close

August 2018

Flora Fauna

Orangutan Kembali Dievakuasi dari Kebun Masyarakat Abdya

Seekor Orangutan jantan kembali dievakuasi dari kebun masyarakat yang terletak di Desa Blang Mee, Kecamatan Kuala Batee, Aceh Barat Daya. Tim yang beranggotakan personil dari BKSDA Aceh, YEL dan SOCP menyelamatkan orangutan yang berada dalam kondisi malnutrisi. Evakuasi dilakukan pada hari Kamis (30/8/2018).

Orangutan jantan ini diperkirakan berumur sekitar 30 tahun dengan berat badan antara 70-80 kilogram. Jika orangutan ini tidak segera diselamatkan maka keberadaannya terancama oleh pemilik kebun. Orangutan tersebut sudah merambah isi kebun seperti sawit, pisang dan tanaman-tanaman lain yang ada didalam kebun. Masyarakat segera melaporkan keberadaan orangutan tersebut agar hewan yang dilindungi ini dapat diselamatkan.

Staf lapangan YEL, Indrianto, kepada Greenjournalist, Jumat (31/8/2018) mengatakan Orangutan tersebut bisa jadi dulunya merupakan bagian dari orangutan yang habitatnya berada di hutan gambut Rawa Tripa. Namun akibat adanya pembuatan sungat buatan, yang kini dikenal dengan sebutan Krueng Ikueh, maka habitatnya menjadi terpisah. Orangutan ini pun tidak dapat kembali lagi ke habitat asalnya karena sudah terpisah oleh sungai buatan tersebut.

“Sedangkan hutan di sekitar desa Blang Mee nyaris sudah tidak ada lagi, jadi orangutan kesulitan untuk bertahan hidup disitu,”ujar Indrianto. Indrianto sendiri adalah staf YEL yang sehari-hari juga bertugas memantau keberadaan orangutan di kawasan hutan gambut Rawa Tripa.

Orangutan jantan yang diselamatkan tersebut hari Jumat (31/8/2018) sudah dilepasliarkan kembali di Cagar Alam Jantho, Aceh Besar. Dia tidak perlu menjalani perawatan serius karena kondisinya masih tergolong baik dan bisa dilepaskan ke alam liar secepatnya.

Dalam bulan Agustus ini sudah 2 ekor orangutan yang dievakuasi dari Kuala Batee. Tim memperkirakan masih ada sejumlah orangutan yang terjebak dikawasan tersebut dan perlu untuk dievakuasi segera, sebelum menjadi sasaran kejahatan dari masyarakat yang tidak bertanggung jawab.

 

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Mengapa Hakim PTUN Tolak Gugatan Izin Kawasan Karst Tamiang?

Pada tanggal 15 Agustus 2018 lalu bertempat di PTUN Banda Aceh Majelis Hakim yang diketuai Hujja Tulhaq, SH,MH dengan hakim anggota Miftah Sa’ad Caniago, SH,MH dan Rahmad Tobrani, SH, telah membacakan putusan terhadap gugatan pemberian izin kawasan Karst Aceh Tamiang. Hakim menolak gugatan yang diajukan oleh pengacara Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA). Hakim menyatakan bahwa Pemkab Aceh Tamiang berhak mengeluarkan izin tersebut. Mengapa hakim memutuskan demikian?

Pengacara HAkA, Nurul Ikhsan, SH, dalam sebuah kesempatan menjelaskan alasan-alasan hakim menolak gugatan aktivis lingkungan. Segala alasan yang telah dikemukakan oleh pengacara HAkA dalam persidangan, termasuk sidang lapangan yang meninjau langsung lokasi sengketa, tidak menjadi pertimbangan hakim. Hakim lebih mempertimbangkan segi prosedural yang dilakukan oleh tergugat. Padahal lokasi izin tambang tersebut, kasat mata dan sangat jelas posisinya dalam kawasan Karst Aceh Tamiang.

Fakta-fakta yang dimunculkan dalam persidangan oleh sejumlah saksi ahli menunjukan bahwa izin lahan yang digugat adalah kawasan Karst. Qanun Kabupaten Aceh Tamiang Nomor 14 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2012-2032  juga disebutkan daerah Karst merupakan kawasan lindung geologis.

Dalam RTRW Kabupaten Aceh Tamiang, lanjut Nurul Ikhsan, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang secara jelas dan tegas menetapkan bahwa Kecamatan Tamiang Hulu adalah Kawasan Cagar Alam Geologi sebagai bagian dari Kawasan Lindung Geologi berupa Kawasan Karst Kabupaten Aceh Tamiang. Pemerintah menetapkan secara hukum Kawasan tersebut, sebagai kawasan Rawan Bencana. Karena itu, jelas Kawasan Tamiang Hulu tidak diperuntukkan sebagai kawasan industri besar apalagi tambang.

“Seharusnya pemerintah yang baik melindungi Karst ini, bukan malah memberikan izin,”ujar Nurul.

