close

June 2018

Ragam

Muncul Petisi Tolak Pembangunan Hidrodam Lesten-Tampur

Kelestarian Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) tak henti-hentinya mendapat ancaman kerusakan dari manusia. Ancaman terbesar dihadapi KEL adalah pembangunan hidrodam Lesten-Tampur. Dam ini memiliki dinding setinggi 175 meter dan akan menampung jutaan ton air di lokasi yang dikenal rentan dengan gempa bumi dan tsunami, sehingga membuat 250.000 orang beresiko terkena bencana buatan manusia.

Proyek ini akan menghancurkan habitat gajah Sumatra dan banyak spesies terancam lainnya di salah satu hutan hujan tropis yang paling beraneka ragam. Sebuah organisasi internasional, Love the Leuser, membuat petisi online dalam rangka meminta pemerintah Aceh dan Indonesia untuk mempertimbangkan kembali proyek yang salah arah ini. Petisi dikeluarkan pada tanggal 4 Juni 2018 dan telah diteken oleh 15.671 orang dan diperkirakan akan terus bertambah.

Berikut isi petisi yang berjudul “Aksi Sekarang untuk Melindungi Ekosistem Leuser

Kepada: Pemerintah Aceh dan Pemerintah Nasional Indonesia

Jutaan orang di Aceh dan Sumatra Utara bergantung pada sungai dalam Ekosistem Leuser yang bersih dan mengalir bebas. Selain sebagai air minum, sungai-sungai ini menyediakan irigasi yang penting untuk pertanian dan perikanan yang menjadi sumber mata pencaharian penting masyarakat.

Rencana untuk membangun hidrodam Lesten-Tampur — sebuah bendungan raksasa setinggi 175 meter — adalah “proyek bencana” yang mengancam masyarakat dan keanekaragaman hayati dan akan menghancurkan 4.000 hektar habitat spesies yang terancam punah di dalam Ekosistem Leuser; habitat yang dilindungi oleh hukum nasional Indonesia dengan Keputusan Presiden dan ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional untuk Fungsi Perlindungan Lingkungan.

Kami minta pertimbangan Anda, kami tidak bisa menempatkan kehidupan masyarakat yang bergantung pada sungai yang mengalir dari Ekosistem Leuser berisiko dengan mempercepat pengembangan proyek hidrodam Lesten-Tampur.

Perusahaan yang membangun hydrodam, PT. Kamirzu (anak perusahaan PT. Prosperity Indonesia, konstituen Indonesia dari Hong Kong’s Prosperity International Holdings), menekan pemerintah Indonesia untuk mengeluarkan izin pemanfaatan hutan lindung dan melemahkan perlindungan hukum untuk Ekosistem Leuser untuk memungkinkan proyek mereka yang merusak dilanjutkan.

Saya dengan hormat meminta agar Pemerintah Aceh dan Pemerintah Nasional Indonesia bersama komunitas dan organisasi setempat mempertahankan Ekosistem Leuser dari pembangunan yang tidak bertanggung jawab dan memenuhi kewajiban Anda untuk menegakkan perlindungan hukum Ekosistem Leuser dengan menghentikan bencana hidrodam Lesten-Tampur.[]

Sumber: www.lovetheleuser.org 

 

read more
Ragam

Merek Terkenal Dunia “Supporter” Deforestasi Habitat Orangutan

SAN FRANCISCO – Sebuah laporan yang baru dirilis oleh Rainforest Action Network (RAN), untuk pertama kalinya menegaskan bahwa merek-merek ternama seperti PepsiCo, Unilever, Nestlé, Mars, Mondelēz dan General Mills telah menerima pasokan minyak sawit dari lahan gambut penting Tripa yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser, Sumatra, daerah di mana aktivitas deforestasi terus terjadi untuk pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit baru.

