close

24/09/2018

Green Style

FJL Aceh Gelar Pameran Foto Kerusakan Lingkungan di Aceh

BANDA ACEH – Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh berkolaborasi dengan Komunitas Pilem Aneuk Aceh (Kopiah) dan mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) menggelar pameran foto. Ada 26 foto hasil jepretan anggota FJL dipamerkan di koridor Fakultas Pertanian, Senin (24/9/2018).

“Jadi para fotografer mengambil momen yang berkenaan dengan lingkungan. Dampak kerusakan lingkungan Aceh,” kata Sekretaris FJL Aceh, Ratno Sugito.

Kata Ratno, seluruh foto tersebut nantinya juga akan dipamerkan di Sekretariat Forum Jurnalis Lingkungan, Lambhuk, Banda Aceh sampai tanggal 28 September 2018. Tujuannya untuk memberitahukan kepada publik bahwa ada kerusakan hutan yang terjadi di Aceh.

“Pada hari Jumat juga akan digelar diskusi, akan menghadirkan multistakeholder yang berkompeten untuk membahas persoalan lingkungan di Aceh,” jelasnya.

Sementara itu Koordinator FJL Aceh, Afifuddin Aceh secara terpisah menjelaskan, sengaja digelar di kampus untuk mengedukasi mahasiswa agar peduli terhadap lingkungan. Mahasiswa juga berkewajiban untuk melakukan konservasi.

“Untuk melakukan edukasi pentingnya melakukan konservasi lingkungan dan satwa, jadi mahsiswa harus paham bahwa penting menjaga hutan untuk keseimbangan alam,” ungkap Afifuddin Acal.

Ia juga menambahkan bahwa alam ini harus sesuai dengan pergerakan rantai makanan, jika salah satu dari rantai makanan itu terputus maka akan ada dampak negatif dan terjadi ketidakseimbangan ekosistem.

“Kelestarian lingkungan itu penting untuk dijaga. Mata rantai harus dijaga,” ungkapnya. Selain pameran foto, juga ada kuliah umum dan diskusi yang disampaikan langsung oleh Erin Elizabeth McKee, selaku Mission director USAID For Indonesia. Selain itu kuliah umum ini juga diisi oleh Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur. “Sasaran kita mahasiswa, agar mahasiswa melek tentang konservasi lingkungan dan hewan,” tambahnya.

Pameran ini juga merupakan rangkaian kegiatan awal, sebab nantinya pameran ini akan digelar kembali di Sekretariat Forum Jurnalis Lingkungan, warkop Abu Master Kupi, Lambhuk, Ulee Kareng, Banda Aceh dari tanggal 25 hingga 28 September mendatang.[rel]

read more
Kebijakan Lingkungan

KEL Sebagai Kawasan Ekosistem Esensial: Sebuah Gagasan

Dalam sejarahnya, Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) digagas sebagai kawasan penyangga untuk Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). Puluhan tahun berlalu, kawasan ini selalu menyisakan ‘masalah’ yang belum terselesaikan terutama masalah regulasi. Pertanyaan tentang sejauh mana kewenangan pemerintah lokal dalam mengelola KEL belum menemukan jawaban tegas. Belum lagi masalah ruang lingkup pengelolaan yang masih membutuhkan diskusi panjang. Demikian juga masalah sumber penganggaran untuk pengelolaannya.

Seperti diketahui, sejak diberlakukan Undang-undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, kewenangan pengelolaan KEL – yang ada di wilayah Aceh – secara tegas dimandatkan kepada Pemerintah Aceh. Kewenangan tersebut menghendaki Pemerintah Aceh untuk melindungi dan melestarikan KEL. UU yang sama menyebutkan bahwa pengelolaan KEL dilaksanakan dengan anggaran dan fasilitas yang disediakan oleh Pemerintah Pusat. Lebih dari satu dasawarsa berlalu, anggaran yang dicita-citakan tersebut tak terlihat di dalam dokumen anggaran pemerintah pusat. Padahal KEL disebut sebagai Kawasan Strategis Nasional (KSN) yang terkait dengan penataan ruang dalam Peraturan Pemerintah (PP) tahun 2008.

Di masa awal penerapan UU Pemerintahan Aceh, Pemerintah Aceh mengambil mandat tersebut dengan membentuk badan pengelola. Namun Badan ini akhirnya dibubarkan setelah beroperasi beberapa tahun. Saat ini, Pemerintah Aceh menerjemahkan kewenangan yang dimandatkan tersebut dengan menempatkan pengelolaan KEL ke dalam beberapa Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) alih-alih mengelolanya sebagai sebuah kawasan terpadu. Pemerintah Aceh tampaknya lebih fokus pada keberadaan hutan secara keseluruhan di wilayah Aceh daripada melihat keberadaan KEL secara khusus. Hal ini sejalan dengan ketiadaan nomenlaktur KEL di dalam Qanun Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Aceh. Pengaturan yang sedemikian berpotensi untuk mengaburkan KEL sehingga terbingkai menjadi wilayah kerja KPH semata. Apalagi aturan yang mengatur ke KEL sebagai KSN belum muncul hingga saat ini. Lebih jauh lagi, aturan-aturan terkait kehutanan hampir tidak pernah menimbang UU Pemerintahan Aceh di atas. PP tentang kewenangan nasional di Aceh juga tidak secara spesifik menerjemahkan mandat yang dimiliki Pemerintah Aceh terkait pengelolaan KEL.