Keputusan Bupati Aceh Tamiang Nomor : 05 Tahun 2017 Tentang Perubahan Izin Lingkungan Rencana Kegiatan Industri Semen Kapasitas Produksi 10.000 ton/hari Klinker di Kampung Kaloy Kecamatan Tamiang Hulu Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh oleh PT. Tripa Semen Aceh.

Memang dalam izin tersebut telah dikeluarkan sejumlah area goa Karst dari wilayah pertambangan. Namun hal ini tidak bisa dibenarkan menjadi pertimbangan keluarnya izin, karena daerah Karst itu merupakan sebuah daerah satu kesatuan yang saling terkait satu sama lain.

Sementara hakim memutuskan berdasarkan pertimbangan utamanya yaitu belum adanya penetapan dari Menteri bahwa daerah tersebut merupakan kawasan Karst. Selain itu hakim juga menyatakan bahwa Pemkab Aceh Tamiang berhak mengeluarkan izin tersebut. Hakim terlalu bersandarkan pada teknis prosedur dalam pemberian izin, tidak melihat substansi ancaman yang akan terjadi pada daerah akibat izin pertambangan yang dikeluarkan tersebut. Keputusan hakim ini menjadi sebuah kerugian yang besar masyarakat dan alam Tamiang.

Majelis hakim dalam putusannya, tidak mempertimbangkan aspirasi masyarakat, sebab sejak awal diterbitkan izin lingkungan PT.TSA, aktivis Yayasan HAkA, aktivis lingkungan, dan masyarakat telah menyampaikan penolakan atas Izin PT.TSA karena rencana kegiatan industri semen dengan kapasitas produksi 10.000 metrik ton per-hari berpotensi merusak kawasan bentang alam karst.

Pengacara HakA tanpa ragu akan mengajukan banding terhadap putusan ini. Sidang ini sendiri telah berlangsung selama lebih kurang 6 bulan, menjalani 12 kali persidangan termasuk sekali sidang lapangan. Namun dari beberapa sumber, ada yang menyatakan hakim tidak sampai ke lokasi yang persisnya menjadi kawasan Karst. Padahal jika hakim mencapainya, Ia akan melihat ada banyak goa Karst, sekitar 600 goa dengan diameter berkisar antara 14-40 meter membentang di kawasan tersebut.[]

 

 

read more
Flora FaunaHutan

Sumatran Orangutan Society Luncurkan Video Karakter Komik The Jungle Book

Tokoh-tokoh komik The Jungle Book terbitan Disney tahun 1967, selama beberapa generasi telah menjadi ikon satwa liar yang hidup  di luar jangkauan peradaban. Namun jangkauan itu semakin jauh setiap tahun, dan sekarang organisasi advokasi menggunakan karakter film untuk menunjukkan bagaimana habitat mereka hancur.

Dalam klip  berdurasi 75 detik berjudul “Concrete jungle,” yang dipublikasikan oleh The Sumatran Orangutan Society, penonton dapat melihat karakter Baloo, Shere Khan dan beberapa karakter lainnya yang diadaptasi dari buku The Jungle Book hidup di jalanan kota-kota di seluruh dunia. Mereka menjadi pengungsi dari hutan, kampung halaman mereka yang hancur.

Film ini dibuat oleh agensi kreatif London Don’t Panic, juga menampilkan sampul bertuliskan ” Bare Necessities” dibuat oleh artis Inggris Benedict Benjamin, yang mengubah lagu theme song kebahagiaan Baloo yang sederhana menjadi lagu meditasi melankolis .

“Dengan mengambil karakter Jungle Book yang digemari dan menempatkannya ke lanskap perkotaan, kami berharap membuat semua orang melihatnya dua kali,” kata Direktur Pelaksana Don’t Panic Joe Wade. “Raja Louie, Baloo, dan anggota geng lainnya adalah tokoh abadi untuk orang dewasa dan anak-anak. Tidak ada yang ingin melihat mereka dalam kesulitan. Kami berharap kualitas universal ini mampu melibatkan khalayak yang lebih luas di sekitar masalah deforestasi”.

Video ini adalah bagian penting dari kampanye Sumatran Orangutan Society mengumpulkan dana USD 1,1 juta untuk upaya reforestasi. Kelompok ini membeli lahan yang terdeforestasi dan kemudian mencoba untuk membudidayakannya kembali menjadi habitat satwa liar.

Agak ironis, karakter orangutan King Louie dalam Jungle Book seharusnya tidak ada dalam cerita  ini, mengingat bahwa buku dan film tersebut dibuat di India, sedangkan orangutan adalah asli dari Indonesia dan Malaysia.
Namun video ini bertujuan untuk meningkatkan perhatian bagi Sumatera, tempat orangutan memang hidup — tetapi menderita kerugian ekstrem di tengah kegiatan penggundulan hutan, terutama untuk produksi minyak sawit.

“Kami memiliki kesempatan emas untuk mengamankan area lahan penting di tepi Ekosistem Leuser,” kata Helen Buckland, direktur Sumatran Orangutan Society. “Setelah direklamasi dan dipulihkan, itu akan menjadi rumah bagi ribuan spesies, termasuk orangutan, gajah dan harimau yang kita semua kenali dari film kampanye, selamanya.”

