close

July 2018

Flora FaunaHutan

602 Titik Api Terpantau di Kawasan Hutan Aceh

BANDA ACEH – Penghancuran hutan dalam semester satu tahun 2018 ini sudah mencapai 3.290 hektar di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh. Setiap bulannya kerusakan hutan terus terjadi, baik akibat pembukaan lahan baru maupun pembukaan jalan.

Hutan yang awalnya seluas 2.255.577 hektar, pada Juni 2018 tersisa sekitar 1,8 juta hektar. Seiring semakin menyempitnya areal tutupan hutan di KEL Aceh, ancaman terhadap habitat satwa liar dilindungi semakin meningkat. Konflik satwa liar dengan manusia pun tak dapat dihindari.

Terjadi kerusakan hutan dari tangan jahil yang melakukan perambahan hutan akhir-akhir ini. Semakin diperparah dengan ditemukan sejumlah titik api di kawasan hutan. Adanya titik api akan mengancam kelestarian hewan dan habitat lainnya yang ada di hutan.

Yayasan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) memonitor titik api menggunakan data dari NASA (satelit VIIRS dan MODIS). Untuk semester pertama tahun 2018, titik api di Aceh terdeteksi sebanyak 688 titik.

Sedangkan satelit VIIRS yang lebih sensitif (resolusi 375m) berhasil mendeteksi lebih banyak titik api yaitu sejumlah 602 titik sedangkan MODIS (resolusi 1 km) hanya mendeteksi sebanyak 86 titik api.

Areal Penggunaan Lain (APL) menjadi area yang paling banyak terdeteksi api yaitu sejumlah 440 titik api, sedangkan Hutan Produksi menduduki nomor 2 yaitu sebanyak 100 titik api dan nomor 3 adalah Suaka Margasatwa sebanyak 66 titik api.

“Kondisi ini juga cukup mengkhawatirkan untuk menjaga hutan, teruma KEL Aceh,” Manager Geographic Information System  (GIS) HAkA, Agung Dwinurcahya pekan lalu.

Titik api yang dimonitoring HAkA, kabupaten yang masuk dalam wilayah KEL justru yang peling tinggi ditemukan titik api. Titik api yang paling banyak ditemukan di Kabupaten Aceh Selatan sebesar 45 persen. Lalu disusul Kabupaten Aceh Timur 15 persen, Gayo Lues 13 persen, Bener Meriah 12 persen, Nagan Raya 8 persen dan kabupaten lain 7 persen.

Berdasarkan titik api yang ditemukan tersebut sesuai dengan angka kerusakan hutan yang terjadi di kabupaten tersebut. Kabupaten di KEL Aceh yang terburuk penghancuran hutannya pada semester 1 ini yaitu Nagan Raya 627 hektar, Aceh Timur 559 hektar, Gayo Lues 507 hektar, Aceh Selatan 399 hektar dan Bener Meriah 274 hektar.

Semua kabupaten tersebut di atas masuk dalam KEL Aceh yang mengalami laju deforestasi yang memprihatinkan. Kecuali Kabupaten Aceh Timur yang tidak termasuk KEL Aceh, namun kawasan hutan di daerah itu juga sudah berada pada titik berbahaya.

Menurut Agung Dwinurcahya,  KEL Aceh merupakan kawasan hutan tropis yang sangat berperan menyimpan cadangan air dan juga pengendalian iklim mikro. Perlindungan hutan tersebut berguna untuk keberlangsungan hidup manusia dan melindungi spesies-spesies yang harus memiliki skala prioritas untuk dikonservasi.

KEL juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim, pencegahan bencana alam dan rumah bagi fauna dan flora yang beranekaragam. Ada 8500 spesies tumbuhan, 105 spesies mamalia dan 382 spesies burung.

KEL menjadi tempat terakhir di bumi Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan Orangutan (Pongo abelii) hidup berdampingan di alam bebas.

“Bila laju kerusakan terus meningkat, hewan yang dilindungi ini juga semakin terancam, baik akibat pemburuan maupun kehilangan habitat sehingga terjadilah konflik satwa dengan manusia,” tegasnya.

Sementara itu Manajer Database Forum Konservasi Leuser (FKL), Ibnu Hasyem mengatakan, ada 24 tim ranger yang bertugas patroli di hutan 11 kabupaten. Selama semester pertama tahun 2018 ini sudah 139 kali patroli dilakukan dengan jangkauan patroli mencapai 7.834,44 kilometer.

Semester 1 tahun 2018 ini, tim patroli FKL menemukan 389 kasus pemburuan dan menemukan 25 orang pemburu. Pihaknya juga menyita 497 jerat yang telah dipasang di beberapa titik di hutan dalam KEL Aceh untuk memburu satwa landak, rusa, kijang, beruang, harimau, dan gajah. Selain itu, mereka turut menemukan sebanyak 25 kamp pemburu.

