close

09/05/2018

HutanKebijakan Lingkungan

Hutan KEL Aceh Timur dan Tamiang, Menuju Kehancuran?

Banda Aceh – Hutan-hutan yang berada di Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Tamiang serta dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) menghadapi ancaman kehancuran. Berbagai faktor yang menyebabkan kerusakan hutan tersebut, mulai dari alih lahan fungsi lahan, ilegal logging, pembukaan pemukian, perambahan hutan, penangkapan hewan liar dan berbagai gangguan lain. Sementara itu fungsi-fungsi yang menjaga kelestarian hutan masih sangat lemah sehingga tidak berjalan semestinya.

Kurniawan S | Foto: P3KA

Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Aceh (P3KA) menyampaikan hal tersebut diatas dalam kegiatan diseminasi hasil penelitian mereka yang bertajuk “Optimalisasi Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser di Aceh Timur dan Aceh Tamiang”, Rabu (9/5/2018) di Banda Aceh. Sejumlah peneliti dari P3KA hadir dalam kegiatan tersebut antara lain Kurniawan S, T. Muhammad Zulfikar, Muhammad Nizar, Bahagia, Fadila dan Munzami HS. Penelitian ini berlangsung semenjak pertengahan tahun 2017 yang dilaksanakan di dua kabupaten tersebut.

Adapun lokasi yang menjadi fokus penelitian ini adalah desa-desa yang bersisian dengan hutan KEL. Hal ini dilakukan mengingat masyarakat desa tersebut telah berinteraksi dengan KE selama jangka waktu yang lama. Selain itu banyak kasus yang menyangkut perusakan hutan terjadi di desa-desa tersebut.

Ketua P3KA yang juga peneliti, Kurniawan, menyampaikan pemaparannya tentang kondisi sosial budaya masyarakat di daerah yang berdekatan dengan KEL. Selain itu Kurniawan menyampaikan analisis berdasarkan aspek legal sosial yang menjadi landasan kebijakan kehutanan.

T. Muhammad Zulfikar | Foto: P3KA

Bertindak selaku moderator adalah T. Muhammad Zulfikar, yang dalam pengantarnya menyampaikan bahwa semua kecamatan yang berada diperbatasan KEL mengalami kegiatan perambahan hutan yang parah. Hal ini terjadi karena hutan telah menjadi sumber mata pencarian bagi penduduk sekitar. Masyarakat sekitar hutan yang umumnya masyarakat miskin tidak mempunya lahan produktif yang dapat mereka jadikan tempat mencari nafkah.

Hal lain yang menonjol hasil dari penelitian ini adalah posisi garis batas KEL yang banyak tidak diketahui baik oleh masyarakat maupun aparat pemerintahan. Hal ini menyebabkan masyarakat masuk jauh ke dalam hutan dan tanpa sadar telah memasuki kawasan terlarang untuk kegiatan manusia. Aparat pemerintah juga kesulitan menjelaskan kepada masyarakat sejauh mana tapal batas KEL. Sosialisasi tapal batas KEL perlu mendapat perhatian khusus.

KEL memiliki luas sebesara 2.255.577 Ha yang mencakup 40% total luas Propinsi Aceh serta melintasi 13 kabupaten/ kota yang di Aceh. Menurut organisasi HAKA, kerusakan hutan dalam KEL pada tahun 2016 sebesar 4.097 Ha.

Menjadi tugas utama pemerintah dan dibantu oleh masyarakat untuk membenahi KEL yang ancaman kerusakannya sudah di depan mata. Membenahi lewat kebijakan yang pro lingkungan dan penganggaran yang memadai untuk pemantauan hutan Aceh.

 

 

 

 

 

 

read more
Kebijakan LingkunganRagam

Penghasilan Petani Gayo Lues Meningkat Melalui Kerjasama Pengelolaan Hutan

Pemerintah Amerika Serikat melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) mendukung upaya peningkatan mata pencaharian petani di Gayo Lues, salah satunya melalui pendampingan yang diberikan kepada petani kopi di empat desa yang terletak di dekat Taman Nasional Gunung Leuser. Lebih dari 650 petani di Desa Kenyaran, Suri Musara, Cane Baru dan Atu Kapur menerima bantuan dari program USAID LESTARI untuk meningkatkan praktik penanaman dan pengolahan kopi, serta pendampingan terkait proses permohonan izin perhutanan sosial dan pengelolaan lahan.

“Melalui USAID, Pemerintah Amerika Serikat bermitra dengan Pemerintah Indonesia untuk melestarikan hutan di Aceh serta berupaya membantu masyarakat setempat agar dapat mengelola sumber daya hutan dengan lebih baik. Bantuan yang kami berikan melalui USAID LESTARI, merupakan bukti bahwa konservasi hutan dan peningkatan mata pencaharian dapat berjalan selaras” ujar Pelaksana Tugas Direktur USAID Indonesia, Ryan Washburn dalam kunjungannya ke Desa Suri Musara. “Melalui program LESTARI, kami juga membantu memastikan bahwa pengelolaan hutan Aceh dilakukan secara berkelanjutan serta bermanfaat bagi generasi masa kini dan yang akan datang.”