Sumber: David Griner/adweek.com 

 

 

read more
Flora Fauna

Melestarikan Satwa dengan Kemah Jurnalistik

Pipit setengah berteriak di hadapan puluhan jurnalis, mahasiswa, dan aktivis lingkungan yang duduk melingkar di Aula Conservation Respons Unit (CRU) Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya, Aceh. Perempuan dengan nama asli Fitria itu adalah manager program CRU Aceh, berhadapan dengan para jurnalis.

Malam itu, Kamis (16/8/2018) jarum jam baru saja menunjukkan pukul 20.30 WIB saat puluhan peserta Kemah Jurnalistik berkumpul di Aula CRU Sampoiniet. Bangunan basecamp yang didirikan untuk merespons konflik gajah liar itu terletak di pinggiran hutan Ulu Masen, sekitar 24 kilometer dari Jalan Banda Aceh – Meulaboh.

Genset sumber energi untuk menghidupkan beberapa lampu penerangan di CRU. Bangunan itu jauh dari pemukiman, tanpa akses listrik, dan sinyal telepon.

Pipit menjadi narasumber menyampaikan pengetahuan tentang Gajah Sumatera dalam diskusi yang digagas oleh Forum Jurnalis Lingkungan (FJL). Ia berharap, jurnalis punya andil besar dalam mengampanyekan keberadaan satwa Gajah Sumatera yang kini keberadaannya semakin terancam.

“Kita berharap jurnalisnya smart. Jurnalis harus memberitakan fakta, kalaupun ada bumbu, bumbunya harus edukatif, bukan provokatif,” kata perempuan itu dengan suara yang lumayan keras.

Pipit menerangkan bahwa kehidupan satwa gajah kini semakin terancam karena hutan habitatnya sudah menipis akibat pembalakan liar. Dalam beberapa bulan ini saja, dalam setiap bulannya terdapat seekor gajah ditemukan mati. Pada 9 Juni, gajah jinak bernama Bunta dibunuh untuk diambil gadingnya di CRU Serbajadi, Aceh Timur.

Sebulan berselang, pada 12 Juli, seekor gajah liar ditemukan tewas di HGU milik PT. Bumi Flora di Desa Jambo Reuhat, Kecamatan Banda Alam, Aceh Timur. Baru-baru ini, pada tanggal 13 Agustus 2018, gajah jinak bernama Retno juga ditemukan tak bernyawa di CRU Lala, Pidie.

Kematian gajah belakangan ini merupakan dampak setelah meluasnya pembalakan liar dan hutan sebagai habitat gajah yang menyempit. Pipit menyebut, akibat habitat yang berkurang, gajah liar terpaksa turun ke perkebunan warga di beberapa kabupaten di Aceh. Sehingga terjadi konflik satwa liar dan manusia.

Konflik satwa dan seringnya turun gajah ke perkebunan dan perkampungan warga tidak terlepas tingginya penghancuran hutan di Aceh. terutama di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh.

KEL Aceh juga tempat terakhir di bumi dimana Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan Orangutan (Pongo abelii) berada bersama di alam bebas. Bila laju kerusakan terus meningkat, hewan yang dilindungi ini juga semakin terancam, baik akibat pemburuan maupun kehilangan habitat sehingga terjadilah konflik satwa dengan manusia.

Berdasarkan data dari Yayasan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), laju kerusakan hutan di KEL Aceh semakin tinggi. Setiap bulannya kerusakan terus terjadi akibat adanya perambahan hutan. Hutan yang awalnya seluas 2.255.577 hektar, pada Juni 2018 tersisa sekitar 1,8 juta hektar. Periode Januari – Juni 2018, luas tutupan hutan yang hilang diperkirakan seluas 3.290 hektar.

Angka ini memang relatif menurun dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2017 seluas 3.780 hektare, dan meningkat dibanding periode Juli – Desember 2017 seluas 3.095 hektare. Namun Hutan Lingsung tertinggi terjadi deforestasi saat ini.

Kawasan Hutan Lindung (HL) di KEL Aceh menjadi kawasan hutan yang mengalami penghancuran dan pengurangan areal tutupan hutan paling tinggi seluas 615 hektar. Selanjutnya yaitu Hutan Produksi (HP) dengan deforestasi seluas 525 hektare, dan Taman Nasional seluas 368 hektar Hutan Produksi Terbatas 263 hektar, Suaka Margasatwa 96 hakter dan Taman Baru 24 hektar.

Sementara kawasan fungsi hutan yang mengalami kerusakan paling parah terjadi di Kabupaten Gayo Lues, seluas 433 hektar. Disusul Aceh Timur 290 hektar, dan Aceh Tenggara 222 hektar. Total kerusakan hutan di kawasan hutan mencapai 1.891 hektare

Kerusakan areal tutupan hutan KEL Aceh seluas 3.290 hektare pada periode Januari – Juni 2018 diakibatkan oleh berbagai kegiatan ilegal. Forum Konservasi Leuser (FKL) Aceh menilai ada tiga faktor utama menjadi penyebab laju deforestasi di KEL, yaitu pembalakan liar, perambahan, dan pembukaan akses jalan.

