close
Flora Fauna

Membangun Komunikasi dengan Gajah

Kondisi Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus) kini diambang kepunahan. Sebuah badan dunia The World Conservation Union (IUCN) menetapkan status Gajah Sumatera  dalam kondisi kritis , terancam punah. Jika dicermati, disamping  rusaknya habitat gajah, ada sisi menarik lainnya yang dapat diamati, yaitu terganggunya komunikasi dan koordinasi antara manusia dan  gajah. Hal ini menjadi agak unik.

Komunikasi antara manusia dengan gajah terjadi melalui sinyal yang diberikan. Gajah sering merespon dan mengenal suara manusia ketika di usir oleh masyarakat. Sebaliknya, manusia mengetahui keberaadaan gajah dengan adanya suara. Menurut pakar gajah dari WWF Riau, Syamsuardi dalam Persentasi Materi Konflik Gajah, Sabang 26 Juli 2013 lalu, disebutkan dalam konflik gajah dibeberapa tempat menunjukkan bahwa ketika gajah diusir dengan meriam, mercon dan cara pengusiran lain, maka gajah melihat dan merespon  sistem komunikasi manusia itu dengan merekamnya.

Gajah dapat merespon pengusiran hal tersebut dengan baik dengan indikator gajah tidak kembali lagi. Jika gajah kembali lagi, maka sistem pengusiran tidak lagi digubris oleh gajah tersebut.

Zona Aman Gajah
Saat ini, zona aman Gajah Sumatra adalah Taman Nasional dan zona lainnya seperti Pusat Latihan Gajah PLG, Unit Patroli Gajah (UPG). Areal ini dikelola oleh Pemerintah Pusat melalui Departemen Kehutanan melalui  Undang-Undang  No 5 tahun 1990, PLG. UPG  ini terdapat hampir diseluruh Provinsi di Sumatera.

Zona aman lainnya bagi Gajah Sumatra adalah gajah yang berada di kantung habitat kecil dikelola oleh Lembaga Konservasi seperti yang dilakukan oleh WWF –  Indonesia bekerja sama dengan Dirjen PHKA Kementrian Kehutanan,  disebut Flying Squad. Areal ini  berada  di Riau dan Lampung. Di Provinsi Aceh disebut Conservation Response Unit (CRU), dikelola oleh Flora Fauna International bekerja sama dengan Dirjen PHKA Kementrian Kehutanan. Selebihnya, diluar kawasan ini maka gajah setiap saat akan berhadapan dengan maut.

Saat ini gajah terus mencoba masuk ke perkebunan yang sebenarnya memang merupakan lintasannya. Gajah akan terus belajar dari tindakan penanganan yang kita dilakukan. Kita juga seharusnya belajar dari tindakan yang dilakukan gajah. Apabila gajah bisa melewati tindakan penanganan manusia, maka perbaikan penanganan konflik  harus dilakukan oleh pengelola.

Pengurangan konflik manusia dan gajah memang tidak mudah bahkan berbahaya bagi para penghalaunya. Tetapi bagaimana pun usaha ini harus dilakukan secara terus menerus untuk melindungi gajah dan masyarakat. Tim penanganan konflik manusia dan gajah harus terus dilakukan, tentu dengan motivasi yang tinggi. Ketidaknya, keberhasilan suatu teknik pengusiran gajah bukan merupakan kelemahan teknik tersebut, hanya saja seringkali salah dalam penerapannya.

Tugas-tugas PLG, CRU atau flying Squad adalah untuk meminimalkan konflik manusia dengan gajah dengan tujuan utama mengembalikan gajah liar ke habitatnya, melaksanakan patroli rutin dan melindungi masyarakat sekitar hutan.

Keuntungan yang diperoleh dari  keefektifan pengusiran  gajah dapat menumbuhkan kepercayaan diri masyarakat bahwa gajah liar dapat ditanggulangi.

