close
Hutan

Manfaatkan Hutan Aceh Sebesar-besarnya untuk Masyarakat

Persentasi Deforestasi selama 2000 - 2012 | Gambar: mongabay.co.id

Hutan merupakan karunia Allah SWT kepada umat manusia untuk dikelola demi kesejahteraan mereka dan anak cucunya. Sudah sepantasnya pemerintah dan rakyat Aceh memiliki kepentingan untuk melindungi hutan sebagai infrastruktur ekologi, yang menyediakan jasa lingkungan bagi masyarakat berupa air untuk kebutuhan domestik dan pertanian, pencegahan bencana, perlindungan keaneka ragaman hayati dan potensi energi yang luar biasa, disamping fungsi hutan produksi sebagai penghasil kayu.

Untuk melaksanakan hal tersebut, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf pada tanggal  6 Juni 2007 yang lalu menyatakan pemberlakuan “Moratorium Logging” atau penghentian sementara penebangan hutan dalam wilayah Provinsi Aceh. Moratorium Logging terdiri dari tiga tahap (1) Evaluasi Peruntukan Lahan Perizinan (Redesign), (2) meningkatkan upaya rehabilitaasi hutan dan lahan (Reforestasi), (3) pencegahan laju kerusakan hutan (Reduksi laju deforestasi) untuk mewujudkan “Hutan Lestari” rakyat Aceh sejahtera. Ini harus dilakukan mengingat musibah bencana alam, banjir, tanah longsor dan konflik satwa terindikasi akibat eksploitasi hutan yang tidak terkendali. Sekalipun demikian dalam menetapkan suatu kebijakan harus dikaji nilai positif dan negatif yang akan dituai dari kebijakan tersebut. Satu sisi tak bisa dipungkiri bahwa kerusakan ekologi terjadi karena rusaknya hutan. Sisi lain Moratorium Logging tidak hanya mengharamkan illegal logging, tetapi juga aktifitas logging.

Sejauh ini kebijakan tersebut masih berlaku dan kita berharap agar Pemerintah Aceh saat ini tetap mempertahankannya dan segera mengimplementasikannya secara benar di lapangan. Pengelolaan hutan dan sumberdaya alam di Indonesia termasuk Aceh saat ini merupakan sebuah cerita yang beragam. Di sepanjang jutaan hektar, masyarakat setempat menanami hutan dengan berbagai jenis buah-buahan, kopi dan coklat (kakao) dan sering ditanam bersama dengan pohon kayu-kayuan yang membentuk wilayah yang disebut wanatani (agroforest). Wilayah wanatani ini menyediakan jasa lingkungan yang sama seperti hutan alam, dengan pengecualian pada perbedaan keanekaragaman hayati yang lebih rendah. Banyak masyarakat setempat yang melindungi hutan alam, dan kadang bekerjasama dengan petugas Dinas Kehutanan setempat.

Namun, secara keseluruhan keadaan hutan alam dapat dikategorikan sebagai salah satu krisis yang dihadapi bangsa ini. Laju deforestasi per tahun yang mencapai satu juta hektar tetap bertahan sepanjang sepuluh tahun terakhir serta kemampuan terpasang industri pengolahan kayu terus berkembang melampaui tingkat pemanfaatan lestari per-tahun (Badan Planologi Kehutanan RI)).  Pada akhir dasawarsa ini dan Kawasan Hutan konservasi akan mengalami kerusakan serius atau bahkan lenyap sama sekali.

Ketiadaan transparansi dalam pengambilan keputusan memfasilitasi meluasnya kegiatan-kegiatan ilegal dan korupsi di sektor kehutanan. Para pemegang konsesi yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan secara teratur terus melanggar ketentuan-ketentuan konsesi tanpa pernah dituntut secara hukum. Hukum dan peraturan diabaikan tanpa khawatir menghadapi sanksi hukum oleh pemerintah.

