close

04/05/2018

Hutan

Noktah Hitam di KEL Aceh

Mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dibangun dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dikhawatirkan akan merusak ekosistem dan ancaman bencana ekologi. Mega proyek ini juga mengganggu kelestarian hewan dilindungi seperti badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau (Panthera tigris sumatrae), gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan orangutan (Pongo abelii).

KEL merupakan kawasan hutan tropis yang sangat berperan menyimpan cadangan air dan juga pengendalian iklim mikro. Perlindungan hutan tersebut berguna untuk keberlangsungan hidup manusia dan melindungi spesies-spesies yang harus memiliki skala prioritas untuk dikonservasi.

Spesies badak dan harimau yang paling terancam punah saat ini. Konon lagi bila PLTA Tampur di Gayo Lues dan PLTA Kluet di Aceh Selatan dibangun. Tentunya rumah satwa dilindungi ini semakin susut dan ancaman konflik satwa dan kepunahan semakin di depan mata.

KEL  juga sangat berjasa untuk keberlangsungan kehidupan manusia, karena tidak hanya menyimpan karbon dunia juga bisa mencegah dampak perubahan iklim. Ekosistem Leuser berdampak langsung dengan udara yang dihirup oleh manusia dan hewan saat ini, sehingga bisa menjaga keseimbangan iklim.

Mirisnya, Pemerintah Indonesa masih saja berencana untuk membangunan mega proyek tersebut, yang kemudian banyak ditentang oleh lembaga lingkungan di Aceh. Padahal, keberadaan Ekosistem Leuser juga tidak hanya mengancam keberadaan satwa dilindungi, juga mengancam kehidupan ribuan penduduk di Sumatera.

Memang tak dapat dipungkuri, Aceh yang berada paling ujung sumatera ini memiliki banyak potensi Sumber Daya Alam (SDA) dan energi yang dapat diandalkan. Namun dibalik banyaknya SDA, pemerintah juga harus memperhatikan banyak aspek saat mengekploitasi.

Aspek keseimbangan antara ekonomi, lingkungan dan tatanan sosial harus menjadi perhatian serius dari masyarakat. Sehingga penggunaan SDA yang dimiliki, terutama dalam KEL harus diperhatikan dampak besar dalam jangka panjang.

Pembangunan dua mega proyek tersebut, merupakan noktah hitam yang masuk dalam KEL. Noda hitam inilah yang kemudian akan mengancam berbagai persoalan kemudian hari, tak hanya merusak lingkungan juga konflik sosial bisa saja terjadi nantinya.

Kenapa pentingnya perlindungan KEL dari kerusakan? Sedekar diketahui, KEL merupakan hutan yang paling lebat saat ini di Asia Tenggara. KEL memiliki tiga lahan gambut yang kaya karbon, begitu penting bagi lingkungan global saat ini.

Lokasi proyek PLTA Tampur-1 yang dibangun oleh PT Kamirzu berada di kawasan sungai Tampur, Gampong Lesten, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues. Gampong tersebut luas sekitar 200 hektar berjarak 18 Km dari ibukota Kabupaten Gayo Lues. Berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, hingga April 2017 PT Kamirzu baru tahap pengeboran dan pengambilan sampel sebanyak 6 titik.

Lembah Gampong Lesten sebagian besar berlokasi yang kaya hasil hutan, seperti madu, walet dan hingga saat ini masih dimanfaatkan oleh masyarakat. Kekayaan hutan di kawasan itu telah menjadi ekonomi alternatif bagi masyarakat setempat.

Sungai Lesten dan Sungai Pining memiliki arus  yang deras dan kedua sisi merupakan hutan lindung berkarakteristik tebing serta tingkat kecuraman tinggi dan ada beberapa titik air terjun. Kondisinya pun rawan terhadap bencana, karena kawasan tersebut juga rawan terhadap terjadi gempa.

PLTA Tampur-1 merupakan proyek pembangkit energi terbarukan dan masuk dalam daftar percepatan pembangunan di Indonesia. Ini seperti tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 40 Tahun 2004, tentang perubahan keempat Peraturan Menteri ESDM Nomor 15 Tahun 2010 tentang proyek-proyek percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik menggunakan energi terbarukan.

