close
Hutan

Kisah Nafasindo ‘Rampas’ Lahan Masyarakat

Hutan gambut di Rawa Tripa yang semakin menyusut | Foto: M. Nizar Abdurrani

Pembukaan lahan oleh perusahaan multinasional yang didukung pemerintah di hutan Aceh menjadi perkebunan telah mengakibatkan masyarakat setempat tidak bisa lagi mengelola lahan sendiri. Bahkan ada yang terpaksa harus meninggalkan lahan yang sedang mereka garap. Kondisi ini sangat berbeda dengan masa lalu, dimana masyarakat setempat bisa mengelola lahan secara turun temurun dengan mekanisme yang diatur dalam hukum adat.

Ada begitu banyak kasus sengketa lahan yang diselesaikan melalui jalur hukum. Sebagian diantaranya diwarnai dengan kekerasan dan konfrontasi seperti demonstrasi yang memicu perusakan asset perusahaan. Reaksi ini disebabkan kebijakan yang tidak memihak masyarakat, tidak adil secara ekonomi dan sosial.

Ada 51 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang mempunyai izin di Aceh. Sebagian besar perusahaan memiliki izin operasi lebih dari satu tempat, misalnya PT Perkebunan Nusantara I yang mengelola 13 petak tanah (http://2012.acehinvestment.com/perusahaan-PMDN.html).

Cerita berikut ini menjadi ilustrasi contoh sengketa yang terjadi diAceh. Kasus ini merupakan kasus sengketa lahan antara masyarakat setempat dengan perusahaan yang mendapatkan izin mengelola budidaya kelapa sawit di Kabupaten Aceh Singkil (sebelah utara berbatasan dengan Kota Subulussalam, sebelah selatan dengan samudra Pasifik, sebelah barat berbatasan dengan Sumatera Utara dan Kecamatan Trumon di Kabupaten Aceh Selatan).

Sebelumnya Kabupaten Aceh Singkil merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Selatan. Kemudian dimekarkan menjadi kabupaten dengan peraturan Undang-undang No 14 tahun 1999. Sebagian Aceh Singkil terletak dikawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Kawasan ini terdiri dari gugusan pulau-pulau, terbagi menjadi 11 kecamatan dan 120 desa.

Lahan yang ada di Kabupaten Aceh Singkil telah dikontrak oleh perusahaan multinasional asal Malaysia. Hutan belantara dan rawa degradasi dan deforestasi.

Sementara itu, pengembangan export hasil perkebunan sedang dilakukan secara besar-besaran, seperti coklat, kelapa sawit, kayu bahan pembuat kertas, dan tanaman lainnya seperti kelapa, sirih, jahe, teh hitam, kapas, tebu, rempah-rempah dan lain-lain. Diantara semua tanaman budidaya yang tumbuh subur di Kabupaten Aceh Singkil, kelapa sawit merupakan tanaman yang bernilai jual tinggi.

Aceh Singkil masih memiliki banyak lahan yang belum digarap. Sebagian besar perusahaan yang beroperasi disana mengelola perkebunan kelapa sawit dan juga membangun pabrik pengolahan minyak kelapa sawit.

Rusliadi, aktivis lingkungan yang bekerja di Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh menyebutkan ada 7 perusahaan yang mengelola perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Aceh Singkil yaitu sebagai berikut:
1.    Socfindo yang mengelola perkebunan di Kecamatan Gunung Mariah seluas 4.414 hektar dan yang ditanami kelapa sawit seluas 4.210 hektar.
2.    Perusahaan Lembon Bakit yang mengelola perkebunan seluas 6.570 hektar di Kecamatan Singkil Utara dan 5923 hektar yang telah ditanami kelapa sawit.
3.    Perusahaan Delima Makmur yang mengelola lahan seluas 12.173.47 hektar di Kecamatan Danau Paris dan 8.969 hektar yang telah ditanami kelapa sawit.
4.    Perusahaan Ubertraco mengelola 13.924.68 hektar dan 5.896 hektar yang telah ditanami.
5.    Perusahaan Lestari Tunggal Pratama mengelola lahan seluas 1.861 hektar dan 1.200 hektar yang telah ditanami kelapa sawit.
6.    Perusahaan Telaga Zamzam mengelola lahan seluas 100.05 hektar di kecamatan Gunung Mariah dan seluruh lahan telah ditanami kelapa sawit.
7.    Perusahaan Jaya Bahni Utama mengelola lahan seluas 1.800 hektar di Kecamatan Danau Paris dan seluruh lahan telah ditanami kelapa sawit.

Pada tahun 1986, perusahaan Ubertraco yang dimiliki oleh Teungku Muslim, warga Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan telah menanam kelapa sawit di Kecamatan Simpang Kiri. Namun ada hal-hal yang aneh dalam proses pengelolaan usahanya.

