close
Bom napalm saat perang Vietnam | Foto: AP

Faktor korupsi dan konflik bersenjata adalah dua penyebab utama diantara berbagai sumber penyebab kerusakan lingkungan hidup di Indonesia dan Aceh khususnya. Dua faktor ini berperan signifikan dalam proses penghancuran struktur lingkungan. Dampak buruk yang ditimbulkan pun mengancam langsung hajat kehidupan rakyat bawah di pedesaan.

Korupsi adalah suatu tindakan penyalahgunaan jabatan publik, atau sumber daya negara untuk tujuan keuntungan pribadi (Gray dan Kaufman, 1992). Dari definisi tersebut sudah menggambarkan betapa bahayanya tindakan korupsi terhadap masyarakat luas. Alasan ini pula yang menempatkan korupsi identik dengan kejahatan kemanusiaan (human crime). Di Indonesia dan khususnya Aceh perilaku korupsi bagaikan virus yang mematikan, penyebarannya sangat cepat dan merambah semua lapisan birokrasi pemerintah maupun sektor swasta.

Tidak mengherankan jika corruption perception index (CPI), Indonesia selalu bertahan di posisi 10 besar negara-negara terkorup di dunia dan Aceh pun pernah masuk provinsi terkorup. Suatu prestasi yang sangat tidak membanggakan bagi bangsa yang telah merdeka lebih setengah abad. Namun sekarang rakyatnya justru dijajah oleh penguasa sebangsa dalam berbagai pola tindak korupsi.

Salah satu bentuk korupsi yang paling berbahaya tapi selama ini minim sorotan publik adalah korupsi lingkungan atau kejahatan lingkungan (environmental crime). Karena berdampak langsung pada proses memiskinkan rakyat banyak, akibat hilangnnya akses rakyat atas sumber-sumber kehidupan pokok. Terutama hilangnnya jaminan hak-hak dasar hidup rakyat di pedesaan, akibat perusakan dan penghancuran lingkungan hidup yang sistematis dan disengaja. Hasil akhir berujung pada munculnya bencana ekologis termasuk kolapsnya pranata (sosial dan lingkungan) kehidupan masyarakat desa.

Praktek korupsi lingkungan telah menimbulkan pengurusan sumberdaya alam menjadi tidak terkendali, sangat eksploitatif tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan, menyebabkan merosotnya kondisi lingkungan hidup yang cukup parah bahkan di beberapa tempat sudah melebihi ambang batas yang menyebabkan terjadinya multi bencana ekologis.

Pemberantasan korupsi memang tidak mudah, dibutuhkan suatu komitmen politik penguasa dalam bentuk kebijakan hukum yang kuat dan tidak diskriminatif. Faktor kesadaran warga masyarakat, khususnya kekuatan sipil pro lingkungan. Dalam hal ini, intervensi pada level kelembagaan sangat penting.

Aktor-aktor utama pelaku korupsi lingkungan melibatkan para kepala daerah (gubernur/bupati/walikota), dalam wujud KKN dengan pengusaha HPH dan pertambangan. Modus KKN yang paling sering adalah penerbitan SK izin usaha di kawasan hutan lindung. Misalnya, izin usaha perkebunan, HPH dan pertambangan. Menurut Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Kementerian Kehutanan, Darori, saat ini sebanyak 14 bupati/walikota diduga melakukan korupsi lingkungan (Kompas,17 November 2012).

Di Aceh pun setali tiga uang, arus investasi tambang di Aceh meningkat pesat. Pada tahun 2002 hanya terdapat satu perusahaan tambang, tapi di tahun 2011 meningkat drastis menjadi 120 perusahaan.

Praktek korupsi telah memuluskan berbagai undang-undang dan kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan keselamatan hidup warga dan lingkungan hidup. Korupsi kebijakan, dimana berbagai undang-undang dan kebijakan yang ada dibuat semata-mata untuk kepentingan sekelompok orang yaitu para elit kekuasaan dan pemilik modal. Padahal hakekat suatu undang-undang dibuat adalah untuk kepentingan seluruh rakyat.

Sebagai contoh, lahirnya berbagai undang-undang sektoral yang berhubungan dengan pengurusan alam seperti : 1) UU No. 22 tahun 2001 tentang Migas; 2) UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya Air; 3) UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan; 4) UU No. 19 tahun 2004 tentang Kehutanan; 5) UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan; 6) UU No. 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal; 7) UU No. 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang; 8) UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; dan 9) UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.