Perusahaan pengembangan ini berasal dari Hongkong yaitu PT Kamirzu yang merupakan salah satu Perusahaan Modal Asing (PMA) bidang kelistrikan, rencannnya pembangunan PLTA Tampur-1 ini berkapasitas 443 MW.

Mega proyak PLTA Tampur-1 menggunakan lahan seluas 4.090 hektar yang berada untuk rencana genangan. Meskipun tidak semua lahan pembangunan mega proyek ini masuk dalam hutan lindung. Proyek ini dalam tiga kabupaten yaitu Gayo Lues, Aceh Timur dan Aceh Tamiang

“Yang harus diketahui, tidak semua lahan itu masuk dalam hutan lindung,” kata Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur.

Berdasarkan data dari Walhi Aceh, pembangunan mega proyek tersebut dengan nilai investasi Rp 4,158 triliun tersebut mencaplok Hutan Lindung (HL) seluas 1.226,83 hektar, Hutan Produksi (HP) seluas 2.565,44 hektar Area Pengguna Lain (APL) seluas 297,73 hektar. Sedangkan untuk pembangunan bendungan/DAM dan power house seluas 10 hektar dan mirisnya itu juga masuk dalam kawasan Hutan Lindung.

Penggunaan lahan dalam HL tak hanya lokasi pembangunan mega proyek tersebut. Setelah pembangunan selesai, ada sejumlah hutan lainnya ikut dicaplok. Seperti pembangunan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) sepanjang 45 kilometer.

Lagi-lagi pembangunan SUTET masih tetap menggerus HL sepanjang 9,34 kilometer, HP 21,4 kilometer, APL sepanjang 14,26 kilometer. Selain itu, mega proyek ini juga memerlukan pembangunan atau peningkatan jalan akses sepanjang 68,14 kilometer yang masuk dalam beberapa fungsi kawasan hutan.

Seperti pembangunan jalan akses Simpang Melidi-Babo sejauh 27,14 kilometer, di antarannya 1,08 kilometer masuk dalam HL, 11,03 masuk APL. Sedangkan jalan Babo-Pulau Tiga sepanjang 11,08 Km dan Jalan Pulau Tiga-Simpang Semadam sepanjang 15,97 Km  seluruh masuk dalam APL.

“Karena tidak ada 100 persen di hutan lindung sehingga tidak memproses dokumen AMDAL di nasional. Kalau hutan lindung semua di Kementerian,” jelasnya.

Adapun izin yang sudah dimiliki oleh PT Kamirzu pembangunan mega proyek PLTA Tampur-1, sudah mengantongi sembilan rekomendasi dan izin dari pemerintah provinsi dan nasional. Seperti Izin Prinsip dari Gubernur Aceh Nomor 671.21/BP2T/2523/2015 tanggal 20 November 2015 tentang izin prinsip. Izin prinsip BKPM Pusat, surat kepala BPKH Wilayah XVII Aceh Nomor S.229/III/BPKH.XVIII-2/2016 tanggal 18 April 2016. Surat Kepala BPKH Wilayah XVII Aceh Nomor S.229/III/BPKH.XVIII-2/2016 tanggal 18 April 2016 hasil telaah titik koordinat.

Lalu berita acara rapat kesesuaian dengan  Rencana Tatat Ruang dan Wilayah Aceh pada 10 Oktober 2016, surat keterangan kesesuain dari Badan Koordinasi Perencanaan Ruang Daerah (BKPRD) Provinsi Aceh Nomor 050/25/Bappeda/I/2016, Perpanjangan izin prinsip Gubernur Aceh melalui surat Nomor 671.21/BP2T/2039/2016 tanggal 27 Oktober 2016.

Kemudian keputusan Kepala Bapedal Nomor 660.46/092/XI/AMDAL/2016 tentang persetujuan kerangka acuan (KA), untuk selanjutnya wajib dilengkapi dokumen Studi Analisis Menganai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL). PT Kamirzu juga telah merampungkan dokumen studi AMDAL PLTA Tampur-1 tanggal 28 Desember 2016, Komisi Penilaian Amdal (KPA) Aceh membahas proyek ini dengan melibatkan masyarakat dan lembaga pemerhati lingkungan.

