close
Menelusuri gua kelelawar di Bahorok Sumut | Foto: dok pribadi

Mereka bergantungan beramai-ramai di langit-langit selama berhari-hari. Seolah-olah tiada merasa capai. Sementara itu beberapa rekan lainnya sibuk mondar-mandir tak karuan, ntah apa yang dicarinya. Beberapa spesies lain ikut meramaikan lubang-lubang gelap di perut bumi. Kalong, kampret ataupun kelelawar, begitu masyarakat biasa menyebutnya. Hewan bertaring dan suka makan buah ini populer lewat film Batman yang dibuat berjilid-jilid.

Siang hari itu, di bulan Mei 2013, saya bersama seorang teman berkesempatan untuk melihat langsung Gua Kampret (Bat Cave) yang terletak di Desa Namu Samsah kecamatan Bahorok Sumatera Utara. Nama desa tersebut tidak begitu terkenal di jagad pariwisata tetapi jika kita menyebutnya Bukit Lawang maka ingatan akan kembali ke beberapa tahun lalu saat banjir bandang besar menyapu daerah ini. Lokasi gua kampret berada di seputaran Bukit Lawang. Kali ini kami bukan ingin melihat sisa-sisa banjir yang tentu saja sudah tak ada lagi.

Dari penginapan Ecolodge, sebuah resort wisata yang indah miliki Yayasan Ekosistem Lestari di Bukit Lawang, kami bergerak menuju gua kampret yang berjarak 2 km. Begitulah yang tertera di papan penunjuk jalan di halaman resort. Lumayan jauh juga bagi saya yang bukan seorang pejalan kaki tulen. Saya masih berharap jaraknya tidak sejauh itu, karenanya saya bertanya pada seorang petugas hotel.

“Cuma setengah jam saja menuju ke gua kampret,”kata bapak petugas sekuriti tersebut. Kalau cuma segitu kayaknya saya dan rekan pasti mampu menempuhnya. Cuaca pagi pun tidak terlalu panas dan tidak dingin alias sedang-sedang saja. Kami pun mulai melangkahkan kaki menuju gua dari halaman belakang resort.

Pemandangan pertama yang menyergap mata adalah sebuah kolam ikan seukuran lapangan bola kaki. Di atas kolam tersebut tampak sebuah pondok mungil dan sebuah kandang kambing. Ini tampaknya apa yang mereka sebut sebagai Fishfarming, sebagaimana yang saya baca di brosur resort. Fishfarming artinya lebih kurang mengusahakan ikan dengan memberi makan secara alami. Kalau disini berarti ikan-ikan tersebut makan dari kotoran kambing yang berjatuhan langsung ke dalam kolam.

Jalanan yang kami lalui adalah jalanan tanah selebar tiga meter namun telah dibeton dengan dua lajur. Jadi jalanan ini akan mudah kalau dilalui dengan kendaraan bermotor roda dua. Tapi sepertinya tak banyak roda dua yang melintasi jalan, setidaknya pada saat itu. Kami berjalan dengan penuh semangat. Di kiri-kanan jalan dipenuhi dengan berbagai pepohonan dan tanaman keras.

Pepohonan karet tampak berjejer, kemudian silih pemandangan berganti dengan tanaman sawit yang masih kecil. Selain itu tampak juga pohon durian dan beberapa pohon lain yang tidak begitu saya kenal. Treking ini cukup menyenangkan, terlebih ternyata kami melewati halaman beberapa bangunan, sebuah penginapan dan sebuah panti asuhan milik pribadi. Halaman penginapan yang kami lewati begitu asri, rumput-rumputnya rata tertata rapi. Saat melintasi panti asuhan, beberapa ornamen ceria warna-warni terhampar diseputaran panti tersebut. Ada tulisan unik “Panti asuhan ini milik pribadi, kalau mau masuk harap minta izin dulu,”.

