close
Hutan

Takdir Hutan Aceh di Bawah Hukum yang Lemah

Ungkapan protes masyarakat di hutan gambut Rawa Tripa | Foto: M. Nizar Abdurrani

“Kita harus bergerak bersama untuk menganalisis  apa yang akan terjadi terhadap pengelolaan hutan. Ada dilema antara kebijakan pemerintah dengan fakta yang tercermin dalam tata kelola hutan”. Pernyataan ini disampaikan oleh aktivis lingkungan, Afrizal Akmal.

Afrizal Akmal juga mengatakan bahwa pemerintah terlibat langsung dalam tata kelola hutan yang tidak terkontrol hampir di seluruh Negara. Bahkan, pembalakan liar terjadi karena gagalnya pemerintah pusat memfasilitasi perusahaan-perusahaan hingga mereka beroperasi secara illegal. Dalam kasus ini, tidak adanya proses pengecekan secara akurat data yang bersangkutan serta tidak adanya regulasi yang mengatur tentang biaya izin penebangan.

Peraturan dan penegakan hukum semakin membingungkan saat Badan Pertanahan Nasional Propinsi Aceh tetap melanjutkan izin konsesi pembukaan lahan tanpa pengecekan yang akurat. Sayangnya, banyak lahan yang mendapatkan izin konsesi terbengkalai setelah penebangan usai.

Afrizal Akmal menekankan bahwa misi pengelolaan hutan harus ditetapkan dan ditempatkan pada salah satu lembaga untuk pengaturan yang efektif. Kebijakan pemetaan hutan, izin konsesi, pengaturan pemukiman harus dikelola dibawah satu badan.

“ Kami menemukan fakta bahwa sistem data base geografi yang telah dirumuskan menyalahi peraturan. Hasilnya, data yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional palsu. Selain itu, mekanisme sewa lahan dan pelanggaran batas tanah juga tidak jelas dan tidak disosialisasikan kepada publik. Tampaknya instansi pemerintah telah bermain-main dengan kebijakan hutan dan mereka pembohong,” kata Afrizal.

Afrizal Akmal menyebutkan bahwa Pemerintah Aceh mencanangkan misi “Green Project” sebagai resolusi masalah kehutanan. Yang pada kenyataannya, hal tersebut tidak menjadi solusi.

Setelah Aceh mendapatkan otonomi khusus dibawah NKRI, pemerintah Aceh mengatur kebijakan lahan dan hutannya sendiri, hal ini sesuai untuk pemerintahan otonom. Namun, ada kesalahan yang terjadi terkait penyalahgunaan kekuasaan oleh Pemerintah Aceh. Tak pelak lagi, izin konsesi pertambangan dan perkebunan yang diberikan mengarahkan pada perambahan dan penghancuran hutan.

Mengacu ke data Kantor Administrasi Izin Propinsi Aceh, pada tahun 2008, 201 perusahaan mendapatkan hak menggunakan lahan dan tanaman perkebunan. Areal konsesi mencakup 540,839,955 hektar atau 9,42% dari total hutan Aceh. Bahkan, banyak perusahaan telah mendapatkan izin untuk bisnis kehutanan seperti perkebunan sawit, coklat, kopi, karet, pisang, kedelai, peternakan, perikanan dan perkebunan. Semua lahan perkebunan tersebar di sepanjang wilayah Propinsi Aceh.

Izin penggunaan lahan begitu mudah diberikan di era desentralisasi. Hal ini terlihat dari pemerintah daerah yang langsung dapat memberikan izin kepada perusahaan melalui satu pintu. Pemerintah pusat di Jakarta hanya memverifikasi dan menyetujui saja izin untuk kawasan tertentu. Namun, masih tersisa persoalan seperti pelanggaran hukum oleh perusahaan sawit yang telah dan masih beroperasi seperti di kawasan lahan gambut Rawa Tripa.