“Pada rapat pembahasan itu Walhi Aceh selaku anggota KPA menolak AMDAL PLTA tersebut, karena ada masuk dalam hutan lindung bisa berdampak besar terhadap kerusakan lingkungan,” ujarnya.

Ini tulisan bagian satu dan akan dilanjutkan dengan judul Noktah Hitam di KEL Aceh “Dampak Lingkungan Hidup”

read more
HutanKebijakan Lingkungan

PN Meulaboh “Lawan” MA, Batalkan Hukuman PT Kallista Alam Milyaran Rupiah

Jakarta – PT Kallista Alam, pelaku pembakaran lahan gambut Tripa yang dikenal sebagai ‘Ibukota Orangutan Dunia’, dinyatakan bersalah oleh Mahkamah Agung, kini diberikan pengampunan oleh Pengadilan Negeri Meulaboh yang kini diprotes oleh pengamat lokal dan internasional.

Gerakan Rakyat Aceh Menggugat, GeRAM, melakukan demonstrasi untuk memprotes Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh di depan Mahkamah Agung Republik Indonesia pada hari Kamis (3/05/2018) di Jakarta. Pada sidang tanggal 13 April 2018, Majelis Hakim PN Meulaboh menyatakan bahwa putusan yang menghukum PT Kallista Alam
(PT KA) sebesar Rp. 366 milyar sebagai title non-eksekutorial atau tidak bisa dieksekusi. Seperti diketahui sebelumnya, PT KA dinyatakan bersalah karena terbukti membakar 1.000 hektar lahan gambut di Tripa, Nagan Raya, Aceh.

Para pendemo meminta agar hakim Said Hasan, yang memimpin sidang gugatan antara PT KA melawan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), diperiksa dan diskors karena secara kontroversial memberikan perlindungan hukum dan memutuskan tidak akan mengeksekusi denda yang harus dibayar oleh PT KA.

“Ada dugaan pelanggaran disini, dimana putusan Mahkamah Agung tidak dieksekusi selama bertahun-tahun oleh PN Meulaboh. Kami meminta badan pengawas Mahkamah Agung untuk turun dan memeriksa kasus ini,” kata Harli Muin, koordinator aksi.

Keputusan hakim ini mendapat sorotan dari berbagai elemen masyarakat. Tidak hanya demo oleh GeRAM, sehari sebelumnya, Crisna Akbar dari Rumoh Transparansi mengadukan dugaan indikasi penyimpangan dalam eksekusi Putusan MA terhadap PT KA ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan nomor pengaduan 96297
pada hari Rabu (2/05/2018). “Kami mencium ada penyelewengan pada kasus ini sehingga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 366 milyar,” ujar Crisna.

Pada 13 April lalu, Majelis Hakim yang dipimpin Said Hasan, Muhammad Tahir, anggota; T.Latiful, anggota, dalam Register Perkara Perkara No. 16/Pdt.G/Pn.Mbo menyatakan menerima Gugatan PT KA. Hakim beralasan bahwa bukti koordinat yang salah yang diberikan KLHK pada kasus sebelumnya menjadi alasan bagi hakim eksekusi putusan terhadap PT KA. Pada perkara ini, PT KA mengajukan gugatan terhadap KLHK, Ketua Koperasi Bina Usaha, Kantor BPN Provinsi Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh. Belum jelas apakah KLHK akan melakukan banding.

Penyelamatan Orangutan di Rawa Tripa | Foto: YEL

Hal ini berlawanan dengan putusan sebelumnya, dimana PN Meulaboh di Aceh Barat memerintahkan PT KA untuk membayar denda sebesar Rp. 366 milyar yang terdiri dari Rp. 114,3 milyar sebagai kompensasi ke kas negara dan Rp. 251,7 milyar untuk merestorasi 1.000 hektar lahan gambut yang terbakar dan hancur. PT KA mengajukan banding pada tanggal 28 Agustus 2015 ke Mahkamah Agung, namun MA menolak banding dan memerintahkan perusahaan tersebut untuk tetap membayarkan denda.