Tahun 1988 perusahaan Ubertraco menerima izin usaha dengan nomor No.1/1988 dengan luas lahan 10.917 hektar di Kota Baharu, Gunung Meriah, Singkil Utara di Kabupaten Aceh Singkil. Enam tahun kemudian, pada akhir tahun 1944, Ubertraco menerima kontrak kedua  dengan No.2/1994 dengan luas 3.000 hektar. Jarak kawasan tersebut dari Kecamatan Kota Baharu dan Singkohor Aceh Singkil sekitar 10 km.

Pada tanggal 10 November 1998, Ubertraco mengalihkan bisnisnya kepada pengusaha dari Malaysia, Haji Muhammad Sobri. Upaya ini sangat beralasan karena lahan tersebut terlantar selama bertahun-tahun walaupun telah mengantongi izin pengelolaan perkebunan kelapa sawit.

Pada tahun 1998 terjadi sengketa lahan dengan masyarakat setempat terkait kepemilikan lahan. Tidak ada tapal batas yang jelas antara lahan yang diberikan izin kepada perusahaan dan lahan tidur yang dimiliki masyarakat setempat. Izin konsesi yang tertera dikontrak juga mencakup lahan yang diatasnya telah didirikan bangunan gedung pemerintah, markas TNI, area reservasi, dan jalan penghubung pemukiman penduduk.

Pada tahun 2006 protes warga pecah di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Aceh Singkil, Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Aceh Singkil dan Kantor Bupati Aceh Singkil terkait sengketa lahan tersebut. Masyarakat setempat menuntut PT Ubertraco terkait perampasan lahan. Masyarakat menuntut agar PT Ubertraco dapat menunjukkan batasan lahan konsesi yang dimiliki perusahaan.

Pada tahun 2007 DPRA mengundang perwakilan masyarakat dan perusahaan untuk berdialog menyelesaikan persoalan tersebut. Dalam pertemuan tersebut Kepala Badan Pertanahan Aceh juga di undang. Perwakilan masyarakat, Safar Siregar menanyakan tentang surat kontrak yang dimiliki oleh perusahaan Ubertraco.

Lebih lanjut Yusriadi menyatakan bahwa Badan Pertanahan Aceh seharusnya meninjau ulang kontrak tersebut. Seharusnya Badan Pertanahan Kabupaten hanya bisa memberikan izin untuk lahan seluas 100 hektar dan badan Pertanahan Propinsi maksimal 200 hektar. Anehnya pemerintah telah mengeluarkan izin untuk lahan seluas 1.000 hektar seperti yang tertera dalam kontrak.

Pada tahun 2008, PT Ubertraco mengganti nama perusahaan menjadi Perusahaan Nafasindo sebagai upaya keluar dari permasalahan.

Berbagai pertemuan telah dilaksanakan antara perwakilan masyarakat dengan perusahaan Nafasindo untuk mencari jalan keluar dari persoalan sengketa lahan.

Pada pertemuan tanggal 17 November 2009 disepakati akan diadakan kembali pengukuran batas lahan. Jika hasilnya lahan tersebut adalah milik perusahaan maka masyarakat setempat harus pindah. Jika terbukti sebaliknya, tanah tersebut merupakan milik masyarakat maka perusahaan harus mengembalikannya.

Sejak tanggal 12 Juni-26 Oktober 2010, Badan pertanahan Propinsi Aceh melakukan survey ke lahan di Kecamatan Kota Baharu, Gunung Meriah, Singkil Utara dan Singkil. Hasil survey tersebut menunjukkan bahwa 1.997,5 hektar lahan masyarakat telah digarap oleh perusahaan Nafasindo dan 1.158,24 hektar lainnya digarap secara illegal oleh beberapa perusahaan lain.

Pada tanggal 28 Februari 2011, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf mengirimkan surat kepada Bupati Aceh Singkil dengan Nomor 590/4877 tentang keputusan sengketa lahan antara PT Nafasindo dan masyarakat setempat. Dalam surat tersebut, Gubernur Aceh memerintahkan Bupati Aceh Singkil mengembalikan lahan masyarakat setempat yang telah dirampas oleh perusahaan dan tapal batas tanah yang selama ini hanya dari kayu harus diganti dengan batas permanen. Dan perusahaan harus mengganti rugi lahan kecuali lahan yang ada izinnya.

Proses pengembalian tanah masyarakat setempat tidak berjalan sebgaimana diharapkan karena perusahaanNafasindo membawa kasus ini ke Pengadilan Tata Usaha Negara di Medan pada tanggal 24 Agustus 2001. Kasus tersebut sampai saat ini masih ditangani oleh Pengadilan Tata Usaha Negara di Medan.