Tentunya keberadaan CRU, khususnya di  Sampoiniet, Kabupaten Aceh tak terlepas dari merespon konflik gajah liar yang terus terjadi di Aceh. Setelah perdamaian antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka pada 15 Agustus 2005, perambahan hutan pun semakin gencar dilakukan.

Apalagi untuk pemenuhan pasokan kayu untuk rekonstruksi pembangunan pascatsunami menerjang Aceh pada 26 Desember 2004. Dampaknya, gajah liar semakin rutin turun dan mengobrak-abrik areal perkebunan warga di Kabupaten Aceh Jaya.

Merespons konflik satwa ini, kemudian pada Juli 2008, CRU Sampoiniet resmi didirikan di Desa Ie Jeureungeh, Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya. Sebanyak empat ekor gajah jinak dari Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree, Aceh Besar, ditempatkan ke sana. Mereka adalah Olu, Johana, Isabela, dan Azis.

Meski sudah ada CRU, gajah liar masih enggan pindah dari kawasan hutan yang sekarang menjadi perkebunan warga. Namun, keberadaan CRU menjadi benteng besar agar tidak terjadi konflik langsung antara gajah liar dan warga di Sampoiniet.

Tidak cukup hanya CRU, dalam waktu dekat ini, kata Pipit, CRU Aceh ingin membangun barier penghalang gajah liar di tengah hutan Ulu Masen untuk meredam konflik satwa. Barier itu nantinya akan menarik batas Kawasan Pengelolaan dan Pengawasan Habitat Gajah Aceh Jaya.

Hingga kini, pihak CRU Aceh masih merencanakan pemasangan barier jenis seperti apa yang cocok digunakan di kawasan hutan Ulu Masen. Menurut Pipit, ada dua jenis barier untuk gajah liar, yaitu berbentuk parit dan pagar listrik.

“Barier salah satu strategi untuk meredam konflik gajah liar, selain GPS Collar (pendeteksi posisi gajah liar). Apakah akan efektif, nanti akan kita lihat kalau sudah selesai,” kata Pipit.

Untuk pamasangan barier gajah, kata Pipit, lokasi pembangunannya harus terdapat barier alami. Misalnya, berupa dinding terjal, bukit terjal, dan lain sebagainya yang bisa menjadi penghalang lintasan gajah. “Barier dipasang di tengah hutan, di mana ada barier alaminya,” katanya.

Gajah Sumatera, kata Pipit, merupakan satu di antara empat spesies kunci yang hidup di hutan Aceh dan saat ini terancam keberadaannya. Keempat spesies itu adalah gajah, harimau, badak, dan orangutan.

“Sebenarnya, satwa yang terancam itu milik mereka,” kata Pipit sembari menunjuk tiga anak kecil berlarian di tengah forum diskusi. Usia mereka di bawah lima tahun. “Makanya, kita harus menjaganya. Ini hutang ke generasi yang akan datang.”

FJL Bentuk Keresahan Jurnalis

Ketua Divisi Organisasi dan Pendidikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh, Zulkarnain Masry mengatakan,  FJL pada dasarnya dibentuk sebagai respon dari keresahan jurnalis terhadap pembalakan hutan dan perburuan satwa liar yang gencar terjadi.

Dengan menggelar Kemah Jurnalistik pada setiap bulannya, kata Zul, sehingga semakin terbuka wawasan terhadap satwa, terutama gajah Sumatera.

“Kegiatan ini akan dilakukan dengan rutin dengan tema berbeda, sebulan sekali atau dua bulan sekali. Meskipun bukan wartawan, tapi berkonsentrasi dalam isu lingkungan, untuk menyelamatkan hutan, satwa, dan lingkungan kita,” kata dia.

Sementara itu Koordinator FJL Aceh, Ratno Sugito mengatakan, peserta Kemah Jurnalistik  dari kalangan jurnalis profesional, pers kampus dan blogger. Selama Kemah Jurnalistik digelar mereka diberikan pemahaman tentang pentingnya memberitakan isu-isu lingkungan.

Katanya, mengambil momen 17 Agusutus pada hari peringatan proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). FJL Aceh ingin mengkampanyekan perlindungan satwa yang dilindungi dan terancam punah di Aceh.

“Setidaknya ada 40 orang jurnalis, pers kampus, baik tulis, foto dan video berkumpul bersama. Diharapkan nantinya bisa memantik untuk menulis tentang isu-isu lingkungan,” ungkapnya.

FJL Aceh dalam melaksanakan Kemah Jurnalistik juga selalu didukung oleh beberapa elemen sipil yang peduli terhadap lingkungan. Seperti CRU Aceh, Yayasan Ekosistem Leuser (YEL), Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh, Ikatan Jurnalis Telivisi Indonesia (IJTI), Aceh, Walhi Aceh dan Aceh Chilimate Change Inisitive (ACCI).

Upacara Bendera Libatkan Gajah

Jumat (17/8) pagi, CRU Sampoiniet menggelar upacara bendera Hari Kemerdekaan Ke-73 Republik Indonesia. Uniknya, tiga gajah jinak di CRU bernama Olu, Johana, dan Isabela dilibatkan sebagai pembawa bendera sebelum dinaikkan oleh pengibar bendera merah putih.

