close

May 2018

Flora FaunaHutan

Ian Singleton: Amazon Paru-paru Bumi, Leuser Adalah Jantungnya

Taman Nasional Gunung Leuser yang berada di Provinsi Aceh dan sebagian masuk ke dalam Sumatera Utara merupakan salah satu tempat paling purba di bumi dan telah ditetapkan sebagai situs warisan dunia Unesco.

Dr. Ian Singleton dalam sebuah artikel di United States News and World Report seperti dilansir dari The Independent, pernah menyebutkan Leuser sebagai tempat paling purba di bumi.

“Jika hutan hujan Amazon adalah paru-paru bumi maka Leuser adalah jantungnya,” tulis Singleton.

Kawasan hutan dengan luas lebih dari 6.5 juta hektar tersebut merupakan ekosistem terakhir di muka bumi yang menjadi rumah bagi tiga hewan dilindungi yakni harimau, badak dan orangutan. Leuser dikaruniai kekayaan sumber daya flora dan fauna yang beraneka ragam. Terdapat sekitar 105 spesies mamalia, 382 burung serta 95 reptil dan amfibi. Kawasan Leuser juga dikenal sebagai penghasil tembakau dan kopi kelas dunia.

Di dalam Leuser terdapat beberapa jenis hutan seperti Cagar Alam Kappi, Cagar Alam Kluet, Sikundur Langkat Wildlife Reserve, Ketambe Research Station, Singkil Barat, Dolok Sembilin dan lainnya.

Namun, meski dilindungi oleh hukum di Indonesia, Leuser tidak kemudian lepas dari ancaman deforestrasi hutan. Masalah klise seperti aktivitas industri, operasi pertambangan, penebangan tanaman hingga pembukaan lahan mulai mengancam ekosistem serta kekayaan hayati di dalamnya.

Masyarakat dunia tidak lantas diam. Melalui gerakan “Love The Leuser Ecosystem” yang melibatkan aktor Leonardo Di Caprio serta Adrien Brody, para aktivis lingkungan membawa isu pelestarian Leuser sebagai perhatian internasional.
Sumber :  http://ayobandung.com

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Pemerintah & Masyarakat Tutup Kanal Ilegal di SM Rawa Singkil

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh bersama Polres Aceh Selatan dan sejumlah LSM melakukan penutupan kanal yang dibangun secara ilegal di Suaka Margasatwa (SM) Rawa Singkil sejak 23-25 Mei 2018. Penutupan ini dilakukan menyusul vonis Pengadilan Negeri (PN) Tapaktuan yang memvonis pelaku perambahan liar Rawa Singkil, Teuku Popon Rizal hukuman penjara 1 bulan 6 hari penjara dengan denda Rp20 juta.

Kanal yang terletak dalam SM Rawa Singkil dan masuk dalam Desa Keude Trumon tersebut ditutup agar hutan gambut kembali berfungsi seperti semula. Field Manager Forum Konservasi Leuser, Istafan menyatakan kanal sepanjang 800 meter dengan lebar 2-3 meter dan memiliki jalan disisi kanan-kirinya sekitar 3-4 meter ditutup agar fungsi hutan kembali seperti semula. “Kanal ditutup agar air dari hutan tidak mengalir keluar hutan. Jadi penutupan membuat air akan dalam posisi tergenang dan perlahan kembali menyebar ke sekitarnya,”ujar Istafan. Pembukaan kanal secara ilegal ini diduga untuk membuka perkebunan pada wilayah yang terlarang.

Penutupan kanal harus dilakukan karena pengadilan telah mengeluarkan vonis untuk terdakwa Teuku Popon Rizal. Teuku Popon ditangkap bersama 2 pekerjanya oleh tim gabungan berdasarkan laporan dari masyarakat sekitar akhir Oktober 2016 bersama dengan alat berat excavator.

Perambahan di Rawa Singkil khususnya di Kabupaten Aceh Selatan, sering dilakukan bukan hanya oleh masyarakat, tetapi juga oleh pengusaha setempat.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rahmat Nur Hidayat mendakwa Teuku Popon Rizal dengan Pasal 19 ayat (1) jo Pasal 40 ayat (1) dari UU RI Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUH Pidana. Selain itu Popon Rizal juga dijerat pidana Pasal 33 ayat (1) jo Pasal 40 ayat (1) UU RI Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUH Pidana.

