close
Hutan

Pelajaran dari Moratorium Logging Aceh

Ilustrasi | Foto: M. NIzar Abdurrani

Saat menjabat Gubernur Aceh periode lalu, drh.Irwandi Yusuf, gundah-gulana melihat keadaan hutan Aceh yang mengalami deforestasi terus menerus. Sebagai mantan aktivis lingkungan, ia menyadari tanah kelahirannya akan segera mengalami bencana ekologis yang dahsyat jika hutan menghilang. Dan pembabatan hutan yang paling “kejam” adalah pembabatan hutan secara resmi untuk tujuan industri perkayuan.

Penebangan hutan resmi membuat areal hutan gundul secara massal, yang konon kecepatan deforestasinya bisa seluas 2 lapangan sepakbola sehari. Atas saran dari berbagai pihak dan pertimbangan yang matang maka tanpa ragu Irwandi Yusuf pun mengeluarkan program Moratorium Logging terhadap hutan Aceh. Secara sederhana pengertian moratorium (jeda) logging adalah pembekuan atau penghentian sementara seluruh aktivitas penebangan kayu skala kecil dan besar (skala industri) untuk sementara waktu sampai sebuah kondisi yang diinginkan tercapai. Rencananya lama atau masa diberlakukannya moratorium berkisar kurang lebih 15-20 tahun.

“Untuk menghidupi 4,2 juta rakyat Aceh, kita tidak perlu membabat hutan,” tegas Irwandi Yusuf, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, yang terpilih pada Pilkada 11 Desember 2006 lalu. “Komitmen penyelamatan hutan Aceh juga telah kita lakukan sejak penyusunan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki, yang kini telah masuk dalam UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,” ujarnya menambahkan.

Pada hari Rabu, 6 Juni 2007 lalu, dengan dihadiri oleh ratusan aktivis lingkungan, pejabat pemerintahan dan perwakilan negara sahabat, Irwandi Yusuf secara resmi mendeklarasikan Moratorium on Logging, pemberlakuan Jeda Tebang Hutan di Nanggroe Aceh Darussalam.
Moratorium Logging merupakan pintu masuk untuk menyusun kembali strategi pengelolaan hutan Aceh melalui penataan ulang (Redesign), penanaman kembali hutan (Reforestasi), dan menekan laju kerusakan hutan (Reduction deforestasi) atau dikenal dengan singkatan konsep 3R. Konsep ini diharapkan mewujudkan “Hutan Lestari Rakyat Aceh Sejahtera”. Konsep ini berarti bukan hanya menyelamatkan hutan dari aksi penebangan semata namun juga hutan yang telah dilestarikan tersebut dapat memberikan manfaat kepada masyarakat dan membuat mereka sejahtera.

Hutan bukan lah bagian terpisah dari kehidupan masyarakat karena masyarakat sekitar hutan telah hidup berdampingan dengan tumbuhan dan hewan-hewan selama ratusan tahun dengan damai. Melalui konsep 3R, masyarakat tidak akan ditinggalkan perannya dalam pengelolaan hutan.

Bagaimana sebenarnya keadaan hutan Aceh saat ini? Hutan Aceh saat ini kondisinya tidak jauh berbeda secara umum dengan hutan lain di Indonesia. Provinsi Aceh dengan luas daratan lebih dari 5 juta hektar—memiliki kawasan hutan seluas 3,3 juta hektar lebih (62,7%), di antaranya sekitar 2,7 juta hektar kawasan konservasi dan hutan lindung dan hampir 640.000 hektar untuk kawasan budi daya kehutanan.

Menurut data, deforestasi kawasan hutan Aceh selama 2002-2004 saja mencapai angka hampir 200.000 hektar. Hampir 60% praktik deforestasi tersebut terjadi di kawasan konservasi dan hutan lindung, termasuk di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Deforestasi juga terjadi di luar kawasan hutan melalui praktik konversi untuk kepentingan pembangunan di luar sektor kehutanan, seperti perkebunan dan kegiatan budi daya lainnya—yang mencapai luasan lebih dari 156.000 hektar. Deforestasi di luar kawasan hutan ini menyumbang sebesar 45% dari total deforestasi di Aceh. Secara total, deforestasi hutan Aceh mencapai angka lebih dari 350.000 hektar selama 2002-2004, setara 5 kali lipat luas Singapura.

Kebijakan moratorium logging yang dideklarasikan oleh Pemerintahan Aceh ini mengikat para pemegang konsesi HPH dan HTI, serta usaha dan kegiatan lainnya yang memiliki implikasi terhadap penebangan hutan. Kebijakan Moratorium Logging yang dituangkan dalam instruksi gubernur memandatkan instansi di lingkup pemerintah Aceh untuk memastikan bahwa moratorium terlaksana di lapangan.