“Wilayah perburuan relatif sama dengan wilayah yang terjadi perambahan, pembalakan, dan perusakan hutan. Tetapi pemburuan lebih masuk ke dalam hutan,” kata Ibnu Hasyem.

FKL Aceh juga menemukan 187 kasus satwa dari 497 perangkap yang ditemukan. Berdasarkan jenis satwa, burung ditemukan 41 ekor dengan jumlah jerat sebanyak 59. Lalu rusa, kijang dan kambing ada 65 ekor dengan jumlah jerat 179 buah. Landak sebanyak 68 hewan dengan jumlah perangkap sebanyak 224 jerat, gajah 9 hewan dan 9 jerat dan harimau dan beruang sebanyak 4 satwa dengan jumlah 6 perangkap.

Pada periode ini juga ditemukan sebanyak 61 satwa ditemukan mati akibat perburuan maupun mati alami. Pihaknya juga menemukan seekor harimau dan gajah mati akibat perburuan di KEL Aceh.

Sedangkan kamp pemburu yang ditemukan langsung dimusnahkan oleh tim ranger yang sedang berpatroli. Kata Ibnu, biasanya pemburu awalnya berburu di pinggir hutan, namun setelah itu mereka mencoba untuk masuk lebih ke dalam hutan.

“Sedangkan yang ditemukan masih hidup langsung kita lepaskan kembali,” jelasnya.

read more
HutanKebijakan Lingkungan

HAkA Prediksi Hutan Rawa Tripa Akan Punah

BANDA ACEH – Nagan Raya menjadi kabupaten terparah dan terusak areal tutupan hutannya berdasarkan data citra satelit yang dikeluarkan oleh Yayasan HAkA, periode Januari – Juni 2018 yaitu seluas 627 hektare.

Kawasan Gambut Rawa Tripa yang berada di Kecamatan Darul Makmur, Nagan Raya pun kini sangat memprihatinkan dan terancam hilang. “Rawa Tripa dikhawatirkan akan habis dalam beberapa waktu ke depan,” kata Manager Geographic Information System (GIS) HAkA, Agung Dwinurcahya, Senin (23/7/2018) di Banda Aceh.

Menurut Agung, laju deforestasi di Rawa Tripa yang terjadi tahun ke tahun berada di lokasi yang sama, yaitu di arah timur dan selatan hutan. Pengrusakannya juga terjadi di wilayah hulu, penghancuran hutan itu mengikis kawasan hutan.

“Sebagian besar kerusakan hutan di Nagan Raya memang berada di dalam Kawasan Gambut Rawa Tripa,” kata Agung.

Mirisnya, tutupan hutan di wilayah yang pernah dikenal sebagai tempat populasi Orangutan terpadat dunia ini pun terus menurun. Penyebab utamanya, karena semakin maraknya perambahan hutan untuk dijadikan lahan perkebunan.

Padahal, Kabupaten Nagan Raya termasuk dalam daftar kabupaten yang memiliki hutan sisa terluas di KEL. Selain Nagan Raya, kabupaten lain yang memiliki hutan sisa terluas yaitu Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Timur, dan Aceh Selatan.

Menurut Agung, sebagaimana terpantau melalui NASA dan satelit VIIRS dan MODIS. Kerusakan hutan khususnya Rawa Tripa, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya terjadi setiap bulannya sejak Januari-Juni 2018.

“Lama-lama Rawa Tripa tempatnya Orangutan bisa habis kalau tak segera dicegah,” jelasnya.

Sementara itu staf Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Teuku Muhammad Zulfikar menilai, penting menjaga Rawa Tripa mengingat lahan gambut tersebut memberikan fungsi-fungsi ekologis yang sangat penting bagi manusia dan habitatnya.

Lahan gambut Rwa Tripa merupakan lahan untuk penyimpanan air yang bisa dipergunakan untuk kehidupan manusia. Selain itu juga bisa untuk perlindungan badai dan pencegahan banjir, stabilisasi garis pantai dan pengontrol erosi.

Tak hanya itu, fungsi ekologis lahan gambut Rawa Tripa menjadi pengisian air tanah (pergerakan air tanah dari lahan basah ke daerah atasnya), pengeluaran air tanah (pergerakan dari lahan sebelah atas ke lahan basah di sebelah bawah) hingga pemurnian air, penahan/pengumpul nutrien, penahan/pengumpul sedimen dan penahan/pengumpul bahan-bahan berpolusi.

Lahan gambut Rawa Tripa itu juga sangat berfungsi menstabilkan kondisi iklim lokal, khususnya curah hujan dan temperatur,” tegas Teuku Muhammad Zulfikar.

Sedangkan nilai manfaat lainnya hutan gambut Rawa Tripa yang lebih spesifik di pesisir pantai Barat Aceh adalah menjadi benteng alami penahan tsunami.

