close

June 2018

HutanKebijakan Lingkungan

PepsiCo Investigasi Deforestasi Ekosistem Leuser oleh Pemasok Minyak Sawit

JAKARTA – Perusahaan makanan dan minuman raksasa PepsiCo telah meluncurkan investigasi terhadap laporan deforestasi yang dilakukan oleh salah satu pemasok minyak sawitnya di habitat kunci Indonesia yang menjadi rumah bagi harimau, orangutan, dan badak yang terancam punah.

Perusahaan itu mengatakan sedang menyelidiki pengaduan dari Rainforest Action Network (RAN), sebuah kelompok advokasi yang berbasis di AS, atas tuduhan penebangan hutan yang sedang berlangsung dalam konsesi yang dimiliki oleh perusahaan minyak sawit PT Surya Panen Subur II (SPS II), yang termasuk dalam daftar pemasok 2017 PepsiCo.

“Kami menganggap tuduhan ketidakpatuhan kebijakan dalam rantai pasokan kami sangat serius,” kata manajer komunikasi keberlanjutan global PepsiCo, Joshua Bayly, sebagaimana dikutip dari Mongabay. “Segera setelah menerima keluhan ini, kami mengaktifkan proses pengaduan kami dan menghubungi pemasok, rekan-rekan dan pihak lain untuk menyelidikinya.”

RAN mengatakan bahwa investigasi lapangan dan analisis satelit menunjukkan bahwa dalam lima bulan pertama tahun 2018 saja, 118 hektar hutan telah dihancurkan dalam konsesi SPS II, yang berada di dalam Kawasan Ekosistem Leuser di provinsi Aceh. Daerah ini merupakan hotspot ekologi, sebagai tempat terakhir di bumi di mana harimau Sumatra (Panthera tigris sondaica), badak (Dicerorhinus sumatrensis), orangutan (Pongo abelii) dan gajah (Elephas maximus sumatranus) hidup berdampingan di alam liar.

PepsiCo, perusahaan makanan ringan dengan distribusi global terbesar di dunia dan konsumen utama minyak sawit, mengatakan telah menerima beberapa tanggapan dari beberapa pemasok mereka.

Tuduhan Empat Tahun

Kesediaan untuk mengambil tindakan oleh PepsiCo datang hampir empat tahun setelah RAN mulai melaporkan dugaan penggundulan hutan di dalam konsesi SPS II pada tahun 2014. Pada tahun-tahun berikutnya, RAN mengatakan, PepsiCo tetap diam dan menolak untuk mengambil tindakan nyata.

Bertahun-tahun pembukaan hutan dan kebakaran telah merusak konsesi SPS II, menjadikannya hanya 30 persen dari tutupan hutannya yang asli seluas 130 kilometer persegi per April tahun ini.

“PepsiCo belum secara terbuka menanggapi kasus deforestasi yang sedang berlangsung ini dalam rantai pasokannya, meskipun SPS II diberi nama dalam beberapa laporan RAN sejak 2014,” ujar manajer komunikasi hutan di RAN, Emma Lierley.

Lierley juga mengatakan bahwa SPS II telah diprofilkan dalam studi kasus di LeuserWatch.org, sebuah situs web yang dibentuk oleh RAN berisi pembaruan tentang deforestasi di Ekosistem Leuser, dan disebutkan di media tentang penggunaan pembakaran ilegal untuk membersihkan lahan pada tahun 2012. Namun, nyatanya, PepsiCo terus mengambil minyak sawit yang sumbernya berasal dari konsesi SPS II.

Kebakaran enam tahun yang lalu, di area gambut Tripa yang secara ekologis penting di Leuser, dideskripsikan oleh majalah investigasi Indonesia Tempo sebagai kebakaran abu dan asap yang mengepul. Panas dari pembakaran gambut mengusir manusia dan hewan, meninggalkan reruntuhan yang membara dari “hutan yang terbakar habis dengan batang pohon yang hangus dan menghitam.”

Api dengan cepat menempatkan rawa gambut Tripa dalam sorotan internasional; daerah kaya karbon dengan populasi orangutan Sumatera yang paling padat di dunia, terancam punah, dan bahkan disebut “ibukota orangutan di dunia.”

Menanggapi kebakaran tersebut, pemerintah Indonesia meluncurkan penyelidikan yang menghasilkan gugatan perdata terhadap SPS II pada tahun 2012. Pada tahun 2016, pengadilan negeri Meulaboh memutuskan perusahaan membayar denda sebesar 3 miliar rupiah. Namun sayangnya, Mahkamah Agung telah membatalkan putusan pengadilan negeri ini pada tingkat banding.

Sementara perusahaan dibebaskan, tiga karyawannya, termasuk kepala eksekutifnya, dinyatakan bersalah memerintahkan kebakaran, dengan masing-masing dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan denda 3 miliar rupiah.

Orang luar harus disalahkan

Minyak sawit yang diproduksi oleh SPS II memasuki rantai pasokan PepsiCo melalui Golden Agri-Resources (GAR), salah satu perusahaan minyak sawit terbesar di dunia. Dalam laporan tahun 2014, GAR mengatakan SPS II tidak dapat disalahkan atas deforestasi di dalam konsesinya.

Sebaliknya, GAR menuduh para pelaku pembakaran sebagai penduduk desa terdekat, Kuala Seumayam, dan sebuah perusahaan minyak sawit bernama CV Sawit Mandiri, yang dikatakan telah menduduki lahan-lahan bagian konsesi.

“SPS II telah mengalami perambahan oleh komunitas lokal yang menyebabkan serangkaian pembakaran lahan dan deforestasi di konsesi selama beberapa tahun,” kata GAR di situs webnya.

Penduduk Kuala Seumayam, bagi sekitar 500 orang, mengatakan mereka diusir dari tanah mereka ketika PT SPS II dan perusahaan kelapa sawit lainnya, PT Kallista Alam, beroperasi di sana pada tahun 2000-an.

GAR mengatakan mengadakan dialog terbuka antara SPS II dan penduduk desa untuk mengatasi perambahan tersebut. Selama diskusi, GAR mengatakan, penduduk desa mengaku memasuki konsesi dan membakar untuk membersihkan lahan. Penduduk percaya bahwa konsesi itu ditinggalkan ketika mereka pertama kali masuk, dan meminta untuk tidak dituntut keluar dari konsesi mengingat banyak uang yang mereka habiskan untuk mengolah tanah.