“PT Kallista Alam telah dibuktikan bersalah berdasarkan undang-undang administrasi, pidana, dan perdata oleh majelis pengadilan dan Mahkamah Agung. Bila suatu pengadilan negeri bisa menentang putusan Mahkamah Agung, ini sangat tidak masuk  akal. Tidak mengejutkan kalau sekarang banyak pengamat yang mempertanyakan
motif di belakang putusan hakim PN Meulaboh dalam kasus ini, dan kami meminta ada investigasi khusus disini,” ujar Farwiza Farhan, Ketua Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), yang juga menjadi saksi fakta dalam sidang melawan PT KA pada kasus sebelumnya.

“Keputusan Pengadilan Negeri Meulaboh bertentangan dengan keputusan Mahkamah Agung yang menetapkan bahwa PT KA bersalah. Tentu saja ini menimbulkan preseden buruk untuk reputasi sistem hukum di Indonesia,” kata Dr Ian Singleton dari Sumatran Orangutan Conservation Programme. “Penetapan oleh MA tersebut membawa angin segar bagi hukum lingkungan di Indonesia, dan menjadi bukti bahwa negara ini komit untuk melawan perubahan iklim. Namun, jika semua itu bisa dengan mudah diubah oleh satu putusan kontroversial hakim PN, maka ini bisa menjadi kemunduran besar bagi hukum negeri ini,” Ian menyimpulkan.

Juru bicara GeRAM, Fahmi Muhammad, mengatakan, “Seharusnya PN Meulaboh melaksanakan eksekusi terhadap Putusan MA. PN Meulaboh tidak memiliki dasar hukum untuk menunda pelaksanaan eksekusi putusan. Kami kaget mengetahui bahwa Ketua PN Meulaboh mengeluarkan Penetapan Perlindungan Hukum terhadap PT KA
dengan No. 1/Pen/Pdt/eks/2017/Pn.Mbo. Kami melihat ini merupakan hal yang aneh.”

“Seharusnya, tidak ada gugatan baru yang dapat membenarkan pengadilan untuk menunda eksekusi keputusan”, kata Fahmi. “Dan juga koordinat yang melenceng akibat salah seharusnya tidak menjadi dasar justifikasi kerugian akibat kebakaran lahan yang disebabkan oleh PT KA.”

Pada sidang pengadilan ke – 13 dalam perkara ini, pada tanggal 30 Maret 2018, saksi ahli KLHK, mantan Hakim Pengawas di Mahkamah Agung, Abdul Wahid Oscar, menyatakan, “Menurut pasal 66 ayat (2) UU No. 14/1985, Peninjauan Kembali (PK) tidak dapat menunda atau menangguhkan pelaksanaan putusan Mahkamah Agung.
Kasus lingkungan bukan berorientasi pada lahan atau apakah izin ada atau tidak, tetapi fokus pada kerugian yang ditimbulkan.”

Lahan Gambut Rawa Tripa merupakan salah satu lahan gambut dari tiga lahan gambut terluas di Aceh, dengan kedalaman mencapai 12 meter dan memainkan peran penting bagi penyerapan karbon di Aceh. Jutaan ton karbon lepas ke atmosfer setiap tahunnya dengan cara pembakaran hutan gambut. Seperti diketahui dari sejumlah Penelitian, Lahan gambut di Aceh diperkirakan menyerap karbon sebanyak 1200 ton per hektar. Selain fungsi menyerap karbon, lahan gambut juga dapat mencegah banjir, membantu sektor perikanan dan menyediakan keragaman habitat bagi keragaman spesies.

T.M. Zulfikar dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), menambahkan, “Kami mengamati perkembangan di gambut Tripa semenjak kasus ini terangkat pada tahun 2012. Dari tahun 2013 hingga 2017, deforestasi hutan primer di Tripa mencapai 4.069 hektar, yang mana 60 hektar berada di dalam HGU PT Kalista Alam. Pada periode yang sama, jika dianalisis melalui VIRSS, layanan satelite pendeteksi titik api, ada 2.564 titik api di Tripa, yang mana 193 titik berada di dalam HGU PT KA. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun sedang menjalani kasus hukum, PT KA tidak menghormati sistem hukum di Indonesia.”

Lain halnya dengan kasus pidana, hakim PN Meulaboh, dengan perkara No 131/Pid.B/2013/PN MBO dan 133/Pid.B/2013/PN MBO, telah menghukum Manager Pengembangan PT.KA, Khamidin Yoesoef, 3 tahun penjara yang sudah dijalani oleh terpidana. [rel]

 

 

 

read more