Rawa Singkil ditetapkan sebagai Kawasan Pelesatarian Alam berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 166/Kpts-II/1998 tentang perubahan fungsi dan penunjukkan kawasan Hutan Rawa Singkil yang terletak di Kabupaten Aceh Selatan seluas 102.500 hektare menjadi Kawasan Suaka Alam dengan nama Suaka Margasatwa Rawa Singkil. Selanjutnya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: 103/MenLHK-II/2015 menetapkan SM Rawa Singkil berkurang kawasannya menjadi 81.338 hektare.[]

 

 

read more
Green Style

Banda Aceh Banjir, Aktivis: Walikota Sekarang Lebih Peduli Olahraga

Banda Aceh – Hujan deras yang melanda Kota Banda Aceh dalam beberapa hari ini telah menyebabkan sebagian besar wilayah kota mengalami banjir, terutama banjir genangan akibat tersumbatnya aliran air yang ada.

“Beda dengan beberapa tahun lalu, meskipun hujan deras, paling hanya beberapa wilayah yang tergenang, tapi sekarang hampir seluruh wilayah Kota Banda Aceh semuanya tergenang, bahkan di wilayah yang padat penduduk seperti di Kecamatan Syiah Kuala, Kecamatan Kuta Alam, Kecamatan Lueng Bata, dan di beberapa gampong di Kecamatan Kota Banda Aceh lainnya. Ini jelas sekali bahwa Walikota Banda Aceh saat ini kurang peka terhadap kondisi lingkungan yang terjadi hari ini,”ungkap TM Zulfikar, Wakil Ketua Forum Pengurangan Resiko Bencana (PRB) Aceh dan juga mantan Direktur Eksekutif WALHI Aceh.

Seharusnya Walikota sekarang lebih banyak bercermin dan belajar dari Mantan Walikota Banda Aceh terdahulu, alamarhum Mawardy Nurdin, yang begitu cekatan dan mampu menjadikan hampir seluruh wilayah Kota menjadi bebas banjir genangan. Namun miris rasanya dengan apa yang terjadi dengan Pemko Banda Aceh saat ini. Kok rasanya beliau lebih peduli dengan olahraga dibanding hal-hal lainnya menyangkut kepentingan publik?

“Maunya ya jangan begitu. Kota Banda Aceh kan sudah berkali-kali meraih penghargaan Adipura sebagai Kota yang ramah lingkungan dan bebas sampah. Seharusnya ini bisa terus dipertahankan hingga memperoleh Adipura Kencana sebagai prestasi terbesar bagi kota-kota besar yang ada di Indonesia. Saya imbau seluruh perangkat Pemko Banda Aceh untuk bisa bekerja serius, karena bagaimanapun Kota Banda Aceh menjadi contoh utama bagi Kota-kota lainnya di Aceh,”kata TM Zulfikar.

Janganlah Pak Walikota kita ini Ngacir saat terjadi Banjir. Namun segeralah singsingkan lengan baju, lipat celana dan mari bersama-sama relawan dan seluruh warga Kota Banda Aceh kita bergotong royong membersihkan drainase, dan seluruh saluran yang tersumbat. Semoga pada saat hujan lebat berikutnya Kota Banda Aceh selamat dari banjir genangan.

read more
Hutan

Mengapa Deforestasi Terjadi dan Hutan Hujan Penting?

Hutan hujan adalah sesuatu yang dunia tidak terjadi begitu saja. Lingkungan hutan yang berharga ini, yang terdapat ditemukan di berbagai tempat, adalah rumah bagi banyak spesies yang terancam punah serta suku-suku asli. Tapi penggundulan hutan, yang disebabkan oleh industri, telah melenyapkan sebagian besar dari hutan tersebut dalam beberapa tahun terakhir.

Apa yang menyebabkan deforestasi? Apa efeknya di planet kita dan makhluk yang menempatinya? Antara tahun 2000 dan 2012, hutan seluas 2,3 juta kilometer persegi (890.000 sq mi) di seluruh dunia ditebangi. Penebangan ini telah menyebabkan kehancuran beberapa spesies hewan, flora, fauna dan tempat tinggal masyarakat adat.

Tingkat penggundulan hutan ini tidak melambat meskipun ada upaya internasional untuk menghentikan penyebab deforestasi. Penyebab deforestasi membuatnya sulit untuk diatasi karena melibatkan uang yang sangat banyak.

