Tidak benar ada pembangunan di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), yang ada peningkatan jalan yang sudah ada yang digunakan oleh masyarakat,” kata Nova.

Nova menyampaikan rencana pembangunan proyek geothermal di sekitar TNGL yang pernah direncanakan oleh Pemerintah Aceh sebelumnya juga sudah dibatalkan.

“Sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaga Kawasan TNGL, karena itu bukan hanya milik kita, tapi juga milik dunia,” ujar Nova.

Pada kesempatan tersebut, Nova juga menyampaikan bahwa Pemerintah Aceh akan menjalin kerjasama pengelolaan hutan dengan Negara Bagian Amerika, Oregon.

“Kita akan deklarasi “sister forest” antara Aceh dan Oregon, tentunya nanti kita akan sama-sama belajar terkait manajemen dan perlindungan hutan,” ujar Nova. Dalam sebuah seminar lingkungan, Nova juga pernah menyatakan ingin masyarakat dunia terlibat mendanai perlindungan hutan di Aceh. Hal ini agar masyarakat di sekitar hutan tidak mencari nafkah dari merusak hutan.[rel]

read more
Pejuang Lingkungan

Ian Singleton, Penjaga Orangutan Aceh

Bagi anda yang terlibat dalam dunia konservasi Orangutan, mungkin nama ini sudah tidak asing lagi di Indonesia. Pria asal Inggris yang lahir pada tahun 1966 sejak usia muda sudah mendedikasikan dirinya melestarikan Orangutan. Ian Singleton namanya, awal berkenalan dengan Orangutan ketika ia bekerja di Kebun Binatang Jersey pada tahun 1989 sebagai penjaga Orangutan. Penyandang gelar BSc (hons) Ilmu Lingkungan ini memang menyukai bekerja bersama hewan liar.

Awal ia “terdampar” di Indonesia adalah saat Ian mengambil liburan ke Indonesia untuk belajar tentang orangutan di alam liar dan akhirnya mengembangkan rencana PhD. Ia memulai risetnya pada tahun 1996 di Aceh Selatan dan menyelesaikan studinya akhir tahun 2000. “Saya kemudian mendekati Regina Frey dan PanEco karena saya tahu mereka baru memulai proyek konservasi Orangutan di sini dan saya dipekerjakan untuk membantu mengaturnya”ujar Ian. Disertasi PhD nya tentang perilaku Orangutan Sumatera dan pergerakan musiman di hutan rawa.

Pria ini sekarang menjabat Direktur Konservasi di lembaga konservasi internasional Yayasan PanEco. Pekerjaan utamanya adalah mengawasi dan mengarahkan semua aspek Program Konservasi Orangutan Sumatra (SOCP). ” Ini melibatkan banyak pekerjaan kantor dan pertemuan tetapi saya juga masih sering pergi ke hutan dan melakukan langsung sejumlah pekerjaan dengan tangan saya sendiri. Namun, semakin banyak pekerjaan manajemen seperti membuat proposal, penggalangan dana, laporan, masalah staf, melobi, rapat, mengembangkan proyek baru, dll.

Ian Singletan cukup bebas untuk memutuskan apa yang ingin dia lakukan dan masih bisa pergi ke hutan setiap saat dan mengembalikan Orangutan ke alam liar. Ian juga senang merawat Orangutan yang sakit agar kembali sehat dan dapat dilepasliarkan ke alam bebas.

Sumber: www.orangutan.org.au

read more
HutanKebijakan Lingkungan

UNESCO Sebut TNGL Dalam Bahaya

BANDA ACEH – Reactive Monitoring Mission (RMM) International Union for Conservation of Nature and Natural Resource (IUCN) Unesco, Peter Howard menyebutkan Tropical Reinforest Heritage Sumatera (TRHS) merupakan 1 dari 240 warisan dunia yang ditetapkan oleh Unesco.

Sejak ditetapkan sebagai TRHS, kawasan ini terus mengalami kemunduran, sehingga Unesco menetapkannya dalam bahaya. Hal ini berimbas pada keharusan pemerintah RI melakukan kegiatan yang berkaitan dengan perbaikan kerusakan tersebut.

“Lima tahun lalu RMM juga sudah datang untuk mengidentifikasi masalah dan mencari pemecahan terhadap masalah tersebut. Sekarang setelah 5 tahun berjalan kita akan melihat, bagaimana proses perbaikan dari rekomendasi tersebut dilakukan,” kata Peter Howard dalam pertemuan dengan Wakil Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, Jumat (6/4/2018).

Peter menjelaskan, pihaknya akan melihat apakah target-target yang telah ditetapkan 5 tahun lalu masih realistis untuk dicapai atau harus diubah. Tim siap membantu jika target tersebut belum tercapai.

“Kita siap meminta bantuan komunitas internasional untuk datang dan turut membantu,” ucap Peter.

Untuk memastikan perkembangan TNGL dan khususnya KEL,  Asisten Deputi Warisan Budaya Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Pamuji Lestari menjelaskan, tim akan beraktivitas di beberapa taman nasional di Sumatera selama 12 hari. Ini dilakukan agar warisan dunia yang ada di Indonesia dapat dijadikan sebagai potensi.

