close
Panas bumi | Foto: energitoday.com

Pertumbuhan kebutuhan listrik nasional tiap tahun rata-rata sebesar 9 persen. Kebutuhan di Jawa-Bali 7,2 persen dan di luar Jawa-Bali di atas 12 persen lebih. Dengan perhitungan sederhana, dalam waktu 10 tahun, Indonesia diperkirakan butuh pasokan listrik sebanyak dua kali lipat (Iwa Garniwa, 2013). Dengan kalkulasi itu, pemerintah (baca: Perusahaan Listrik Negara) harus menyediakan 4.000 megawatt listrik setiap tahun.

Ironinya, pemerintah seolah tak mampu menjawab pesatnya kebutuhan masayarakat akan daya listrik. Peningkatan kebutuhan listrik belum seimbang dengan peningkatan pasokan listrik dari kilang-kilang penghasil energi. Saat ini, menurut data PLN 2013, sumber energi utama di perusahaan listrik plat merah itu dalam memasok energi adalah solar, gas alam, dan batu bara. Kebutuhan akan energi fosil ini masih dominan sangat dominan.

Diperkirakan, 88 persen pembangkit listrik masih menggunakan bahan bakar fosil, terdiri dari 44 persen batubara, 23 persen dari solar, dan 21 persen gas alam. Angka ini jelas tak sebanding dengan pembangkit listrik menggunakan sumber energi terbarukan, seperti panas bumi, matahari, hidro (air) dan lainnya, yang hanya 13,7 persen.

Ketergantungan pada bahan bakar minyak untuk kepentingan kelistrikan nasional tentu sangat mengkhawatirkan. Secara ekonomis, penggunaan BBM memaksa pemerintah mengeluarkan subsidi, pada 2013, sebesar Rp 78,63 triliun. Belum lagi realitas bahwa cadangan minyak nasional hanya 3,7 miliar barel, atau hanya 0,3 persen dari cadangan minyak global. Indonesia saat ini hanya mampu memproduksi 830.000 barrel per hari. Jumlah ini tidak sepadang dengan kebutuhan minyak di Indonesia yang mencapai 1,2 juta barel per hari (Komaidi Notonegoro ,2013).

Peluang energi panas bumi
Jika dibandingkan dengan sumber energi fosil, panas bumi (geothermal) merupakan sumber energi terbarukan yang ramah lingkungan (clean energy). Potensi energi panas bumi terbesar di dunia.  dengan setidaknya 29 giga watt total potensi panas bumi. Posisi Indonesia yang berada di kerangka tektonik dunia, sangat berkaitan erat dengan surplus energi terbarukan ini (Wahyuningsih, 2005).

Indonesia mempunyai sumber panas bumi tersebar di 250 lokasi dengan total potensi lebih dari 28.000 megawatt (MW). Jumlah potensi yang berhasil diolah dari pemanfaatan energi panas bumi untuk listrik saat ini baru mencapai 1.324 MW. Salah satu yang menjadi penyebab kecilnya jumlah pertumbuhan adalah harga listrik dari panas bumi yang tidak kompetitif. Saat ini harga jual listrik dari pembangkit panas bumi ke PT PLN sekitar 7,5 sen dolar Amerika per kilo watt hour (kWh). Dengan total potensi 28.617 megawatt (MW) atau sekitar 40 persen dari potensi panas bumi dunia. Sedangkan jumlah pengembangan hanya sekitar 1.341 MA atau 4,6 persen dari potensi yang ada (Pertamina geothermal.2013).

Pemerintah harus memberi kepastian jaminan Internal Rate of Return (IRR) di sektor energi terbarukan panas bumi. Pemanfaatan energi panas bumi hanya terjadi oleh single buyer; PTPLN (Rahmat Gobel, 2014). Inilah yang menjadi pemicu permasalahan harga jual listrik. Permen ESDM Nomir 2 Tahun 2011 menetapkan harga energi listrik dari energi panas bumi sebesar 9,7 sen dolar Amerika/kWh sebagai harga tertinggi.

Salah satu solusinya adalah adanya regulasi yang memberikan fleksibilitas bagi PLN dalam pembelian energi sesuai dengan harga ekonomis penyediaan energi serta penawaran negosiasi harga listrik panas bumi, sementara harga jual listrik dari pembangkit diesel sekitar 20 sen dolar Amerika/kWh dan pembangkit gas sekitar 13 sen dolar Amerika/kWh. Kalau harga jual kita tidak kompetitif, sulit bagi investor untuk akselerasi proyek geothermal. dengan harga sangat murah (Pertamina Geotermal,2013).