Tripa yang terkenal dengan sebutan “Ibukota Orangutan untuk Dunia”, merupakan rumah bagi populasi terpadat orangutan Sumatera yang hidup di alam liar. Perusahaan yang bertanggung jawab––PT. Surya Panen Subur II (PT. SPS II)––dikenal sebagai pelaku perusakan sejak tahun 2012 dan menjadi salah satu dari beberapa perusahaan yang dituntut dan dinyatakan bersalah atas pembukaan lahan illegal. Daftar pabrik kelapa sawit yang baru dirilis oleh PepsiCo dan beberapa merek-merek besar membenarkan bahwa mereka telah memasok minyak sawit dari pabrik kelapa sawit milik PT. SPS II di area lahan gambut Tripa.

“PT. SPS II sudah menjadi pelaku perusakan selama bertahun-tahun,” ujar Direktur Kebijakan untuk Rainforest Action Network (RAN), Gemma Tillack. “Sungguh tidak masuk akal merek-merek besar seperti PepsiCo terus memasok minyak sawit dari perusahaan kelapa sawit yang merusak dan jelas-jelas bermasalah dengan hukum, bahkan ketika merek ini telah membuat komitmen keberlanjutan. Jika PepsiCo dan yang lain tidak mampu menyelesaikan kasus ini, hanya sedikit keyakinan bahwa mereka akan benar-benar bergerak untuk memasok dari sumber minyak sawit yang diproduksi secara bertanggung jawab. Kita benar-benar menyaksikan hutan hilang dan orangutan berada pada ambang kepunahan sementara perusahaan-perusahaan ini begitu malas untuk memperbaiki diri dan gagal menegakkan moratorium hutan karena banyak membuka lahan untuk kelapa sawit.”

Sikap menolak untuk mengakhiri pembelian minyak sawit dari PT. SPS II bahkan lebih kontroversial mengingat perusakan lahan gambut Tripa terus berlanjut sejak 2012, baik oleh PT. SPS II maupun pihak lain yang telah mendirikan perkebunan kelapa sawit secara ilegal di dalam konsesi PT. SPS II. Total 368 hektar hutan telah dihancurkan––kira-kira seukuran 683 lapangan sepak bola––sejak Juni 2016, ketika pemerintah mengeluarkan surat edaran menuntut perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Kawasan Ekosistem Leuser untuk mematuhi moratorium dan menghentikan pembukaan hutan di dalam konsesi mereka.

Investigasi lapangan dan bukti satelit dalam laporan terbaru ini menemukn backhoe yang digunakan untuk membuka hutan lahan gambut pada Maret 2018 baru-baru ini. PT. SPS II telah menghancurkan ribuan hekar lahan gambut Tripa serta gagal menyelesaikan konflik dengan masyarakat yang direbut lahannya dengan terus mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan lokal dalam jangka waktu tersebut.

“PepsiCo, Unilever, Nestlé, Mars, Mondelez dan General Mills, serta pemasoknya yaitu GAR dan Wilmar, harus berhenti memasok dari PT SPS II serta perusahaan induknya Grup Amara hingga PT. SPS II menjalani proses resolusi konflik yang transparan, kredibel dan independen. PT. SPS II juga harus berupaya untuk melindungi dan memulihkan hutan gambut Tripa dengan mengamankan mata pencaharian alternatif selain sawit bagi masyarakat lokal dan melibatkan masyarakat, pemerintah dan perusahaanya,” kata Tillack.[rel]

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Aktivis Sambut Baik Instruksi Bupati Tamiang

Bupati Aceh Tamiang mengeluarkan Instruksi Bupati (Inbup) Aceh Tamiang No.3725 tahun 2018 tentang Pembinaan, Pengendalian, dan Pengawasan Pelaksanaan Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit di Kabupaten Aceh Tamiang. Instruksi ini dikeluarkan pada tanggal 25 Mei 2018 dan ditujukan kepada Kadis Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan, Kadis PUPR, Kadis Lingkungan Hidup, Kadis Pertanahan dan Kadis Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu dalam lingkungan Pemkab Aceh Tamiang.