Jika kita kembali kepada gagasan awal keberadaannya, diketahui bahwa KEL dimaksudkan untuk melindungi habitat beberapa mamalia besar endemik yang menjelajah di areal seluas lebih dari 2,6 juta hektar tersebut. Kekhawatiran terhadap hilangnya habitat dan punahnya satwa membuat banyak pihak mengambil andil untuk melindungi kawasan tersebut meskipun diawali dengan munculnya aturan-aturan yang membingungkan khalayak. Kekhawatiran itu tetap ada mengingat kondisi perlindungan dan pelestarian KEL yang masih jauh panggang dari api.

Gagasan untuk mewujudkan wilayah penyangga sekaligus melestarikan habitat satwa penting saat ini dapat diakomodir melalui pembentukan kawasan ekosistem esensial (KEE). Pasal 24 ayat (1) PP Nomor 28 tahun 2011 secara spesifik menyebutkan bahwa perlindungan pada kawasan perlindungan alam (KPA) dan kawasan suaka alam (KSA) juga memuat perlindungan terhadap kawasan ekosistem esensial.

KEE dapat dipahami sebagai suatu ekosistem diluar kawasan konservasi seperti KSA dan KPA baik yang memiliki alas hak maupun tidak. KEE disyaratkan mempunyai nilai keragaman hayati tinggi sekaligus dapat menunjang kelangsungan kehidupan untuk kemudian ditetapkan pemerintah (melalui kementerian LHK) sebagai kawasan yang dilindungi dan dikelola berdasarkan prinsip-prinsip konservasi keanekaragaman hayati. Pengelolaan KEE ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Kriteria kawasan yang dapat ditetapkan sebagai ekosistem esensial bisa juga karena kawasan tersebut merupakan koridor satwa liar atau habitat bagi spesies penting, langka, endemik atau terancam punah. KEE yang berupa kawasan penyangga kawasan konservasi memenuhi semua kriteria tersebut, berkesesuaian dengan apa yang ingin diperjuangkan dengan keberadaan KEL.

KEL dapat dikelola sebagai KEE bertipe lansekap dengan menempatkannya dalam koridor-koridor untuk mamalia besar seperti Orangutan Sumatera, Badak Sumatera, Gajah Sumatera dan Harimau Sumatera yang endemik di areal ini. Pengelolaan KEE dapat mengakomodir berbagi KPH, ijin usaha kehutanan, masyarakat adat dan berbagai organisasi swadaya masyarakat dengan adanya kepastian regulasi untuk model pengelolaan ini. Regulasi memungkinkan pengelolaan koridor seperti menyusun rencana kerja, memfasilitasi pertemuan- pertemuan, membentuk satuan tugas pengamanan, meningkatkan kapasitas sumberdaya manusia, membantu proses-proses penyelesaian konflik dan melakukan monitoring, evaluasi serta pelaporan.

Penetapan KEL sebagai KEE tidak membutuhkan langkah yang panjang lagi mengingat bahwa kawasan ekosistem ini telah memiliki banyak bahan pendukung untuk mendapatkan status tersebut. Proses-proses seperti identifikasi dan inventarisasi para pihak dan berbagai potensi ekosistem telah memiliki data yang cukup. Yang dibutuhkan hanyalah keberadaan forum bersama untuk mengelolanya dan pengusulan oleh Gubernur Aceh. Sedikit musyawarah multi pihak untuk menegaskan delineasi batas ekosistem mungkin masih diperlukan.

Forum bersama untuk mengelola KEE diharapkan dapat mengakomodir berbagai kepentingan sepenjang para pengambil kebijakan terlibat penuh di dalamnya. Forum bersama tentu saja dapat memasukkan unsur pemerintahan dari 13 kabupaten/kota yang memiliki KEL kedalam bagiannya serta pihak-pihak lain yang terlibat. Mungkin dapat diatur sehingga forum bersifat bicameral dan menempatkan satu unit pengelolaan yang diisi oleh para professional sebagai eksekutor rencana kerja. Penetapan sebagai KEE juga turut memastikan bahwa kewenangan pengelolaan KEL berada pada forum.[]

Penulis adalah pekerja pada sejumlah lembaga lingkungan baik nasional dan internasional, berdomisili di Banda Aceh. Penulis dapat dihubungi di email:efrizaltamiang@gmail.com

 

 

read more