Lalu kontribusinya dalam mencegah perubahan iklim melalui penyerapan CO2 dan penyimpanan karbon sesuai dengan “Kyoto protocol” yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan target untuk menghentikan kehilangan keanekaragaman hayati.

“Karena hutan rawa gambut ini adalah salah satu yang sangat berharga di dunia  karena keunikan dan kekayaan flora dan faunanya,” sebutnya.

Rawa Tripa juga melestarikan sebagian besar populasi Orangutan Sumatera yang tersisa 30 persen dari 7000 di dunia yang sekarang berstatus critically endangered. Penyelamatan spesies ini adalah tujuan utama oleh Pemerintah Indonesia, ketika menandatangani the Kinshasa Great Apes Declaration pada bulan September 2005 lalu.

Kata Teuku Muhammad Zulfikar, penting mendorong upaya pengelolaan kawasan gambut Rawa Tripa sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut dan disempurnakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.

“Perlu ada model pengelolaan ekosistem gambut lainnya di Provinsi Aceh yang inklusif dan melibatkan masyarakat serta berbagai multipihak secara aktif dan terbuka untuk mencapai tujuan yang diharapkan,” herapnya.

Dengan adanya pengelolaan ekosistem gambut Rawa Tripa, bisa menstabilkan atau bertambahnya tinggi permukaan air, serta terselamatkannya populasi orangutan dengan pulihnya habitat. Maka perlu terus mendorong percepatan pengembalian fungsi kawasan, yang juga sebagai faktor penting sebagai penyedia jasa lingkungan bagi masyarakat Aceh.

read more
Flora Fauna

Satwa Liar KEL Terancam Jerat Pemburu Ilegal

Banda Aceh – Seiring semakin menyempitnya areal tutupan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh, ancaman terhadap habitat satwa liar dilindungi semakin meningkat. Konflik satwa liar dengan manusia pun tak dapat dihindari. Sejumlah lembaga melakukan pemantauan terhadap habitat satwa liar tersebut.

Manajer Database Forum Konservasi Leuser (FKL), Ibnu Hasyem mengatakan, mereka memiliki 24 tim ranger yang bertugas patroli di hutan 11 kabupaten. Selama semester pertama tahun 2018 ini sudah 139 kali patroli dilakukan dengan jangkauan patroli mencapai 7.834,44 kilometer.

KEL Aceh masuk dalam 13 kabupaten/kota di Aceh dengan total luas 2,25 juta hektar dan sisanya saat ini sebesar 1,8 juta hektar. KEL berada di Kabupaten Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Subussalam, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tamiang.

Berdasarkan pemantauan yang dilakukan Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) menggunakan teknologi penginderan jarak jauh dari citra satelit. Untuk periode Januari-Juni 2018 ditemukan kerusakan hutan di KEL Aceh sebesar 3.290 hektar.

Ada banyak satwa terdapat di sana, seperti badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau (Panthera tigris sumatrae), gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan orangutan (Pongo abelii). Bila laju kerusakan terus meningkat, hewan yang dilindungi ini juga semakin terancam, baik akibat pemburuan maupun kehilangan habitat sehingga terjadilah konflik satwa dengan manusia.

KEL juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim, pencegahan bencana alam dan rumah bagi fauna dan flora yang beranekaragam. Ada 8500 spesies tumbuhan, 105 spesies mamalia dan 382 spesies burung. KEL merupakan tempat terakhir di bumi yang memiliki empat jenis satwa terancam punah dan hidup secara bersamaan.

Sejak periode Januari-Juni 2018, tim patroli FKL menemukan 389 kasus pemburuan dan menemukan 25 orang pemburu. Pihaknya juga menyita 497 jerat yang telah dipasang di beberapa titik di hutan dalam KEL Aceh untuk memburu satwa landak, rusa, kijang, beruang, harimau, dan gajah. Selain itu, mereka turut menemukan sebanyak 25 kamp pemburu.

“Wilayah perburuan relatif sama dengan wilayah yang terjadi perambahan, pembalakan, dan perusakan hutan. Tetapi pemburuan lebih masuk ke dalam hutan,” kata Ibnu Hasyem.

Kata Ibnu, selama semester satu tahun 2018, FKL menemukan 187 kasus satwa dari 497 perangkap yang ditemukan. Berdasarkan jenis satwa, burung ditemukan 41 ekor dengan jumlah jerat sebanyak 59.

Lalu rusa, kijang dan kambing ada 65 ekor dengan jumlah jerat 179 buah. Landak sebanyak 68 hewan dengan jumlah perangkap sebanyak 224 jerat, gajah 9 hewan dan 9 jerat dan harimau dan beruang sebanyak 4 satwa dengan jumlah 6 perangkap.

Lanjutnya, pada periode ini juga ditemukan sebanyak 61 satwa ditemukan mati akibat perburuan maupun mati alami. Pihaknya juga menemukan seekor harimau dan gajah mati akibat perburuan di KEL Aceh.