Instruksi ini berisikan sejumlah hal yang menyangkut diantaranya pembinaan, pengendalian, dan pengawasan Pelaksanaan Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh Tamiang secara terkoordinasi, efektif, dan terukur sesuai dengan kewenangan, tugas dan fungsi masing-masing. Beberapa poin yang menonjol dalam instruksi ini adalah untuk tidak menerbitkan rekomendasi, tidak memproses permohonan baru, dan penerbitan izin baru kecuali bagi perusahaan kebun sawit yang telah menanam lebih dari tiga tahun.

Kepada Greenjournalist, beberapa hari lalu, aktvis lingkungan, T. Muhammad Zulfikar secara prinsip menyambut baik Inbup tersebut. Ia mengatakan persoalan penggunaan lahan untuk HGU Perizinan Kelapa Sawit sangat mengkhawatirkan. Sehingga memang perlu segera dilakukan evaluasi, monitoring dan pembinaan secara terarah dan terukur.

“Pemkab Aceh Tamiang sebaiknya segera membentuk Tim Independen yang memantau pelaksanaan Inbup. (Hasil) Pemantauan perlu disampaikan kepada publik minimal 2 atau 3 bulan sekali, sehingga semua pihak mengetahui akankah Inbup cukup efektif dijalankan oleh SKPD atau tidak. Jika tidak dijalankan Bupati harus menegurnya,”ujarnya.

Persoalan perkebunan sawit di Aceh Tamiang merupakan problem yang harus segera diatasi karena banyak perkebunan yang merambah hutan dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Hasil penelitian yang dilakukan oleh lembaga P3KA menunjukan aktivitas ilegal di hutan KEL terbanyak terjadi di Aceh Tamiang dengan 557 temuan. Kegiatan-kegiatan ilegal antara lain, illegal logging, perambahan, akses jalan, dan perburuan. Illegal logging terbanyak ditemukan di Aceh Tamiang dengan 279 kasus dan volume 1.782,8 meter kubik. Untuk perambahan ilegal terbanyak ditemukan di Aceh Tamiang dengan 217 kasus serta luasnya mencapai 1.556,8 hektare.

“Kita berharap dengan adanya Inbup ini proses tata kelola perkebunan sawit di Aceh Tamiang dalam 2 tahun ke depan dapat diperbaiki, namun jika tidak mampu dijalankan dalam 2 tahun maka nantinya bisa diperpanjang kembali,”kata T. Muhammad Zulfikar.

read more
Green Style

Hari Lingkungan Hidup Sedunia, Saatnya Melawan Sampah Plastik

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, hari ini tanggal 5 Juni 2018, bumi kembali memperingati hari Lingkungan Hidup se-Dunia. Peringatan Hari LH Dunia ini tahun ini merupakan peringatan yang ke-46 kalinya sejak dicetuskan pada tanggal 5 Juni 1972 di Stockholm, Swedia. Memang sejak dilaksanakannya Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang lingkungan hidup tersebut, muncul semangat bersama bangsa-bangsa di dunia untuk merawat dan menyelamatkan bumi dan alam semesta ini dari berbagai upaya kejahatan lingkungan.

Tema setiap tahun
Tahun 2017 yang lalu, tema yang diusung adalah “connect with nature” atau bersinergi/berinteraksi dengan alam. Artinya kita semua diajak untuk mengenali dan menikmati keindahan alam sehingga tergerak untuk melindungi bumi ini dari kerusakan.

Untuk tahun 2018 ini, isu atau tema yang diusung adalah “Beat Plastic Pollution“, dimana kita diingatkan bahwa polusi akibat sampah/limbah plastik saat ini telah menjadi ancaman. Banyak plastik yang tidak dibuang ditempat yang semestinya. Malah sampah plastik yang kemudian berakhir di sungai, selokan/drainase, pinggiran pesisir/lautan yang akhirnya menyebabkan terbunuhnya jutaan burung laut dan ratusan ribu mamalia laut setiap tahunnya. Untuk itu sudah saatnya kita mulai berpikir dan berusaha meminimalisir penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah dengan memanfaatkan plastik secara berulang-ulang, apalagi teknologi daur ulang sampah plastik sudah dikembangkan di semua tempat atau lokasi.