“Benar ada dana yang dikeluarkan untuk pemeliharaan, tetapi taman nasional harus pula didorong menjadi potensi ekonomi bagi masyarakat sekitar, terutama menggerakkan sektor pariwisata,” tukasnya.

Untuk diketahui, berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 190/KPTS-II/2000, luas KEL mencapai 2.255.577 hektar, yang terbagi atas lokasi TNGL seluas 26,72 persen, Kawasan Taman Buru seluas 1,29 persen, Suaka Marga Satwa seluas 4,54 persen, Hutan Lindung 41,75 persen, Hutan Produksi 11,24 persen, dan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 14,46 persen.

KEL merupakan kawasan hutan tropis yang memiliki peran besar sebagai penyimpan cadangan air, pengendali iklim mikro, dan penyerap karbon. Sedikitnya terdapat 105 spesies mamalia, 382 spesies burung, dan 95 spesies reptil dan amfibi hidup di kawasan itu.

“KEL merupakan tempat terakhir di Asia Tenggara yang memiliki ukuran dan kualitas untuk mempertahankan populasi spesies langka. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menegaskan, pengelolaan KEL merupakan tanggungjawab Pemerintah Aceh. Namun, otoritas Aceh hanya sebatas pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi,” kata Wakil Gubernur Aceh, Nova Iriansyah.

Sedangkan TNGL, pengelolaannya berada di bawah koordinasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser. TNGL harus bersih dari segala aktivitas yang mengganggu kegiatan konservasi.

“Jika ada isu mengatakan akan ada pembangunan jalan dan pembangkit listrik di wilayah TNGL, itu sama sekali tidak benar. Melalui program Aceh Green, Pemerintahan Aceh periode 2017-2022 kembali menjadikan pelestarian KEL sebagai salah satu prioritas, sebagai bagian dari pembangunan Aceh berwawasan lingkungan dan sensitif bencana,” tegas Nova.

Sebagaimana diketahui, dalam rangka mencegah terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, Pemerintah Aceh telah menetapkan beberapa kebijakan strategis, di antaranya merekrut tenaga kontrak untuk pengamanan hutan (Pamhut) sebanyak 2.000 orang, yang bertugas untuk menjaga kelestarian KEL.

“Saat ini jumlah Pamhut yang direkrut Pemerintah Aceh pada tahun 2007/2008 hanya tersisa sebanyak 1.800 orang. Sebagian yang lain telah mengundurkan diri setelah mendapat pekerjaan lain,” ungkap Nova.

Tidak hanya merekrut Pamhut, melalui Instruksi Gubernur Nomor 5 tahun 2007 tentang Moratorium Logging, Pemerintah Aceh melarang semua aktivitas penebangan di kawasan hutan negara, disusul keluarnya kebijakan moratorium izin tambang dan mineral di tahun 2015, dan moratorium perkebunan kelapa sawit pada tahun 2016.

Selain itu, ada pula Qanun Nomor 19 tahun 2013 tentang RTRW Aceh 2013-2033, yang semakin menegaskan pentingnya pencegahan dan perlindungan hutan di wilayah ini.

Kebijakan ini diperkuat pula dengan hadirnya Qanun Aceh Nomor 7 tahun 2016 tentang Kehutanan Aceh.

Ada pula Peraturan Gubernur Aceh Nomor 20 tahun 2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Aceh, serta Peraturan Gubernur Aceh Nomor 10 tahun 2017 tentang Penanganan Konflik Terunial dalam Kawasan Hutan.

Sedangkan dalam hal perlindungan satwa, telah ada Keputusan Gubernur Aceh tentang Pembentukan Satuan Tugas Penanggulangan Konflik Manusia dan Satwa. Saat ini, Keputusan Gubernur tersebut sedang dalam proses peningkatan menjadi qanun.

“Dengan berbagai kebijakan yang telah dilakukan Pemerintah Aceh itu, bukan berarti semuanya dapat menjamin kalau perlindungan dan pengawasan KEL berjalan dengan sempurna. Dengan wilayah yang begitu luas, Pemerintah Aceh tentu tidak mampu melakukan pengawasaan secara menyeluruh. Tidak heran jika aksi-aksi illegal logging masih terjadi di kawasan itu,” kata Wagub.

Pada tahun 2011, Unesco menempatkan TNGL dalam status World Heritage in Dangered. Status ini merupakan peringatan untuk memberi perhatian lebih pada upaya pelestarian dan pengawasan di KEL dan TNGL.

“Semoga proses monitoring dan evaluasi yang akan berlangsung sukses. Harapan saya, melalui pertemuan ini kita dapat membahas langkah-langkah pelestarian ekosistem TNGL yang lebih komprehensif, sehingga peran KEL sebagai paru-paru dunia tetap berjalan dengan baik,” tutupnya.[acl]

read more
1 2 3
Page 2 of 3