close

October 2018

HutanKebijakan Lingkungan

Eksekusi PT Kalista Alam, KLHK datangi BPN dan DJP Banda Aceh

Banda Aceh – Direktorat Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Ditjen Gakkum KLHK mendatangi Kantor Wilayah BPN/ATR dan Kanwil DJP keuangan Banda Aceh untuk menindaklanjuti permohonan eksekusi atas Putusan Peninjauan Kembali No. 1 PK/Pdt/2017 tertanggal 18 April 2017 atas nama PT Kalista Alam. Dalam putusan Peninjauan Kembali tersebut Mahkamah Agung menolak permohonan PK PT Kalista Alam dan menghukum PT. Kalista melaksanakan Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh.

Dalam putusan PN Meulaboh PT. Kalista Alam diputus telah melakukan perbuatan melawan hukum karena membuka lahan perkebunan dengan cara membakar untuk ditanami kelapa sawit. Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor : 12/PDT.G/2012/PN.MBO menyatakan sita jaminan atas tanah, bangunan dengan Sertifikat HGU No.27 dengan luas 5.769 Ha. Putusan juga menyatakan PT. Kalista Alam membayar ganti rugi sebesar 114.303.419.000.

Pengadilan juga melarang PT Kalista Alam menanam di lahan gambut yang telah terbakar seluas kurang lebih 1000 ha yang berada dalam wilayah izin usahanya. Sekaligus mewajibkan melakukan pemulihan lingkungan terhadap lahan yang terbakar seluas kurang lebih 1000 ha dengan biaya sebesar 251.765.250.000.

KLHK telah 4 kali mengajukan permohonan eksekusi tapi Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh tetap belum melaksanakan putusan Mahkamah Agung tersebut, sehingga pelaksanaan putusan menjadi tidak mempunyai kepastian hukum.

Jasmin Ragil Utomo, S.H., M.M Direktur Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup KLHK mengatakan bahwa KLHK sangat serius mengawal pelaksanaan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), kedatangan kami ke BPN dan DJP Kanwil BPN Banda Aceh untuk menelusuri status aset PT Kalista Alam, sehingga kewajiban hukumnya bisa dilaksanakan seperti dalam putusan Pengadilan. KLHK mempunyai kewajiban bahwa memastikan setiap isi putusan harus dilaksanakan dan dipatuhi. Sehingga kerusakan lingkungan dapat dipulihkan dan hak konstitusional warga negara dapat dipenuhi ujar Ragil.

Dalam koordinasi di kantor DJP Banda Aceh di dapat data-data berupa SPT tahunan. Untuk dapat menelusuri data spesifik atau lembaran fisik laporan keuangan mereka dapat ditelusuri di KPP Pratama Meulaboh. Pada dasarnya, kakanwil DJP Banda Aceh dan KPP Pratama melaboh menyikapi baik dan bersedia untuk membantu dalam pengumpulan data tersebut. Tim Kakanwil DJP Banda Aceh dan KLHK bersama-sama besok akan ke KPP Pratama Meulaboh untuk menelusuri lembaran bukti fisik aset atas nama wajib pajak PT Kalista Alam tambah Ragil.

Kasi Penetapan Hak Tanah dan Pemberdayaan Hak Tanah Masyarakat Kanwil BPN Banda Aceh, Munir, SE, menyatakan bahwa sampai saat ini Kanwil belum menerima perubahan maupun permohonan pergantian aset atas nama PT Kalista Alam. BPN akan patuh sepenuhnya pada putusan pengadilan dan tidak akan melakukan perbuatan hukum yang membuat putusan tidak dapat dilaksanakan (rel).

 

 

read more
Flora FaunaGreen Style

Mahasiswa UIN Arraniy Belajar tentang Hutan Leuser Bersama HAkA

Banda Aceh – Belajar tak mesti melulu di dalam ruang semata namun juga perlu mengadakan kunjungan ke tempat-tempat yang bisa menjadi narasumber ilmu pengetahuan. Ini lah yang kemudian dilakukan oleh sejumlah mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN) Arraniry, Kamis (25/10/2018). Dalam rangka memperkuat pemahaman dalam mata kuliah Advokasi Lingkungan, sekitar 25 mahasiswa UIN disertai dosen pengasuh mata kuliah, melakukan kunjungan belajar ke kantor Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA).