Terkait persoalan lingkungan hidup lainnya di Aceh, kondisinya juga masih belum menggembirakan, bahkan masih cenderung mengkhawatirkan. Artinya berbagai kepentingan politik dan ekonomi masih menjadi motif utama pengambil kebijakan di Aceh yang kemudian menafikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip pembangunan berkelanjutan seyogyanya menekankan pentingnya keharmonisan antara aspek ekonomi, aspek sosial dan aspek lingkungan. Ketiganya harus berjalan seimbang dan bersinergi secara optimal guna mencapai kesejahteraan rakyat yang berkelanjutan dan terpeliharanya kelestarian lingkungan hidup.

Prinsip ini menegaskan betapa pentingnya pendekatan para pihak baik Pemerintah, Komponen Masyarakat Sipil, Tokoh Masyarakat maupun berbagai stakeholders lainnya. Sehingga dengan demikian setiap kebijakan yang diambil dalam membangun Aceh benar-benar telah mengakomodir kebutuhan setiap orang atau para pihak secara optimal. Namun yang terjadi di Aceh saat ini belum sepenuhnya seperti itu, justru cenderung dilakukan masih sebatas formalitas belaka, sehingga lahirlah produk-produk regulasi dan kebijakan yang tidak berpihak pada upaya pelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu kita berharap pada Pemerintah Aceh hari ini untuk konsisten menjalankan visi dan misi yang sudah dituangkan dalam RPJM Aceh 2017-2022.

Meskipun kita tahu hingga saat ini Qanun RPJM Aceh belum juga disahkan, sehingga sulit rasanya untuk bisa di implementasikan secara baik dan sungguh-sungguh. Disamping itu berbagai kebijakan lainnya yang perlu di dorong adalah segera melakukan Revisi atau Peninjauan Kembali Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh tahun 2013-2033, yang didalamnya belum berpihak pada upaya perlindungan dan penyelamatan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sebagai kawasan utama yang menjadi sumber kehidupan jutaan rakyat Aceh serta tempat hidup beragam ekosistem dan keanekaragaman hayati lainnya. Selain itu juga kawasan dimana sumber air bersih bagi kita semua yang hidup di Aceh juga harus diselamatkan. Karena saat ini bisa disaksikan di wilayah hutan kita berbagai jenis dan kegiatan yang merusak masih terjadi, dimana laju kerusakan hutan juga masih sangat tinggi sekitar 20 ribu hingga 26 ribu hektar per tahunnya masih terjadi. Sehingga tidak mengherankan jika kejadian bencana masih kerap terjadi seperti, banjir, longsor dan konflik satwa justru masih sangat dominan saat ini.

Pemerintah Aceh seharusnya segera melakukan berbagai terobosan baru sehingga keinginan untuk mewujudkan Pembangunan Aceh yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan yang sensitif terhadap risiko bencana dapat segera diimplementasikan di lapangan.

*Penulis adalah Koordinator Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Aceh/Pegiat Lingkungan Aceh

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Eks HGU PT Cemerlang Abadi Lahan Gambut Wajib Dilindungi

BANDA ACEH – PT Cemerlang Abadi telah dimeja hijaukan oleh tujuh lembaga yang konsen melestarikan lingkungan di Aceh. Dipidanakan perusahaan ini, karena masih menggarap tanah pada Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah berakhir sejak 31 Desember 2017 lalu.

Masyarakat, lembaga swadaya masyarakat hingga pemerintah Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) sejak tahun 2015 telah berjuang menolak perpanjangan HGU milik PT Cemerlang Abadi, perusahaan yang mengelola perkebunan sawit.

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, perusahaan itu mendapatkan HGU Nomor 45/HGU/BPN/87, tanggal 7 November 1987. Luas lahannya adalah 7.516 hektar untuk komoditas kelapa sawit di Abdya. Namun pada 31 Desember 2017 lalu, HGU milik PT Cemerlang Abadi berakhir.

Sampai batas akhir izin HGU itu, perusahaan baru melakukan penanaman kelapa sawit seluas 2.627 hektar. Sedangkan sisanya seluas 1.841 hektar ditelantarkan dan 2.286 hektar dikuasai oleh masyarakat atau enclave.