Kebijakan jeda tebang hutan mendapat dukungan luas dari berbagai negara yang peduli terhadap keberlangsungan hutan Aceh. Negara-negara seperti Amerika, Kanada, Perancis dan Inggris melalui perwakilan-perwakilannya yang ada di Aceh menyatakan dukungan penuh atas kebijakan ini. Dukungan ini bukan hanya sebatas lips service tapi juga sudah diimplementasikan dalam kebijakan. Para donor yang terlibat dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh mengeluarkan aturan kepada kontraktornya wajib menggunakan kayu resmi yang bersertifikat.

Dan untuk mengurangi beban pemakaian kayu asal Aceh, pihak kontraktor diminta untuk memilih bahan alternative pengganti kayu jika memungkinkan. Hal ini sudah terlihat hasilnya dimana banyak pembangunan kuda-kuda bangunan yang memakai rangka baja.

Aceh menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan kebijakan moratorium logging. Kebijakan ini merupakan sebuah terobosan komprehensif dalam menyelamatkan hutan Aceh, yang merupakan bagian dari hutan Indonesia. Hutan rimbun yang memberikan banyak sekali manfaat bagi manusia, baik manusia yang tinggal di Aceh, di Indonesia bahkan manusia yang tinggal di luar negeri sekalipun.

Dunia saat ini sudah sangat sensitive terhadap isu-isu lingkungan. Semua sepakat untuk saling menjaga kelestarian hutan dengan berbagai mekanisme. Sebuah mekanisme tentang carbon credit atas fungsi hutan sebagai penyerap zat karbon yang banyak dihasilkan Negara maju ramai dibicarakan. Mekanisme yang dalam istilah asingnya Reducing Emission From Deforestation and Forest Degradation (Pengurangan Emisi Karbon dari deforestasi dan degredasi hutan/REDD) diterapkan untuk hutan Aceh.

Pemerintah Aceh sudah menandatangani MoU dengan calon pemberi kredit karbon atas usaha-usaha melestarikan hutan Aceh. Negara-negara maju menjanjikan akan memberikan kompensasi yang setimpal atas upaya Aceh menjaga hutannya. Hutan yang lebat, berpotensi mampu menyerap zat beracun karbondioksida, efek negative dari industri-industri di barat.

Perjalanan untuk merealisasikan kredit karbon sesungguhnya masih jauh. Pemahaman penerapan REDD di Aceh sesungguhnya belum dipahami secara optimal. Maklum saja, ini merupakan hal yang baru sehingga membutuhkan ketelitian dalam perhitungan berapa dana bisa diperoleh Aceh dari kompensasi hutan. Ada perhitungan tersendiri untuk memastikan seberapa besar hutan Aceh berpotensi menyimpan karbon. Kemudian potensi ini dikonversikan menjadi uang dan uang inilah yang akan diberikan kepada pemerintah.

Sebuah lembaga keuangan asing dari Amerika, Merril Linch, bahkan telah berkomitmen akan memberikan kredit karbon sebesar 2 juta USD, untuk pelestarian Ulu Masen. Sebuah kawasan hutan lebat yang melintasi daerah kabupaten Pidie, Aceh Besar, Aceh Jaya, Nagan Raya dan Aceh Barat. Sayangnya Merril Linch sendiri kini sudah bangkrut.

Kebijakan Moratorium logging bukannya tidak menghadapi hambatan, internal maupun eksternal. Masih banyak pengusaha yang bersikeras mengurus izin penguasaan hutan melalui lobi-lobi pemerintah Jakarta. Sekelompok kecil masyarakat, dengan dalih untuk pembangunan berusaha menebang kayu dalam jumlah banyak. Bahkan masyarakat awam pun masih banyak yang salah memahami jeda tebang.

Sebagian orang beranggapan program ini telah gagal. Alasan mereka adalah melihat masih adanya penebangan liar yang berlangsung di kawasan hutan Aceh. Namun masyarakat seharusnya paham bahwa jeda tebang berlaku untuk penebangan resmi berizin. Sedangkan penebangan liar merupakan kegiatan haram yang menjadi bagian dari penegakkan hukum (law enforcement). Dari sejak dulu dan sampai kapan pun penebangan liar tetap terlarang.

Sejauh ini belum ada data secara pasti berapa pertumbuhan kembali hutan (forestasi) Aceh sejak diberlakukannya jeda tebang. Namun kita harus mengingat ini merupakan sebuah terobosan dalam pelestarian lingkungan dan pasti bermanfaat. Sebuah pelajaran pelestarian lingkungan hutan dari Aceh, yang layak untuk ditiru oleh siapapun. [m.nizar abdurrani]

Tags : moratorium logging

Leave a Response