Pengurus HAkA yang menerima kunjungan ini adalah Badrul Irfan, SH yang ditemani oleh staf Change.org, Dhenok Pratiwi yang secara kebetulan juga sedang berada di kantor HAkA. Kesempatan ini dimanfaatkan untuk memperkenalkan platform Change.org kepada para mahasiswa.

Mahasiswa UIN Arraniry mengunjungi HAkA | Foto: Zuhri Jo

Dosen pengasuh mata kuliah Muhammad Nizar, ST,MT dalam kesempatan tersebut mengatakan bahwa kunjungan mahasiswa ini dilakukan untuk menambah wawasan mahasiswa langsung dari pelakunya mengenai strategi advokasi lingkungan. “Jadi nanti mahasiswa dapat membandingan antara teori dan praktek-praktek yang dilakukan oleh LSM lingkungan seperti HAkA,”ujarnya.

Dhenok menjelaskan tentang Change.org kepada mahasiswa yang ternyata banyak belum mengetahui keberadaan situs petisi ini. Situs petisi ini telah berdiri sejak tahun 2012 dan mengeluarkan ratusan petisi yang berkaitan dengan advokasi sosial masyarakat. “Jika ada individu atau masyarakat yang ingin mengajukan petisi secara online maka dapat membuatnya gratis di website change.or,”kata Dhenok. Aceh merupakan salah satu daerah yang paling banyak mengeluarkan petisi dari web ini dan beberapa petisi diantaranya menuai keberhasilan. Sebut saja petisi online tentang kebakaran Hutan Gambut Rawa Tripa berhasil menarik minat ratusan ribu orang untuk menekennya.

Badrul Irfan dalam kesempatan selanjutnya menjelaskan sekilas tentang sejarah berdirinya HAkA, kerja-kerja yang dilakukan dan siapa-siapa orang yang bekerja bersama HAkA. LSM ini terutama bekerja untuk pelestarian lingkungan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) baik itu flora dan fauna. “Hutan Leuser merupakan tempat satu-satunya dimana empat satwa kunci dapat hidup bersama yaitu harimau, gajah, orangutan dan badak. Selain itu ribuan manusia menggantungkan hidupnya dari air yang bersumber dari Leuser,”jelasnya.

Saat ini KEL sedang mengalami ancaman kerusakan terutama dari pembangunan yang akan dilakukan didalamnya yaitu Bendungan Tampur. Bendungan ini akan membanjiri ribuan hektar hutan dan dikhawatirkan akan mengancam keselamatan makhluk hidup di dalamnya.

Beberapa mahasiswa mengajukan pertanyaan kepada pengurus HAkA tentang perlindungan lingkungan hidup dan beberapa isu lain yang terkait. Badrul Irfan sangat senang menerima kehadiran mahasiswa dan berharap kegiatan serupa dapat terus berlangsung di masa yang akan datang.

 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Studi YEL: Dampak Ekologis Bendungan Tampur Lebih besar dari Perkiraan Awal

Hutan terakhir di Bumi yang menjadi rumah bagi harimau liar, badak, orangutan, dan gajah terancam musnah dan tak terhitung spesies lain juga bernasib sama jika proyek pembangkit listrik tenaga air senilai $ 3 miliar di hutan Leuser dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia.

Studi terbaru yang melihat dampak potensial dari tanaman di Ekosistem Leuser di Sumatera Indonesia, dan salah satu dari hamparan hutan hujan tropis murni terbesar di dunia mengungkap hal tersebut di atas.

Bendungan Tampur yang menghasilkan listrik 428-megawatt dan masih dalam tahap pra-konstruksi, dengan beberapa studi kelayakan telah dilakukan. Dokumen Analisis dampak lingkungan, atau Amdal, menyebutkan air akan membanjiri lahan seluas 40 kilometer persegi (15 mil persegi) di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Peneliti mengatakan bendungan Tampur akan mendatangkan malapetaka pada ekosistem dan mata pencaharian lokal. Tetapi area yang terkena dampak bisa jauh lebih besar dari itu, menurut analisis spasial baru yang dilakukan oleh Yayasan Ekosistem Berkelanjutan (YEL).