Sedangkan kamp pemburu yang ditemukan langsung dimusnahkan oleh tim ranger yang sedang berpatroli. Kata Ibnu, biasanya pemburu awalnya berburu di pinggir hutan, namun setelah itu mereka mencoba untuk masuk lebih ke dalam hutan.

“Sedangkan yang ditemukan masih hidup langsung kita lepaskan kembali,” jelasnya.

Penulis : Habil Razali/Afifuddin Acal

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Hutan Lindung KEL Alami Kerusakan Paling Tinggi

Banda Aceh – Laju kerusakan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh semakin tinggi. Setiap bulannya kerusakan terus terjadi akibat adanya perambahan hutan. Hutan yang awalnya seluas 2.255.577 hektar, pada Juni 2018 tersisa sekitar 1,8 juta hektar. Periode Januari – Juni 2018, luas tutupan hutan yang hilang diperkirakan seluas 3.290 hektar.

Manager Geographic Information System  (GIS) Yayasan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Agung Dwinurcahya mengatakan tutupan hutan KEL Aceh terus berkurang akibat berbagai kegiatan ilegal. Namun, menurutnya pembangunan jalan di dalam areal hutan lindung juga menjadi salah satu penyebab terjadinya kerusakan hutan.

Padahal KEL Aceh merupakan kawasan hutan tropis yang sangat berperan menyimpan cadangan air dan juga pengendalian iklim mikro. Perlindungan hutan tersebut berguna untuk keberlangsungan hidup manusia dan melindungi spesies-spesies yang harus memiliki skala prioritas untuk dikonservasi.

KEL juga berperan dalam mitigasi perubahan iklim, pencegahan bencana alam dan rumah bagi fauna dan flora yang beranekaragam. Ada 8500 spesies tumbuhan, 105 spesies mamalia dan 382 spesies burung.

KEL juga tempat terakhir di bumi dimana Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan Orangutan (Pongo abelii) berada bersama di alam bebas. Bila laju kerusakan terus meningkat, hewan yang dilindungi ini juga semakin terancam, baik akibat pemburuan maupun kehilangan habitat sehingga terjadilah konflik satwa dengan manusia.

Berdasarkan pantauan Yayasan HAkA melalu NASA dan satelit VIIRS dan MODIS, kerusakan hutan di dalam KEL periode Januari – Juni 2018 seluas 3.290 hektare. Angka ini relatif menurun dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2017 seluas 3.780 hektare, dan meningkat dibanding periode Juli – Desember 2017 seluas 3.095 hektare.

Kerusakan areal tutupan hutan itu terjadi merata di 13 kabupaten di Provinsi Aceh yang masuk dalam KEL Aceh. Namun, Agung menyebutkan terdapat tiga kabupaten dengan kerusakan dan luas hutan yang hilang paling parah pada periode Januari – Juni 2018.

Tiga kabupaten itu yaitu Kabupaten Nagan Raya (627 hektare), Aceh Timur (559 hektare), dan Gayo Lues (507 hektare). Data tersebut diperoleh oleh Yayasan HAkA melalui citra satelit setiap harinya.

“Dari data itu baru kemudian dibuat peta panduan monitoring yang di-update setiap bulan untuk dicek oleh teman lapangan. Dari hasil cek lapangan dibuatlah peta hasil monitoring. Datanya berupa foto, database, dan titik koordinat,” kata Agung.

Hutan Lindung Tertinggi Deforestasi

Kawasan Hutan Lindung (HL) di KEL Aceh menjadi kawasan hutan yang mengalami penghancuran dan pengurangan areal tutupan hutan paling tinggi seluas 615 hektar. Selanjutnya yaitu Hutan Produksi (HP) dengan deforestasi seluas 525 hektare, dan Taman Nasional seluas 368 hektar Hutan Produksi Terbatas 263 hektar, Suaka Margasatwa 96 hakter dan Taman Baru 24 hektar.

Sementara kawasan fungsi hutan yang mengalami kerusakan paling parah terjadi di Kabupaten Gayo Lues, seluas 433 hektar. Disusul Aceh Timur 290 hektar, dan Aceh Tenggara 222 hektar. Total kerusakan hutan di kawasan hutan mencapai 1.891 hektare

Ilegal Logging Faktor Utama Deforestasi

Kerusakan areal tutupan hutan KEL Aceh seluas 3.290 hektare pada periode Januari – Juni 2018 diakibatkan oleh berbagai kegiatan ilegal. Koordinator Monitoring Forum Konservasi Leuser (FKL), Tezar Pahlevie menyebutkan ada tiga faktor utama menjadi penyebab laju deforestasi di KEL, yaitu pembalakan liar, perambahan, dan pembukaan akses jalan.

“Berdasarkan data ground checking atau cek lapangan selama enam bulan oleh 12 tim monitoring lapangan FKL di 13 kabupaten dalam KEL, terdapat 1.892 kasus aktivitas ilegal,” kata Tezar.