Saat ini industri minyak sawit adalah salah satu pelanggar terburuk, karena pohon yang menghasilkan minyak paling subur di Afrika, Indonesia, Asia, Amerika Utara dan Amerika Selatan tumbuh di mana hutan hujan berada. Menurut WWF, setiap jam area hutan hujan seluas 300 lapangan sepakbola dibersihkan untuk membuka jalan bagi pohon-pohon kelapa sawit untuk ditanam.

Gas beracun yang dilepaskan saat kayu dibakar untuk membuat ladang minyak sawit telah menjadikan Indonesia sebagai penghasil emisi gas rumah kaca tertinggi ketiga di dunia.

Penyebab lain deforestasi termasuk penebangan liar, penambangan logam, perburuan liar (yang menjadi lebih umum ketika industri terlibat dalam deforestasi), panen kayu bakar, kebakaran hutan dan perubahan iklim, ditambah dengan penciptaan perkebunan, jalan dan infrastruktur.

Deforestasi bahkan digunakan sebagai taktik militer oleh Amerika dalam Perang Vietnam, dengan pestisida dan defoliant disemprotkan di area hutan untuk menghancurkan pohon-pohon dan menumpas musuh.

Perusakan hutan ini, yang mencakup kurang dari 30 persen dari planet ini, memiliki konsekuensi serius bagi kita semua. Penghilangan pohon tanpa reboisasi yang memadai telah mengakibatkan kerusakan habitat, hilangnya keanekaragaman hayati, dan kegersangan. Para pemimpin dunia perlu berbuat lebih banyak untuk memastikan bahwa hutan hujan kita yang tersisa dilestarikan.

Dalam 10 tahun populasi orangutan akan mati karena habitat mereka dihancurkan, dan banyak lagi spesies yang berada dalam bahaya. Menebang dan membakar pohon secara massal berdampak buruk pada penangkapan dan penyimpanan alami karbon dioksida.

Deforestasi berkontribusi pada pemanasan global dengan cara ini. Semakin banyak yang terjadi semakin banyak hutan menjadi kering, dan semakin rentan mereka terhadap kebakaran hutan yang menyapu bersih seluruhnya.

Saat ini Taman Nasional Gunung Leuser di Indonesia adalah satu-satunya situs di mana hewan-hewan seperti orangutan dapat hidup dengan aman dan berkembang tanpa ancaman habitat mereka hancur.[]

Sumber: metro.co.uk

read more
HutanRagam

Agusen dari Produsen Ganja ke Destinasi Wisata

GAYO LUES – Jarum jam tangan saya menunjukkan pukul 03.45 (WIB). Kami sudah menempuh perjalanan lebih 17 jam dari Banda Aceh menuju Desa Agusen, Kabupaten Gayo Lues. Provinsi Aceh.  Di depan kami terdapat galian badan jalan berair bagaikan saluran yang bekum selesai.

Kami mencoba memastikan bahwa jalan yang kami pilih tidak salah. Beberapa teman turun dan mengamati jejak ban mobil untuk memastikan jalur ini sudah benar.

“Apa mungkin ini Bang. Kenapa ada saluran,” tanya Munjier-reporter RRI Stasion Banda Aceh yang berada di belakang stir.

Tanpa sempat menjawab, Munjier pun menyela. “Tapi ada ban mobil dan beberapa mobil terlihat parkir di depan sebuah bangunan,” kata Munjier meyakinkan.

Sambil sempat memutar arah mobil dan mencari jejak lain. Saya mencoba membuka aplikasi WhatsApp untuk memastikan titik lokasi yang dikirim Mbak Berni saat dalam perjalanan dari Banda Aceh.

“Nah, ini ada tenda biru dan tulisan Jalan Budi Waseso, tapi kita tidak ketemu, gimana?”

“Tapi kita sudah benar masuk gerbang Desa Agusen,” timpal Munjier lagi membela diri.

Di antara temaram cahaya sesaat kami tiba di posko Field Trip. Beberapa mobil terparkir berjejer menghadap kantor  kepala desa atau keuchiek- di kawasan Gayo Lues disebut Pengulu.

Kami menuju ke tempat parkir di depan kantor pengulu. Mobil kami  mengambil posisi sebelah kanan kantor di antara halaman samping kantor penghulu. Dari kegelapan terdengar suara air yang menurut kami pasti ada sungai. Memang, beberapa meter terdapat titi gantung yang lebarnya sekitar satu meter.

Jam sudah menunjukkan pukul 04.00 pagi waktu setempat. Kami pun tak ingin berlama di luar mobil, hanya sesaat tanpa memeriksa kondisi sekitar. Namun Afrizal, kontributor Inews TV, saya dan Munjier masih ragu posisi yang kami tuju. Selain tanpa menemukan gambar petunjuk dari panitia, juga tidak ada tulisan kantor kepala desa.

