close
Ilustrasi tambang batubara | Foto: int

Pemberlakuan Undang-undang Mineral dan Batubara (Minerba) No. 4 Tahun 2009 beberapa waktu lalu, ternyata menimbulkan berbagai polemik. Sejak tanggal 12 Januari 2014, perusahaan tambang dilarang melakukan ekspor barang tambang mentah. Dalam regulasi tersebut disebutkan bahwa perusahaan tambang wajib membangun pabrik pengolahan dan pemurnian barang tambang (smelter). Beberapa bahan tambang tersebut diantaranya emas, tembaga, bijih besi, nikel, batu bara dan bauksit.

Ketua Lembaga Kajian Lingkungan Hidup (LKLH) Aceh, Teuku Muhammad Zulfikar, dalam siaran persnya, Jumat (17 Januari 2014) mengatakan kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendesak Pemerintah agar konsisten melaksanakan UU Minerba tersebut. Artinya, sejak 12 Januari 2014, kegiatan ekspor mineral mentah tidak akan diizinkan lagi. ” Perusahaan-perusahaan yang belum melakukan pengolahan dan pemurnian dilarang mengekspor mineral  mentah,” ujar T. Muhammad Zulfikar.

Seiring dengan pemberlakuan UU Minerba, DPR Aceh pada tanggal 27 Desember 2013 yang lalu juga telah mensahkan Peraturan Daerah/Qanun tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batu bara. Dalam qanun tersebut tercantum agar setiap perusahaan tambang agar memberikan dana kompensasi sebesar 6,6 persen dari biaya produksinya. Besaran dana kompensasi ini kemudian menjadi sebuah kebijakan yang kontroversial antara perusahaan tambang dan Pemerintah Aceh.

Padahal sebelum qanun tersebut disahkan besaran dana kompensasi yang diajukan saat itu justru lumayan besar, yakni mencapai 25  persen. Namun keberatan perusahaan pertambangan saat ini dikabulkan oleh Pemerintah Aceh dengan menurunkannya hingga mencapai 6,6 persen saja.

Salah satu perusahaan pertambangan yang keberatan dengan aturan tersebut adalah PT. Mifa Bersaudara yang mengelola usaha pertambangan Batu bara di Kabupaten Aceh Barat. Bahkan perusahaan tersebut mengancam akan angkat kaki dari Aceh dan menghentikan produksinya bila Pemerintah Aceh tidak melakukan perubahan atas qanun tersebut.

Jika dilihat dari aspek tata kelola, justru pengelolaan pertambangan di Aceh saat ini masih sangat tertutup dan kabur. Pemerintah Aceh tidak melaksanakan keterbukaan informasi publik yang baik dalam pengelolaan tambang di Aceh.  Selama ini Pemerintah Aceh belum mampu mensajikan informasi kepada publik mengenai hasil pertambangan.

Saat ini lebih dari 144 (data Distamben Aceh, 2013) perusahaan yang memiliki Izin Usaha Pertambangan di Aceh yang melakukan eksplorasi maupun eksploitasi yang tersebar di wilayah Aceh. Namun dari sekian banyak perusahaan yang beroperasi, sama sekali belum tampak upaya untuk mensejahterakan masyarakat, terutama yang berdomisili di sekitar wilayah pertambangan, bahkan sebaliknya konflik sosial antara masyarakat dengan perusahaan maupun antara masyarakat yang menolak dan menerima justru yang lebih mencuat.

Bahkan di beberapa lokasi sudah mulai terjadi berbagai kerusakan lingkungan, sebut saja mulai dari pencemaran udara, kerusakan sarana tranportasi/jalan yang dilalui masyarakat, kerusakan daerah aliran sungai, pencemaran sumber air, kerusakan hutan. Dan berbagai kerusakan lingkungan lainnya.

Selama ini perusahaan tambang yang beroperasi di Aceh sedikit sekali merekrut putra daerah sebagai pekerjanya. Masyarakat tidak ubahnya seperti penonton dan pemantau saja, istilahnya dalam bahasa Aceh “Buya Krueng teudong-dong, buya tamoeng meuraseuki” (orang setempat hanya mampu duduk termangu saja sementara orang yang datang dari luar yang dapat rezeki).

Belum lagi dampak lingkungan yang akan dirasakan oleh masyarakat Aceh yang tinggal di daerah yang rawan berbagai bencana tersebut. Padahal apabila hasil tambang di Aceh tidak dieksploitasi sekalipun, rakyat Aceh tidak akan lapar, karena masih banyak potensi sumber daya alam Aceh yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang belum optimal dimanfaatkan, misalnya sektor perikanan dan kelautan, sektor peternakan, sektor pertanian dan perkebunan, sektor jasa dan pariwisata, justru seharusnya sektor-sektor ini yang perlu segera dikembangkan dan dioptimalkan potensi kelolanya baik oleh Pemerintah, dunia usaha  maupun masyarakat.

Untuk itu, menyahuti berbagai persoalan di Aceh terkait pengelolaan pertambangan tersebut, Lembaga Kajian Lingkungan Hidup (LKLH) Aceh mendesak Gubernur Aceh untuk segera mengeluarkan Instruksi atau Peraturan Gubernur tentang Moratorium Tambang (Penghentian Sementara Pemberian Izin Usaha Pertambangan) di Aceh.

Hal ini sesuai dengan komitmen dan apa yang pernah diucapkann Gubernur Aceh dr. Zaini Abdullah pada saat menerima kunjungan Duta Besar China untuk Indonesia Liu Jianchao di Banda Aceh beberapa waktu lalu. Pada saat itu Gubernur Aceh mengatakan bahwa Pemerintah Provinsi Aceh memutuskan untuk segera memberlakukan moratorium pertambangan.

Keputusan ini merupakan pelaksanaan dari komitmen Pemerintah Provinsi Aceh untuk menjaga keseimbangan dan kelestarian lingkungan hidup di Aceh. Dan Moratorium Tambang juga bertujuan untuk menjaga cadangan alam seperti emas dan bijih besi serta hasil-hasil tambang lainnya sehingga masih dapat dimanfaatkan oleh generasi mendatang. []

 

Tags : besibijih besitambang

Leave a Response