Dalam mendukung upaya Pemerintah Indonesia yang menargetkan alokasi kawasan hutan untuk perhutanan sosial seluas 12,7 juta hektar, USAID LESTARI membantu masyarakat setempat bekerja sama dengan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota untuk memperkuat komitmen terhadap pengelolaan hutan kolaboratif. Pemerintah Kabupaten Gayo Lues sangat mendukung upaya ini,  terbukti dari partisipasi mereka saat mengikuti kegiatan studi banding ke Kabupaten Lampung Barat yang didukung USAID, untuk mempelajari teknik wanatani kopi berkelanjutan yang akan diterapkan di Gayo Lues.

Dalam kunjungan ini, Pelaksana Tugas Direktur USAID Indonesia, Ryan Washburn, juga akan mengikuti simulasi Patroli SMART (Spasial Monitoring and Reporting Tool) yang dapat meningkatkan efektivitas monitoring dan pengelolaan kawasan konservasi serta berdiskusi dengan Satuan Tugas Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar yang selama ini telah bekerja untuk memitigasi konflik manusia dan satwa liar.

USAID LESTARI merupakan salah satu dari serangkaian inisiatif lingkungan yang didukung oleh USAID Indonesia, yang menunjukkan komitmen dan besarnya dukungan Kemitraan Strategis AS-Indonesia. Program ini mendukung upaya Pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan melestarikan keanekaragaman hayati di ekosistem hutan dan mangrove bernilai tinggi. Pemerintah AS telah mendukung upaya konservasi hutan di Indonesia dalam kemitraan dengan Pemerintah Indonesia melalui USAID LESTARI sejak tahun 2015.[rel]

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Diduga Melanggar Kode Etik, YEL Minta MA Periksa Ketua PN Meulaboh

Banda Aceh – Kecaman terhadap putusan PN Meulaboh terus bergulir dimana sejumlah pihak menganggap putusan PN Meulaboh kontroversil. Salah satu pihak menyurati Mahkamah Agung (MA) agar memeriksa Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan perkara adalah Yayasan Ekosistem Lestari atau YEL.

YEL menyurati MA agar melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran etik hakim terhadap tiga orang hakim anggota majelis perkara Nomor. 16/Pdt-G/2017/PN Mbo yaitu Said Hasan, Ketua PN Meulaboh/Ketua majelis Perkara, Muhammad Tahir, Wakil Ketua PN Meulaboh, dan T. Latiful, Hakim Pratama dan Utama PN Meulaboh.

Selain itu YEL juga memohon kepada Ketua MA untuk memerintahkan Ketua PN Meulaboh melaksanakan eksekusi terhadap putusan Nomor 12/Pdt.G/2012/PN Mbo tanggal 8 Januari 2014 Jo Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor. 50/Pdt/2014/PT Bna tanggal 15 Agustus 2014 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor. 651 K/Pdt/2015 tanggal 28 Agustus 2015 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor. 1 PK/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017 demi untuk tegaknya hukum Indonesia.

Dalam surat tersebut, YEL beragumen bahwa sejak putusan Kasasi PT Kalista Alam (PTKA) ditolak MA, PTKA harus melaksanakan putusan secara suka rela, akan tetapi PTKA tidak melaksanakannya. Karena PTKA tidak kunjung melaksanakan Putusan secara suka rela, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia mengirimkan surat Nomor S-103/PSLH/Gkm.1/11/2016 tentang permohonan pelaksanaan Eksekusi terhadap Putusan Kasasi Mahkamah Agung, tertanggal 3 November 2016, kepada Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh.

Kemudian April 2017 Mahkamah Agung mengeluarkan putusan Peninjauan Kembali Nomor 1 PK/Pdt/2017, yang dalam amar putusannya menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh PT. Kalista Alam. Anehnya pasca keluarnya putusan kasasi MA Nomor. 1 PK/Pdt/2017, PT. Kalista Alam melalui Kuasa Hukumnya mengajukan permohonan perlindungan hukum kepada Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh.

Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh mengeluarkan surat penetapan tertanggal 20 Juli 2017 yang pada pokoknya mengabulkan permohonan perlindungan hukum PTKA. Padahal putusan Mahkamah Agung Nomor. 1 PK/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017 adalah putusan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang kesemuanya memenangkan gugatan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia terhadap PT. Kalista Alam.

Surat yang ditandatangani oleh Koordinator YEL Program Aceh, Ir. Teuku Muhammad Zulfikar, M.P, ini menyatakan putusan yang bersifat penghukuman (condemnatoir) yang harus dilaksanakan, terlebih Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai pihak yang dimenangkan dalam perkara telah mengajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan. “Maka tidak ada alasan untuk menunda eksekusi karenaa upaya hukum yang dapat ditempuh tidak ada lagi,”sebut Zulfikar.

Tidak dilaksanakannya eksekusi terhadap putusan Putusan Mahkamah Agung Nomor. 651 K/Pdt/2015 tanggal 28 Agustus 2015 Jo Putusan Mahkamah Agung Nomor. 1 PK/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017 dan keluarnya Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor. 16/Pdt-G/2017/PN Mbo memperlihat bahwa tidak adanya azas kepastian hukum.[rel]

 

 

read more