Persoalan tidak hanya sampai di situ, kemudian perwakilan mahasiswa dan masyarakat setempat berunjuk rasa di depan Kantor Badan Pertanahan Nasional Aceh. Mereka menuntut dijalankannya keputusan yang telah disepakati sebelumnya.

Karena tidak mendapatkan tanggapan maka kemudian terjadi kericuhan di Kantor Bupati Aceh Singkil. Pada tanggal 30 Mei 2011, dialog dengan Bupati Aceh Singkil gagal dilakukan karena bupati menolak bertemu dengan alasan yang tidak jelas.

Karena kondisi ricuh maka polisi menahan 3 orang tokoh masyarakat yang bernama Haji Sairun, Jaminuddin dan Rusli Jabat dengan tuntutan melakukan tindak pidana mengacu  pasal 160 dan 170. Kemudian pengadilan memutuskan 7 bulan hukuman untuk Haji Sairun, enam bulan untuk Rusli Jabat dan Jaminuddin dibebaskan karena tidak cukup bukti. Kasus tersebut sekarang masih dalam proses banding di pengadilan tinggi.

Dalam aksi yang sama sekitar 15 warga ditangkap. Pengadilan Kabupaten Singkil mendakwa 10 orang demonstran membakar dan melakukan perusakan dan diganjar dengan hukuman percobaan mengacu ke pasal tindak pidana Nomor 170 paragraf 55, sedangkan 5 orang warga lainnya dibebaskan.

Kemudian pada tanggal 22 Mei 2012 petugas Kantor Badan Pertanahan nasional Aceh membuat tanda batas permanen ditapal batas lahan sengketa. Kesepakatan tersebut telah disetujui dengan nomor surat 455/18.11.600/IV/2012.

Pada tanggal yang sama pukul 11.30 pagi, sekitar 100 orang petani yang terlibat dalam survey dan pemasangan tapal batas dengan petugas Badan Pertanahan Aceh ditahan oleh polisi dan kemudian kasusnya dibawa ke pengadilan serta masyarakat setempat direlokasi.

Sahyani, salah seorang warga desa yang menjadi korban mengatakan bahwa dirinya hanya melihat saja proses pemasangan tiang tapal batas yang dilakukan bersama-sama dengan petugas Badan Pertanahan Nasional Aceh namun dia mendapatkan hukuman 8 bulan penjara sesuai dengan keputusan pengadilan terkait tindak pidana pasal 160.

“Setelah dibebaskan dari menjalani delapan bulan kurungan, saya dan seorang teman datang ke kantor LBH Banda Aceh dan meminta bantuan hukum. Meskipun dengan kondisi ketakutan dan keterbatasan ekonomi, masyarakat berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan kembali hak kami. Hubungan masyarakat dan perusahaan seperti kucing dan tikus. Kami, masyarakat setempat ditahan dan dimasukkan kedalam penjara disaat perusahaan terus saja memproduksi minyak kelapa sawit. “.

Jamaluddin mendapatkan hukuman yang sama seperti Sahyani, enam bulan kurungan. Dia hanya bersedia diwawancara melalui saluran telepon karena kondisi keamanannya juga persoalan ekonomi. Meskipun begitu dia tetap bersikukuh untuk berjuang sampai persoalan selesai dan masyarakat mendapatkan kembali hak mereka.

“ Perjuangan masyarakat telah dimulai sejak tahun 2006, kami berharap perusahaan angkat kaki dan mengembalikan hak masyarakat sebagai pemilik yang sah. kami tidak menginginkan kekerasan namun hanya mempertahankan hak kami”.

Perusahaan menggunakan institusi Negara untuk menjaga kepentingan mereka dan masyarakat yang menjadi korban dan akan sangat dirugikan. Hanya ada beberapa kasus dimana masyarakat bisa mengorganisir diri mereka sendiri dan membentuk jaringan keluar melakukan kampanye untuk mendapatkan keadilan. Bantuan hukum untuk mendapatkan hak mereka kembali bukanlah hal yang mudah.

Bisnis kelapa sawit perusahaan besar multinasional memperkaya dirinya sendiri dengan merampas hak masyarakat dan merusak ekologi global. Pertumbuhan bisnis dibarengi dengan terjadinya kekerasan dan perampasan hak masyarakat setempat. []

Penulis, Ruayrin Pedsalabkaew, fellow pada Asian Public Intellectual (API), Reporter Deep South Watch yang telah melakukan penelitian tentang isu-isu perampasan lahan oleh perusahaan multinasional di Aceh: Dampaknya terhadap Hak Asasi Manusia dan Kearifan Lokal. Pendapat penulis tidak menggambarkan pandangan API Fellowships Program, The Nippon Foundation, the Coordinating Institution, dan/atau lembaga partner.

Tags : sawit

Leave a Response