Pada gilirannya, kepala desa bersumpah untuk mendorong penduduk desa untuk menghentikan pembukaan lahan, sambil menunggu selesainya pemetaan partisipatif dan studi kepemilikan lahan.

Sementara GAR menganggap dialog itu sukses, katanya pemantauan berikutnya, dari November 2017 hingga April 2018, menemukan tanda-tanda bahwa pembukaan lahan di dalam konsesi berlanjut.

“Hal ini menunjukkan bahwa meskipun SPS II memiliki keterlibatan pertama yang positif dengan masyarakat, mereka perlu melakukan lebih banyak pekerjaan untuk memastikan tindakan tindak lanjut yang tepat yang akan mengarah pada perubahan,” kata GAR.

Lierley mengakui masalah perambahan, tetapi mengatakan itu tidak membebaskan SPS II dan PepsiCo dari tanggung jawab apa pun. Perusahaan lain yang diidentifikasi oleh RAN sebagai sumber minyak sawit mereka dari konsesi SPS II termasuk Unilever, Nestlé, Mars, Mondelēz International dan General Mills.

“Adalah aman untuk mengatakan bahwa pembukaankanal saat ini terjadi melalui pihak ketiga yang terorganisasi, sementara secara historis telah dilakukan oleh SPS II,” kata Lierley. “[Namun], SPS II tetap bertanggung jawab atas konsesinya – dampak penebangan hutan di masa lalu dan saat ini.”

Dia mengatakan perambahan dan penggundulan hutan terus berlanjut karena kegagalan SPS II untuk menyelesaikan perselisihan lama atas tanah melalui proses resolusi konflik yang transparan, kredibel dan independen. Permintaan pasar untuk apa yang disebut minyak sawit konflik dari pabrik dan kilang dekat, termasuk yang memasok merek utama, juga memicu deforestasi, tambahnya.

Laporan RAN mengatakan bahwa SPS II telah memilih untuk tidak mempublikasikan metodologi studi tenurial lahan atau laporan publik tentang setiap kemajuan yang dibuat pada upaya untuk mengatasi deforestasi yang sedang berlangsung, pengerukan kanal, kebakaran dan resolusi konflik.[]

Sumber: Mongabay 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Greenpeace: Raksasa Minyak Sawit Terlibat Deforestasi Hutan Indonesia

Singapura – Perusahaan-perusahaan raksasa minyak kelapa sawit di dunia masih terkait erat dengan deforestasi di Indonesia meskipun lima tahun lalu berjanji menghentikan penebangan hutan yang luas di hutan, demikian laporan Greenpeace, Senin (25/6/2018).

Wilmar International yang terdaftar di Singapura memiliki hubungan dekat dengan Gama, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit besar Indonesia yang dikatakan oleh kelompok lingkungan telah menghancurkan area hutan hujan seukuran dua kali kota Paris.

Gama didirikan oleh pendiri Wilmar dan saudaranya pada tahun 2011 dan konsesi lahannya dimiliki dan dikelola oleh kerabat pasangan itu, menurut Greenpeace.

Greenpeace mengklaim hasil pemetaan dan analisis satelit menunjukkan bahwa Gama telah menghancurkan 21.500 hektar (53.000 hektar) hutan hujan atau lahan gambut sejak Wilmar berkomitmen menghentikan penebangan di Indonesia.

“Selama bertahun-tahun, Wilmar dan Gama telah bekerja sama, dengan Gama melakukan pekerjaan kotor sehingga tangan Wilmar tetap bersih,” kata kepala kampanye global hutan Indonesia Greenpeace Asia Tenggara, Kiki Taufik.

“Wilmar harus segera memutus semua pemasok minyak sawit yang tidak dapat membuktikan bahwa mereka tidak merusak hutan hujan.”

Wilmar menolak untuk berkomentar atas laporan Greepeace ini. Greenpeace mengatakan bahwa Wilmar menyangkal memiliki pengaruh terhadap Gama.

Minyak sawit adalah bahan utama dalam banyak barang sehari-hari, mulai dari biskuit hingga sampo dan make-up.

Peningkatan permintaan minyak sawit untuk komoditas telah menyebabkan ledakan industri di Indonesia, yang merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia. Kelompok-kelompok hijau telah lama menuduh perusahaan-perusahaan kelapa sawit merusak lingkungan hidup.

Banyak perusahaan telah membuat janji “no deforestasi” setelah berada di bawah tekanan, tetapi para aktivis mengatakan bahwa komitmen semacam itu sulit untuk dipantau dan seringkali dilanggar oleh perusahaan.

Perusakan hutan hujan, pembukaan lahan gambut – penumpukan vegetasi yang membusuk – untuk membuat jalan bagi perkebunan kelapa sawit menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat besar. Sejumlah besar karbon dilepaskan ketika gambut dikeringkan atau dibakar, memperburuk perubahan iklim, menurut ahli lingkungan.

Kebakaran gambut juga sulit untuk dipadamkan dan faktor kunci dalam wabah kabut asap beracun yang meracuni Asia Tenggara hampir setiap tahun.[]

Sumber: www.thejakartapost.com 

 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Kejari Nagan Raya Eksekusi Kepala Kebun PT SPS II

NAGAN RAYA – Kejaksaan Negeri (Kejari) Nagan Raya mengeksekusi seorang terpidana kasus pembakaran lahan perkebunan sawit PT Surya Panen Subur II (SPS II), dari tiga terpidana yang telah diputuskan bersalah oleh Mahkamah Agung (MA), Senin (25/6/2018) lalu.

Terpidana yang dieksekusi itu sebelumnya menjabat sebagai Kepala Kebun Seunaan PT SPS II, Anas Muda Siregar. Dia terbukti bersalah melalui keputusan MA kasus pembakaran lahan dalam rentang waktu Maret hingga Juli 2012 lalu seluas 1.200 hektar.

Sedangkan dua terpidana lainnya, Eddy Sutjahyo Busin (Presiden Direktur PT SPS), Marjan Nasution (Administrator PT SPS), gagal dieksekusi karena alasan dalam kondisi sakit saat ini. Pihak Kejadi Nagan mengaku akan terus memantau perkembangan kesehatan kedua terpidana yang belum dieksekusi tersebut.

“Terpidana dieksekusi ke Lembaga Permasyarakatan Kelas II B Meulaboh, Aceh Barat,” kata Kepala Kejari Nagan Raya, Sri Kuncoro.