Bendera diikatkan di sebatang bambu. Kemudian, gajah Olu merangkul bambu itu dengan belalai dan menyerahkannya kepada seorang mahout yang bertugas sebagai pengibar bendera. Setelah diserahkan, tiga gajah itu hormat bendera dengan menundukkan kepala.

Seusai upacara, gajah turut menyusuri sungai. Sang mahout yang duduk di pundak masing-masing gajah memegang bendera merah putih.

Leader CRU Sampoiniet, Samsul Rizal mengatakan upacara bendera pada HUT Kemerdekaan Ke-73 RI yang melibatkan gajah Sumatera baru pertama kali dilakukan. Dengan melibatkan gajah, dia ingin mengampanyekan bahwa manusia bisa hidup berdampingan dengan gajah.

“Untuk mengampanyekan bahwa kita bisa hidup dengan gajah. Kita di Indonesia hari ini merasakan kemerdekaan, termasuk gajah,” kata Samsul Rizal.[]

Penulis : Habil Razali

read more
Flora Fauna

Kepala BKSDA : Harimau Sumatera Terancam Punah di Aceh

BANDA ACEH – Populasi harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) di Provinsi Aceh berada pada level sangat rentan (critically endangered) ke level punah (extinct). Kondisi ini semakin diperparah dengan makin maraknya perburuan liar dan menyempitnya habitat.

Penghancuran hutan di Serambi Mekkah, khususnya di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Aceh semakin tinggi. Padahal harimau secara alamiah membutuhkan wilayah jelajah antara 60 hingga 100 kilometer persegi.

Wilayah jelajah harimau yang semakin sempat inilah yang kemudian semakin memperparah ancaman kelestarian harimau di Tanah Rencong. Polulasi harimau terbanyak saat ini berada di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), termasuk di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Mirisnya, berdasarkan data dari Yayasan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), setiap bulannya kerusakan terus terjadi akibat adanya penghancuran hutan di KEL Aceh. Hutan yang awalnya seluas 2.255.577 hektar, pada Juni 2018 tersisa sekitar 1,8 juta hektar. Periode Januari – Juni 2018, luas tutupan hutan yang hilang diperkirakan seluas 3.290 hektar.

Belum lagi jeratan berbagai jenis juga sering ditemukan di kawasan hutan. Forum Konservasi Leuser (FKL) yang memiliki 24 tim ranger telah bertugas patroli di hutan 11 kabupaten. Selama semester pertama tahun 2018 ini sudah 139 kali patroli dilakukan dengan jangkauan patroli mencapai 7.834,44 kilometer.

Sejak periode Januari-Juni 2018, tim patroli FKL menemukan 389 kasus perburuan dan menemukan 25 orang pemburu. Pihaknya juga menyita 497 jerat yang telah dipasang di beberapa titik di hutan dalam KEL Aceh untuk memburu satwa landak, rusa, kijang, beruang, harimau, dan gajah. Selain itu, mereka turut menemukan sebanyak 25 kamp pemburu.

Selama semester satu tahun 2018, FKL menemukan 187 kasus satwa dari 497 perangkap yang ditemukan. Berdasarkan jenis satwa, burung ditemukan 41 ekor dengan jumlah jerat sebanyak 59 buah.

Lalu rusa, kijang dan kambing ada 65 ekor dengan jumlah jerat 179 buah. Landak sebanyak 68 hewan dengan jumlah perangkap sebanyak 224 jerat, gajah 9 hewan dan 9 jerat dan harimau dan beruang sebanyak 4 satwa dengan jumlah 6 perangkap.

Pada periode ini juga ditemukan sebanyak 61 satwa ditemukan mati akibat perburuan maupun mati alami. Pihaknya juga menemukan seekor harimau dan gajah mati akibat perburuan di KEL Aceh.

KEL juga tempat terakhir di bumi dimana Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Harimau (Panthera tigris sumatrae), Gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan Orangutan (Pongo abelii) berada bersama di alam bebas. Bila laju kerusakan terus meningkat, hewan yang dilindungi ini juga semakin terancam, baik akibat perburuan maupun kehilangan habitat sehingga terjadilah konflik satwa dengan manusia.

“Ancaman yang paling besar adalah pragmentasi habitat, karena habitat semakin berkurang, sehingga dia semakin sulit untuk berkembang biak, untuk mengeksistensi dirinya,” kata Kepala Balai Konservasi Lingkungan Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo.

Sapto menyebutkan saat ini yang tersisa harimau sebanyak 150-200 individu. Baik itu dalam TNGL maupun di hutan lainnya.

Secara nasional  dan sumatera populasi harimau di Aceh terbilang paling besar. Menurut Sapto, bila penghancuran hutan terus terjadi, perburuan semakin marak tanpa ada upaya penghentian, populasi harimau di Aceh akan terancam.

