close

October 2018

Kebijakan LingkunganRagam

Advokasi Rawa Tripa, Pengacara Ajak “Sahabat Pengadilan” ke Pengadilan

Amicus curiae (secara harfiah, “teman pengadilan”; plural, amici curiae) adalah seorang, yang bukan merupakan pihak dalam suatu kasus dan mungkin atau mungkin tidak diminta oleh suatu pihak dan yang membantu pengadilan dengan menawarkan informasi, keahlian, atau wawasan yang memiliki kaitan dengan isu-isu dalam kasus tersebut; dan biasanya disajikan dalam bentuk singkat. Pengadilan bebas memutuskan apakah mereka akan mempertimbangkan suatu amicus brief atau tidak. Dalam hal-hal tertentu sejumlah pengacara memakai Sahabat Pengadilan dalam menangani kasus-kasus yang menarik perhatian publik.

Seperti yang dilakukan oleh pengacara lingkungan dalam kasus perusakan hutan gambut Rawa Tripa dengan terdakwa PT Kalista Alam. Kasus yang sudah ada keputusan tetap dan mengikat (inkrah), bergulir sejak  tahun 2012 KLHK dan telah KLHK memenangkan gugatan lingkungan hidup di PN Meulaboh atas kebakaran lahan yang berada diwilayah izin PT. Kalista Alam seluas 1000 Ha. Putusan ini telah memperoleh kekuatan hukum mengikat sejak putusan Kasasi No. 651K/Pdt/2015 tanggal 28 Oktober 2015 serta dikuatkan dalam putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor: 1PK/Pdt/2017 tanggal 18 April 2017 dimana dalam putusan tersebut mewajibkan PT. Kalista Alam untuk membayar kerugian lingkungan hidup sebesar Rp. 114.303.419.000 dan biaya pemulihan sebesar Rp. 251.765.250.000 sehingga total keseluruhan adalah Rp. 366.068.669.000.

Salah satu pengacara lingkungan tersebut, Nurul Ikhsan, SH, Rabu (3/10/2018) kepada greenjournalist mengatakan bahwa mereka telah menyerahkan Amicus curiae (Sahabat Pengadilan/SP) kepada Pengadilan Tinggi Banda Aceh pada Rabu tersebut. SP tersebut berisikan pendapat, pokok-pokok pikiran beberapa tokoh masyarakat terkait dengan kasus perusakan Rawa Tripa. Pendapat para tokoh masyarakat ini menjadi tambahan wawasan kepada pengadilan dalam sebuah kasus.

“Secara formil sahabat pengadilan tidak mempengaruhi kasus. Paling tidak membuka wacana hakim,”ujar Ikhsan. SP sudah dipraktekkan di beberapa kasus di Indonesia seperti  Amicus Curiae yang diajukan kelompok aktifis kemerdekaan pers kepada Mahkamah Agung terkait dengan peninjauan kembali kasus “Majalah Time versus Soeharto”, Amicus Curiae dalam kasus “Upi Asmaradana” di Pengadilan Negeri Makasar, dan Amicus Curiae dalam kasus “Prita Mulyasari” di Pengadilan Negeri Tangerang –dimana Amicus Curiae diajukan sebagai informasi pelengkap bagi Majelis Hakim yang memeriksa perkara Prita Mulyasari. Selain itu ada pula Amicus Curiae yang diajukan untuk mendukung Peninjauan Kembali kasus Erwin Amada-dan terakhir Amicus Curiae untuk Kebijakan Bailout Century pada Pengadilan Tipikor.

“Melihat praktik yang sudah berjalan itu, besar harapan kami permohonan kami ini diterima oleh Majelis Hakim Banding memeriksa perkara ini,”ujar Ikhsan.

Tokoh-tokoh yang memberikan pendapatnya adalah tokoh independen, memberikan pendapatnya bisa apa saja tanpa dipengaruhi oleh orang lain. Kalaupun pendapat tersebut mengarah atau cenderung kepada sesuatu hal, maka sah-sah saja.

“Untuk Aceh, baru pertama kali kita gunakan Sahabat Pengadilan ini,”kata Ikhsan.

Sejumlah tokoh yang memberikan pendapatnya kepada Pengadilan Tinggi Banda Aceh yaitu Prof. Dr. Emil Salim, Prof. Dr. Mahidin ST MT, Prof. Dr. Syahrizal Abbas MA, Suraiya Kamaruzzaman ST, LL.M.MT, Prof.Drs. Yusny Saby MA.PhD,  Prof. Dr.Ir.Ahmad Humam Hamid MA, Dr. Mawardi Ismail SH.M.Hum, Farwiza Farhan, Nasir Nurdin dan Ir. T.M. Zulfikar, MP.