Koordinator Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) Wilayah Aceh, T M Zulfikar menyebut ada kekeliruan dari pemerintah masa lalu memberikan HGU di kawasan hutan PT Cemerlang Abadi saat ini. Karena kawasan hutan tersebut merupakan lahan gambut yang memiliki kedalaman lebih dari 3 meter yang wajib dilindungi.

“Ini ada kesalahan pemerintah sebelumnya yang memberikan izin HGU kepada banyak perusahaan di sana, baik di Abdya maupun Nagan Raya, yang selama ini kita kenal sebagai bagian dari kawasan lindung gambut Rawa Tripa,” kata T M Zulfikar di Banda Aceh beberapa waktu lalu.

Sebagaimana tertuang dalam Qanun RTRW Aceh bahwa di Kabupaten Nagan Raya telah dijadikan Kawasan Lindung Gambut seluas lebih kurang 11.359 Hektar, ditambah area eks PT Kallista Alam seluas 1.605 Hektar. Menurutnya, sudah selayaknya sebagian dari areal eks PT Cemerlang Abadi tersebut juga dapat dijadikan bagian dari Kawasan Lindung Gambut.

“Sehingga dapat diusulkan ke dalam Qanun RTRW Aceh yang menurut rencana akan segera direvisi atau ditinjau kembali,” jelasnya.

Kendati demikian, TM Zulfikar menyambut positif rencana pemerintah kabupaten Abdya menolak memberikan rekomendasi perpanjangan HGU miliki PT Cemerlang Abadi.

“Apalagi jika memang terbukti PT CA (Cemerlang Abadi) selama ini tidak menjalankan kewajibannya secara baik. Dan tentunya pemerintah harus berani mengambil tindakan tegas terkait hal ini. Masa iya kebijakan Negara bisa kalah dengan kepentingan perusahaan? Ini namanya sudah keterlaluan,” ungkapnya.

Menyangkut HGU yang nantinya akan diambil alih pemerintah, dia menyarankan dilakukan pengkajian yang mendalam terlebih dahulu agar peruntukannya tepat. Apalagi sebagian wilayah yang berada di Kecamatan Babahrot tersebut merupakan kawasan bergambut. Ini mengacu hasil penelitian dan survei yang dilakukan sebelumnya, kedalaman gambut di atas 3 meter.

“Karena lahan tersebut sudah menjadi wewenang pemerintah kembali, maka tidak ada salahnya jika sebagian dari lahan tersebut diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat,” tegasnya.

Bila hendak dijadikan persawahan, aspek penting yang harus dilihat adalah ketersediaan air. Karena air merupakan sumber utama bagi keberlangsungan tanaman padi dan juga bagi manusia. Jika pemerintah ada niat menanam sawit kembali, dia menyarankan agar dipertimbangkan karena lahan itu tidak sepenuhnya cocok.

“Kita bisa lihat di wilayah Darul Makmur dan sekitarnya hampir seluruh kelapa sawit yang ditanam di lahan gambut yang memiliki kedalaman cukup tebal, kelapa sawit tumbuhnya tidak sempurna, ada yang melingkar-lingkar sehingga membutuhkan banyak space, bahkan ada yang sama sekali tak memiliki buah sawit,” jelasnya.

Zulfikar mengusulkan sebagian dari lahan tersebut dijadikan sebagai kawasan konservasi dengan tujuan utama untuk melindungi sumber-sumber air, habitat dan ekosistem yang ada di sana.

Sebelumnya, Koalisi Tolak HGU PT Cemerlang Abadi dari 7 lembaga di Aceh pun melaporkan PT Cemerlang Abadi ke Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Aceh, Rabu (23/5). Perusahaan dianggap telah menggarap lahan eks HGU seluas 269 hektar lahan yang kembali dengan menggunakan dua ekskavator. Ini sudah dilakukan sejak awal tahun 2018. PT Cemerlang Abadi melakukan Land Clearing (pembersihan lahan) di HGU yang sudah berakhir.