Analisis menunjukkan dampak ekologi proyek yang membentang hingga lebih dari 300 kilometer persegi (116 mil persegi) hutan, dua pertiganya hutan yang tidak pernah tersentuh oleh aktivitas manusia. Selain bendungan, proyek juga akan membutuhkan infrastruktur seperti gedung, jalan, dan jaringan listrik, yang akan memotong KEL, kata analis tata ruang YEL, Riswan Zein.

Empat per lima dari bendungan akan menempati hutan primer, bersama dengan hampir seluruh panjang jaringan jalan, kata Riswan.

“Semua ini akan menghancurkan hutan yang tersisa dari ekosistem, baik yang terletak di daerah banjir atau sepanjang rute jaringan listrik,” katanya.

Habitat alam liar

YEL melakukan overlay peta proyek ke peta hutan yang ada di ekosistem. Area yang berpotensi terkena dampak sebagian besar adalah lahan yang dilindungi, termasuk hutan primer.

Menurut undang-undang Indonesia, hutan lindung biasanya dikesampingkan untuk tujuan seperti pengelolaan daerah aliran sungai dan pengendalian erosi, tetapi izin untuk proyek-proyek pembangunan dalam area ini dapat diberikan oleh pemerintah.

“Sebagian besar bendungan akan menggerogoti hutan produksi dan hutan lindung Leuser,” kata Riswan.

Daerah yang terkena dampak adalah satu-satunya habitat empat spesies paling ikonik dan terancam di Indonesia: harimau Sumatra, badak, orangutan dan gajah, yang semuanya terdaftar sebagai hewan terancam oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) karena tingginya tingkat hilangnya habitat dan fragmentasi serta pembunuhan.

“Jika hutan dibersihkan maka habitat hewan ini akan hancur,” kata Riswan, menambahkan bahwa lokasi proyek itu sangat penting untuk gajah.

“Kami sangat sering melihat gajah di sana. Wilayah Tampur adalah satu-satunya koridor bagi gajah untuk pergi dari bagian utara ekosistem ke selatan. Jadi jika koridor itu dipotong, maka itu juga akan berdampak pada garis genetik gajah Sumatra, ”katanya, memperingatkan“ konsekuensi fatal ”bagi spesies tersebut.

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

Bendungan dan pembangkit listrik direncanakan akan melintasi wilayah perbatasan antara kabupaten Aceh Tamiang, Gayo Lues dan Aceh Timur, di provinsi Aceh di ujung utara Sumatera. Pengembang proyek adalah PT Kamirzu, anak perusahaan Indonesia dari Hong Kong-based Prosperity International Holding (HK) Limited.

Aktivis lingkungan telah meluncurkan petisi online menyerukan kepada pemerintah provinsi Aceh untuk menghentikan proyek, dan juga berencana untuk menggugat izin pengembang di pengadilan.

Dedi Setiadi, manajer proyek Kamirzu, menyanggah pernyataan YEL tentang skala potensi dampak bendungan terhadap lingkungan. Dia mengatakan analisis spasial yang dilakukan oleh LSM didasarkan pada versi sebelumnya dari analisis dampak lingkungan perusahaan.

“Apa yang mereka analisis adalah dokumen Amdal yang tidak disetujui, itu adalah draft rancangan,” katanya sebagaimana dikutip dari Mongabay.

Amdal yang direvisi dan disetujui, kata Dedi, termasuk penilaian perusahaan tentang dampak lingkungan yang mungkin disebabkan oleh proyek, dan ditujukan kepada mereka semua.

Sebagai contoh, katanya, perusahaan telah memperhitungkan peta habitat spesies yang diketahui yang disediakan oleh BKSDA Aceh. “Kami telah melakukan overlay lokasi area banjir bendungan kami dengan peta habitat gajah dan orangutan dan menemukan bahwa kami berada di luar habitat mereka,” kata Dedi. “Saya telah bekerja di proyek ini selama dua tahun dan saya belum melihat spesies yang terancam punah disini sekalipun,”katanya.