Bahkan, kata dia, tim monitoring turut menemukan 63 kamp pembalak liar dan 53 kamp perambah hutan. Tezar mengatakan menemukan 1048 kasus pembalakan liar, menyita sebanyak 2.102,69 meter kubik kayu ilegal, dan bertemu dengan 25 orang pembalak kayu ilegal. Sementara perambahan liar sebanyak 779 kasus seluas 3623 hektare.

Pembangunan jalan tembus menurut Tezar, juga menjadi alasan berkurangnya tutupan hutan. Tim monitoring FKL menemukan sebanyak 65 kasus kerusakan hutan akibat pembangunan jalan seluas 105,55 kilometer di dalam KEL. Misalnya jalan tembus Pining – Lesten di Kabupaten Gayo Lues.

“Jalan ke Lesten misalnya tempat dibangun PLTU Tampur I, buat apa jalan, sedangkan penduduk di Lesten nanti akan direlokasi,” kata Sekretaris HAkA, Badrul Irfan.

Menurut dia, HAkA bukan anti terhadap pembukaan jalan tembus. Akan tetapi setiap ada pembangunan jalan baru harus dipertimbangkan untung dan ruginya. Apakah lebih menguntungkan atau mengalami kerugian.[]

Penulis : Habil Razali/Afifuddin Acal

read more
Green StyleKebijakan Lingkungan

Dewan Pengawas TFCA: Aceh Menjadi Leading Konservasi di Sumatera

Banda Aceh – Anggota Oversight Committee (Dewan Pengawas) Tropical Forest Conservation Action (TFCA) Sumatera, dalam pertemuan di Banda Aceh, Kamis (19/07/2018), Prof. Dr. Ir. Darusman, M. Sc, mengatakan Aceh bisa menjadi leading dalam usaha konservasi di Sumatera. Hal ini sangat memungkinkan karena kondisi hutan Aceh yang masih relatif luas dan paling bagus di Sumatera. Prof Darusman yang juga merupakan guru besar bidang Ilmu Tanah di Universitas Syiah Kuala ini menyampaikan hal tersebut dalam acara yang diselenggarakan TFCA Sumatera bertajuk ” Jalan Panjang Pelestarian Hutan & Spesies di Aceh”

Prof. Darusman merupakan anggota dewan pengawas tidak tetap dalam program TFCA Sumatera. Program ini memberikan dana hibah untuk konservasi hutan di wilayah Sumatera melalui pengalihan hutang (debt swap) Indonesia kepada Amerika Serikat. Perjanjian pengalihan hutang untuk lingkungan antara Pemerintah AS dan Pemerintah Indonesia, dibentuk berdasarkan U.S. Tropical Forest Conservation Act of 1998, Public Law No. 105-214.

Kedua negara bersepakat bahwa sebagian utang LN Indonesia akan ditransfer kedalam suatu rekening khusus yang hasilnya dipakai untuk membiayai kegiatan konservasi hutan di Sumatera. Rekening ini merupakan rekening trust fund yang berada di Singapura, mengingat Indonesia belum ada regulasi yang mengatur dana trust fund.

Prof. Darusman berharap acara ini dapat memberikan input atau masukan yang dapat ia sampaikan nantinya dalam rapat dewan pengawas sekitar awal September 2018 nanti. “Mari kita selesaikan tahap demi tahap kegiatan TFCA ini dan menyatukan visi dan misi untuk mensukseskan konservasi hutan Sumatera,” ujarnya.

Prof. Darusman menjelaskan para penerima dana hibah ini berasal dari LSM Lingkungan, kehutanan, konservasi, masyarakat adat dan lembaga kemasyarakatan lain yang berdiri dan bekerja di Indonesia secara sah, perguruan tinggi, lembaga regional atau lokal lainnya yang aktif di Indonesia.

Terdapat 13 bentang alam di Sumatera yang menjadi wilayah kerja TFCA Sumatera, sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini.

Bentang alam wilayah kerja TFCA Sumatera | Gambar dokumen TFCA Sumatera

Selain melaksanakan proyek konservasi kehutanan, TFCA Sumatera juga membuat program pelestarian spesies kunci yaitu harimau, badak, gajah dan orangutan. Adapun total dana yang dikelola yaitu dana khusus spesies sebesar 12,6 juta USD dan dana konservasi yang dikelola sebesar  42.6 juta USD (10 tahun
hingga 2020).[]

 

 

read more
Green Style

Di China Mereka Atasi Limbah Makanan Dengan 300 Juta Kecoa!