Menanggapi itu Koordinator Lapangan (Korlap) PT Cemerlang Abadi, Agus Marhelis mengaku sudah mengetahui melalui media tentang laporan tersebut. Pihaknya akan menunggu surat panggilan resmi dari pihak Polda Aceh.

Kita akan kooperatif, sebagai warga negara yang baik kita harus taat kepada hukum, tegas Agus Marhelis melalui sambungan telepon genggamnya.

Agus mengaku operasional perusahaan tetap berjalan seperti biasa. Menurut pandangannya, apa yang dituduhkan kepada pihak perusahaan tidak memiliki alasan yang cukup.

“Karena menurut kami apa yang dituduhkan kepada kami itu mungkin beliau-beliau ini belum melihat secara langsung surat-surat yang kita miliki, jadi mereka perlu kita akan berikan, kita siap untuk bersilaturrahmi,” ungkapnya.

Katanya, pihak yang melaporkan PT Cemerlang Abadi ke Polda Aceh belum pernah sekalipun bertemu dengan manajemen perusahaan. Padahal bila mereka membutuhkan dokumen tentang perizinan milik perusahaan akan diberikan.

“Kami akan berikan kalau memang mereka perlu, tetapi mereka belum pernah berkomunikasi dengan kami,” ungkapnya.

Menyangkut dengan HGU yang berakhir 31 Desember 2017 lalu diakui oleh pihak PT Cemerlang Abadi. Agus menyebutkan, pihak perusahaan sudah melakukan pengurusan perpanjangan HGU sejak 2015 lalu. Semua prasyarat sudah dipenuhi dan sekarang tinggal keputusan dari pemerintah pusat.

“Kita sudah melakukan permohonan secara prosedural di awal tahun 2016, kita sudah melakukan pendaftaran, bahkan pada tahun 2015 juga sudah kita melakukannya. Artinya segala prosedur yang ditentukan oleh BPN sudah kita penuhi,” ucapnya.

Namun pihak perusahaan berdalih, saat ini PT Cemerlang Abadi hanya menunggu kebijakan dari pemerintah pusat terkait perpanjangan HGU. Sedangkan laporan ke Polda Aceh, pihak perusahaan akan menyerahkan kepada Lawyer dan pihaknya siap menghadapi gugatan tersebut. []

read more
HutanKebijakan Lingkungan

PT Cemerlang Abadi Garap Lahan di Eks HGU

BANDA ACEH – Siang itu ruang pertemuan kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh tampak penuh. Ada tujuh pimpinan lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Tolak HGU PT Cemerlang Abadi di Aceh Barat Daya (Abdya) berkumpul.

Sedikit riuh saat Muhammad Nasir sedang sibuk mempersiapkan proyektor untuk mempresentasukan temuan baru koalisi ini. Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur pun mulai menyapa peserta diskusi. Hari itu, Kamis (24/5/2018), koalisi ini menggelar konferensi pers untuk memaparkan temuannya.

Semua tatapan tertuju ke arah layar putih. Muhammad Nasir yang didapuk menjadi juru bicara koalisi langsung memaparkan temuan koalisi 7 lembaga yang melakukan investigasi. Dia memperlihatkan melalui slide proyektor, perusahaan sawit PT Cemerlang Abadi menggarap tanah di bekas Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah berakhir 31 Desember 2017.

Muhammad Nasir tampak semangat menjelaskan satu slide ke slide lainnya. Sesekali dia geleng-geleng kepala, tak habis pikir HGU sudah berakhir masih saja berani menggarap lahan untuk ditenam sawit.

Pada slide ke empat, Muhammad Nasir mencoba mendekati layar proyektor. Lalu dia jelaskan, ada 269 hektar lahan yang kembali digarap dengan menggunakan dua ekskavator. Ini sudah dilakukan sejak awal tahun 2018. PT Cemerlang Abadi melakukan Land Clearing (pembersihan lahan) di HGU yang sudah berakhir.

Atas dasar temuan itu juga kemudian Koalisi Tolak HGU PT Cemerlang Abadi dari 7 lembaga di Aceh melaporkan perusahaan tersebut ke Direktorat Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Aceh, Rabu (23/5/2018). Koalisi berharap polisi bisa bergerak cepat untuk memproses kasus ini sampai tuntas.