Anas Muda Siregar dihukum penjara selama dua tahun penjara oleh MA. Selain itu, MA juga menghukum pidana denda sebesar Rp 3 miliar dengan subsidair 3 bulan penjara. Putusan hukuman yang sama juga diberikan kepada kedua terpidana yang belum dieksekusi pihak Kejari Nagan Raya.

Ketiga petinggi PT SPS dipidanakan karena telah membuka lahan untuk perkebunan sawit dengan cara membakar seluas 1.200 hektar di lahan gambut. Lalu pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menggugat perusahaan tersebut hingga persidangan bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh.

Seperti dikutip dari mongabay.co.id, persidangan yang berlangsung Kamis (28/1/2016) di Meulaboh, Hakim Rahma Novatiana, menjatuhkan denda untuk perusahaan ini sebesar Rp 3 miliar dan hukuman penjara 3 tahun, subsider 1 bulan, kepada Anas Muda Siregar (kepala kebun) dan Marjan Nasution (kepala proyek). Namun, Presiden Direktur PT. SPS II Edi Sutjahyo Busiri yang ikut menjadi pesakitan dinyatakan bebas.

Hukuman ini lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Rahmat Nur Hidayat yang menuntut hukuman 3,5 tahun penjara kepada terdakwa dan denda Rp 4 miliar ke perusahaan. Persidangan PT. SPS II telah berlangsung sejak 2013.

Hakim menjerat terdakwa dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Menurut majelis hakim, PT. SPS II terbukti bersalah membuka lahan dengan cara membakar secara berlanjut. “Hal yang memberatkan perbuatan terdakwa ini menyebabkan perubahan karakteristik pada lahan gambut. Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pelestarian lingkungan di lahan gambut.”

Majelis hakim juga memberi pertimbangan lain yang meringankan PT. SPS II yang dianggap telah memiliki manajemen kesigapan tanggap darurat terhadap kebakaran dan telah melakukan upaya maksimal memadamkan kebakaran lahan sehingga kebakaran tidak meluas dan dapat dilakukan secara cepat tanpa bantuan pemerintah.

Kebakaran terjadi di areal konsesi PT. SPS II di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya. PT. SPS II memiliki konsesi hak guna usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit seluas 12.957 hektar di Tripa dan beroperasi atas izin budidaya Gubernur Aceh tahun 2012 setelah membeli HGU itu dari PT. Agra Para Citra. Hasil pemeriksaan lapangan menunjukkan bahwa areal yang terbakar merupakan lahan yang sudah ditanami sawit dan sebagian merupakan lahan yang sudah dibuka sebelum kebakaran terjadi.

Atas vonis hakim ini, para terpidana menyatakan banding. Menurut pengacara PT. SPS II, Trimulya, ada hal yang kontradiktif dalam putusan majelis hakim. “Dalam pertimbangan majelis hakim disebutkan para terdakwa telah menerapkan metode pembukaan lahan tanpa bakar.”

Kejari Nagan Raya tinggal mengeksekusi dua terpidana lainnya yang dinyatakan masih sakit, sehingga tidak bisa dieksekusi. Atas putusan ini menjadi pelajaran semua pihak bahwa begitu penting penyelamatan dan pelestarian lahan gambut di  kawasan Rawa Tripa dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

read more
Flora Fauna

Petugas Sita Orangutan dari Oknum TNI di Aceh Timur

ACEH TIMUR – Seekor individu Orangutan berhasil diselamatkan dari tangan seorang oknum anggota TNI oleh tim gabungan di Gampong Baru, Kecamatan Idie Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur, Senin (25/6/2018) tadi pagi.

Tim gabungan yang selamatkan seekor individu Orangutan itu adalah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Human-Orangutan Conflict Response Unit – Orangutan Information Center (HOCRU – OIC) dan Polsek Idie Rayeuk. Orangutan berusia 2,5 tahun itu sebelumnya dipelihara oleh anggota TNI Langsa selama 2 tahun lebih.

“Orangutan ini sebelumnya dipelihara oleh seorang anggota TNI Langsa selama lebih kurang 2 tahun,” kata Kepala BKSDA Aceh, Sapto Aji Prabowo, Senin (25/6/2018).

Kondisi Orangutan saat ditemukan dalam kondisi sangat prihatinkan, jauh dari kata layak. Orangutan berada dalam kandang yang kotor dan tinggal bersama seekor monyet lainnya.

Selain itu, kondisi Orangutan dalam kondisi kesehatan yang memburuk. Dimana petugas menemukan sejumlah penyakit kulit di tubuh Orangutan yang cukup serius dan butuh segera dilakukan pengobatan secara intensif.

“Kondisi dari orangutan ini pun terbilang buruk dimana ditemukan sejumlah penyakit kulit yang cukup serius,” jelasnya.

Untuk menjalani pengobatan dan rehabilitasi, Orangutan itu sudah dibawa menuju pusat rehabitasi Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) di Sumatera Utara, Medan.

“Masyarakat harus mengetahui bahwa menangkap, membunuh, memperdagangkan, memiliki orangutan di Indonesia adalah perbuatan illegal dan masuk dalam tindakan kriminal, yang tentu akan ada sanksi hukum berupa denda hingga penjara,” tegas Sapto.

Sejak tahun 2001, SOCP telah menerima lebih dari 360 orangutan di pusat karantina dan rehabilitasi orangutan di dekat Medan, Sumatera Utara. Lebih dari 170 diantaranya telah dilepasliarkan ke pusat reintroduksi SOCP di Provinsi Jambi, dan 105 orangutan lainnya dilepaskan ke hutan Jantho, provinsi Aceh.[]

read more
Hutan

Rawa Tripa, Riwayatmu dari Dulu hingga Kini

Di masa kolonial, pejuang Aceh menjadikan Tripa sebagai tempat persembunyian. Hutan yang rapat menghentikan serdadu Belanda. Itu sepenggal kisah lokal tentang Tripa yang agung dan misterius. Dari masa ke masa, keagungan Tripa sirna. Rawa ini hanya menjadi tempat merajalelanya keserakahan perkebunan sawit. Lini masa berikut menunjukkan benturan kepentingan di Tripa sudah terjadi sejak era 1990-an.