Nyaris setengah jam berjalan, peluh pun mulai menetes membasahi baju-baju. Treking beton berakhir pada pada penunjuk arah “Cave Bat” yang menunjuk menyerong dari trek tersebut. Perasaan pun menjadi ragu, apakah terus mengikuti trek tersebut atau ikut-ikutan bermain “serong’ sebagaimana petunjuk jalan. Rasa ragu tersebut kami tuntaskan dengan bertanya pada seorang remaja yang kebetulan lewat dengan sepeda motor. Wow..ternyata banyak juga sepeda motor yang melintasi trek ini karena pepohonan di kiri-kanan jalan merupakan kebun masyarakat yang mereka kunjungi.

“Kalau mau ke gua lewat sini bang,”kata remaja tersebut yang sampai akhir kunjungan kami lupa menanyakan namanya tapi kami tak lupa mengucapkan terima kasih. Tangannya menunjuk ke arah serong, sesuai dengan penunjuk jalan di titik penghabisan jalan beton. Kami pun diminta mengikutinya, ternyata dia kebetulan hendak bermain-main juga ke gua kampret. Perjalanan ke gua masih butuh waktu sekitar 10 menit lagi rupanya. Sedikit lagi kami harus melewati tanjakan dan akhirnya sampailah kami di muka gua. Ada sebuah balai-balai kecil, dengan tiga pria duduk di atasnya.

Ketika saya mulai memperkenalkan diri, kekakuan pun mulai melumer. Kami tersenyum satu sama lain. Mereka pun memperkenalkan diri satu persatu. Seorang bapak yang berumur sekitar 54 tahun menyebutkan namanya,”Saya Sarakata Sembiring, orang Karo, udah hampir tiga tahun saya bekerja menjaga pintu masuk gua ini.”

Seorang pemuda lainnya memperkenalkan diri sebagai Herman dan seorang lagi menyebut dirinya Tarsim Ginting. “Kami main-main saja kesini kalau sedang mengangon (mengembala-red) kambing,”kata Herman yang diiyakan oleh Tarsim. Ternyata cuma Pak Sarakata yang menjaga tempat tersebut. Lahan menuju pintu gua dimiliki oleh seseorang yang bernama Tencong Ginting yang juga merupakan majikan Pak Sarakata.

Saya dan teman melepaskan lelah sebentar sebelum “menenggelamkan” diri ke perut bumi rumah kalong tersebut. Sambil beristirahat, saya pun menggali sedikit informasi tentang keberadaan gua dan kalong-kalong hitam tersebut.

Menurut cerita Pak Sarakarta tempat tersebut sudah mulai dikunjungi sejak lebih kurang 25 tahun lalu. “Waktu itu ongkos masuknya cuma seratus perak,”kami semua tertawa mendengar kalimat terakhir, betapa murahnya dibandingkan dengan ongkos masuk sekarang yang Rp.5 ribu. Ia melanjutkan ceritanya mengenai jumlah pengunjung. Tak tentu-tentu jumlah turis yang datang katanya. Kadang delapan orang, kadang bisa lebih dan kadang-kadang tak ada satupun yang datang berkunjung.

Selain mengutip biaya masuk, Pak Sarakata  juga menyediakan peralatan senter untuk melihat-lihat di dalam gua. Juga tersedia air minum dalam kemasan dalam ukuran sedang, sebuah pilihan yang bagus mengingat kami pun membutuhkannya usai menelusuri gua.

Menurut beberapa literatur yang saya baca, kotoran kalong sangat bagus dibuat sebagai pupuk. Kotoran tersebut kaya dengan kandung Fospat. Kalong sendiri juga sering diburu oleh orang-orang tertentu untuk disantap.

“Kami tidak mengambil kotoran kalong karena sedikit dan sudah terbawa air. Didasar gua ada air yang mengalir yang merembes dari lubang atau rekahan di langit-langit. Kalong dilarang tangkap kecuali untuk orang-orang tertentu yang membutuhkan sebagai obat,”kata Pak Sarakata. Memang ada cerita yang beredar bahwa kalong dapat menyembuhkan penyakit Asma.

Daerah gua tersebut merupakan daerah perbukitan sehingga tidak terkena bencana banjir bandang besar yang terjadi tahun 2004 lalu. Sayangnya menurut Pak Sarakarta pemerintah masih sedikit perhatiannya terhadap objek wisata gua. Walaupun demikian, pemerintah telah membangun treking dan beberapa jembatan kecil di daerah tersebut.