Ketujuh lembaga itu adalah Walhi Aceh, GeRAK, Forum LSM Aceh, HAkA, JKMA, LBH dan MaTA. Ketujuh lembaga inilah membawa kasus ini ke ranah hukum.

“Kami berharap kepolisian segera melakukan penyelidikan atas perkara ini,” kata Ketua Divisi Advokasi Walhi Aceh, Muhammad Nasir.

Penolakan terhadap perpanjangan izin HGU milik PT Cemerlang Abadi sudah berlangsung lama. Sejak 2015, arus penolakan sudah dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah kabupaten setempat. Namun, perusahaan sawit itu hampir saja bisa mendapatkan kembali perpanjangan HGU saat gubernur Aceh dipimpin oleh Plt Soedarmo.

Pada tanggal 20 Desember 2016 Plt Gubernur Aceh, Soedarmo menerbitkan surat dengan Nomor 525/BP2T/2657/2016, perihal Rekomendasi Perpanjangan HGU PT Cemerlang Abadi. Ini menjadi angin segar bagi perusahaan sawit tersebut.

Di sisi lain, pihak yang menolak HGU milik PT Cemerlang Abadi meradang. Masyarakat sipil, warga dan juga pemerintah Kabupaten Abdya terus menolak rencana tersebut. Pemerintah Kabupaten tidak mengeluarkan surat rekomendasi sehelai pun untuk perpanjangan HGU tersebut.

Setelah Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah terpilih menjadi Gubernur-Wakil Gubernur Aceh yang baru, terbitlah surat pembatalan HGU milik PT Cemerlang Abadi pada tanggal 21 Februari 2018 Nomor 590/6993, perihal Pembatalan Izin HGU PT Cemerlang Abadi.

Yang menjadi persoalan kemudian, Pemerintah Aceh belum mencabut surat sebelumnya yang dikeluarkan oleh Plt Gubernur Soedarmo tentang rekomendasi perpanjangan HGU PT Cemerlang Abadi. Menurut Muhammad Nasir, ditakutkan surat pembatalan izin HGU yang dikeluarkan Gubernur Irwandi Yusuf tidak memiliki kekuatan hukum kuat.

“Ini karena surat sebelumnya belum dicabut, bisa saja ini bermasalah nantinya dan kekuatan surat pembatalan bisa lemah,” ungkap Muhammad Nasir.

 

HGU Puluhan Tahun Terlantar

Muhammad Nasir menjelaskan, seperti dilansir merdeka.com, perusahaan mendapatkan HGU nomor Nomor 45/HGU/BPN/87, tanggal 7 November 1987. Luas lahannya adalah 7.516 hektar untuk komoditas kelapa sawit di Abdya.

Namun pada 31 Desember 2017 lalu, HGU milik PT Cemerlang Abadi berakhir. Sampai batas akhir izin HGU itu, perusahaan ini baru melakukan penanaman kelapa sawit seluas 2.627 hektare. Sedangkan sisanya seluas 1.841 hektar ditelantarkan dan 2.286 hetar dikuasai oleh masyarakat atau enclave.

Muhammad Nasir menyebutkan, yang dilaporkan ke Ditkrimsus Polda Aceh adalah dugaan PT Cemerlang Abadi masih melakukan land clearing pada HGU yang sudah berakhir izin seluas 269 hektar. Secara hukum, perusahaan tersebut sebenarnya tidak bisa lagi melakukan aktivitas apapun di HGU tersebut.

Dia juga menyebutkan, selain tidak menggarap semua lahan sesuai dengan HGU yang telah diterbitkan tahun 1987, pihak perusahaan juga diduga mencoba mengelabui masyarakat dan pemerintah dengan cara hanya menanam sawit di pinggir atau sekeliling hutan saja.

Sedangkan hutan yang berada di tengah-tengah masih terlihat lebat. Muhammad Nasir curiga, ini akal-akalan perusahaan untuk tetap bisa menguasai semua lahan tersebut.