1920-an
Pembukaan kebun sawit NV Socfin (sekarang PT Sofindo) di Nagan Raya.
1934
Pemimpin adat Aceh mendeklarasikan penyelamatan hutan Leuser, yang mencakup Tripa. Deklarasi Tapaktuan ini ditandatangani gubernur Hindia Belanda.
1940-an
Hampir seluruh Tripa ditutupi hutan perawan.
1980-an
PT Cemerlang Abadi membuka kebun sawit di Alue Mirah. Areal konsesi itu terbengkalai hingga 1990-an.
1983
Tata Guna Hutan Kesepakatan 1983: sebagian besar masih berstatus hutan negara bebas atau hutan produksi.
1990-an
– Hutan Tripa masih relatif utuh. Pembangunan jalan Meulaboh-Tapaktuan yang dibangun pada 1980 pun tak membuka kawasan rawa.
– Ada lima perusahaan: Gelora Sawita Makmur, Kalista Alam, Patriot Guna Sakti Abadi, Cemerlang Abadi dan Agra Para Citra. Hal ini bertentangan dengan SK Presiden No. 32/1990: hutan gambut sedalam lebih dari 3 m harus dilindungi dan tak boleh dikonversi jadi lahan budidaya.

– Padu-serasi kawasan hutan pada 1995 dan SK Gubernur Aceh No. 19/1999: wilayah Tripa ‘bukan kawasan hutan’, tapi masih ada ‘kawasan lindung di luar hutan’. Artinya, pada masa ini masih ada kesempatan untuk menyelamatkan areal Tripa.
1998
Tripa masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL), dengan tata kelola konservasi khusus Pemimpin adat Aceh mendeklarasikan sesuai Keppres No. 33 Tahun 1998.
1999
Konflik bersenjata mengerem pembukaan lahan. Proses suksesi alami berlangsung.
2000
Menteri Kehutanan menerbitkan SK No. 170/2000 yang menyatakan seluruh kawasan Tripa merupakan areal penggunaan lain (APL).
2001
Terbit SK Menhut No. 190/2001 yang menetapkan batas-batas Kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh.
2001 – 2005
Selama konflik Aceh, kebun sawit tak aktif dan terjadi regenerasi alami. Setelah tsunami dan masa damai, pembukaan lahan dimulai lagi oleh Astra Agro Lestari dan Kalista Alam.

2006
UUPA No. 11/2006 menyatakan mandat pemerintahan Aceh untuk mengatur Kawasan Ekosistem Leuser (KEL): perlindungan, rehabilitasi dan pemanfaatan secara lestari. UUPA menjadi dasar dibentuknya Badan Pengelola KEL, lembaga provinsi untuk melaksanakan mandat itu.
2007
– Gubernur Aceh Irwandi Yusuf menerbitkan instruksi moratorium penebangan hutan di seluruh Aceh.
– Hasil kajian: tersisa 31.410 ha atau 51% dari ekosistem Tripa. Sekitar 17.820 ha berada dalam konsesi perkebunan, dan sisanya 12.573 ha untuk penggunaan lain oleh masyarakat. Hingga akhir 2009, sekitar 8.000 ha telah dibuka kembali.
– Peneliti menguji kedalaman gambut di atas 3 m di sebagian besar lokasi, termasuk areal konsesi HGU. Di lokasi tertentu melebihi 5 m.
2008
Peneliti menyebut hutan Tripa tersisa 15.595 ha (24%) yang berada di kebun sawit. Sekitar 1.000 ha dibuka dengan pembakaran.
2009
– Kajian lain menyebut perubahan lahan selama 19 tahun (1990-2009) sangat cepat. Hutan Tripa pada 1990 seluas 67.000 ha atau 65% dari total area, namun sampai 2009 hanya tersisa 19.000 ha atau tinggal 18%. Selama itu pula, luas kebun sawit perusahaan dan rakyat meningkat drastis: dari 941 ha menjadi 38.568 ha.
2010
– Warga 21 gampong Kemukiman Tripa dan Seumayam melayangkan petisi kepada Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan bupati Nagan Raya.
2011
– TKPRT merilis petisi kepada pemerintah Aceh dan DPR Aceh untuk menyelamatkan Tripa.
– Sebagai bagian kesepakatan REDD+ Indonesia-Norwegia, pemerintah merilis moratorium penerbitan izin baru di hutan primer dan lahan gambut (PIPIB). Tripa masuk dalam daerah terlarang bagi penerbitan izin baru.
– Izin lokasi Kalista berakhir pada 5 Februari 2011, tapi gubernur Aceh memberikan izin budidaya pada Agustus 2011. Hali ini membuat aktivis lingkungan menggugat gubernur Aceh.
– Walhi Aceh menggugat izin gubernur itu ke PTUN Aceh.
– Tiba-tiba areal Kalista dikeluarkan dari peta moratorium saat revisi PIPIB.
2012
– Petisi Rawa Tripa menuntut Presiden Yudhoyono menegakkan hukum. Dalam semalam, petisi meraih 10.000 lebih tanda tangan. PTUN Aceh menolak gugatan Walhi, lalu  banding ke PTTUN Medan. PTTUN Medan mengabulkan banding Walhi:  gubernur mesti mencabut izin Kalista. Sesuai keputusan PTTUN, gubernur Aceh mencabut izin Kalista. Tak terima, Kalista mengajukan kasasi dan menggugat gubernur. Keadaan kian buruk: tanpa izin, Kalista terus membuka dan membakar lahan.
2013
Kalista menang, PTUN Aceh memerintahkan gubernur mencabut surat pencabutan izin perkebunan. Mahkamah Agung menolak kasasi Kalista dalam gugatan pencabutan izin oleh gubernur. Dengan demikian, pencabutan izin
Kalista oleh gubernur sah dan berkekuatan hukum tetap.  Bekas lahan Kalista ditetapkan sebagai kawasan lindung gambut melalui Qanun RTRW Aceh. Sayangnya, qanun ini menghilangkan nomenklatur KEL di Aceh. Warga Aceh menggugat qanun di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

2014
– Kalista dinyatakan bersalah di pengadilan Meulaboh karena membakar lahan. Denda Rp 336 miliar. Ini kasus perdata pembakaran lahan pertama yang diajukan KLHK. Kalista banding.
– Pengadilan Tinggi Aceh menolak banding Kalista. Perusahaan ini mengajukan kasasi ke MA.
2016
Mahkamah Agung menolak kasasi Kalista. Putusan ini menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Aceh. Vonis pertama dan terbesar sepanjang sejarah kasus pembakaran lahan dan hutan.