Tokoh-tokoh masyarakat ini dalam pendapatnya melihat ada pnnsip paling fundamental yang dilanggar oleh PN Meulaboh dalam memeriksa gugatan oleh PT Kalista Alam (PTKA) tersebut, yaitu prinsip “nemo iudex in causa sua” atau “nemo iudex in sua causa“. “Tidak seorangpun boleh mengadili suatu kasus dimana ia mempunyai kepentingan atas kasus tersebut (no person can judge a case in which they have an interest).

Ketua Majelis Hakim yang memeriksa kasus gugatan PTKA ini adalah Ketua PN Meulaboh yang sebelumnya telah mengeluarkan Penetapan atas permohonan perlindungan hukum oleh PTKA. Maka sangat sulit menghindari adanya conflict of interest disini; Majelis dengan demikian menjadi tidak imparsiality lagi. Selain itu, Putusan PN Meulaboh tersebut jelas sudah mengadili putusan sebelumnya yang lebih tinggi, yaitu Mahkamah Agung. Termasuk mengadili sendiri Putusan PN Meulaboh sebelumnya, karena pokok materi sengketanya sama.

“Kami jadi bertanya-tanya, kok bisa pengadilan tingkat pertama membatalkan seluruh amar yang sudah diputuskan oleh pengadilan tingkat akhir? Begitu juga, kami juga bertanya-tanya, dapatkah suatu perkara yang sudah diputuskan diadili kembali oleh pengadilan negeri yang sama? Tidakkah ini menimbulkan situasi ketidakpastian hukum? Adalah tugas pengadilan tingkat banding meluruskan ini kembali, mengembalikan hukum kembali pada relnya yang benar,”jelas Sahabat Pengadilan dalam dokumennya.

 

 

read more
Ragam

Kelompok Dosen Hukum Diskusikan Hukom Adat Laot

Banda Aceh | Darussalam — Kelompok Diskusi Dosen Hukum (KD2H) Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) menyelenggarakan diskusi publik, dengan Tema: “Wilayah Kelola Hukum Adat di Laot”, yang diselenggarakan di Ruang Video Conference Fakultas Hukum Unsyiah dan disiarkan secara langsung ke 33 lokasi video conference seluruh Indonesia. Diskusi dibuka oleh Wakil Dekan Bidang Akademik, Dr. Azhari, S.H., M.CL., MA, pada Selasa (2/10/2018).

Dalam sambutannya, Azhari mengatakan, diskusi seperti ini perlu terus dilaksanakan oleh akademisi terutama untuk menjawab isu-isu aktual. ‘Akademisi harus memberi kontribusi dalam penyelesaian masalah dalam masyarakat,’ katanya.

Acara juga diisi dengan pembacaan puisi oleh penyair yang dikenal sebagai Presiden Rex, Hasbi Burman. Ia membaca dua puisi, yang salah satunya berjudul ‘Wangi Hukum’.

Diskusi yang didukung oleh Kanun Jurnal Ilmu Hukum, Syiah Kuala Law Journal, Jurnal Ilmiah Mahasiswa (JIM) Hukum, UKM Hahoe, Geuthee Institute, Pusat Studi Gender (PSG), dan Acehna Institute menghadirkan Bakti Siahaan, S.H., M.H dan Dr. Sulaiman Tripa, S.H., M.H, dari kalangan akademisi, dan Pawang Baharuddin Z, Ketua Harian Panglima Laot Aceh sebagai Narasumber.

Bakti Siahaan, mengatakan bahwa wilayah kelola dalam terminologi tata kelola wilayah laut sangat menguntungkan para nelayan yang ada wilayah zona masing-masing, dan hal tersebut juga akan meningkatkan nilai ekonomi para nelayan yang selama ini tidak tertata dalam mengelola hasil alam yang ada di wilayah yang menjadi kewenangan masing-masing nelayan. Masalahnya, Panglima Laot tidak masuk dalam kategori masyarakat hukum adat sebagaimana Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 8 Tahun 2018, katanya.

Pawang Baharuddin, dalam diskusi publik tersebut menegaskan, wilayah kelola adat laut sangat penting bagi nelayan di Aceh. ‘Wilayah kelola adat laot berbeda dengan wilayah konservasi secara kewenangannya. Wilayah kelola hukum adat justru akan saling menguatkan dengan kawasan konservasi,’ ungkap Panglima Laot yang sering dipanggil Pawang Baha. Saat ini, katanya, hukum adat laot yang ada di Aceh telah berkembang secara signifikan, hal ini dapat dilihat dari struktural panglima laot yang sudah terbentuk di dalam lembaga adat panglima laot yang ada di Aceh sejak dulu. Dia menilai, Pemerintah salah kaprah bila mengabaikan wilayah kelola hukum adat laot.