Pendekatan ini digunakan sebagai entry point kepada masyarakat, mendayagunakan gajah captive sebagai upaya dalam mecegah konflik yang berkepanjangan.  Gajah-gajah PLG, flying squad dan CRU juga dapat digunakan sebagai salah satu obyek ekowisata. Usaha ini membantu dalam pengelolaan kawasan konservasi atau kawasan tertentu.

Elephant Trail Konsep
Lintasan satwa atau Elephant Trail adalah rute migrasi tradisional yang dilakukan secara berulang sesuai dengan musim, baik saat kemarau, saat hujan, angin barat dan timur. Biasanya pola ini bergerak secara periodik dan digunakan gajah untuk makan, berkembang biak dan aktivitas sosial lainnya.

Jika diumpamakan dengan sebuah kawasan pemukiman manusia, di sana pasti sangat dibutuhkan jalan sebagai sarana transportasi. Demikian juga halnya dengan gajah. Hutan adalah rumah tempat gajah bermukim. Gajah-gajah itu membutuhkan jalan sebagai tempat melintas. Pemilihan jalan bagi gajah mereka sesuaikan dengan keberadaan alamiah punggungan bukit, lembah dan daerah yang cukup sumber airnya. Kondisi demikian  merupakan lintasan utama gajah.

Masalah muncul ketika tanaman hutan diganti dengan tanaman kebun oleh manusia. Lintasan gajah pun menjadi terbuka dan tidak lagi sesuai.

Prof. Emil Salim, memberikan contoh saat memberikan materi Lingkungan di WWF, 2012. Beliau menceritakan saat menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Kependudukan dan Lingkungan Hidup dari tahun 1978 hingga 1983, era Presiden Soeharto. Saat itu Pemerintah Indonesia sedang menggalakan program pemerataan pembangunan melalui proyek transmigrasi. Proyek transmigrasi ini telah membuka lahan besar-besaran di Sumatera Selatan yang dahulunya adalah habitat gajah Sumatera.

Pada saat itu, Prof. Emil Salim merekomendasikan agar pembangunan tersebut  harus melihat dan mengkaji secara mendalam tentang lintasan gajah (Elephant Trail). Sayangnya, rekomendasi beliau tidak digubris.

Akibatnya, konflik antara manusia dan gajah secara terus-menerus melebar di Indonesia, dimana saat itu  ratusan gajah mengamuk.  Presiden Soharto akhirnya membentuk Tim Khusus untuk menangani Penanganan konflik Gajah dengan nama Operasi Ganesha yang melibatkan militer dan pasukan khusus. Apa daya, konflik gajah dan manusia sudah terlanjur merebak dan hutan sudah terlanjur rusak.

Ini adalah sebuah contoh kasus dari pembangunan yang tidak memperhatikan dampak ekologis.

Lintasan  gajah digunakan oleh gajah untuk bermigrasi dari utara selatan, mengikuti arah angin dan musim. Selama musim buah, sebagian besar gajah kemudian akan kembali lagi seiring waktu sekitar beberapa  bulan kemudian. Namun, dengan penanaman perkebunan kelapa sawit di koridor ini, rute migrasi tradisional terblokir.

Arti penting Elephant Trail sebenarnya sederhana, yaitu pembangunan harus menghargai gajah dan habitatnya. Pemerintah sebagai pengelola kawasan tidak boleh merubah seenaknya tata hutan di Sumatera, tetapi harus memikirkan aspek ekologi dengan memahami lintasan gajah, sehingga pembangunan  tidak menimbulkan efek bagi masyarakat dan gangguan bagi gajah itu sendiri. Jika tidak, maka hanya akan merugikan pemerintah itu sendiri.

Tata Ruang wilayah provinsi dan kabupaten di Pulau Sumatera juga harusnya  memperhatikan elephant trail. Pemerintah harusnya berpikir seimbang ketika mengundang investor. Keputusan membuka hutan harus dikaji secara benar. Saatnya menjadikan  masyarakat dan gajah sebagai subjek pembangunan. Memang sepintas kasus kasus gajah kelihatannya remeh. Tetapi jika terjadi berulang, maka akan menyita waktu  dan  biaya bagi pemerintah setempat dalam menyelasaikannya, hinggga konsentrasi pembangunan terganggu.