“Mungkin di sini, kantor geusyiek disebut pengulu,” Munjier mencoba menyimpulkan.

Setelah dia sesaat, kami pun mencoba keluar dari depan kantor penghulu dengan maksud mencari tempat yang menurut kami belum benar. Setelah keluar kembali ke arah jalan Gayo Lues, Kutacane, saya mencoba membuka aplkasi Whats App dan mencari sesuatu petunjuk arah. Saya pun mendapatkan kiriman nomor kontak bernama Jaboi.

Saya segan menelpon karena sudah jam 4 pagi. Tapi dua teman lainnya berusaha meyakinkan jika kondisi saat ini memungkinkan Jaboi ditelpon.

Telpon aja, kan ini darurat, Panitia sudah siap dengan risiko apa pun,”saran Munjier.

Saya pun mengontak Jaboi sambil memberitahukan posisi saat ini. Segan juga rasanya menelpon orang yang menurut kami sedang nyenyak karena kondisi cuaca sangat dingin.

“ Halo, mohon maaf. Ini Bang Jaboi ya, kami udah putar-putar, Cari kantor keuchiek tidak ketemu,” kata saya.

“Kami sudah  di depan kantor pengulu,  dan sudah parkir mobil,” saya memastikan.

‘Ya bang, sudah benar tadi,” ujar Jaboi.

Kami pun langsung balik lagi ke tempat awal. Tak lama beberapa penghuni kantor pengulu keluar termasuk Kang Een dari rekam.or.id-fasilitator field trip Agusen.

“Masuk aja Bang, dingin di luar,“ ujar Jaboi sambil membuka daun pintu.

Memang, suhu udara di luar ruangan menunjukkan pada angka 17 derajat celcius, cukup dingin untuk ukuran kita dari daerah pesisir.

Ya, terimakasih, mohon maaf ya sudah mengganggu tidurnya, kata kami berbasa-basi.

“Kami tunggu sampai jam 1 malam tadi, tidak ada kabar,” timpal Jaboi dan diamini Khairul Wahab-anggota penghuni kantor pengulu yang langsung menyapa saya.

Kami sempat dihidangkan segelas air putih hangat untuk melawan hawa dingin. Afrizal dan Munjier langsung mengambil posisi dalam kamar untuk istirahat. Saya mencoba mengakali untuk tidur dalam mobil karena beberapa penghuni merokok dan bercampur bau obat anti nyamuk.

Sebenarnya, kami mendapat jatah menginap di rumah warga. Karena datangnya sudah dini hari, sangat tidak mungkin menuju ke sana. Kami pun transit sebentar di kantor pengulu.

Saya pun mengambil posisi di luar kantor untuk menghindari asap rokok dan kepulan obat bakar anti nyamuk. Rasa berat berada di luar yang berhawa dingin, tapi apa daya untuk menyelamatkan sesak asap.

Hanya  beberapa saat berada di dalam mobil, saya kembali masuk kantor pengulu karena tidak bisa tidur. Apalagi beberapa saat waktu subuh tiba.  Takut ketiduran dan waktu salat subuh buyar.

Benar saja. Entah karena lelah, saya tertidur dan harus kesiangan salat subuh. Perasaan bersalah tentunya, Tapi, saya harus tetap salat dengan menuju sungai untuk berwudhuk yang tak jauh dari kantor pengulu.

Sekitar pukul 7.30 pagi, kami diarahkan ke rumah warga sebagao tempat menginap selama berada di wilayah Agusen. Satu jam kemudian kami harus kembali ke posko untuk pengarahan.  Maksud mandi urung jadinya karena suhu dingin. Kami hanya sikat gigi dan minum alakadar kemudian langsung kembali ke posko.

Tak mesti menunggu lama, beberapa peserta mulai berkumpul di depan posko. Ada yang baru menyeberangi jembatan gantung, ada yang diantar dengan kendaraan warga.

Kang Een dan Mbak Berni serta beberapa staf mencoba mengumpulkan peserta untuk rundown kegiatan pada Sabtu pagi. Kami pun diperkenalka perangkat Desa Agusen yang kali ini menjadi tujuan Field Trip kami. Tujuanya adalah mempromosikan desa yang pernah mendapat stigma penghasil ganja tersohor di Kabupaten Gayo Lues.

