close
Staf YEL, T.Muhammad Zulfikar sedang memaparkan program YEL di Rawa Tripa | Foto: Ist

Banda Aceh – Program Tropical Forest Conservation Action for Sumatera (TFCA Sumatera) menyelenggarakan kegiatan pemaparan proyek perlindungan hutan Aceh, Kamis (19/7/2018) bertempat di Kyriad Hotel Banda Aceh. Kegiatan menghadirkan empat LSM lingkungan yang mendapat bantuan pendanaan dari TFCA Sumatera untuk mempresentasikan kegiatan mereka dalam melindungi hutan Aceh. TFCA sendiri adalah sebuah program kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat dimana dananya diambil dari pengalihan hutang Indonesia (debt Swap) kepada Amerika. Uang yang berasal dari pembayaran hutang ditampung dalam rekening trust fund kemudian disalurkan untuk pembiayaan perlindungan hutan. Program berjalan selama delapan tahun (2009-2020) dengan total dana USD 42,6 juta.

Keempat LSM tersebut adalah Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) yang mempresentasikan program mereka di hutan gambut Rawa Tripa, Yayasan Leuser Internasional (YLI) yang menjelaskan program mereka di Suaka Margasatwa Rawa Singkil, Forum Konservasi Leuser (FKL) yang mempresentasikan kegiatan mereka di Kawasan Ekosistem Leuser dan Conservation Response Unit (CRU) Aceh yang memaparkan program perlindungan gajah di Kawasan Ekosistem Leuser. Setiap lembaga memaparkan apa yang telah mereka laksanakan dalam proyek TFCA, capaian-capaian, tantangan dan rencana program ke depan.

Wakil dari YEL, T. Muhammad Zulfikar dalam pemaparannya menyampaikan pentingnya kawasan gambut Rawa Tripa yang terletak di Nagan Raya dan sebagian Aceh Barat Daya. Hutan ini, yang menjadi habitat Orangutan Sumatera mengalami kerusakan parah akibat dibuka untuk perkebunan kelapa sawit. Karena itu YEL mengadvokasi kawasan gambut ini menjadi kawasan lindung.

“Gambut harus diselamatkan karena sudah banyak yang mengalami perubahan tata guna lahan,”ujarnya. Isu Rawa Tripa sempat menjadi perhatian public pasca gugatan sejumlah LSM terhadap PT Kallista Alam yang dituduh membakar lahan dan membuka kebun illegal. Gugatan ini dimenangkan LSM lingkungan hingga MA, namun sayangnya eksekusi putusan MA tertunda akibat gugatan balik yang dilancarkan oleh PT Kallista Alam. Seluas 1.605 hektar bekas lahan milik perusahaan ini dikembali kepada fungsi semula namun sayangnya akibat pengelolaan yang tidak jelas kini sebagian lahannya jadi ajang perebutan.

Menurut Zulfikar isu gambut sangat penting untuk dibicarakan dan dicarikan solusinya. Apalagi pemerintah Aceh dimasa Gubernur Zaini Abdullah mengeluarkan Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) dari Qanun Tata Ruang Aceh. Kementerian LHK sudah memberikan rekomendasi agar KEL dimasukan kembali ke dalam Qanun RTRW Aceh.
Sekitar 13.000 hektar gambut di Rawa Tripa diperjuangkan menjadi kawasan lindung gambut. Sementara masih ada 3000-an hektar lahan gambut di Aceh Jaya yang belum tersentuh program advokasi. “Takutnya jika gambut Aceh Jaya tidak diadvokasi, gambut ini akan hilang sedikit-sedikit akibat perubahan lahan,”kata Zulfikar.

Zulfikar juga menegaskan pentingnya dibentuk badan yang khusus mengurusi masalah lahan gambut di Aceh. Jika di tingkat nasional ada Badan Restorasi Gambut, maka di Aceh perlu bentuk lembaga yang sejenis.

Selain program kehutanan, YEL juga memberikan bantuan kepada masyarakat sekitar hutan Rawa Tripa. Bantuan berupa keterampilan membuat pupuk, pemberian bantuan bibit tanaman dan ikan. Ini dilakukan agar kesejahteraan masyarakat sekitar dapat meningkat.

Sementara itu mewakili dari YLI, Nijar Tarigan menampilkan kegiatan yang mereka lakukan di suaka marga satwa Rawa Singkil. Ia menyebutkan Suaka Margasatwa Rawa Singkil seluas 102.500 ha yang berada di dalam KEL merupakan salah satu hutan rawa gambut yang masih tersisa di dunia yang perlu dipertahankan. Kawasan hutan ini rawan mengalami kerusakan dan membutuhkan perlindungan secara berkelanjutan, juga menjadi habitat banyak mamalia, tumbuhan, burung, spesies ikan dan banyak jenis reptil yang langka dan terancam, serta penting untuk memelihara berbagai jasa-jasa lingkungan.