Sumber: mongabay.com

 

 

read more
Kebijakan Lingkungan

Nestapa Warga Sungai Iyu Diusir Perusahaan Sawit PT Rapala

Banda Aceh – Warga Desa Sungai Iyu, Aceh Tamiang, Provinsi Aceh menghadapi ancama tergusur oleh perusahaan sawit, PT Rapala. Kesedihan ini disampaikan oleh salah seorang warga Desa Sungai Iyu, Sri Hari Yati didampingi Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Mustiqal Syahputra. Sri Hari Yati menyebutkan, saat ini warga di desanya kerap mendapat surat dari pihak perusahaan yang meminta warga setempat untuk segera meninggalkan desa mereka.

Sri Hari Yati mengungkapkan hal tersebut dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Forum Jurnalis Lingkungan (FJL)vyang membahas apa yang dialami warga berhadapan dengan korporasi sawit. Diskusi berlangsung di Warkop Abu Master, Lambhuk, Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh, Jumat (19/10/2018).

Padahal, menurut Sri, desa itu sudah mereka tempati sejak tahun 1953, jauh sebelum perusahaan PT Rapala membuka perkebunan di sana. Bahkan saat ini sebanyak 22 warga setempat yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi meski belum ditahan.

“Kami juga diminta untuk meninggalkan desa, perusahaan akan memberikan uang sewa rumah sebesar Rp.10 juta dan juga mencabut status ke 22 tersangka tersebut, tapi kami menolak,” kata Sri.

Sri mengaku, selama sengketa tanah terjadi, bila ada warga yang meninggal dunia, mereka terpaksa harus menguburkan di desa tetangga. Karena pihak perusahaan tidak mengizinkan jenazah dikuburkan di desa Sungai Iyu yang mereka tempati saat ini.

Sementar itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh Mustiqal Syahputra, mengatakan, pihaknya akan terus mengawal kasus ini hingga selesai. Saat ini LBH sedang melengkapi berkas sebelum kasus ini diajukan ke PTUN.

Mustiqal menambahkan, ke 22 tersangka ditetapkan dengan pasal 5 juncto pasal 6 peraturan pemerintah pengganti undang-undang no 51 tahun 1960, tentang pemakaian tanah tanpa ijin atau yang berhak.[rel]

 

 

read more
HutanKebijakan Lingkungan

KLHK Apresiasi Putusan Pengadilan Tinggi Hukum Kallista Alam Rp 366 Miliar

Pengadilan Tinggi (PT) Aceh menganulir vonis PN Meulaboh yang membatalkan putusan sebelumnya yang menghukum PT Kallista Alam. Alhasil, Kallista Alam tetap dihukum Rp 366 miliar atas kebakaran hutan di Rawa Tripa, Aceh.

Kasus bermula saat hutan di Rawa Tripa terbakar hebat pada 2012. Pemerintah bergerak dan menggugat PT Kallista Alam selaku pemegang izin atas pembukaan sawit di atas lahan itu. PT Kallista Alam tidak habis akal. Ia meminta permohonan perkara itu tidak bisa dieksekusi. Anehnya, PN Meulaboh mengabulkan dan membatalkan putusan-putusan sebelumnya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tidak terima dan mengajukan banding. Hakim Pengadian Tinggi pun sudah memutuskan.

“Menerima permohonan Banding dari Pembanding semula Tergugat tersebut. Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor 16/Pdt,G/2017/PN.Mbo, Tanggal 12 April 2018,” putus majelis banding sebagaimana dilansir website Mahkamah Agung (MA), Senin (15/10/2018).

Putusan itu ditetapkan pada 4 Oktober 2018 dengan nomor perkara 80/PDT-LH/2018/PT.BNA. Bertindak sebagai Ketua Majelis Djumali dengan hakim anggota Petriyanti dan Wahyono.

Putusan ini diapresiasi dengan baik oleh pihak Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan.

“Kami mengapresiasi putusan majelis hakim PT Aceh atas banding yang kami ajukan,” ujar Dirjen Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rasio Ridho Sani, Senin (15/10/2018).

“Putusan ini merupakan penerapan prinsip in dubio pro natura oleh majelis PT Aceh,” ujar Rasio.