Sebenarnya kawasan Elephant trail bisa menjadi solusi terbaik bagi pembangunan, konsep ini bisa  diaplikasikan  bagi pihak pengelola kawasan hutan di Pulau Sumatera. Fakta lapangan menunjukkan bahwa antara tahun 1985 hingga 2007, tutupan hutan di Sumatera mengalami kerusakan yang sangat tinggi, yaitu 12 juta ha atau penurunan sebesar 48 persen tutupan hutan dalam 22 tahun akibat konversi hutan, penebangan dan kebakaran hutan.

Berdasarkan data Departemen Kehutanan (2008), Hutan primer Sumatera yang masih tersisa hanya sekitar 29%, padahal Sumatera membutuhkan tutupan hutan sekurangnya dari 40 % untuk tetap dapat menyangga kehidupan dan melindungi pusat konsentrasi keanekaragaman hayati penting Pulau Sumatera. Sebagian besar hutan primer yang tersisa terletak di dalam kawasan konservasi dan/atau kawasan lindung yang berada di dataran tinggi dan relatif lebih miskin keanekaragaman hayati dibanding dataran rendah., tidak ada salahnya konsep ini dipertegas sebagai bagian dari konsep pembangunan berkelanjutan di Pulau Sumatera.

Solusi Elephant Trail adalah membuat koridor satwa yang secara alami sebagai lintasan aktif satwa liar, dan dapat dikukuhkan dalam kebijakan tata ruang wilayah dan dituangkan dalam aplikasi pembangunan Pulau Sumatera. Tentu kawasan elephant trail ini terlebih dahulu di identifikasi dengan baik. Kawasan diletakkan bersama dalam Peta Lintasan gajah, harus ada Road Map (Peta Jalan) untuk  kawasan ini. Konsep ini juga dapat di implementasi di perkebunan dan kebun masyarakat.

Yang harus dilakukan adalah dengan membuat dan memperkuat lintasan gajah. Jika perlu Elephant Trail (Lintasan gajah) dikuatkan dengan Peraturan Gampong, Perda  dan Peraturan Prersiden. Jadikan kawasan ini sebagai daerah khusus lintasan gajah sebagai dearah lalu lintas Gajah Sumatra. Pengawasan area lintasan gajah dapat dilakukan bersama, baik Pemda, LSM, Masyarakat dan Perusahaan. Merevitalisasi pola dan hubungan  harmonis antara pembangunan dan  gajah sangat diperlukan, sebab gajah adalah adalah aset bangsa Indonesia.

Secuil harapan, kapan kiranya gajah dan manusia hidup damai tanpa saling mengganggu?  Mungkin ini tidak akan tercapai secara utuh, tapi setidaknya harus ada konsep yang bisa menjawab itu. Konsep yang dilandasi dengan perbaikan dan aksi nyata, baik dari sistem hukum, lalu mengujinya di tataran Gampong, Kecamatan hinggga Kabupaten, bahkan di tingkat Provinsi  di Sumatera.

Hal lainnya adalah upaya untuk terus  membangun  sistem komunikasi yang baik antara gajah dan masyarakat, hal ini  akan menjadikan gajah ditempatkan pada posisinya sebagai bagian dari kenakeragaman hayati di Pulau Sumatera. Hubungan yang baik antara kedua belah pihak harusnya menjadi konsep pembangunan di Pulau Sumatera. Gajah liar  di hutan Sumatera dapat menjadi Indikator dan bukti berhasilnya implementasi dari konsep pembangunan berkelanjutan atau sebaliknya.

Jika tawaran konsep semacam ini diabaikan, maka susah untuk memperbaiki hubungan antara gajah dan manusia. Dengan demikian maka semakin sulit untuk menjadikan gajah sebagai aset pembangunan Daerah dan Nasional [Azhar].

Penulis adalah  Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Kehutanan Tgk Chik Pantee Kulu Banda Aceh & Pegiat Lingkungan Aceh /Satwaliar Indonesia

Tags : gajahsatwa

Leave a Response