‘Alhamdulillah, beberapa waktu yang lalu kami dengar sendiri respons positif Kepala Dinas Kelautan,’ tegasnya.
Menurut Baharuddin, sebenarnya ada beberapa wilayah yang memang telah terbentuk batasan atau zonasi sejak dahulu dan itu telah dipahami olah para panglima laot sendiri. Sehingga kedepan, hanya diperlukan pengembangan untuk memperkuat apa yang telah ada sejak dahulu, kami berharap lahir kekuatan hukum yang dapat memayungi para panglima laot dalam menjalankan peranannya, bukan malah melemahkannya, pinta Pawang Baharuddin.

Selain itu, ia juga mengungkapkan bahwa selama ini mereka telah memberikan banyak beasiswa kepada para anak nelayan untuk menempuh pendidikan dasar samapai perguruan tinggi, dan baiya yang di berikan hingga ratusan juta kepada mereka anak nelayan yang mau dan serius dalam menempuh pendidikan, ini merupakan fasilitas yang cukup luar biasa yang diberikan oleh Lembaga Panglima Laot Aceh.

Kemudian, Dr. Sulaiman Tripa, S.H., M.H., selaku Narasumber menyampaikan, keberadaan ulayat laut sebagai inti dari wilayah tata kelola adat, ditentukan oleh adanya masyarakat adat. ‘Dalam Konstitusi Negara (UUD 1945) ada 4 unsur yang harus dipenuhi masyarakat adat dalam pengelolaan laut. Syarat ini cukup sulit diwujudkan, belum lagi secara teknis masing-masing kementerian punya standar sendiri tentang masyarakat adat,’ katanya.

Menurutnya, keberadaan Panglima Laot dan hukum adat laot harus diperkuat. Sulaiman juga menyampaikan, apa yang dilakukan Pemerintah tidak selalu sinkron dengan apa yang diatur dalam hukum adat laot.

“Memang selama ini konstitusi dasar kita telah mengakui keberadaan masyarakat adat, namun dalam kenyataan pengakuan itu masih bersyarat ketat dan sulit dipenuhi. Di sinilah Pemerintah perlu membuka diri untuk menampung berbagai perkembangan yang terjadi dalam diskursus masyarakat adat,” pungkas Sulaiman saat menyampaikan materinya.

Dari Airud Polda Aceh, AKBP Nawan saat menyampaikan pendapat yang secara khusus diminta moderator menyebutkan bahwa apa yang baik bagi nelayan, akan dijaganya secara maksimal. ‘Yang penting kita jaga nelayan kita agar bisa mencari rezeki dengan tenang,’ kata Nawan.

Adli Abdullah yang diberi kesempatan menyampaikan pandangannya diskusi publik mengatakan, hukum adat laot harus dilihat sebagai hukum yang hidup (living law) dalam masyarakat dan dipatuhi, bukan lawan dari hukum Negara. Menurut Adli, pelestarian lingkungan merupakan kebutuhan publik yang penting, namun tidak boleh mengabaikan masyarakat adat laot, kata Dosen Hukum Adat ini.

Adli juga menaruh harapan, penyusunan Rancangan Qanun Aceh tentang Rencana Zonasi Wilayah dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) tidak boleh mengorbankan wilayah hukum adat laot dan harus menghormati hak kelola ada laot yang telah wujud berabad-abad lamanya, katanya.

Teuku Muttaqin Mansur, Moderator dalam diskusi publik tersebut juga menyampaikan harapannya, agar diskusi ini dapat menjadi terobosan baru kedepan, sebagai cikal bakal pengembangan dari tata kelola hak ulayat laut yang ada di Aceh, yang nantinya akan menumbuhkan tatanan yang baik disetiap zonasi yang sudah disepakati di dalam Qanun Aceh, maka diperlukan sambutan hangat oleh Pemerintah Aceh dan Intansi terkait mengenai sektor tata kelola hukum adat laut Aceh.

Turut hadir dalam diskusi publik tersebut, Prof. Dr. Adwani, S.H., M.Hum selaku koordinator program studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unsyiah, Dr. Yanis Rinaldi koordinator Magister Kenotariatan, Dr. Sri Walny Rahayu, S.H., M.Hum (Dosen), dan Civitas Akademis Fakultas Hukum Unsyiah, dan para Parktisi hukum. Turut hadir juga Muhammad Taufiq Abda, perwakilan IKAWAPI Aceh, Ombudman Aceh, Jaringan Kuala, mahasiswa strata satu dan magister.[rel]

read more
1 2
Page 2 of 2