Prinsip in dubio pro natura adalah prinsip dalam kasus-kasus lingkungan hidup yaitu jika dihadapkan pada ketidakpastian sebab akibat dan besaran ganti rugi, pengambil keputusan, baik dalam bidang kekuasaan eksekutif maupun hakim dalam perkara-perkara perdata dan administrasi lingkungan, haruslah memberikan pertimbangan atau penilaian yang mengutamakan kepentingan perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup.

“Keberpihakan majelis hakim untuk mewujudkan keadilan lingkungan dan hak-hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat,” kata Rasio.

“Kami meminta Ketua PN Meulaboh untuk segera mengeksekusi ganti rugi dan pemulihan lingkungan akibat pembakaran lahan yang dilakukan oleh PT Kallista Alam. Dengan adanya putusan ini, tidak ada alasan lagi bagi Ketua PN Meulaboh untuk menunda eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) yang sudah berkeputusan tetap (inkrach van gewidjsde) di mana PT Kallista harus membayar ganti rugi dan biaya pemulihan sebesar Rp 366 mililar atas perbuatan melawan hukum yang mereka lakukan,” pungkas Rasio.

Sumber: Detik.com

 

 

read more
Ragam

Sejahtera Tanpa Merusak Hutan Leuser, Bisakah?

Sudah berulang kali kita mendengar peristiwa perusakan hutan, baik itu perusakan hutan maupun kejahatan satwa liar yang menghuni hutan tersebut. Hampir setiap hari ada saja berita menghiasi media tentang kejahatan kehutanan terutama. Hutan lebat salah satunya hutan Leuser selalu saja menjadi sasaran para perusak lingkungan ini. Siapa saja para perusak tersebut? Kita harus adil, semua pihak, apakah masyarakat maupun perusahaan ikut andil merusak hutan Leuser.

Jika kita lihat lebih dalam lagi kenapa pihak-pihak ini merusak hutan maka satu-satunya alasan terkuat yang selalu saja mereka sampaikan adalah demi kesejahteraan. Iya, para pencoleng kekayaan hutan tersebut selalu berlindung kejahatan yang mereka lakukan demi mengisi perut keluarga semata. Atau jika para pencoleng itu korporat maka mereka beralasan itu semua demi meningkatkan pendapatan daerah dari hasil penjualan produk-produk mereka. Terus saja alasan-alasan ini diputar-putar bagai memutar kaset lama.

Tapi memang…Sebagian yang diungkapkan itu ada benarnya yaitu masyarakat butuh penghidupan dari hutan. Apalagi masyarakat yang tinggal bersisian dengan hutan, mereka hitup berdampingan sejak ratusan tahun bersama hutan. Selama itu mereka memetik hasil hutan tanpa ada masalah sehingga datangnya berbagai peraturan yang sebenarnya dibuat untuk melindungi hutan, barulah mereka dianggap sebagai perusak hutan. Mereka pun terkejut dan marah melihat kenyataan bahwa mereka diperlakukan bagai kriminal yang biasa ditangkap polisi.

Persoalan kemiskinan yang membelit masyarakat sekitar hutan sudah jamak. Daerah-daerah yang memiliki hutan luas biasanya tidak mempunyai sumber pendapatan yang memadai dalam menghidupkan perekonomian rakyatnya. Daerah tersebut yang sebagian merupakan hasil pemekaran, terserempet jauh dari cita-cita luhur pendirian otonominya. Seharusnya mereka memampukan masyarakat dalam mencari nafkah, tetapi kenyataannya malah tidak banyak hal yang berubah pasca pimpinan-pimpinan kabupaten terpilih.

Kemiskinan tidak berdiri sendiri dan tidak dapat dituntaskan secara sektoral semata. Mengelola hutan demi kesejahteraan masyarakat sah-sah saja sebagai sebuah konsep. Hal ini banyak diterapkan di Negara-negara maju, mereka mengelola hutan demi kesejahteraan masyarakat dan hutan pun lestari. Keberhasilan Negara-negara tersebut menjadi rujukan sejumlah pejabat Aceh berkunjung untuk belajar pula memelihara hutan dan mendapatkan “pitih”. Beberapa waktu lalu, pejabat DPR Aceh berkunjung ke Kanada, Negara yang sangat luas dan pengelolaan alamnya lestari. Mereka melihat langsung bagaimana pengelolaan hutan dapat dilakukan, menghasilkan uang bagi masyarakat tetapi hutan tetap terjaga. Sayangnya tidak dijelaskan secara detail bagaiman pengelolaan tersebut dilaksanakan. Tapi satu hal yang diyakini adalah Kanada merupakan Negara yang sudah maju perekonomiannya.