Membenam Stigma

Menyandang predikat desa penghasil ganja sangat tidak nyaman. Setelah puluhan tahun image ini melekat di Desa Agusen, dua tahun lalu  memotivasi warga desa yang terletak di  Kecamatan Blang Keujren Kabupaten Gayo Lues, Aceh beralih profesi. Sebagai desa bekas  penghasil ganja terbaik di dunia Agusen kini berbenah menuju desa  destinasi wisata

Desa berpeduduk 206 kepala keluarga ini terletak di lembah dan dikelilingi Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).  Agusen berbenah menjadi destinasi wisata pilihan bagi  para pecinta alam.

Memiliki sungai berair jernih yang mengalir dari kawasan gunung Leuser. Kini warganya mulai giat menjadi tuan rumah bagi pelancong. Potensi sungai dan tracking atau jelajah bukit serta kebun kopi dan pendakian. Desa terdekat dengan ekosistem Leuser menawarkan beberapa agenda wisata.

Tracking sungai,  hutan dan bukit menjadi pilihan para pengunjung ke desa tersebut. Areal hutan yang sebelumnya jadi hamparan kebun ganja menjadi kebun kopi Arabica Gayo yang terkenal. Juga tempat wisata sungai yang bisa dimanfaatkan untuk drafting atau arung jeram.

Sejak dipilihnya Agusen menjadi desa wisata tahun 2016 lalu, kini pemuda setempat terus memotivasi warga untuk menyiapkan diri. Rumah warga akan ditata menjadi home stay atau tempat tinggal yang nyaman bagi turis. Pagelaran seni pun ditingkatkan menyambut tamu.

“Dulu Agusen adalah produsen the best marijuana in the world. Kita akan melatih warga untuk mengelola homestay atau rumah tinggal sementara wisatawan, “ ujar Amru saat silaturrahmi dengan warga Agusen Sabtu (05/05/2018).

Desa yang dihuni petani dan perkebun  ini memang baru berbenah. Warga secara bertahap mulai meninggalkan kebiasaan menanam ganja yang jadi penghalang mereka berkembang seperti diakui Bupati Gayo Lues, Muhammad Amru.

Tak gampang mengalihkan pola pikir dan pola kerja warga Agusen. Lebih dari 50 persen warganya berprofesi sebagai penanam ganja Namun, sosialisasi dan himbauan secara terus menerus membuat mereka bisa meninggalkan ganja.

Pengulu atau kepala Desa Agusen, Ramadhan pun nyaris putus asa ketika mengajak warganya meninggalkan kebiasaan yang dilarang. Pola kepemilikan satu hektare tanaman kopi ternyata  bisa  mengalihkan usaha mereka dari ganja ke kopi dan wisata.

“Kita selalu menyampaikan dan membujuk para petani ganji untuk beralih ke kopi dalam setiap kesempatan,” kenang Ramadhan.

Memang butuh waktu untuk berbenah dan mengobati citra dari desa produsen ganja menjadi desa destinasi wisata. Meskipun demikian, pemerintah setempat terus mendorong dengan melatih mereka menjadi tuan rumah destinasi wisata.[acl]

Penulis : Muhktaruddin Yacob

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Noktah Hitam di KEL Aceh

Mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang dibangun dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) berdampak besar terhadap ancaman bencana, baik bencana ekologi hingga berpengaruh terhadap perekonomian warga.

Bahkan juga mengganggu kelestarian hewan dilindungi seperti badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau (Panthera tigris sumatrae), gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan orangutan (Pongo abelii).

Kondisi ini tentu menjadi noktah hitam dalam KEL Aceh. Padahal KEL Aceh wilayah konservasi penting yang berada di dua provinsi, yaitu Provinsi Aceh dan Sumatera Utara dengan luas 2,6 juta hektar. Apa lagi KEL lebih luas masuk dalam provinsi Aceh yang meliputi 13 kabupaten/kota dan 4 kabupaten di Sumatera Utara.

Kabupaten yang masuk dalam KEL di Provinsi Aceh adalah Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Subussalam, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tamiang. Sedang kabupaten di Sumatera Utara yaitu Kabupaten Langkat, Dairi, Karo dan Deli Serdang.