Belakangan ini, hutan rawa gambut ditargetkan menjadi area bisnis perkebunan sawit. Misalnya saja yang terjadi pada hutan gambut Rawa Tripa sedang mengalami perambahan meskipun terletak di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Sekalipun terletak di KEL namun tidak menjamin mendapatkan pengamanan yang layak. Kelemahan pengamanan mengakibatkan perusahaan yang mendapatkan izin konsesi mengambil keuntungan atas lahan tersebut. Meskipun dibeberapa area yang sudah mendapatkan izin konsesi belum ditanami kelapa sawit, namun pembukaan lahan terus berlangsung.

Terkait hal tersebut, WALHI Aceh menuntut pemerintah Aceh untuk menghentikan izin konsesi terhadap investor baru yang akan membuka perkebunan. Serta menuntut segera diadakannya pemeriksaan terhadap kinerja perusahaan yang telah mendapatkan izin sebelumnya. Selain itu, perlu dilakukan upaya pengembalian hak kepemilikan lahan masyarakat adat,  menghentikan sementara proses penebangan hutan, tidak memberikan izin baru, dan merevitalisasi hutan yang telah terdegradasi.

Menurut Yayasan Leuser Internasional dan Flora Fauna Indonesia, kerusakan hutan Aceh terjadi sejak tahun 2006-2012. Angka rata-rata setiap tahunnya mencapai 23,124,41 hektar. Hutan di Kota Subulussalam telah hancur sekitar 3,946 hektar, Kabupaten Nagan Raya 2,581,90 hektar, dan Kabupaten Gaayo Lues mencakup 2,064 hektar. Seluruh area tersebut merupakan kawasan hutan yang terletak di daerah otonom, yang merupakan kawasan yang dilindungi. Namun sayangnya, pemerintah daerah dengan mudahnya mengeluarkan izin.

“Jika kerusakan terus berlanjut maka akan berdampak pada bencana alam yang lebih besar dimasa akan datang. Bahkan, Badan PBB yang mengurusi program lingkungan (UNEP) mengatakan jika dalam lima belas tahun ke depan hutan Sumatera dan Kalimantan terus dirusak maka habitat Orang Utan akan punah,” ujar Deputi Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nizar Abdurrani, mengomentari proyeksi UNEP yang sangat mengkhawatirkan tersebut.

Selain itu, Deputi Direktur WALHI Aceh juga menekankan bahwa ada ketidakpastian definisi  pengelolaan hutan dalam berbagai peraturan. Misalnya melalui dokumen tertentu No.41/2009, peraturan pemerintah No.44/2004 dan SK Kementrian Kehutanan No. 32/2001 serta Peraturan Kementrian Kehutanan No.50/2009. Ke semua aturan tersebut menjelaskan tentang kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam mengembangkan kawasan hutan. Namun kenyataan di lapangan, ada banyak tumpang tindih aturan yang memberikan celah bagi pihak tertentu untuk melanggarnya.

Aktivis lingkungan lainnya, Dewa Gumay mengungkapkan bahwa adanya tumpang tindih wilayah penebangan kayu di Provinsi Aceh. Ini terjadi karena perbedaan sudut pandang antar kementrian kehutanan, kementrian pertanian, kementrian pertambangan dan kementrian lainnya. Berdasarkan asumsi, bagian kawasan hutan yang dimaksud terlihat berbeda secara faktual. Persoalan penebangan hutan, sepenuhnya tanggungjawab kementrian kehutanan selaku penanggungjawab keselamatan hutan. Kementrian pertambangan bertanggungjawab terhadap geologi kawasan pertambangan melalui pemetaan kawasan tambang dan pemukiman. Meskipun begitu, banyak perusahaan yang memperoleh izin dengan proses yang tidak jelas daan tumpang tindih tanpa proses pengecekan yang tuntas.