Harimau sering dijumpai di hutan berdataran rendah hingga pegunungan. Wilayah penyebaran pada ketinggian 0-2.000 mdpl. Meskipun tidak tertutup kemungkinan sampai ketinggian di atas 2.400 mdpl.

Namun tingginya kerusakan hutan di dataran rendah saat ini telah memaksa harimau bermigrasi ke pegunungan atau perbukitan, bahkan bisa saja masuk dalam perkebunan warga. Kondisi ini juga kemudian konflik satwa dengan manusia tak dapat dihindari, sehingga masyarakat beranggapan harimau tersebut dianggap hama.

“Kemudian terjadi konflik dan ini bisa mendorong kematian-kematian selanjutnya, kemudian dianggap hama oleh masyarakat,” tukasnya.

Menyangkut dengan perburuan, Sapto mengakui tidak semua jerat yang dipasang oleh pemburu untuk menangkap harimau. Tetapi ada jerat rusa, babi dan sejumlah jerat lainnya yang kemudian bisa mengancam keberadaan harimau.

“Memang tidak khusus ditujukan pada harimau ya, tetapi cukup mengancam harimau dan itu akan sangat mengancam kelestarian,” imbuhnya.

Menurut Sapto, masih maraknya perburuan satwa liar di Aceh tidak terlepas masih banyaknya orang mengoleksi satwa dilindungi. Masih tingginya permintaan dengan harga yang menggiurkan, telah memantik pemburu untuk berburu dan memperdagangkannya.

“Perdagangan yang masih sangat marak. penjualan kulit harimau dan bagian-bagian yang lain masih sangat tinggi, banyak kolektor-kolektor gila yang mengkoleksi itu, sehingga orang terus mencari dan menjual,” tukasnya.

Oleh karena itu, kata Sapto, upaya yang harus dilakukan adalah penegakan hukum dan menghukum pelaku sesuai dengan regulasi yang ada. Sehingga pelaku memiliki efek jera sehingga tidak ada lagi yang memburu satwa yang dilindungi tersebut.

Bila penegakan hukum tidak ditegakkan. Sapto pesimis bisa melindungi satwa liar, terutama harimau yang semakin kritis populasinya. Penegakan hukum cukup berperan untuk melestarikan satwa dilindungi di Aceh.

Kata Sapto, perdagangan satwa liar yang dilindungi saat ini tertinggi dari Aceh. Ini butuh ada penindakan yang tegas untuk memerangi perburuannya.

“Selain itu harus ada sosialisasi kepada masyarakat pentingnya konservasi satwa liar yang dilindungi itu,” ungkapnya.

Deforestasi hutan dan perburuan yang masih marak telah menyumbang besar ancaman kepunahan harimau. Bagaimana pun hutan itu habitat utama dari harimau itu sendiri. Ketika habitat rusak karena ada konversi, otomatis akan mengancam kelestarian harimau tersebut.

read more
EnergiKebijakan Lingkungan

Hakim PTUN Tolak Gugatan Aktivis Lingkungan terhadap Izin Pabrik Semen

Tanggal 8 Februari 2018 Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) memasukan gugatan kepada Bupati Aceh Tamiang terkait dengan Keputusan Bupati Aceh Tamiang Nomor : 05 Tahun 2017 Tentang Perubahan Izin Lingkungan Rencana Kegiatan Industri Semen Kapasitas Produksi 10.000 ton/hari Klinker di Kampung Kaloy Kecamatan Tamiang Hulu Kabupaten Aceh Tamiang Provinsi Aceh oleh PT. Tripa Semen Aceh.

Menurut HAkA Keputusan Bupati tersebut tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten Aceh Tamiang dan berpotensi merusak Kawasan Lindung Geologis/Kawasan Karst.

Hari ini, Rabu (15/8/2018) bertempat di PTUN Banda Aceh Majelis Hakim yang diketuai Hujja Tulhaq, SH,MH dengan hakim anggota Miftah Sa’ad Caniago, SH,MH dan Rahmad Tobrani, SH, akan membacakan putusannya.

Sementaraa HAkA sendiri diwakili oleh pengacaranya yaitu Nurul Ikhsan, SH, Harli SH, Jehalim Bangun, SH, Askhalani, S.Hi dan Wahyu Pratama, SH.

Dalam putusannya, Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negeri Banda Aceh menolak gugatan yang diajukan oleh HAkA terkait diterbitkannya izin lingkungan tentang rencana kegiatan industri semen PT Tripa Semen Aceh (PT.TSA), Kampung Kaloy, Kabupaten Aceh Tamiang. Hakim beralasan Pemkab Aceh Tamiang berhak mengeluarkan izin tersebut.

Putusan Majelis Hakim yang menolak gugatan ini, menurut Koordinator Tim Pengacara Yayasan HAkA, Nurul Ikhsan, SH, tidak sesuai dengan dalil-dalil yang disampaikan HAkA dalam gugatannya atas beberapa pertimbangan pokok.

”Dalam surat gugatan kami mendalilkan bahwa Keputusan Bupati Nomor 05 Tahun 2017 Tentang Perubahan Izin Lingkungan Rencana Kegiatan Industri Semen PT.TSA Klinker bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, “ tegas Nurul Ihksan.