Baca : Noktah Hitam di KEL Aceh

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh dalam laporan investigasi disebutkan, KEL menjadi pendukung kehidupan lebih dari empat juta orang yang bermukim di sekitarnya. KEL juga menjadi rumah bagi 105 spesies mamalia, 383 spesies burung dan sekitar 95 spesies reptil dan amfibi, atau setara dengan 54 persen dari fauna terestrial sumatera

Selain itu KEL menjadi tempat terakhir untuk mempertahankan populasi spesies-spesies langka di Asia Tenggara. Spesies langka seperti harimau, orangutan, badak, gajah hingga macan tutul.

KEL juga memiliki fungsi ekologis untuk penyediaan air untuk masyarakat, baik untuk dikonsumsi maupun untuk kebutuhan lainnya. Tentunya keberadaan mega proyek PLTA Tampur 1 akan mengancam upaya konservasi tersebut.

Menurut Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur menyebutkan, dampak yang paling nyata dan sudah ada di depan mata adalah terganggunya habitat satwa dilindungi. Apa lagi, kawasan pembanguan proyek tersebut masuk dalam wilayah jelajah gajah (home range) dan sejumlah hewan dilindungi lainnya.

“Ada berpendapat itu disebut kawasan koridor satwa, salah satunya gajah, ini memang harus juga dibuktikan oleh BKSDA, harus ada petawa koridor satwa,” kata Muhammad Nur.

Muhammad Nur menyebutkan, berdasarkan observasi langsung ke lokasi dan informasi dari masyarakat setempat, Dusun Berawang Gajah, Gampong Lesten yang masuk dalam pembangunan PLTA itu, merupakan lintasan gajah dan harimau dan bahkan sering juga dilintasi beruang madu.

Menariknya lagi, kawasan tersebut terdapat banyak kubangan gajah. Masyarakat setempat biasanya menyebutnya “Berawang Gajah. Adanya berawang gajah membuktikan bahwa kawasan itu sering dikunjungi gajah. Namun masyarakat setempat bisa hidup berdampingan dan beberapa warga sering bertemu dengan kawanan kecil gajah yang sedang melintas, namun tak pernah terjadi konflik di daerah tersebut.

“Jadi warga setempat khawatir dengan ada pembangunan genangan ini akan terjadi konflik gajah nantinya, karena hilang habitat gajah,” jelasnya.

Pembangunan dam dan power house seluas 10 hektar masuk dalam hutan lindung, ini tentunya akan berdampak terhadap menurunya daya dukung lingkungan. Tentunya akan meningkatkan potensi terjadi bencana ekologi, seperti banjir bandang, longsor hingga ancaman kekeringan.

Daerah hulu yang paling berdampak terjadi banjir bandang akibat pembangunan bendungan itu adalah Aceh Timur, Kota Langsa, Aceh Tamiang. Sedangkan yang berpotensi terjadi kekeringan yaitu di kawasan Gampong Lesten, Pining hingga kota Blangkejeren.

Muhammad Nur menyebutkan, sebelum pembangunan ini dilanjutkan pemerintah Aceh harus lebih kritis lagi menganalisa untung dan rugi setelah pembangunan selesai. Selain itu, kalau pun mega proyek ini dilanjutkan, akses air masyarakat harus terjamin.

Selama pembangunan nantinya sungai-sungai di kawasan pembangunan PLTA Tampur 1 ini akan dibendung. Selama pembangunan juga air diperkirakan akan berkeruh, tentunya bisa mengganggu kebutuhan air warga, baik untuk dikonsumsi maupun kebutuhan perekonomian.

Ini penting diperhatikan, mengingat akses air untuk masyarakat selama pembangunan tidak diatur dalam amdal. Sehingga bisa tidak dikelola dengan baik, dikhawatirkan akan lahirnya konflik baru, karena warga tidak bisa mengakses air.

“Sumber air warga, perusahaan harus menjamin tidak ada gangguan, pola akses air, saat dikurung dalam jumlah besar dan bagaimana pemanfaatan oleh warga. Karena tidak ada dalam dokumen amdal,” ungkapnya.

Walhi Aceh juga mengingatkan, KEL masuk dalam wilayah patahan sumatera yang rentan terjadi gampa bumi. Ditambah lagi, curah hujan di kawasan itu cukup tinggi, bahkan hampir setiap hari ada hujan. Tentunya bila daya dukung lingkungan lemah, berbagai ancaman bencana ekologi akan menghantui Aceh.

Bila terjadi gagal teknologi akan berakibat fatal kedepannya. Muhamma Nur mengingatkan, Indonesia sudah pernah mengalami gagal teknologi hingga terjadilah seperti di Lapindo. Apa lagi KEL berada 500 MDPL bila terjadi banjir semua daratan yang berdekatan dengan kawasan pembangunan PLTA Tampur 1 akan mengalami banjir bandang.