Dilain sisi, analisa perkirakan harga yang sesuai untuk listrik geothermal sekitar US$ 11-14 sen/kWh. harga tersebut tergantung dari lokasi dan kompleksitas sumber panas bumi, Kendala lainnya adalah besaran harga dalam eksplorasi energi panas bumi di Indonesia yaitu pemanfaatannya untuk kebutuhan listrik lebih mahal dibanding dengan harga listrik yang dibeli oleh PLN, harga yang dibeli oleh Pertamina sebesar USD14–16 sen (Kisaran Rp 1.857 harga  kurs 1 USD  – Rupiah 11.610) sedangkan harga yang dibeli oleh PLN di bawah harga yang ditawarkan tersebut. (Pertamina geothermal.2013)

Harga jual listrik dari EBT yang terlalu murah, membuat investor kurang tertarik dan juga kalah bersaing dengan BBM yang disubsidi. Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 22 Tahun 2012 untuk menaikkan harga jual listrik dari panas bumi. Sebelumnya, tarif listrik dipatok maksimal 9,7 sen (1,261 Rupiah harga  kurs 1 USD  – Rupiah 11.610 ) dolar AS per kWh.

Namun, dengan aturan baru naik menjadi 10-18,5 sen dolar AS per kWh tergantung wilayahnya, Variasi harga jual listrik tersebut tergantung tempat, daerah perintis, dan nilai ekonomis. Saat ini Pemerintah juga mewajibkan PLN membeli listrik sesuai permen.(Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Susilo Siswoutomo, 2013)

Fundamental Energi  
Dalam kebijakan energi nasional, panas bumi ditargetkan menjadi penyokong 5 persen bauran energi nasional pada tahun 2025. Namun jika dilihat dari pertumbuhan, target ini sepertinya tidak bakal tercapai karena saat ini panas bumi baru berkontribusi 1 persen; perkembangan sangat lambat (WWF, 2012).

Harmonisasi kebijakan harus ada disektor pengembangan energi panas bumi, yang saat ini diatur melalui  UU Nomor 27 Tahun 2003 tentang EnergiPanas Bumi sebagai kegiatan pertambangan, UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur kawasan lindung dengan skema pinjam pakai kawasan dan  UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Keanekaragaman Hayati dan Ekosistemnya. Ketiga aturan ini belum mengakomodir implementasi energi panas bumi dan resolusinya adalah perlu adanya penyesuaian atau revisi peraturan kehutanan dan panas bumi yang berlaku saat iniagar dapat mendorong percepatan implementasi pengembangan panas bumi.

Disamping sisi kebijakan, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah, khususnya tantangan  dalam implementasi  panas bumi di Indonesia. Jika ini terus ditingkatkan, insya Allah, dapat menjadi jawaban atas krisis kebutuhan listrik nasional. Kebijakan energi nasional menetapkan agar panas bumi dapat menyokong 5 persen energi nasional pada 2025. Pengembangan dan pemanfaatan panas bumi penting untuk mendukung ketahanan energi dan pertumbuhan ekonomi.

Jika perlu, pemerintah membentuk kelembagaan setingkat kementerian untuk mengelola energi panas bumi. Masa depan pengelolaan energi Indonesia harusnya bertumpu pada energi panas bumi, terutama mengingat besarnya potensi panas bumi hingga 25 tahun yang akan datang. Jikapemerintah berhasil memanfaatkan 50 persen dari potensi tersebut, maka pada pada 2030 diperkirakan energi panas bumi mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan listrik Indonesia.

Lebih unggul
Banyak alasan mengapa kebijakan energi listrik Tanah Air harus beralih menggunakan energi terbarukan, terutama geothermal. Pertama, hampir seluruh sumber panas bumi berada di areal hutan lindung/kawasan konservasi. Energi panas bumi membutuhkan hutan untuk menjaga sistem sumber air. Kondisi ini jelas memberikan dorongan agar tutupan hutan di Indonesia terjaga.

Selain tidak menimbulkan polusi dan mengurangi ketergantungan kepada bahan bakar fosil, geothermal adalah salah satu  energi yang tidak akan habis, bersih, ramah lingkungan, dan mengurangi emisi gas efek rumah kaca. Dengan kata-kata lain, ketersedian energi geothermal dapat menjamin kelangsungan hidup yang lebih baik di masa mendatang.

*) penulis adalah Alumnus Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan TGK Chik Pantee Kulu, Banda Aceh/Pegiat Lingkungan Aceh, berdomisili di Jl. Kuwera 1 NO 21 Lamprit, Banda Aceh Hp: 081269923974

Tags : energigeothermallistrik

Leave a Response