Peraturan yang bertentangan, kata Nurul Ihksan, misalnya, Qanun Kabupaten Aceh Tamiang Nomor 14 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Aceh Tamiang Tahun 2012-2032. HAkA akan mengajukan banding atas putusan tersebut.

Dalam RTRW Kabupaten Aceh Tamiang, lanjut Nurul Ikhsan, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang secara jelas dan tegas menetapkan bahwa Kecamatan Tamiang Hulu adalah Kawasan Cagar Alam Geologi sebagai bagian dari Kawasan Lindung Geologi berupa Kawasan Karst Kabupaten Aceh Tamiang.

Pemerintah menetapkan secara hukum Kawasan tersebut, sebagai kawasan Rawan Bencana. Karena itu, jelas Kawasan Tamiang Hulu tidak diperuntukan sebagai kawasan industri besar apalagi tambang.

Sebagai tambahan, majelis hakim dalam putusannya, juga tidak mempertimbangkan aspirasi masyarakat, sebab sejak awal diterbitkan izin lingkungan PT.TSA, aktivis Yayasan HAkA, aktivis lingkungan, dan masyarakat telah menyampaikan penolakan atas Izin PT.TSA karena rencana kegiatan industri semen dengan kapasitas produksi 10.000 metrik ton per-hari berpotensi merusak kawasan bentang alam karst, yang menurut Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Aceh Tamiang sudah ditetapkan sebagai kawasan lindung geologis;

Dengan ditolaknya gugatan tersebut, menurut Ihksan, tidaklah merupakan kekalahan aktivis HAkA semata akan tetapi merupakan kekalahan masyarakat umum di dalam penyelamatan/pelestarian lingkungan hidup sebab kawasan bentang alam karst itu memiliki fungsi vital sebagai benteng alami untuk mencegah terjadinya bencana alam.

Staf HAkA, Badrul Irfan menambahkan, Kawasan Bentang Alam Karst Kaloy ,memiliki keindahan alam yang sangat mempesona dengan keberadaan beberapa dan sungai bawa tanah sehingga sangat cocok dikembangkan sebagai tempat pariwisata, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, sehingga pantas dikonservasi. Bukannya malah dihancurkan menjadi kawasan pertambangan yang bisa merusak alam dan mengancam habitat satwa liar.

 

 

read more
Flora Fauna

Dalam Setahun, Dua Gajah Jinak Tewas di Aceh

BANDA ACEH – Gajah jinak di Conservation Response Unit (CRU) Mila, Kabupaten Pidie kembali ditemukan tewas. Kasus ini merupakan kasus kematian gajah jinak milik CRU yang  kedua dalam tahun 2018.

Gajah betina usia 40 tahun ini ditemukan tewas di pinggir sungai, sekitar 300 meter dari CRU Mila, Senin sore (13/8/2018). Dugaan sementara, hewan bertubuh besar ini tewas karena keracunan akibat terpapar tuba ikan yang  ada di sungai tersebut.

Pagi harinya, gajah malang itu dalam kondisi sehat saat ditambatkan di pinggir sungai. Gajah ditaruh di pinggir sungai mengingat Kabupaten Pidie sedang dilanda kemarau. Sehingga gajah ditambatkan di pinggir sungai agar mudah mendapat air.

Biasanya,sore harinya mahout (pawang gajah) mengambil gajah kembali untuk dibawa ke dalam arena CRU. Rutinitas ini dilakukan selama musim kemarau yang sedang melanda Pidie.

“Gajah tersebut ditambat di sungai pada pagi harinya dalam kondisi sehat,” kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Sapto Aji Prabowo. Seraya menjelaskan, gajah betina itu tewas kecil kemungkinan dibunuh, karena dipastikan tidak ada unsur ekonomis hendak mengambil gading.

Gajah betina bernama Retno tidak mungkin dibunuh untuk mendapatkan gading karena gajah betina tidak memiliki gading. Maka dugaan awal karena keracunan.

Berdasarkan analisis dari tim yang melakukan pemeriksaan, tidak ditemukan adanya bukti mengarah upaya seseorang meracun gajah tersebut.

Meskipun tim dokter hewan sempat kebingungan. Hasil pemeriksaan di usus, jantung dan ginjal terdapat pendarahan mirip terjadi keracunan. Namun saat diambil sampel makanan di lambung gajah tidak mengandung racun.

“Dari makanan yang diambil tidak ada racun, sehingga kita agak ragu ambil kesimpulan awalnya. Namun dari analisis awal ada tanda-tanda keracunan, bukan berarti sudah pasti, tidak, tapi ada tanda-tanda keracunan, karena ditandai ada pendarahan di usus, jantung dan ginjal,” ujar tim dokter hewan.

Saat ini di wilayah CRU Mila, Kabupaten Pidie sedang dilanda kemarau. Air sungai pun semakin surut. Kondisi kemarau inilah kemudian memaksa gajah jinak itu ditambatkan di pinggir sungai jarak sekitar 300 meter dari CRU Mila.