Ada banyak cara untuk atasi limbah makanan. Inovasi wilayah ini patut dicontoh karena memanfaatkan peran ratusan juta kecoa. Sebuah bangunan sederhana di kota Jinan, Provinsi Shandong, China menjadi rumah lebih dari 300 juta kecoa. Mereka dipelihara bukan tanpa alasan. Kecoa-kecoa ini akan dengan senang ‘melahap’ 15 ton limbah makanan per hari yang dikumpulkan dari wilayah Zhangqiu, China.

Pemilik fasilitas manajemen limbah makanan unik ini mengatakan, setiap hari makanan sisa dari restoran-restoran dibawa ke tempatnya untuk tujuan baik. Sisa makanan akan dilempar ke ban berjalan (conveyor belt) dengan alat pembuat ‘bubur’ sampah di bagian ujung.

Sisa makanan tersebut dihancurkan hingga berbentuk seperti adonan. Nah, adonan inilah yang diumpankan ke ruangan lain berisi ratusan juta kecoa yang siap melahapnya.

Dikutip dari Shanghaiist (19/7/2018), selama kecoa-kecoa diberi cukup asupan, mereka akan hidup selama 11 bulan dan dalam masa inilah kecoa juga bertelur. Saat kecoa-kecoa mati, tubuh mereka bisa dihancurkan dan diolah menjadi bubuk tinggi protein untuk memberi umpan hewan-hewan ternak.

Ke depannya, pemilik fasilitas manajamen limbah makanan ini juga berencana mengembangkan pasar bubuk protein berbahan kecoa untuk rangkaian produk perawatan kulit dan pengobatan. Kabarnya bubuk ini bersifat anti-inflamasi dan anti-bakteri.

Ia menambahkan, penggunaan kecoa untuk mengatasi limbah makanan adalah solusi ramah lingkungan dibanding pemakaian tempat pembuangan sampah yang menimbulkan polusi tanah dan air.

Solusi tersebut juga berpotensi menguntungkan mengingat dari tiap 15 ton limbah makanan menghasilkan 1 ton bubuk protein kecoa. Bubuk ini nantinya bisa dijual dengan harga 12.000 hingga 15.000 yuan per ton atau sekitar Rp 25,6 juta hingga Rp 32 juta.

Kini wilayah Zhanqiu, Jinan sedang membangun fasilitas manajemen sampah berbasis kecoa. Nantinya fasilitas ini mampu mengolah 200 ton limbah makanan per hari.[]

read more
Green StyleKebijakan Lingkungan

Empat LSM Lingkungan Presentasikan Program Hutan & Satwa Aceh

Banda Aceh – Program Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA Sumatera) menyelenggarakan kegiatan pemaparan proyek perlindungan hutan Aceh, Kamis (19/7/2018) bertempat di Kyriad Hotel Banda Aceh. Kegiatan menghadirkan empat LSM lingkungan yang mendapat bantuan pendanaan dari TFCA Sumatera untuk mempresentasikan kegiatan mereka dalam melindungi hutan Aceh. TFCA sendiri adalah sebuah program kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat dimana dananya diambil dari pengalihan hutang Indonesia (debt Swap) kepada Amerika. Uang yang berasal dari pembayaran hutang ditampung dalam rekening trust fund kemudian disalurkan untuk pembiayaan perlindungan hutan. Program berjalan selama delapan tahun (2009-2020) dengan total dana USD 42,6 juta.

Keempat LSM tersebut adalah Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) yang mempresentasikan program mereka di hutan gambut Rawa Tripa, Yayasan Leuser Internasional (YLI) yang menjelaskan program mereka di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Forum Konservasi Leuser (FKL) yang mempresentasikan kegiatan mereka di Kawasan Ekosistem Leuser dan Conservation Response Unit (CRU) Aceh yang memaparkan program perlindungan gajah di Kawasan Ekosistem Leuser. Setiap lembaga memaparkan apa yang telah mereka laksanakan dalam proyek TFCA, capaian-capaian, tantangan dan rencana program ke depan.

Wakil dari YEL, T. Muhammad Zulfikar dalam pemaparannya menyampaikan pentingnya kawasan gambut Rawa Tripa yang terletak di Nagan Raya dan sebagian Aceh Barat Daya. Hutan ini, yang menjadi habitat Orangutan Sumatera mengalami kerusakan parah akibat dibuka untuk perkebunan kelapa sawit. Karena itu YEL mengadvokasi kawasan gambut ini menjadi kawasan lindung.

“Gambut harus diselamatkan karena sudah banyak yang mengalami perubahan tata guna lahan,”ujarnya. Isu Rawa Tripa sempat menjadi perhatian public pasca gugatan sejumlah LSM terhadap PT Kallista Alam yang dituduh membakar lahan dan membuka kebun illegal. Gugatan ini dimenangkan LSM lingkungan hingga MA, namun sayangnya eksekusi putusan MA tertunda akibat gugatan balik yang dilancarkan oleh PT Kallista Alam. Seluas 1.605 hektar bekas lahan milik perusahaan ini dikembali kepada fungsi semula namun sayangnya akibat pengelolaan yang tidak jelas kini sebagian lahannya jadi ajang perebutan.