2017
PT Kallista Alam menggugat balik pemerintah yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Pemerintah Indonesia, Cq, Kementerian Agraria/Tata Ruang/Kepala BPN, Cq, Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Provinsi Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh, serta Ketua Koperasi Bina Usaha Kita.

Dalam gugatannya, PT. Kallista Alam menyebutkan, koordinat gugatan perdata yang dicantumkan KLHK dan juga dalam putusan hukum pengadilan tidak sesuai dengan kenyataan lapangan, atau error in objekto. Selain itu, perusahaan ini juga menggugat adanya pihak ketiga atau Koperasi Bina Usaha Kita di lahan 1.605 hektare yang telah dicabut izinnya oleh Gubernur Aceh.

2018
PN Meulaboh membatalkan putusan dari MA terhadap eksekusi denda PT Kallista Alam yang telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini menimbulkan kontroversial dan sejumlah organisasi masyarakat mengecamnya. Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) melakukan demonstrasi untuk memprotes Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh di depan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Majelis Hakim PN Meulaboh menyatakan bahwa putusan yang menghukum PT Kallista Alam (PT KA) sebesar Rp. 366 milyar sebagai title non-eksekutorial atau tidak bisa dieksekusi. Seperti diketahui sebelumnya, PT KA dinyatakan bersalah karena terbukti membakar 1.000 hektar lahan gambut di Tripa, Nagan Raya, Aceh.[]

Sumber: Agus Prijono, 2016, Rawa Tarung, Pertaruhan Di Rawa Gambut Tripa, Yayasan KEHATI, Jakarta dan data diolah.

 

 

read more
Flora FaunaHutan

Kebun Sawit Ilegal dalam KEL akan Dihancurkan

Lebih dari 1.000 hektar perkebunan kelapa sawit ilegal di provinsi Aceh akan ditebang dan kawasan itu dikembalikan sebagai hutan lindung, kata seorang aktivis.

Pekerjaan menebang pohon sawit pada perkebunan kelapa sawit ilegal di Kawasan Ekosistem Leuser, kabupaten Tamiang, akan dimulai pada hari Senin, kata Koordinator Forum Konservasi Leuser (FKL), Tezar Pahlevi. Dinas Kehutanan Aceh Tamiang sudah memberitahukan hal ini kepada pemilik perkebunan ilegal minggu lalu.

“Apakah mereka suka atau tidak, mereka harus menyerahkan tanah karena mereka secara ilegal mengkonversi hutan lindung dan mereka tidak memiliki izin,” kata Tezar sebagaimana dikutip dari Jakarta Globe beberapa waktu lalu.

Sekitar 1.071 hektar dari kawasan konservasi seluas 2,6 juta hektar telah dikonversi menjadi perkebunan, kata Tezar, dan pemulihan sangat penting untuk melindungi seluruh kawasan hutan.

“Tentu saja akan memakan waktu, tetapi sejauh ini Aceh Tamiang dan pemerintah provinsi Aceh berkomitmen untuk itu,” katanya.

Ekosistem Leuser membentang di 13 kabupaten di Aceh dan tiga kabupaten di Sumatera Utara. Daerah ini berisi sejumlah flora dan fauna serta hewan langka seperti harimau, orangutan, badak dan gajah.

Tezar mengatakan setidaknya 3.000 hektar hutan lindung di Aceh perlu direhabilitasi karena konversi ilegal ke perkebunan kelapa sawit.

Indonesia memiliki tingkat deforestasi tertinggi di dunia – hampir dua kali lipat dari Brasil, menurut sebuah penelitian baru-baru ini – dengan luasan hutan primer dan sekunder yang luas yang dibuka untuk sektor perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit.[]

Sumber: thejakartaglobe.com 

 

read more
Flora Fauna

Pemerintah Serius Tangani Pembunuhan Gajah Bunta

JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) akan menyelidiki dan mengusut secara serius kematian gajah bernama “Bunta” yang diduga diracun orang tak dikenal, pada Sabtu 9 Juni lalu. Pembunuhan gajah, hewan yang dilindungi ini terjadi di sekitar Conservation of Respond Unit (CRU) di Desa Bunin, Kecamatan Serbajadi, Aceh Timur.

Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, Rabu (13/6/2018) kepada media mengatakan akan segera memanggil pihak CRU Serbajadi, Aceh Timur, Aceh.

Tempat konservasi tersebut mendapatkan bantuan dana dari pihak swasta. Secara keseluruhan di Aceh ada pusat tempat konservasi gajah sebanyak 7 CRU. Jadi unit ini untuk mengatasi mitigasi konflik di Aceh timur, Utara dan Pidi, Aceh jaya, Aceh barat, Aceh Selatan, biayanya oleh USAID, oleh Astra juga. Jadi biayanya dari mitra,” kata Siti.

Mengenai perkembangan penanganan gajah “Bunta”, Menteri Siti menjelaskan, KLHK bersama tim Inafis dan Identifikasi Polres Aceh Timur serta tim dokter hewan BKSDA Aceh, melakukan nekropsi dan olah tempat kejadian perkara atau TKP dengan hasil sebagai berikut. Pertama, pengambilan sampel jantung, limpa, usus dan ginjal untuk uji laboratorium.

Lalu, kedua pengambilan sisa patahan gading sebelah kiri sepanjang 46 cm (sisanya hilang) berat belum ditimbang dan gading sebelah kanan sepanjang 148 cm berat belum ditimbang sebagai berat badan.

Ketiga, kata Siti, diagnosa sementara tim medis BKSDA Aceh adalah toxicosis, berdasarkan kerusakan dan perubahan organ-organ usus mengalami pendarahan, jantung nekrosis, dan hiperemi, pembengkakan (oedema) dan sianosis pada paru, oedema (pembengkakan) hati, cairan dirongga dada sangat keruh dan adanya buah kuini di dalam usuus serta ditemukan buah tersebut didekat bangkai satwa ditemukan.

Menteri Siti juga mengungkapkan soal pengelolaan gajah terlatih di Provinsi Aceh. Sampai saat ini gajah terlatih di seluruh Aceh berjumlah 33 ekor dan 2 anak gajah, baik yang lahir maupun yang dievakuasi bulan lalu (sebelum kematian Bunta).