Menurut Sapto, di kawasan sungai yang ditambat gajah jinak itu ada warga yang mencari ikan menggunakan tuba ikan. Kemungkinan, Retno meminum air sungai itu dan terpapar dengan tuba ikan warga yang sedang mencari ikan saat air sungai sedikit.

“Dugaannya adalah gajah ini meminum air sungai, karena kondisinya surut airnya yang kemungkinan terpapar racun tuba ikan, beberapa orang memang sering menemukan mencari ikan dengan tuba ikan,” tukasnya.

Pada tahun 2018 ini, gajah sudah tewas sebanyak 4 ekor. Tiga ekor berada di Kabupaten Aceh Timur dan satu ekor di Pidie. Dua di antaranya adalah gajah jinak tewas.

Sebelumnya gajah jinak jenis kelamin jantan bernama Bunta juga ditemukan tewas di CRU Desa Bunin, Kecamatan Serbajadi, Aceh Timur. Saat ini polisi sudah membekuk dua tersangka dan satu masih buron.

read more
Flora Fauna

Memperingati Hari Gajah Sedunia di CRU Peusangan

Berbagai kegiatan digelar di CRU DAS Peusangan dalam rangka memperingati hari World Elephant Day,  dengan melibatkan berbagai komunitas dan lembaga swadaya masyarakat yang peduli dengan kelestarian Gajah, terutama di DAS Peusangan, Minggu (12/8/2018).

“Selain mengajak masyarakat untuk lebih mengenal gajah dan camping, banyak hal yang kita lakukan dalam serimoni World Elephant Day di CRU DAS Peusangan diantaranya dengan penanaman tumbuhan yang tidak disukai gajah seperti seperti jeruk lemon, serai, kita juga dibantu oleh Komunitas, KomaTiga dan HPI” ujar Ketua Panitia, Muhammad Agung.

Khusus untuk pengenalan gajah, kegiatan ini merupakan edukasi kepada masyarakat terutama warga di seputaran CRU DAS Peusangan tentang pentingnya menjaga kelestarian Gajah dan lingkungan.

Daerah Aliran Sungai Peusangan memiliki total wilayah mencapai 238.550 hektare, merupakan tempat bagi 45 hingga 50 individu gajah dan sejumlah binatang liar lainnya.

Peringatan hari Gajah Dunia di CRU DAS Peusangan sendiri merupakan rangkaian kegiatan peringatan hari gajah sedunia, dengan kegiatan, sosialisasi, penanaman pohon dan kemah jurnalistik di CRU DAS Peusangan dan CRU Sampoiniet.

CRU DAS Peusangan Memprihatinkan

CRU DAS Peusangan berada di Kecamatan Pintu Rime Gayo, wilayah Kabupaten Bener Meriah yang berbatasan dengan Kabupaten Bireuen dan wilayah kerjanya Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah dan Bireuen. Keberadaannya sangat penting terutama dalam mitigasi konflik gajah dengan manusia. CRU ini memiliki tiga gajah jinak dengan tiga Mahout, dua asisten Mahout, satu orang juru masak dan satu orang penjaga barak serta seorang leader.

Leader CRU DAS Peusangan, Sahru Rizal mengatakan pihaknya sebenarnya mempunyai banyak kendala, terutama untuk operasional” Saat ini kita tidak punya dana untuk patroli dan monitoring karena sudah tidak dianggarkan di Dinas terkait,”sebut Sahru.

Dengan segala keterbatasan yang ada, kata Sahru semangat tak boleh surut, tim CRU terus berusaha maksimal. Unit ini dibentuk oleh Pemerintah Aceh dan bertanggung jawab atas pengusiran gajah liar di desa dan di kawasan Peusangan. Selain CRU yang dibentuk oleh Pemerintah Aceh, ada pula kelompok serupa yang dibentuk oleh WWF-Indonesia dengan nama Kelompok Delapan. Semua kelompok tersebut pun berkolaborasi dalam menjalankan tugasnya dan memiliki tujuan sama, yaitu untuk membantu masyarakat kawasan rentan konflik gajah dan meminimalisir konflik yang terjadi.

Konflik gajah dengan manusia kerap terjadi dan telah memakan korban nyawa di Bener Meriah. Sejak tahun 2012 silam, tercatat, lima warga Bener Meriah yang tewas karena menjadi korban amukan gajah dan puluhan orang luka-luka. Bukan itu saja, lahan pertanian dirusak ditambah dengan sejumlah rumah warga yang dirusak. Warga yang ketakutan terpaksa berulangkali mengungsi.

Masalah konflik gajah ini bukan hanya masalah Kecamatan Pintu Rime Gayo atau Bener Meriah saja dan penanganannya harus melibatkan tiga kabupaten yakni Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Bireuen. Pemerintah sendiri diharapkan serius dalam persoalan.

“Yang kita bisa lakukan saat ini adalah memberikan pengarahan kepada masyarakat tentang cara penggiringan gajah yang masuk ke pemukiman dan perkebunan, karena jika salah penanganan maka dampaknya akan lebih buruk”kata Sahru.[]

Sumber: Arsadi Laksamana

 

 

 

read more
1 2
Page 1 of 2