Menurut Zulfikar isu gambut sangat penting untuk dibicarakan dan dicarikan solusinya. Apalagi pemerintah Aceh dimasa Gubernur Zaini Abdullah mengeluarkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dari Qanun Tata Ruang Aceh. Kementerian LHK sudah memberikan rekomendasi agar KEL dimasukan kembali ke dalam Qanun RTRW Aceh.
Sekitar 13.000 hektar gambut di Rawa Tripa diperjuangkan menjadi kawasan lindung gambut. Sementara masih ada 3000-an hektar lahan gambut di Aceh Jaya yang belum tersentuh program advokasi. “Takutnya jika gambut Aceh Jaya tidak diadvokasi, gambut ini akan hilang sedikit-sedikit akibat perubahan lahan,”kata Zulfikar.

Zulfikar juga menegaskan pentingnya dibentuk badan yang khusus mengurusi masalah lahan gambut di Aceh. Jika di tingkat nasional ada Badan Restorasi Gambut, maka di Aceh perlu bentuk lembaga yang sejenis.

Selain program kehutanan, YEL juga memberikan bantuan kepada masyarakat sekitar hutan Rawa Tripa. Bantuan berupa keterampilan membuat pupuk, pemberian bantuan bibit tanaman dan ikan. Ini dilakukan agar kesejahteraan masyarakat sekitar dapat meningkat.

Sementara itu mewakili dari YLI, Nijar Tarigan menampilkan kegiatan yang mereka lakukan di suaka marga satwa Rawa Singkil. Ia menyebutkan Suaka Margasatwa Rawa Singkil seluas 102.500 ha yang berada di dalam KEL merupakan salah satu hutan rawa gambut yang masih tersisa di dunia yang perlu dipertahankan. Kawasan hutan ini rawan mengalami kerusakan dan membutuhkan perlindungan secara berkelanjutan, juga menjadi habitat banyak mamalia, tumbuhan, burung, spesies ikan dan banyak jenis reptil yang langka dan terancam, serta penting untuk memelihara berbagai jasa-jasa lingkungan.

Tampil mewakili CRU Aceh adalah Wahdi Azmi. Lembaga ini mendapat bantuan dana dari program TFCA spesies untuk khusus menangani gajah. Diantara program CRU Aceh yang menonjol adalah memasang Collar GPS pada gajah untuk mengetahui pergerakan gajah dan membangun barrier gajah dengan memadukan antara artificial barrier (barrier buatan manusia) dengan natural barrier (barrier alami) agar gajah liar tidak masuk pemukiman penduduk yang sering menimbulkan konflik.

Wahdi menyebutkan bahwa habitat gajah di Aceh masih mencukupi karena hutan Aceh masih relative luas. Hal ini berbeda dengan hutan di Sumatera lainnya yang luasnya semakin menyusut. Aceh mempunyai kesempatan yang bagus untuk menjaga kehidupan gajah yang tersebar hampir di seluruh daerah Aceh. Hanya saja gajah Aceh tidak mendiami daerah konservasi sendiri atau suaka marga satwa tapi tinggal dalam hutan-hutan yang pengelolaannya dibawah pemerintah Aceh. CRU Aceh akan memperjuangkan berdirinya suaka margasatwa (sanctuary) yang menjadi tempat berlindung hewan-hewan liar. CRU Aceh sendiri terpisah secara struktural dengan CRU-CRU lain yang berada di bawah BKSDA.

Topografi hutan Aceh yang ekstrim, tebing-tebing hutan yang curam menjadi natural barrier yang bagus bagi gajah. Barrier buatan sendiri tidak akan efektif bila tidak dikelola dengan benar. Perpaduan kedua barrier ini menjadikannya sebagai barrier yang efektif dan efisien. Saat ini terdapat 70-80 ekor gajah kawasan hutan Ulu Masen.

FKL lebih banyak mempresentasikan program patroli mereka dimana mereka sangat sering menemukan jerat hewan liar dan perambahan liar di kawasan KEL. Patroli rutin mereka laksanakan untuk mencegah perburuan hewan liar. Tak kurang dari ribuan jerat berbagai ukuran untuk berbagai macam hewan liat telah berhasil mereka sita. Selama berpatroli mereka ditemani oleh petugas dari BKSDA yang memang secara UU memiliki kewenangan khusus beroperasi dalam kawasan lindung.