Gajah terlatih tersebut tersebar di Pusat Konservasi Gajah (PKG) Sare dan 7 Conservation Respon Unit (CRU : Unit untuk melakukan mitigasi konflik gajah) yang tersebar di Aceh Timur, Aceh Utara, Bener Meriah, Pidie, Aceh Jaya, Aceh Barat dan Aceh Selatan.

Dikemukakan Siti,CRU dimpin oleh satu orang leader, dan di dalamnya ada mahout dan asisten mahout. Leader bertanggung jawab langsung kepada Kepala Seksi Wilayah dan berkoordinasi secara teknis dengan Kepala Pusat Konservasi Gajah atau PKG. Total dari hasil survei KLHK di awal 2017, jumlah gajah di Aceh 539 ekor.

Pencarian pembunuh Gajah Bunta

Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf menggelar sayembara berhadiah sebesar Rp 100 juta bagi yang dapat memberikan informasi pelaku pembunuh gajah Bunta. Total hadiah yang bakal diterima pemberi informasi bisa Rp135.000.000, yaitu dari Irwandi Rp100 juta dan Rp35 juta dari kumpulan beberapa lembaga lingkungan dan perorang.

Selain itu, sejumlah lembaga lingkungan seperti Forum Konservasi Leuser (FKL), Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Wildlife Conservation Society (WSC), Orangutan Information Centre (OIC), Yayasan Ekosistem Lestari, mengecam pembunuhan gajah “Bunta” dan memberikan apresiasi kepada pemberi informasi pelaku pembunuhan.

Sedangkan warung kopi Leuser Cafe menggratiskan minum kopi seumur hidup bagi mereka yang menemukan identitas pelaku pembunuhan gajah tersebut.[]

Sumber: news.okezone.com 

 

 

read more
Ragam

Masyarakat Aceh Dan Konservasi Kawasan Ekosistem Leuser

Pendahuluan 
Kawasan Ekosistem Leuser di Provinsi Aceh merupakan kawasan konservasi terluas di Asia Tenggara yang masih tersisa sampai saat ini. Dengan luas 2,25 juta hektar di Aceh (2,6 juta hektar bila dengan wilayah Sumatera Utara), lokasi ini dianggap benteng terakhir keragaman hayati di Pulau Sumatera setelah kawasan lainnya porak- poranda dalam waktu 20 tahun belakangan ini. Namun di waktu yang akan datang, hutan Leuser akan mengalami nasib yang sama seperti hutan di Riau, Jambi atau Lampung yang telah lebih dahulu musnah – jika Pemerintah Aceh gagal menghentikan kerusakan yang semakin parah akhir-akhir ini.

Sejarah Kawasan Ekosistem Leuser 
Hingga awal abad 19, nama Leuser tidak terdengar di dunia Internasional, tidak sepertinya kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam. Nama Leuser baru terdengar pada laporan- laporan geologis Belanda pada tahun 1925– 1926 seiring penaklukan Belanda ke lokasi paling tertutup di Aceh kala itu yaitu Gayo Lues. Van Daalen yang memimpin ekspedisi penaklukan ke Gayo pada tahun 1904 menyertakan seorang seorang ahli geologist dan seorang fotografer yaitu HM. Neeb dalam misi terakhir penaklukan Aceh ini yang diikuti dengan pembantaian ribuan rakyat Aceh itu. Foto-foto keindahan alam tanah Gayo dengan pegunungan yang menjulang tinggi yang dihasilkan oleh Neeb telah memikat Ratu Wihelmina sehingga menamakan pegunungan di Alas ini dikenal sebagai Wihelmina-Keten (Abdullah 2004). Penaklukan ini telah direncanakan dengan matang oleh Van Daalem ke lokasi paling indah dan misteri ini, yang kemudian tidak saja menimbulkan rasa takjub pada alamnya tapi lebih jauh lagi melahirkan kisah cinta seorang serdadu dengan wanita pejuang lokal yang secuil kisahnya dapat kita nikmati di novel Bumi Manusia karangan Pramudya Ananta Noer.

Survey-survey geologis yang dilakukan oleh peneliti Belanda setelah penaklukan Aceh kemudian dilanjutkan dengan rencana untuk mengeksploitasi sumber daya mineral dan kayu di Alas dan Gayo. Namun rencana ini ditentang pemimpin-pemimpin lokal Aceh dari Tanah Gayo, Alas, Blangpidie, Tapaktuan hingga Singkil. Pada tahun 1924 para pemimpin ini menyampaikan permohonan kepada Pemerintah kolonial Belanda untuk melindungi hutan di Singkil dan Tanah Alas dari pertambangan dan logging. Keresahan akan rusaknya alam dan lingkungan menjadi prioritas utama para pemimpin lokal saat itu. Permohonan untuk melindungi alam ini kemudian ditindak lanjuti oleh dr. F.C. van Heurn, seorang peneliti dan konservasionis Belanda pada tahun 1928 dengan menyiapkan proposal pertama untuk konservasi Leuser yang meliputi bagian barat Sungai Alas menuju Singkil hingga batas laut Singkil. Pada tahun yang sama proposal ini dikirimkan oleh Netherlands Committee for International Nature Conservation kepada Gubernur Jenderal Belanda di Batavia. Pada tahun 1932, F.C. van Heurn menyampaikan proposal kedua untuk melindungi sekitar Gunung Leuser dan Kluet.

Pada tanggal 6 Februari 1934 atau sepuluh tahun protes diajukan, pemimpin- pemimpin lokal Aceh mengadakan pertemuan di Tapaktuan untuk mendeklarasikan kesepakatan melindungi hutan Leuser, yang dikenal sebagai Deklarasi Tapaktuan yang melahirkan Piagam Tapaktuan. Pada tahun 1934 itu juga, Gubernur Aceh van Aken, resmi menetapkan Suaka Margasatwa Gunung Leuser seluas 416.000 hektar sebagai kawasan konservasi. Leuser merupakan kawasan konservasi pertama yang dibentuk atas dasar inisiatif masyarakat lokal. Pendirian kawasan konservasi ini berlanjut ke kawasan lain yaitu SM. Kluet (1936), SM. Langkat Selatan dan Langkat Barat, SM. Sikundur (1936) (Schaik, 1998). Ini merupakan serentetan pembentukan kawasan konservasi yang kemudian dikenal sebagai bagian dari Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) di tahun 1982. Penunjukan TNGL merupakan satu dari lima taman nasional pertama yang berdiri di Indonesia.