Tampil mewakili CRU Aceh adalah Wahdi Azmi. Lembaga ini mendapat bantuan dana dari program TFCA spesies untuk khusus menangani gajah. Diantara program CRU Aceh yang menonjol adalah memasang Collar GPS pada gajah untuk mengetahui pergerakan gajah dan membangun barrier gajah dengan memadukan antara artificial barrier (barrier buatan manusia) dengan natural barrier (barrier alami) agar gajah liar tidak masuk pemukiman penduduk yang sering menimbulkan konflik.

Wahdi menyebutkan bahwa habitat gajah di Aceh masih mencukupi karena hutan Aceh masih relative luas. Hal ini berbeda dengan hutan di Sumatera lainnya yang luasnya semakin menyusut. Aceh mempunyai kesempatan yang bagus untuk menjaga kehidupan gajah yang tersebar hampir di seluruh daerah Aceh. Hanya saja gajah Aceh tidak mendiami daerah konservasi sendiri atau suaka marga satwa tapi tinggal dalam hutan-hutan yang pengelolaannya dibawah pemerintah Aceh. CRU Aceh akan memperjuangkan berdirinya suaka margasatwa (sanctuary) yang menjadi tempat berlindung hewan-hewan liar. CRU Aceh sendiri terpisah secara struktural dengan CRU-CRU lain yang berada di bawah BKSDA.

Topografi hutan Aceh yang ekstrim, tebing-tebing hutan yang curam menjadi natural barrier yang bagus bagi gajah. Barrier buatan sendiri tidak akan efektif bila tidak dikelola dengan benar. Perpaduan kedua barrier ini menjadikannya sebagai barrier yang efektif dan efisien. Saat ini terdapat 70-80 ekor gajah kawasan hutan Ulu Masen.

FKL lebih banyak mempresentasikan program patroli mereka dimana mereka sangat sering menemukan jerat hewan liar dan perambahan liar di kawasan KEL. Patroli rutin mereka laksanakan untuk mencegah perburuan hewan liar. Tak kurang dari ribuan jerat berbagai ukuran untuk berbagai macam hewan liat telah berhasil mereka sita. Selama berpatroli mereka ditemani oleh petugas dari BKSDA yang memang secara UU memiliki kewenangan khusus beroperasi dalam kawasan lindung.

Dana Hibah TFCA untuk Aceh
Selama lima siklus dan off cycle program TFCA, banyak lembaga lingkungan yang melaksanakan konservasi di Aceh dengan bantuan dana TFCA. Berikut daftar lembaga yang mendapat pendanaan untuk bekerja di propinsi Aceh:
1. Yayasan Leuser International
Nama Proyek: Pengamanan Kawasan Strategis Aceh Selatan – Singkil bagi Konservasi yang Berbasis Masyarakat Secara Berkelanjutan di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Bentang Alam: Taman Nasional Batang Gadis, Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser,
Durasi Hibah: Maret 2011-Januari 2017
Bantuan dana : Rp. 11.181.842.059

2. Yayasan Ekosistem Lestari
Nama proyek : Penyelamatan Ekosistem Hutan Rawa Gambut Tripa-Babahrot Melalui Upaya Penetapan Kawasan Lindung di Luar Kawasan Hutan dan Restorasi dengan Pendekatan Multi Pihak
Bentang Alam: Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser,
Durasi Hibah: Mei 2012-April 2017
Bantuan dana: Rp. 6.548.795.000

3. Konsorsium Jantho Lestari
Nama proyek : Kegiatan Konservasi Hutan Tropis di Cagar Alam Jantho Kabupaten Aceh Besar, Pidie dan sekitarnya untuk Perbaikan Fungsi Kawasan Konservasi, Keanekaragaman Hayati dan Peningkatan Taraf Hidup Masyarakat Sekitar Hutan
Anggota Konsorsium: 1. Yayasan Pemerhati Alam Dunia Hijau Indonesia (PADHI) 2. WWF-Indonesia
Bentang Alam: Hutan Seulawah – Ulu Masen,
Durasi Hibah: Juni 2014 – Mei 2017
Bantuan dana: Rp. 4.620.828.000

4. Konsorsium Suar Galang Keadilan
Nama proyek: Penguatan Kapasitas Penegak Hukum Dalam Penanganan Kasus Kejahatan Terhadap Satwa Liar yang Dilindungi di Aceh
Bentang Alam: Hutan Seulawah – Ulu Masen,
Durasi Hibah: Oktober 2016 – April 2017
Bantuan dana: Rp. 1.000.000.000

5. Konsorsium HAKA
Nama proyek: Konservasi Badak Sumatera Di Kawasan Ekosistem Leuser Melalui Peningkatan Peran Pemerintah Daerah dan Masyarakat Lokal
Anggota Konsorsium: 1. Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HaKA) 2. Forum Konservasi Leuser (FKL) 3. Forum Masyarakat Leuser Aceh Tenggara (FORMALAT)
Bentang Alam: Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser,
Durasi Hibah: November 2015-Oktober 2016
Bantuan dana: Rp. 1.000.000.000

(Sumber: tfcasumatera.org)

 

 

Tags : gajahrawa singkilrawa tripaTFCAYELYLI

Leave a Response