Dana Hibah TFCA untuk Aceh
Selama lima siklus dan off cycle program TFCA, banyak lembaga lingkungan yang melaksanakan konservasi di Aceh dengan bantuan dana TFCA. Berikut daftar lembaga yang mendapat pendanaan untuk bekerja di propinsi Aceh:
1. Yayasan Leuser International
Nama Proyek: Pengamanan Kawasan Strategis Aceh Selatan – Singkil bagi Konservasi yang Berbasis Masyarakat Secara Berkelanjutan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Bentang Alam: Taman Nasional Batang Gadis, Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser,
Durasi Hibah: Maret 2011-Januari 2017
Bantuan dana : Rp. 11.181.842.059

2. Yayasan Ekosistem Lestari
Nama proyek : Penyelamatan Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa-Babahrot Melalui Upaya Penetapan Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan dan Restorasi dengan Pendekatan Multi Pihak
Bentang Alam: Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser,
Durasi Hibah: Mei 2012-April 2017
Bantuan dana: Rp. 6.548.795.000

3. Konsorsium Jantho Lestari
Nama proyek : Kegiatan Konservasi Hutan Tropis di Cagar Alam Jantho Kabupaten Aceh Besar, Pidie dan sekitarnya untuk Perbaikan Fungsi Kawasan Konservasi, Keanekaragaman Hayati dan Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat Sekitar Hutan
Anggota Konsorsium: 1. Yayasan Pemerhati Alam Dunia Hijau Indonesia (PADHI) 2. WWF-Indonesia
Bentang Alam: Hutan Seulawah – Ulu Masen,
Durasi Hibah: Juni 2014 – Mei 2017
Bantuan dana: Rp. 4.620.828.000

4. Konsorsium Suar Galang Keadilan
Nama proyek: Penguatan Kapasitas Penegak Hukum Dalam Penanganan Kasus Kejahatan Terhadap Satwa Liar yang Dilindungi di Aceh
Bentang Alam: Hutan Seulawah – Ulu Masen,
Durasi Hibah: Oktober 2016 – April 2017
Bantuan dana: Rp. 1.000.000.000

5. Konsorsium HAKA
Nama proyek: Konservasi Badak Sumatera Di Kawasan Ekosistem Leuser Melalui Peningkatan Peran Pemerintah Daerah dan Masyarakat Lokal
Anggota Konsorsium: 1. Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HaKA) 2. Forum Konservasi Leuser (FKL) 3. Forum Masyarakat Leuser Aceh Tenggara (FORMALAT)
Bentang Alam: Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser,
Durasi Hibah: November 2015-Oktober 2016
Bantuan dana: Rp. 1.000.000.000

(Sumber: tfcasumatera.org)

 

 

read more
Green StyleKebijakan Lingkungan

TFCA Paparkan Program Perlindungan Hutan Aceh kepada Media

Program Tropical Forest Conservation Action-Sumatra (TFCA-Sumatera) merupakan program konservasi terpadu di bawah perjanjian antara Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia. Program ini memanfaatkan fasilitasi pembiayaan konservasi, perlindungan, restorasi (pemulihan) dan pemanfaatan sumberdaya hutan tropis secara lestari di Pulau Sumatera.

Program TFCA-Sumatera menekankan pendekatan pengelolaan terpadu (antar komponen) dan kolaboratif (antar lembaga) serta mendorong partisipasi semua pihak pelaku pembangunan di berbagai sektor, untuk mewujudkan hutan yang lestari yang pada gilirannya berdampak pada kesejahteraan masyarakat dan pembangunan ekonomi wilayah secara berkelanjutan.

Hingga saat ini, keberadaan mitra TFCA Sumatera di 12 Bentang Alam dari 13 bentang alam prioritas TFCA Sumatera telah melaksanakan program dan telah memasuki masa akhir program serta telah melakukan grand close report. Berdasarkan identifikasi ada kebutuhan untuk melaksanakan advokasi media program-program mitra TFCA Sumatera Regional Utara khususnya untuk wilayah Aceh.

Advokasi media berupa media gathering berbentuk focus grup discusion (FGD) dengan media asing, nasional dan lokal mengenai kondisi terkini program mitra TFCA Sumatera regional utara di Provinsi Aceh. Dukungan media ini diharapkan menjadi stimulan pengetahuan publik terhadap isu-isu konservasi di Aceh dan khususnya menjadi dorongan kepada parapihak untuk memberi dukungan terhadap program mitra TFCA Sumatera di tingkat tapak. Kegiatan akan diadakan pada hari Kamis (19/07/2018) di Banda Aceh.

Adapun tujuan kegiatan ini antara lain untuk mempublikasi program mitra TFCA Sumatera, advokasi program mitra agar mendapatkan dukungan parapihak terutama untuk Provinsi Aceh, serta antisipasi miskomunikasi dan informasi antara program dengan liputan media.

Selain itu, pasca kegiatan ini diharapkan adanya kesamaan persepsi antara mitra dan media di tingkat tapak mengenai isu-isu konservasi hutan dan satwa terancam punah di Provinsi Aceh, masing-masing mitra TFCA dapat memaparkan data sebagai konten news masing-masing media dan update terbaru liputan program-program mitra TFCA Sumatera regional utara di Provinsi Aceh. [rel]

 

 

read more
1 2
Page 1 of 2