“Ini kami menduga modus saja, atas ketidakmampuan mereka menggarap semua lahan, jelasnya.

Sementara itu Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani mengatakan, ada tiga periode HGU milik PT Cemerlang Abadi. Pertama adalah HGU atau izin dari Badan Pertanahan Negara (BPN), kedua Izin Usaha Perkebunan untuk Budidaya (IUPB) dari Gubernur dan Bupati setempat dan ketiga izin lingkungan dan Amdal.

“Nah izin lingkungan dan Amdal mereka ini tidak ada, sedangkan rekomendasi bupati dan gubernur juga tidak dimiliki,” jelasnya.

Menurut Askhalani yang merangkap jadi kuasa hukum Koalisi Tolak HGU PT Cemerlang Abadi menyebutkan, proses penolakan perpanjangan HGU milik PT Cemerlang Abadi sudah dilakukan sejak 2015 lalu, masa kepemimpinan Bupati Jufri.

“Sejak itu sudah dilakukan penolakan, dan sekarang bupati Akmal juga menolak, ucapnya.

Menurutnya, penolakan ini tidak terlepas dari tidak ada keuntungan apapun masuk ke pemerintah kabupaten Abdya sejak berdirinya perusahaan sawit tersebut. Akan tetapi hanya yang didapatkan oleh pemerintah setempat kerusakan jalan yang semakin parah.

“Ini harus mendapat perhatian dari penegakan hukum,” pintanya.

Undang-Udang yang dilanggar adalah UU Nomor 5 Tahun 1969 tentang pokok Agraria, UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang perkebunan dan sejumlah peraturan lainnya. Termasuk UU Nomor 32 tahun 2009 tentang pengelolaan lingkungan hidup.

 

Janji Perusahaan

Dihubungi terpisah, Koordinator Lapangan (Korlap) PT Cemerlang Abadi, Agus Marhelis mengaku sudah mengetahui melalui media tentang laporan tersebut. Pihaknya akan menunggu surat panggilan resmi dari pihak Polda Aceh.

“Kita akan kooperatif, sebagai warga negara yang baik kita harus taat kepada hukum,” tegas Agus Marhelis melalui sambungan telepon genggamnya.

Agus mengaku operasional perusahaan tetap berjalan seperti biasa. Menurut pandangannya, yang dituduhkan kepada pihak perusahaan tidak memiliki alasan yang cukup.

“Karena menurut kami apa yang dituduhkan kepada kami itu mungkin beliau-beliau ini belum melihat secara langsung surat-surat yang kita miliki, jadi mereka perlu kita akan berikan, kita siap untuk bersilaturrahmi,” ungkapnya.

Menurutnya, pihak yang melaporkan PT Cemerlang Abadi ke Polda Aceh belum pernah sekalipun bertemu dengan manajemen perusahaan. Padahal bila mereka membutuhkan dokumen tentang perizinan milik perusahaan akan diberikan.

“Kami akan berikan kalau memang mereka perlu, tetapi mereka belum pernah berkomunikasi dengan kami,” ungkapnya.

Menyangkut dengan HGU yang berakhir 31 Desember 2017, diakui pihak PT Cemerlang Abadi. Agus menyebutkan, pihak perusahaan sudah melakukan pengurusan perpanjangan HGU sejak 2015 lalu. Semua persyarat sudah dipenuhi dan sekarang tinggal keputusan dari pemerintah pusat.

“Kita sudah melakukan permohonan secara prosedural di awal tahun 2016, kita sudah melakukan pendaftaran, bahkan pada tahun 2015 juga sudah kita melakukannya. Artinya segala prosedur yang ditentukan oleh BPN sudah kita penuhi,” ucapnya.

Pihak perusahaan berdalih, saat ini PT Cemerlang Abadi hanya menunggu kebijakan dari pemerintah pusat terkait perpanjangan HGU. Pihak perusahaan akan menyerahkan kepada kuasa hukum dan siap menghadapi gugatan tersebut. []

read more
1 2
Page 2 of 2