Nah di Aceh, perekonomiannya belum maju, jika tidak mau disebut jalan ditempat. Sebagaimana disebutkan di atas, mengentaskan kemiskinan tidak bisa dilakukan secara sektoral. Misalnya saja kita ingin mengelola hutan Leuser dengan baik sehingga memberikan kemakmuran bagi rakyat sekitar. Butuh usaha dan dana yang besar untuk mengelola hutan. Kita harus mendirikan lembaga yang kuat, merekrut orang-orang professional yang tentu saja mereka butuh bayaran yang memadai setidaknya. Kemudian landasan hukum yang kuat dalam menjalankan pelestarian hutan serta akhirnya baru masuk ke dalam teknis bagaiman menjaga hutan itu sendiri. Ini membutuhkan waktu yang lama juga.

Namun jangan lupa, kemiskinan masyarakat sekitar hutan tidak dapat dituntaskan dengan mengelola hutan semata. Masyarakat butuh sarana-sarana lain, butuh sistem dan kebijakan ekonomi yang mendukung mata pencarian mereka. Misalnya mereka mencari hasil hutan non kayu, barang yang mereka peroleh harus dipastikan bernilai jual tinggi agar sepadan dengan tenaga yang mereka keluarkan. Harga-harga biasanya ditentukan oleh pasar internasional.

Kemudian lagi pemerintah harus bisa menjaga pertumbuhan ekonomi agar menopang terus perekonomian masyarakat. Ntah itu di sektor komoditas lain, misalnya bahan pokok yang terjangkau. Kemudian juga sarana dan prasarana bagi masyarakat sekitar hutan harus terbangun dengan baik. Selama ini kita lihat semakin dekat daerah dengan hutan maka semakin minim sarana yang dapat dinikmati oleh masyakat. Minimnya sarana semakin memperdalam tingkat kemiskinan masyarakat sekitar.

Jadi jangan lupa, untuk mensejahterakan masyarakat sekitar hutan maka harus meningkatkan kemajuan semua sektor. Kita bisa lihat Negara-negara yang berhasil mengelola hutannya adalah Negara maju yang berhasil mengelola semua sektornya. Tidak ada Negara yang hanya maju sector hutannya semata. Karena semua sector saling berkaitan dan mendukung. Kalau ini sudah tercapai maka Insya Allah sejahtera tanpa merusak hutan bukan lagi slogan kosong…

read more
HutanKebijakan Lingkungan

Apa yang Disampaikan “Sahabat Pengadilan” kepada Hakim ?

Kamis (4/10/2018) kemarin, sejumlah pengacara lingkungan mengajukan dokumen Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) kepada Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Pengajuan Sahabat Pengadilan ini dalam rangka mengadvokasi putusan yang telah berkekuatan hukum, memenangkan gugatan kepada PT Kalista Alam. Sayangnya, walaupun sudah inkrah, putusan ini tidak dieksekusi oleh pengadilan akibat aksi “akrobatik” hukum.

Praktek Sahabat Pengadilan sudah banyak dilakukan dalam dunia peradilan. Hal ini dilakukan untuk memberikan pandangan kepada hakim dari sejumlah tokoh atas kasus-kasus penting yang penanganannya dirasakan belum berkeadilan.

Apa saja isi dokumen Sahabat Pengadilan tersebut?