Menelusuri gua bagi yang belum pernah melakukannya lebih baik didampingi oleh pemandu. Herman, bersedia menjadi pemandu kami walaupun sebenarnya dia tidak berprofesi sebagai pemandu. “Kalau ada yang butuh boleh, kalaua tidak juga tidak apa-apa. Kami tidak mau menawarkan diri takut dianggap nanti memaksa. Soal biaya, seberapa saja saya terima,”begitu katanya lebih kurang.

“Kelelawar itu pembawa rezeki bagi kami. Jadi kami merawatnya lah,”kata Pak Sarakata saat kami bersiap-siap memasuki gua. Dengan dilengkapi senter yang bisa diikatkan di kepala sebagaimana yang biasa dipakai penambang, kami pun perlahan berjalan turun, memasuki gua. Dari jauh sudah mulai tampak rongga-rongga gua yang siap menelan kami. Kegelapan perlahan menyelimuti, ada sedikit rasa was-was. Tapi saya berpikir, toh disini ada pemandu dan banyak sudah orang berkunjung, tentunya gua ini aman lah.

Keciprak air berbunyi dari kaki melangkah di dasar gua. Kami melangkah perlahan-lahan menyusuri dinding gua sambil mata menatap ke langit-langit. Tampak si Batman bergantungan, tidak terlalu banyak memang. Masih banyak ruang yang tersedia sehingga kalong tidak perlu berdesakan bergantungan. “Kalongnya tidak terlalu banyak namun mereka terus berkembang. Tapi kalong-kalong akan menghindar kalau mereka menciumi bau-bau aneh sehingga jumlahnya kadang berkurang,”Herman menjelaskan sambil berjalan.

Bahkan pernah suatu kali, satu rombongan pengunjung dari etnis tertentu melakukan sebuah ritual di dalam gua. Mereka membakar semacam hio yang menimbulkan aroma khas sehingga membuat kelelawar berterbangan. “Kadang-kadang parfum-parfum yang dipakai bule-bule pun bisa bikin mereka menghindar,”ujar Herman kembali.

Ada beberapa spot mendatar di dalam gua tersebut. Sangat cocok bila pengunjung ingin beristirahat sejenak menikmati staklatit dan stalakmit. Ada beberapa rekahan dan lubang-lubang yang cukup besar di langit-langit sehingga sinar matahari pun dapat menancap ke dalam gua. Pada bagian tertentu ruang gua temaram, ada yang cukup terang sehingga bisa membaca. Tapi sebagian besar lubang tersebut hitam gelap pekat alias tanpa ada cahaya. Tapi kami karena sudah dibekali dengan senter bisa dengan mudah menelusuri gua.

Ada tiga spot utama dalam gua tersebut yang kira-kira menghabiskan waktu satu jam untuk menjelajahinya. Tiap-tiap spot ditandai oleh lubang besar di langitnya. Untuk menuju spot-spot tertentu sering kita harus merendahkan diri atau mengecilkan perut. Maksudnya harus menunduk dalam berjongkok karena celahnya cukup rendah dan sempit. Susah mungkin bagi orang yang berbadan besar.

Kelelawar tersebut berukuran sekitar genggaman tangan remaja. Tidak terlalu besar memang, hanya sedikit yang berukuran segenggam kepalan orang dewasa. Pada saat melangkah kami sering harus berhati-hati karena bebatuannya cukup tajam, mirip dengan bentuk pisau. Bebatuan diasah oleh tetesan air selama puluhan tahun, mungkin ratusan tahun. Pada dinding-dinding juga terdapat batuan yang berbentuk air menetes didinding namun sudah membeku, ntah sudah berapa lama.

Sayangnya kami melihat banyak grafiti di dinding gua. Menurut Herman, ini ulah anak-anak sekolah yang memang sering mengadakan kunjungan. Pahatan-pahatan pada dinding gua yang bertuliskan nama orang, nama tempat bahkan nama-nama sekolah. Tampaknya tempat-tempat wisata selalu saja tak lepas dari gangguan tangan jahil manusia. [m.nizar abdurrani]

Tags : badakgajahkelelawar

Leave a Response