Survey-survey yang dilakukan dalam kurun waktu tahun 1990-an menyebutkan bahwa selain TNGL, kawasan hutan disekitarnya juga bernilai penting bagi konservasi keragaman hayati, dengan fungsi ekologi yang tinggi bagi masyarakat sekitar. Melindungi TNGL saja tidaklah cukup, melainkan perlu pula melindungi hutan-hutan disekitarnya. Diperkirakan 75 – 80% orangutan, gajah dan harimau – 3 dari 4 spesises kharismatik sumatera – yang hidup di hutan- hutan Aceh justru berada di luar kawasan konservasi. Bukti-bukti ilmiah dan kebutuhan melindungi hutan yang lebih luas meliputi hutan dataran rendah di Aceh menjadi dasar utama para tokoh-tokoh Aceh mendorong pemerintah untuk membentuk Kawasan Ekosistem Leuser. Usulan pembentukan KEL ini kemudian ditindaklanjuti dengan terbitnya Kepres 33/1998 tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser. Seluruh tata batas KEL telah diresmikan berdasarkan SK Menhutbun No.190/Kpts-II/2001 seluas 2,25 juta hektar di Provinsi Aceh. Pada tahun 2006 seiring disahkannya UU 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, KEL ditingkatkan statusnya menjadi Kawasan konservasi dimana pemerintah dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan di dalamnya. Pada tahun 2008, pemerintah menetapkan KEL sebagai Kawasan Strategis Nasional dari sudut kepentingan lingkungan hidup melalui PP No. 26/2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Pentingnya Kawasan Ekosistem Leuser 
Serentetan keputusan pembentukan KEL diatas menunjukan bahwa KEL sangat penting untuk dilestarikan. Pada tahun 2013, ahli-ahli IUCN yang mempublikasikan hasil penelitian mereka di Jurnal Science, menggolongkan KEL sebagai salah satu situs yang tidak tergantikan di dunia (Sauot et al 2013).

Pentingnya KEL tidak saja diukur dari fungsi ekologi, tetapi juga ekonomi dan nilai- nilai estetika yang tidak dapat dinilai. Studi yang dilakukan oleh Beukering et al pada tahun 2001 terhadap manfaat ekonomi Kawasan Ekosistem Leuser menyebutkan bahwa jika Kawasan Ekosistem Leuser dilestarikan dalam jangka waktu 30 tahun, akan memberi manfaat yang setara dengan 560 juta US Dollar per tahunnya. Nilai-nilai ini kemudian dikenal dengan Total Economy Value (TEV) yang telah berkembang dewasa ini. Jika kawasan Ekosistem Leuser dieksploitasi untuk kegiatan logging, tambang dan konversi hutan menjadi lahan perkebunan dalam jangka waktu yang sama nilainya jauh lebih rendah. Artinya Konservasi KEL lebih menguntungkan dari eksploitasi.

Namun sayangnya pemerintah dan masyarakat tidak menyadari nilai yang besar ini karena tidak dirasakan langsung dalam jumlah uang, melainkan dalam bentuk penyediaan air, udara bersih, obat-obatan, pencegahan bencana yang dirasakan dan bersentuhan langsung oleh masyarakat. Dari aspek ekologis masyarakat mendapatkan manfaat secara gratis namun tidak dirasakan sebagai sesuatu yang menguntungkan. Padahal suplai air yang dihasilkan secara terus menerus bukan saja berguna untuk mengairi lahan pertanian di Aceh dan kebutuhan air masyarakat Aceh, tetapi juga memberikan manfaat bagi pusat industri yang berada bagian timur Leuser khususnya Lhokseumawe.

Setiap tahunnya Kawasan Ekosistem Leuser menghasilkan kurang lebih 200,000 milyar kubik air (BPKEL, 2007). Dari segi keragaman hayati,Leuser merupakan hotspot keragaman tertinggi di Indonesia. Diperkirakan 2/3 dari seluruh jenis burung, mamalia dan tumbuhan di sumatera terdapat di Kawasan Ekosistem Leuser. Leuser merupakan tempat hidup bagi 174 Spesies Mamalia (80% mamalia sumatera, 25% mamalia Indonesia), 382 spesies burung, 191 spesies reptil, 52 spesies amphibian serta 4500 spesies tumbuhan. Kawasan Ekosistem Leuser juga merupakan satu-satunya tempat di di dunia dimana empat spesies kharimastik yaitu Badak sumatera, Harimau sumatera, Gajah sumatera dan Orangutan sumatera hidup di habitat yang sama (koeksistensi). Spesies-spesies ini digolongkan oleh IUCN sebagai Critically Endangered atau akan punah dalam waktu dekat bila tidak ada tindakan konservasi yang tepat. Gajah Sumatera merupakan spesies terakhir dari kelompok ini yang dimasukkan ke dalam Critically Endangered pada tahun 2013 lalu akibat masifnya kehilangan habitat dan populasi satwa tersebut.

Dalam 20 tahun terakhir ini gajah kehilangan 50% habitat dan populasinya. Habitat yang dulunya bersatu dari Aceh hingga Lampung saat ini terpecah menjadi beberapa kantong saja dengan populasi yang terus menerus menurun. Dari seluruh kantong- kantong yang ada ini, Aceh dengan Kawasan Ekosisteem Leusernya merupakan benteng terakhir yang menyisakan populasi yang lebih baik dibandingkan di lokasi lain – walaupun juga mengalami penurunan populasi. Saat ini diperkirakan populasi Gajah sumatera sekitar 1700 individu, dengan 500 individu diantaranya berada di Aceh. Di Kawasan Ekosistem Leuser diperkirakan terdapat 350-400 individu gajah.

Kawasan Ekosistem Leuser juga menjadi harapan terakhir bagi konservasi Badak sumatera. Satwa yang termasuk ke dalam 100 spesies paling terancam punah di dunia ini (Baillie dan Butcher 2012), habitatnya menyusut hingga 99% dari kondisi awal abad 20. Populasi Badak Sumatera diperkirakan kurang dari 100 individu di seluruh dunia (SSC IUCN, 2013). Di Aceh, satwa ini hanya ditemukan di Kawasan Ekosistem Leuser dengan populasi diperkirakan 30 individu (Pusparini, 2013). Namun, data ini masih diperdebatkan karena menggunakan sistem survey harimau sumatera yang memiliki jelajah lebih luas dibandingkan badak. Pengalaman survey-survey di Sumatera menunjukkan bahwa peluang deteksi badak sumatera lebih tinggi bila menggunakan grid yang lebih kecil dibandingkan harimau yang berukuran 17 x 17 km.

