close
Kebijakan Lingkungan

Lokakarya SIEJ Aceh: Saksi Ahli dari Institusi yang Sama Membingungkan

Pemateri pada Lokakarya SIEJ di Banda Aceh, Wahidin SH, MH (kiri), Dr. Ir. Syahrul M.Sc (YLI) dan M. Ali Akbar SH, MH (kanan) | Foto: Yusriadi

The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) bekerja sama dengan Chemonic-USAID menyelenggarakan Lokakarya Penegakan Hukum dalam Kasus Keanekaragaman Hayati, di Banda Aceh, Kamis (17/4/2014). Dalam acara yang diikuti oleh dua puluhan peserta yang terdiri dari jurnalis dan aktivitas lingkungan tersebut, tiga pemateri memberikan presentasi tentang kondisi biodiversity di Aceh secara umum.

Direktur SIEJ, IGG Maha Adi mengatakan kegiatan ini bertujuan memberikann informasi kepada para jurnalis/editor tentang kinerja penegakan hukum untuk kasus-kasus biodiversity seperti perdagangan satwa dan tumbuhan yang dilindungi, pembalakan liar, pembakaran hutan dan lahan, dan kasus lain yang berkaitan.

Ketua Pelaksana Harian Yayasan Leuser Internasional (YLI) Dr. Ir. Syahrul, M.Sc, sebagai pemateri pertama menyampaikan perihal kerusakan keanekaragaman hayati yang mereka temukan di wilayah kerja YLI, Aceh Tenggara, Aceh Selatan dan Subulussalam. Syahrul memperlihatkan bagaimana perangkap-perangkap hewan liar dipasang di hutan, kamp-kamp pemburu liar di hutan, perdagangan hewan liar, aktivitas ilegal logging dan berbagai kejahatan lingkungan lainnya.

Selain itu YLI juga memberikan rekomendasi antara lain meningkatkan komitmen penegak hukum, kerja sama aksi ditingkat aktivis, jurnalis dan stakeholder lainnya. Juga rekomendasi memutuskan mata rantai aktivitas ilegal, mengikutsertakan masyarakat adat dan hukum adat, sosialisasi dan penyuluhan hukum dan yang tak kalah pentingnya peningkatan ekonomi masyarakat sekitar hutan.

Pemateri kedua, M. Ali Akbar, SH, MH, yang menjabat Ketua Satuan Khusus (Kasatsus) Tipikor Kejaksaan Tinggi Aceh, memaparkan tentang kondisi penyidikan terhadap kejahatan lingkungan. Ia banyak menyinggung tentang perundangan yang terkait, kasus pembakaran lahan seperti kasus Rawa Tripa, modus operandi pelanggaran hukum lingkungan, minimnya pengetahuan masyarakat terhadap hukum lingkungan dan minimnya Jaksa serta hakim yang bersertifikasi lingkungan dan peran korporasi sebagai pelaku kejahatan lingkungan.

M. Ali Akbar menyebutkan dalam persidangan pembakaran lahan perlu menghadirkan saksi ahli. Saksi ahli dihadirkan agar daya “cengkeram” penuntut semakin kuat. Namun ada pihak lawan yang menghadirkan saksi ahli dari institusi yang sama, dengan keahlian yang sama, alat bukti yang sama namun dengan hasil yang berbeda. Hal ini dikhawatirkannya bisa mempengaruhi keyakinan hakim.

“ Kasus pembakaran Rawa Tripa, saksi ahli jaksa dan tergugat sama-sama dari IPB, saksi ahli tergugat malah membawa sprint (surat perintah-red) dari rektornya,” kata M. Ali Akbar. Padahal kejaksaan sendiri adalah institusi negara yang notabene juga sama dengan IPB yang merupakan institusi negara juga. Ini seperti pemerintah “lawan” pemerintah.

“Ini menjadi kendala, kita akan membahasnya lebih lanjut untuk kepentingan di masa mendatang,” ujarnya. Sebagai informasi, kasus perdata pembakaran lahan Rawa Tripa dengan tergugat PT Kalista Alam telah diputuskan PN Meulaboh dengan memberikan denda kepada PT Kalista sekitar Rp.300 miliar.

Sementara pemateri terakhir dari Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Wahidin, SH,MH, mengupas tentang bagaimana hakim mendapatkan sertifikasi hakim lingkungan, undang-undang lingkungan dan memutar film pendek tentang hutan.

Ia mengatakan walau kasus lingkungan, namun bisa tersangka bisa digugat dari berbagai peraturan perundangan yang lain. Misalnya saja dari pajak perusahaan, perizinan, UU Perkebunan dan sebagainya.[]

Tags : jurnalislingkunganSIEJ