“Bila tidak ada jaminan bangunan kuat, harus bertanggungjawab bisa terjadi banjir bandang akibat gagal teknologi, kita tidak mau terjadi seperti Lapindo,” tegasnya.

Tentunya kalau ini terjadi, sama saja Aceh sedang menjemput maut dan pemerintah sedang menyiapkan bencana ekologi yang membuat Aceh lebih banyak mendapat kerugiannya.

Ini tulisan bagian dua dan akan dilanjutkan dengan judul Noktah Hitam di KEL Aceh “Dampak Sosial Ekonomi”.
read more
Green StyleRagam

Peluang dan Tantangan Ekowisata di Hutan Leuser

Di tepi Taman Nasional Leuser, Desa Tanganan menawarkan hari-hari yang dihabiskan untuk melakukan hiking, melihat harimau liar, badak, gajah, dan orangutan; mandi di air terjun; dan makan dengan menu rumahan bersama keluarga setempat sambil menikmati pemandangan sekitar.

Di sisi lain, penduduk desa mendapatkan manfaat dari sejumlah kegiatan yang menghasilkan pendapatan – homestay, layanan pemandu, makanan, transportasi – yang tidak hanya membantu mereka menjaga kawasan hutan tetap subur dan hijau, dimana mereka juga bergantung padanya.

Desa Tanganan adalah salah satu desa di sekitar hutan Indonesia yang mendapat manfaat dari kegiatan ekowisata yang terus berkembang di dunia ini. Turis-turis yang tertarik pada petualangan yang personal, budaya, dan berorientasi alam, menyukai petualangan ‘hijau’ ketika tiba saatnya merencanakan liburan.

Ekowisata di Hutan Indonesia
Di Indonesia, lebih dari 6.000 desa berada di dalam atau di sekitar kawasan lindung yang siap untuk peluang ekowisata, kata Direktur Jenderal Konservasi dan Ekosistem Alam di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia, Wiratno.

“Keanekaragaman hayati adalah tulang punggung pariwisata, dan pariwisata menikmati keanekaragaman hayati,” kata peneliti di Kehutanan dan Penelitian, Pengembangan, dan Badan Inovasi (FOERDIA), Asep Hidayat di kementerian yang sama.

Mendidik penduduk setempat tentang keanekaragaman hayati di bentang alam mereka – hingga ke mikroorganisme asli – adalah kunci, jika penduduk ingin mengambil keputusan yang membantu mempertahankan ekologi mereka dan manfaat pariwisata dalam jangka panjang.

Pada gilirannya, mereka dapat membantu pengunjung sepenuhnya merasakan dan menyebarkan berita tentang tempat-tempat yang mereka kunjungi. Memiliki daya tarik ekowisata adalah satu hal tetapi membawa turis – dan uang – adalah hal lain.

Direktur Komunikasi, Penjangkauan, dan Keterlibatan di Pusat Penelitian Kehutanan Internasional (CIFOR), John Colmey, mengatakan bahwa metode tradisional seperti dari mulut ke mulut, iklan, dan yang menjangkau kelompok-kelompok konservasi serta jaringan perjalanan yang berkelanjutan masih berdampak pada kegiatan ekowisata.
Namun, John menekankan bahwa di era media sosial, memiliki informasi online yang aktif dan menarik adalah cara tercepat untuk perusahaan ekowisata mendapatkan para pelancong.

Sedangkan untuk umpan media sosial, Manajer Keberlanjutan di Grup Intrepid, Robyn Nixon, operator tur petualangan terbesar di dunia, mengatakan bahwa ekowisata menemukan interaksi pribadi dengan komunitas sebagai bagian yang paling mengesankan dari perjalanan mereka.

“Untuk membangun infrastruktur untuk ekowisata, berinvestasi pada orang dan masyarakat,” saran Nixon.
Untuk menjangkau komunitas-komunitas ini, Nixon mengatakan operator tur perlu melakukan pekerjaan rumah mereka. Ini berarti menemukan LSM yang bekerja dengan komunitas lokal; terlibat dengan para pemangku kepentingan politik di tingkat subnasional; memastikan masyarakat mempertahankan penguasaan lahan mereka; dan berinvestasi dalam infrastruktur dan pelatihan di lapangan untuk pemandu wisata, koki, transportasi, kerajinan tangan dan sejenisnya.