Terkait kasus hutan gambut Rawa Tripa yang melibatkan PT Kalista Alam selaku perusahaan yang telah mendapatkan izin membuka lahan perkebunan, berbagai instansi pemerintah yang terkait seperti kementrian perkebunan dan kementrian kehutanan, mempunyai pendapat yang berbeda satu sama lainnya. Menurut kementrian kehutanan, lahan konsesi tidak terletak dikawasan hutan, sementara itu, kementrian kehutanan menyebutkan bahwa lahan konsesi tersebut merupakan hutan konservasi. Peraturan yang tidak jelas antar pihak terkait ini menjadikan celah keuntungan bagi perusahaan untuk melnggar hukum.

Dari aspek ekonomi, degradasi hutan telah menyebabkan kerusakan sumber daya alam, termasuk kapasitas hutan sebagai habitat tanaman dan hewan. Hal tersebut secara langsung juga berimplikasi pada ekonomi masyarakat setempat yang mencari nafkah dari hasil hutan.

Meskipun, degradasi hutan yang telah rusak tidak bisa disebutkan secara resmi, namun dari assessment awal yang telah dilakukan dapat diperkirakan jumlah lahan dan hutan yang telah dirambah, penebangan kayu, restorasi hutan, infrastruktur dan berapa yang digunakan untuk wisata. Sebenarnya, ada biaya yang tak ternilai untuk semua degradasi hutan setiap tahunnya.

Ada beberapa tantangan bagi pemerintah Aceh sebagai daerah otonom dalam menghadapi persoalan ini. Tentu saja untuk pemanfaatan sumber daya alam yang berkeadilan dan berkelanjutan dibutuhkan perencanaan pembangunan yang terukur. Bukan hanya keuntungan sesaat dari investor, perlahan-lahan sumber daya alam akan rusak dan tercemar di lahan konsesi, akan memicu perubahan iklim serta konflik lahan yang tidak berkesudahan. Untuk itu Pemerintah Aceh harus meninjau ulang dan mempertimbangkan kembali kebijakan dan aturan  terkait pembangunan.

Dr. M. Nasir, dosen Fakultas Ilmu Ekonomi Lingkungan, Universitas Syiah Kuala Aceh menyebutkan bahwa investasi dibidang tananaman sedang tumbuh. Perhatian terhadap pertumbuhan investasi saja akan berakibat negatif terhadap lingkungan. Yang harus diperhatikan dalam pembangunan adalah adanya keseimbangan antara ekonomi dan lingkungan serta pengembangan ekonomi masyarakat dan kesejahteraan. Karena masyarakat setempat berdomisili dan bermata pencaharian dihutan setempat. Jika investasi tersebut membahayakan dan dapat merusak, maka secara langsung akan merusak ekonomi setempat.

Sayangnya, lahan Aceh yang subur, tempat dimana kerajaan nenek moyang pernah berdiri megah dan tempat mencari nafkah masyarakat Aceh, dihadapkan pada tantangan invasi besar-besaran bisnis kayu sebagaimana yang terjadi juga pada Negara-negara berkembang lainnya di dunia. Ditengah permintaan konsumen dan tidak adanya standar regulasi, lemahnya penegakan hukum, hutan dan lahan telah dirusak dan pemiliknya direlokasi, serta terjadinya persoalan social dan lingkungan. Secara khusus, hutn hujan tropis yang dibanggakan pemerintah Indonesia sebagai paru-paru dunia sedang menghadapi rakusnya investor kapitalis. [Ruayrin Pedsalabkaew]

Penulis, Ruayrin Pedsalabkaew, fellow pada Asian Public Intellectual (API), Reporter Deep South Watch yang telah melakukan penelitian tentang isu-isu perampasan lahan oleh perusahaan multinasional di Aceh: Dampaknya terhadap Hak Asasi Manusia dan Kearifan Lokal. Pendapat penulis tidak menggambarkan pandangan API Fellowships Program, The Nippon Foundation, the Coordinating Institution, dan/atau lembaga partner.

sumber: www.theglobejournal.com

Leave a Response