Semua undang-undang tersebut mendorong pemerintah melakukan privatisasi dan liberalisasi. Sumber-sumber kehidupan dan ekonomi rakyat diserahkan kepada korporasi dan mekanisme pasar. Hal ini sesungguhnya telah melanggar amanah UUD 1945 pasal 33 ayat 2: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Dan ayat 3: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Perang Perusak Lingkungan
“Warfare is inherently destructive of sustainable development. States shall therefore respect international law providing protection for the environment in times of armed conflict and cooperate in its further development, as necessary.” – 1992 Rio Declaration

(Perang pada hakekatnya penghancuran atas pembangunan berkelanjutan. Karenanya dalam masa perang negara-negara harus menghormati undang-undang internasional tentang perlindungan lingkungan dan perlu bekerjasama dalam membangun lingkungan hidup -Deklarasi Rio, 1992)

Deklarasi tersebut sangat jelas merupakan manifestasi kekuatiran kolektif universal atas dampak buruk yang diakibatkan oleh perang terhadap lingkungan. Kehancuran lingkungan hidup yang ditimbulkan perang berskala masif dan merusak struktur ekosistem hutan maupun laut.

Sebagai contoh, Perang Teluk 1990-1991. Dalam upaya menghambat invasi laut pasukan multinasional pimpinan AS, tentara Irak melakukan strategi bumi hangus dengan meledakkan ratusan ladang minyak di lepas pantai. Akibatnya, laut dan pantai Teluk Persia dan Laut Arab mengalami polusi hebat (hyper pollution), dibanjiri 6-8 juta barrel tumpahan minyak mentah. Sebanyak 15.000-30.000 biota laut rusak, seperti mangrove dan terumbu karang (UNEP, 2002).

Hal yang sama terjadi ketika konflik Kosovo tahun 1999, militer Serbia secara sistematis menghancurkan jaringan penampungan air bersih di kota-kota dan desa Kosovo. Malapetaka lingkungan terbesar dalam sejarah akibat konflik yakni saat Perang Vietnam tahun 1960-an, tentara Amerika dalam usaha menghancurkan kantong-kantong pejuang komunis Vietcong di hutan belantara. Amerika menjatuhkan ratusan ton bom kimia, populer dengan nama agent orange yang membumihanguskan 325.000 hektar hutan Vietnam (McNeely, 2000). Dampak kerusakan ekologis tersebut hingga kini kondisinya masih belum bisa dikonservasi seperti sediakala.

Dampak buruk lainnya yang ditimbulkan perang terhadap lingkungan, adalah  mempersempit ruang gerak operasional petugas penjaga hutan dan aktivis advokasi konsevasi lingkungan yang bekerja di wilayah pertempuran. Seperti yang terjadi dalam perang di Sierra Leon di Afika pada tahun 1990. Banyak polisi hutan yang bekerja di menjaga kawasan hutan lindung, selain berbulan-bulan tidak mendapat gaji, juga tidak  dapat berbuat banyak atas tindakan korupsi lingkungan.

Pemodal kapitalis berkolaborasi dengan tentara pemerintah dan gerombolan gerilyawan, dalam kegiatan illegal logging dan pertambangan liar (Squire 2001). Baik pemerintah dan gerilyawan pemberontak melakukan korupsi lingkungan ini dimotivasi kebutuhan dana untuk membiayai perang khususnya untuk pembelian senjata.

Program-program pembangunan lingkungan hidup pemerintah pun terhenti. Ini akibat dana-dana pemerintah dialihkan untuk pembiayaan perang. Sebagian penduduk menjadi pengungsi dengan kondisi sandang pangan, kesehatan, dan perumahan rakyat yang buruk. Bahkan setelah perang usai program lingkungan masih terabaikan, karena semua program pemerintah difokuskan pada pembangunan infrastruktur fisik yang hancur akibat perang.

Dari bentangan peristiwa empiris di atas, memperlihatkan betapa korupsi lingkungan dan konflik bersenjata sangat membahayakan keselamatan lingkungan dan kelangsungan hidup manusia. Karenanya memerangi korupsi dan mencegah konflik bersenjata adalah misi kemanusiaan universal demi keselamatan anak cucu generasi pewaris bumi ini dimasa depan.[sahari gani]

Tags : hutanirwandilingkunganmoratorium

Leave a Response