Direktur Program untuk Aksi Pelestarian Hutan Tropis Sumatra, Samedi, mencatat bahwa ekowisata dapat menjadi alternatif ekonomi untuk mencegah deforestasi dan pemanenan sumber daya alam. Tetapi seperti Nixon, Samedi mengatakan bahwa semua pemangku kepentingan, dari LSM lokal hingga kemitraan publik-swasta, harus bekerja menuju tujuan bersama.

“Kita semua sepakat orang lokal adalah penting karena kita harus membangun kapasitas dan kesiapan untuk menerima pengunjung asing, dan itu dapat mengubah perilaku orang-orang,” katanya.

Pariwisata adalah salah satu sektor ekonomi terkemuka di Indonesia, dengan Kementerian Pariwisata yang menargetkan 20 juta pengunjung pada tahun 2019. Kementerian juga mencari cara meningkatkan jumlah homestay di seluruh negeri, yang akan membuka tujuan baru di luar Bali.

Namun, Wiratno mencatat bahwa keberlanjutan kawasan lindung adalah masalah lain. “Ekowisata di kawasan lindung tidak dapat memenuhi harapan Kementerian Pariwisata,” katanya. “Harus ada kuota.”

Dengan kata lain, ketika orang banyak datang dan uang mengikuti, para pemimpin pariwisata perlu memikirkan masa depan tanah dan orang-orang yang terlibat.

Secara umum, Nixon menganggap kapasitas manajemen akan segera menjadi masalah global karena semakin banyak wisatawan – terutama mengingat pasar perjalanan China dan India yang sedang tumbuh – mulai memilih usaha ekowisata dan situs kecil yang secara signifikan semakin populer.

Pengunjung di situs tertentu dapat dibatasi setiap hari atau setiap tahun, dan itu akan menjadi tindakan sulit yang harus dilakukan pemerintah dan masyarakat, Nixon menambahkan.

“Turisme berlebihan menghancurkan budaya,” katanya, lebih lanjut memperingatkan, “dan keserakahan akan menghancurkan hal yang membuat tempat-tempat yang layak dikunjungi.”

“Ekowisata adalah pasar kecil, tetapi itu akan tumbuh,” kata Colmey.

Sumber : forestsnews.cifor.org

read more
Flora Fauna

YEL-SOCP & BKSDA Aceh Lepasliarkan Beruang di Aceh Besar

ACEH BESAR – Yayasan Eksositem Lestari Sumatran Orangutan Conservation Program  (YEL-SOCP) bekerjasama dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh telah melepasliarkan seekor beruang madu (helarctos malayanus) ke habitatnya, Senin (14/5/2018).

Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo mengatakan, beruang madu ini yang dievakuasi tanggal 24 November 2016 lalu di Gampong Karak, Kecamatan Woyla Timur, Kabupaten Aceh Barat, karena kaki kiri depannya terjerat dan terluka parah.

“Sehingga harus dioperasi dan tinggal menyisakan jempolnya saja,” jelasnya.

Setelah mendapatkan perawatan selama 1,5 tahun untuk proses penyembuhan oleh Tim Pusat Kajian Satwa Liar (PKSL) Universitas Syiah Kuala. Beruang malang ini kemudian dinilai oleh tim dokter hewan sudah siap untuk dilepasliarkan kembali ke habitatnya.

Untuk kepentingan penelitian dan guna mengetahui pergerakan beruang tersebut, BKSDA Aceh didukung FKH Unsyiah memasang GPS Collar di leher beruang. GPS Collar yang didatangkan langsung dari Swedia tersebut, akan mengirimkan sinyal ke satelit dan akan dipancarkan kembali ke receiver yang ada di BKSDA dan FKH Unsyiah.

“Dengan data dari GPS Collar tersebut, nantinya dapat diketahui dan dianalisa pola pergerakan, preferensi habitat serta jika ada hal-hal yang tidak diinginkan,” jelasnya.

GPS Collar ini, sebutnya, juga bisa untuk mencegah potensi konflik dengan warga atau terjadi stagnasi pergerakan beruang yang bisa jadi sedang sakit atau bahkan mati, dapat diketahui dengan cepat.

Katanya, menurut keterangan produsen collar, baterai pada collar seharga lebih dari 3.000 dollar itu akan dapat bertahan sekurangnya 2 tahun. “Semoga beruang madu yang dilepasliarkan tersebut dapat kembali hidup nyaman di rumahnya,” tutupnya.[acl]

read more
1 2 3
Page 1 of 3