Pada bagian awal dokumen ditulis sebagaimana dibawah ini:

Dengan hornat,

Ketua Pengadilan Tinggi Banda Aceh yang kami muliakan, ijinkan terlebih dahulu kami memperkenalkan diri. Kami yang bertandatangan di bawah ini merupakan warga Aceh, berasal dari berbagai latar belakang profesi dan keahlian, yang memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan dan hutan, terlebih terhadap kawasan yang oleh negara telah diberikan status sebagai Hutan Lindung, Cagar Alam maupun Suaka Margasatwa. Kami tidak ingin disalahkan oleh anak cucu kami kelak di masa depan dengan mewariskan pada mereka lingkungan dan hutan yang luluh-lantak. Adalah tanggungjawab kami sekarang mencegah keadaan yang tidak diinginkan itu terjadi; kami ingin mewariskan yang terbaik buat generasi masa depan Aceh.

Dengan kepentingan dan tanggungjawab itulah karni memohon pada Ketua/Majelis Hakim Pengadilan Tinggi mengijinkan kami bertindak sebagai “Amicus Curiae” atau “Friends of the Court” (Sahabat Pengadilan) pada Perkara Banding terhadap putusan Pengadilan Negeri Meulaboh No. 16/Pdt.G/2017/Pn.Mbo yang telah dimohonkan banding oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berdasarkan Akta Pernyataan dan Permohonan Banding No.16/Pdt.G/2017/PN. Mbo tanggal 25 April 2018 Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh tersebut terasa menikam langsung ke jantung rasa keadilan kami. Betapa tidak, rasanya sungguh sulit bisa diterima akal sehat sebuah putusan pengadilan negeri mengadili putusan yang diputuskan oleh pengadilan di atasnya, yaitu Mahkamah Agung. Apalagi putusan yang diadili itu adalah sebuah putusan dari upaya hukum luar biasa, yaitu Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung.

Sulit bagi kami memahami putusan yang kini dalam proses banding tersebut. Ketua Majelis Hakim Banding yang kami muliakan, sebelum memberikan pendapat kami terhadap perkara ini, kami terlebih dahulu merasa perlu menjelaskan tentang “Amicus Curiae” itu.

Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada gambar–gambar dibawah ini:

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

read more
Flora Fauna

Menjelajahi Hutan Batangtoru, Habitat Orang Utan Tapanuli

Orang Utan Tapanuli sempat menjadi primadona tahun lalu. November 2017, para peneliti mengumumkan satwa yang mempunyai nama ilimiah Pongo Tapanuliensis itu sebagai spesies baru di Sumatera Utara. Sayangnya, bersamaan dengan pengumumuman itu, Orang Utan Tapanuli justru terancam punah.

Mencari keberadaan Orang Utan Tapanuli memang tidak gampang. Beruntung saya punya kesempatan untuk menelusuri habitat spesies langkah itu. Jujur saja, rasa antusiasme saya membuncah.

Habitat Orang Utan Tapanuli berada di Harangan Batangtoru. Dalam Bahasa Batak, harangan artinya hutan. Selama ini rimbunnya Harangan Batangtoru memang masih menyimpan beribu tanya. Tak sedikit yang menanyakan bagaimana satwa penghuni hutan itu bisa bertahan di tengah gempuran industri.

Saya memulai perjalanan panjang ini pada 18 September lalu. Dari Bandara Kualanamu, saya terbang ke Tapanuli Tengah. Perjalanan memakan waktu sekitar 45 menit dengan pesawat. Kalau lewat jalur darat, bisa-bisa pinggang saya encok. Perjalanan darat dari Medan ke Tapanuli Tengah bisa sampai 12 jam.

Si burung besi yang saya tumpangi mendarat di Bandara FL Tobing sekitar pukul 13.00 WIB. Saya berangkat bersama teman-teman dari Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dan beberapa porter. YEL ini adalah salah satu lembaga yang concern terhadap pelestarian Orang Utan.

Sebelum benar-benar masuk ke alam bebas, saya singgah semalam di Kantor YEL Batangtoru. Lokasinya di Jalan Dangol Tobing, Tapanuli Tengah. Semalaman saya mengecek lagi perbekalan. Rasanya memang seperti mau berangkat perang. Semua harus dipersiapkan secara matang. Apalagi mau masuk hutan belantara.