Satwa yang lain yang menjadi ikon Leuser adalah Orangutan sumatera. Populasi satwa ini diperkirakan 6,660 individu (Wich et al 2008). Jumlah ini berkurang jauh perkiraan sekitar 85.000 individu pada awal abad 20 (Meijaard dan Rikjsen, 2002). Populasi orangutan hanya ditemukan di Kawasan Ekosistem Leuser di Aceh dan Sumatera Utara dan Batang Toru di Sumatera Utara (Wich et al, 2011). Populasi baru saat ini sedang dibangun di TN. Bukit Tiga Puluh di Jambi dan Cagar Alam Jantho, Aceh atas inisiasi dari Sumatran Orangutan Conservation Program (SOCP) sebagai satwa hasil rehabilitasi seteah sekian lama dipelihara oleh masyarakat. Diperkirakan 78% Orangutan sumatera ada di Kawasan Ekosistem Leuser di Provinsi Aceh (Wich et al, 2008).

Kenapa keragaman hayati di Aceh lebih baik dibandingkan tempat lain? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan mudah, karena Aceh masih menyisakan hutan yang cukup luas dengan kerusakan hutan yang relatif lebih rendah dibandingkan wiayah lain di Indonesia. Hutan di Aceh, terutama Kawasaan Ekosistem Leuser merupakan gabungan dari beberapa ekosistem yang kompleks, dari hutan pesisir pantai, hutan dataran rendah hingga hutan dataran tinggi dengan ketinggian lebih dari 3000 m dpl. Hal ini tentu berkorelasi dengan keragaman hayati dimana semakin beragam tipe ekosistem akan semakin tinggi pula keragamanhayati yang ada suatu wilayah. Tetapi tentu keragaman hayati tertinggi berada di hutan dataran rendah.

Masyarakat & Leuser 
Faktor lain kelestarian keragaman hayati di Leuser adalah sikap arif masyarakat di sekitar hutan di Aceh yang arif dan hidup seimbang dengan alam. Walaupun akhir-akhir ini perilaku ini mengalami perubahan yang sangat drastis mengikuti modernisiasi dan komersialisasi yang nyaris tidak terbendung. Masyarakat yang hidup di sebagain wilayah Aceh masih merawat alam dengan baik dan memanen untuk secukupnya, bukan dengan menghabiskan sumber daya alam yang ada.Masyarakat juga hidup dari sumber ekonomi langsung dari hutan. Di Kappi, Gayo Lues, ribuan masyarakat hidup dari memanen ikan jurong (Tor spp) yang bernilai komersial tinggi (Putra, 2014). Mereka memberlakukan denda bagi pelaku pemanenan ikan dengan menggunakan racun atau bom.

Di Rawa Tripa, walaupun tergerus oleh perkebunan kelapa sawit besar, masyarakat lokal hidup dari memanen ikan limbek dari rawa gambut.Saat lahan ini dirusak oleh oleh perkebunan kelapa sawit, penghasilan mereka kini jauh berkurang. Di Aceh Tamiang, masyarakat yang menderita karena bencana banjir bandang pada tahun 2006 lalu telah berani bertindak dengan menghentikan ekspansi perkebunan illegal. Di Ketambe, masyarakat yang hidup dari turisme berusaha melindungi hutan mereka dari kerusakan.

Pembentukan kawasan perlindungan alam atas prakarsa pemimpin Aceh merupakan bukti bahwa masyarakat Aceh sejak dulu kala hidup selaras dengan alam. Letnan Herman Agerbeek, selaku komandan militer Belanda di Gayo sangat menikmati masa-masa bertugas di daerah yang dikelilingi oleh hutan Leuser tersebut. Dengan kemampuan berbahasa Gayo ia sering makan-makan bersama penduduk, menikmati syair-syair lokal hingga ia dikenal sebagai dengan julukan anak ni gayo (Abdullah, 2004).

Hidup selaras dengan alam menjadi cermin dari masyarakat Aceh. Jauh sebelum deklarasi Tapaktuan tahun 1934, Penghargaan yang tinggi terhadap alam dapat dilihat dari perlakuan pemimpin Aceh terhadap satwa liar. Sultan Iskandar Muda sebagai raja terbesar dalam sejarah kerajaan Aceh, di masa kejayaannya mempunyai angkatan darat dan laut yang besar, terdiri dari tentara berkuda dan 1000 tentara gajah. Sultan mempunyai gajah yang bergading yang dihiasi dengan emas, batu permata, ratna mutu manikam. Gajah digunakan sebagai sarana transportasi untuk menyambut tamu-tamu kehormatan kerajaan.

Kearifan terhadap keragaman hayati ini telah jauh tergerus dalam masyarakat Aceh. Gajah yang dulu sangat dihormati sehingga digelari dengan Po meurah, Tengku Rayeuk dan panggilan lainnya, kini dianggap sebagai hama dan dibunuh. Setiap tahun diperkirakan 20 – 30 ekor gajah mati terbunuh di Aceh. Konflik manusia – satwa liar terjadi di hamper seluruh Leuser setiap tahunnya akibat makin berkurangnya habitat satwa.Pembukaan kebun besar-besaran oleh HGU, pemodal dan masyarakat local telah menghancurkan sebahagian besar wilayah-wilayah penting keragaman hayati. Masyarakat lokal yang dulu tidak merusak hutan kini semakin banyak terlibat dalam kegiatan yang berlawanan dengan nilai konservasi tersebut.

Di tempat-tempat terpencil di dalam Leuser saat ini dengan mudah ditemukan perambahan, illegal logging dan pertambangan. Saat ini Leuser menghadapi ancaman yang sangat besar. Rencana tata ruang wilayah Aceh (RTRWA) yang tidak mengakui Kawasan Ekosistem Leuser akan menjadi ancaman jangka panjang KEL. Pembangunan infrastruktur yang masif, ekspansi perkebunan dan pertambang dengan izin yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak saja menghancurkan hutan Leuser, tetapi juga merusak sumber kehidupan masyarakat Aceh. Pelestarian Kawasan Ekosistem Leuser seharusnya menjadi modal Aceh untuk membangun.[]

Catatan: Tulisan ini telah dimuat dalam Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 

 

read more
1 2
Page 1 of 2