Deforestasi dalam skala besar menyebabkan penyusutan keanekaragaman hayati dan di banyak tempat menyebabkan erosi tanah, sedimentasi dan penghancuran fungsi hidrologis hutan, sehingga memperburuk keamanan pangan dan mengancam potensi manfaat ekonomi dan lingkungan dari hutan untuk masa depan.

Berbagai aksi perambahan dan perusakan hutan dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang terjadi di Provinsi Aceh maupun Provinsi Sumatera Utara semakin keprihatinan dan kekhawatiran banuak pihak, baik lokal, nasional maupun internasional. Ancaman deforestasi KEL sepanjang tahun semakin meningkat.

Catatan terakhir yang kita peroleh dari Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) beberapa waktu lalu sebelum lembaga ini dibubarkan. Kerusakan hutan di Kawasan Ekosistem Leuser dalam lima tahun sebelumnya (2005-2009) mencapai 36.000 hektar. Data yang diambil melalui metode penginderaan jarak jauh, yaitu interpretasi citra satelit, yakni LANDSAT (USGS/NASA) tersebut menunjukkan pada awal tahun 2005 luas tutupan hutan di KEL sebesar 1.982.000 hektar, dan akhir tahun 2009 mengalami deforestasi sehingga luasnya berkurang menjadi 1.946.000 hektar. Proses deforestasi ini diyakini akan terus terjadi hingga saat ini, apalagi jika tidak ada penanganan yang serius oleh institusi terkait terutama yang bertanggungjawab atas perlindungan dan pengelolaan hutan di Aceh termasuk KEL.

“Leuser telah ditetapkan sebagai ‘paru-paru’ dunia, oleh karenanya upaya penyelamatan Kawasan Ekosistem Leuser sebagai paru-paru dunia seharusnya tidak hanya menjadi tanggungjawab rakyat Aceh, tapi juga menjadi masyarakat internasional memiliki tanggungjawab yang sama dalam melestarikan kawasan tersebut”.

Jika kita tinjau kembali berbagai kebijakan pengelolaan hutan dan lingkungan telah diintegrasikan ke dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dijabarkan dalam berbagai kebjakan perencanaan pembangunan. Masing-masing peraturan perundangan ini memiliki bagian khusus yang berbicara tentang lingkungan hidup, termasuk di dalamnya kebijakan tentang konservasi lingkungan. Namun dalam pelaksanaannya berbagai kebijakan tersebut meletakkan pertumbuhan ekonomi diatas segala-galanya.

Sektor-sektor lain seperti keamanan, sosial, teknologi, pemdidikan, budaya dan lingkungan hidup diarahkan dan harus mendukung pertumbuhan ekonomi tersebut.  Pengembangan ekonomi selama ini dilakukan dengan pendekatan modal besar, terpusat pada beberapa konglomerat dan hasil-hasilnya lebih banyak mengalir ke pusat kekuasaan. Sementara ekonomi masyarakat yang berada di wilayah-wilayah yang kaya dengan sumber daya alam justru merana. Di sisi lain kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam semakin mengkhawatirkan.

Proses moratorium hutan harus berbasiskan hasil capaian, transparansi dalam proses dan pelibatan publik secara lebih luas dan efektif menjadi satu keharusan, sehingga pencapaian komitmen dan penurunan emisi gas rumah kaca dan penyelamatan hutan alam secara umum di Indonesia dan khususnya di Aceh dapat dilaksanakan dengan baik.

Disamping itu juga seluruh kegiatan pengelolaan hutan di Aceh, seharusnya mampu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Aceh. Untuk itu mari kita berikan waktu kepada hutan kita untuk bisa bernafas lebih lama dari tekanan dan jangkauan tangan-tangan jahil perusak hutan, serta berikan kesempatan kepada generasi yang akan datang untuk juga dapat ikutserta menikmatinya.[]

* Penulis adalah Staf Pengajar Konservasi Lingkungan, Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh, Aceh Communications Officer Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Banda Aceh dan mantan Direktur Eksekutif WALHI Aceh, Periode 2010-2013.

Tags : hutanmoratorium