Sejak berangkat dari Medan saya sudah bawa satu tas besar dan dua tas pinggang. Isinya macam-macam. Mulai dari logistik makanan, senter, kamera, sleeping bag, baju ganti, matras, jas hujan hingga plastik untuk membuang sampah. Di dalam hutan pasti nggak ada tempat sampah. Makanya saya siapkan kantong plastik untuk wadah sampah sementara.

Keesokan harinya, matahari sudah menyambut kami dengan ramah. Teriknya bersahabat. Tidak terlalu menyengat kulit. Sekitar pukul 10.00 WIB, tibalah kami di Desa Sait Nihuta Kalangan II, Kecamatan Tukka. Desa itu adalah gerbang masuk petualangan kami yang sesungguhnya.

Pintu rimba masih berada di kawasan Areal Peruntukan Lain (APL) Hutan. Sepanjang jalan setapak, kiri kanan mata memandang, perkebunan warga nan hijau benar-benar menyegarkan mata. Sebagian besar warga di sana menanam karet. Tapi kami juga bisa menemui tanaman lain. Mulai dari kopi, aren, hamijon (kemenyan, Red) dan cokelat.

Di kawasan APL saja, medan yang ditempuh lumayan berat. Belum lama berjalan, dengkul saya mau copot rasanya. Saya mendaki bukit, menuruni lembah. Jadi teringat lirik lagu Ninja Hattori.

Terkadang kami melewati sumber-sumber air yang mengalir ke hilir. Airnya masih jernih. Bahkan kami juga melewati kawasan, tempat para warga di sekitar hutan berburu kalong (kelelawar, Red).

Rute menuju camp yang akan kami tuju memang sudah ada. Sebab memang sudah banyak yang sering masuk ke dalam hutan. Mulai dari pembuat film, peneliti dan petugas research camp. Terkadang juga ada peneliti dari luar negeri yang masuk untuk meneliti keanekaragaman hayati yang ada di dalam hutan.

Tak terasa sudah satu jam kami berjalan. Di depan kami, terdapat sebuah papan peringatan. Rupanya kami sudah melangkah masuk ke dalam area hutan lindung.

Jalur yang kami lewati semakin berat. Jalanan lebih menanjak. Lebih menurun terjal. Tak terhitung berapa kali kaki-kaki kami terjerembab masuk ke kubangan lumpur. Batangtoru adalah hutan hujan tropis dengan kadar kelembaban yang cukup tinggi. Sekarang tahu sendiri kan kenapa saya pakai sepatu bot!

Kondisi Hutan Batangtoru masih sangat alami. Pepohonan masih sangat rapat. Bahkan kerapatannya membuat sinar matahari susah tembus. Hawa dingin langsung menusuk masuk.

Sesekali sang porter mencabut golok dari pinggangnya. Ranting-ranting pohon yang menghalangi jalan kami ditebas dengan ganas.

Setelah blusukan ke hutan selama enam jam, terlihat beberapa pondok-pondok di seberang sungai. Alhamdulillah, sampai juga kami di camp Stasiun Riset Batangtoru.

Kami langsung disambut oleh beberapa staf YEL dan peneliti di sana. Koordinator Riset Stasiun Riset Batangtoru Sheila Kharismadewi Sitompul dengan supel menyapa kami. “Ah tiba juga kalian. Besok kita cari Orang Utan yah,” sapa perempuan berambut panjang itu.

Kami dipersilakan untuk menempati pondok-pondok yang cukup nyaman untuk sekadar berteduh. Camp itu sangat sederhana. Jangan bayangkan bangunannya terbuat dari beton-beton kokoh. Dindingnya hanya berupa daun-daun rumbia. Atapnya cuma terpal berwarna biru.

Namun itu semua cukup untuk berlindung dari sengatan matahari maupun berteduh bila hujan deras menghujam bumi. Ada sekitar lima pondok di sana. Termasuk pondok ruang kerja dan dapur.

Selepas santap malam, saya kembali menghimpun energi untuk esok hari. Sebelum terlelap, lamunan saya menggantung pada wujud Orang Utan Tapanuli itu. Selama ini saya hanya sebatas mendapat informasi dari referensi beberapa artikel. Tak sabar rasanya ingin cepat bertemu mereka.

Sumber: Prayugo Utomo/Jawapost.com

 

 

read more
1 2
Page 1 of 2