close
Kebijakan Lingkungan

Melihat Kualitas Bangunan di Aceh Pasca 10 Tahun Tsunami

Halaman Hotel Medan di Banda Aceh usai dihantam tsunami 26 Desember 2004 lalu | Foto: int

Lebih kurang satu bulan lagi, masyarakat Aceh akan memperingati peristiwa 10 tahun bencana dahsyat dalam sejarah manusia yaitu gempa bumi dan tsunami, tanggal 26 Desember. Bencana dahsyat ini merenggut sekitar 200 ribu jiwa manusia dan meluluhlantakan berbagai bangunan di Aceh dan Nias. Banyak hikmah yang bisa dipetik dari bencana ini sehingga bisa dijadikan pelajaran untuk masa depan. Salah satu pelajaran penting adalah bagaimana mendirikan bangunan yang tahan gempa sehingga andal dalam meredam resiko kehilangan harta benda.

Saya adalah seorang penduduk Banda Aceh, pernah mengalami dahsyatnya bencana tersebut dan kini tinggal di rumah bantuan. Rumah bantuan itu kecil tapi cukup nyaman untuk ditinggali bersama keluarga. Saat berjalan-jalan di kota, saya sulit membayangkan bahwa Banda Aceh dulu merupakan kawasan terparah kerusakannya akibat bencana tsunami karena jarang ditemukan sisa-sisanya. Hanya di beberapa tempat pemerintah dan masyarakat mendirikan monumen untuk mengenang bencana ie Beuna (bahasa Aceh untuk tsunami) pernah terjadi di Aceh.

Bangunan-bangunan kini tegak kokoh dan nampak indah dipandang mata. Sebagian besar wilayah dalam Banda Aceh kini sudah ditata lebih rapi, teratur dan dilengkapi dengan berbagai petunjuk jalan. Namun dalam benak masih menggelayut pertanyaan besar, apakah jika bencana serupa terulang, akankah kota ini mampu bertahan dari ayunan gempa dan terjangan tsunami. Sudah cukup kuatkah bangunan-bangunan di Banda Aceh atau Aceh secara umum?

Saat bencana gempa dan tsunami lalu, banyak infrastruktur yang hancur seperti jembatan, pelabuhan, gedung serta bangunan perumahan. Bangunan-bangunan yang roboh saat terjadi gempa didominasi oleh bangunan modern atau semi modern yang menggunakan beton. Hal ini bisa disebabkan oleh berbagai hal. Seorang peneliti ITB Bandung yang sempat turun ke lokasi gempa, Biemo W. Soemardi, menyimpulkan bahwa secara umum penyebab kegagalan bangunan menahan gempa bersumber pada kesalahan atau kecerobohan dalam perancangan, material konstruksi, pelaksanaan konstruksi ataupun kesalahan dalam pemanfaatan bangunan.

Ezri Hayat, putra Aceh, yang sedang menempuh pendidikan doktoral bidang Disaster Resilience Centre, university of Salford, ketika ditanya apakah kondisi bangunan di Aceh pasca 10 tahun tsunami sudah memenuhi syarat, sulit menjawab.

“Wah.. sulit dijawab bang. Yang pertama karena kaidah rumah tahan gempa itu sulit buat dilihat sepintas lalu. Yang kedua sulit juga untuk me-generalisir nya,” ucapnya. Yang jelas permasalahan utama di pekerjaan bangunan adalah kualitas pengerjaan, sambungnya.

Seorang ahli teknik sipil dan juga berkecimpung dalam pembangunan perumahan, Ir. Faisal Ali, mengatakan di Aceh bangunan sebelum dan sesudah tsunami tidak banyak mengalami perubahan dalam hal konstruksi dan material. Faisal yang merupakan alumni Universitas Syiah Kuala menyebutkan bangunan di Aceh sebelum tsunami pun sudah dibangun tahan gempa.

“Lihat saja kemarin waktu gempa 2004, tidak banyak rumah yang roboh kan. Kebanyakan rumah sudah tahan gempa saat itu,” ujarnya.

Memang apa dikatakannya ada benarnya. Bangunan yang banyak runtuh saat gempa berkekuatan 9 SR mengguncang Aceh adalah pertokoan, termasuk pusat perbelanjaan terbesar di Banda Aceh saat itu. Bangunan kemudian baru hancur lebur karena disapu gelombang tsunami yang datang kemudian.

Ezri Hayat mengomentari pemahaman masyarakat tentang besaran gempa yang biasa diukur dengan Skala Richter atau SR. Menurutnya ini kurang tepat karena SR mengukur kekuatan gempa di pusatnya. “Sering dalam diskusi dengan masyarakat awam timbul percakapan yang kira kira ‘bangunan ini tahan buat sekian skala richter’, atau ‘di pusat nya gempa tadi sekitar 7 SR, tapi disini mungkin cuma 5 atau 6 SR,” ujarnya.

Yang lebih tepat adalah pengukuran memakai skala yang menunjukkan goncangan di suatu lokasi tertentu namanya Modified Mercalli Intensity atau MMI. “ Jadi suatu gempa mempunyai satu nilai SR yang tetap, tapi nilai MMI nya berbeda beda tergantung lokasi. Pasti SR di pusat sama namun MMI berbeda tergantung lokasinya,” jelas Ezri.

“Tsunami yang banyak membuat hancur bangunan karena gelombangnya turut membawa puing-puing reruntuhan. Puing-puing ini kemudian menghantam lagi bangunan yang lama kelamaan energinya makin besar karena makin banyak puing dibawanya,” ujar Faisal Ali.

Kualitas bangunan perumahan yang dibangunnya sejak sebelum dan sesudah tsunami tidak banyak berubah selain perubahan yang mengikuti trend. “ Kami masih menggunakan material yang sama kualitasnya, tidak ada material yang khusus. Paling modelnya yang disesuaikan dengan trend,” ucapnya.

Filosofi bangunan tahan gempa yaitu bila terjadi gempa ringan, bangunan tidak boleh mengalami kerusakan baik pada komponen non-struktural. Misalnya dinding retak, genting dan langit-langit jatuh, kaca pecah dan sebagainya. Begitu juga komponen strukturalnya tidak boleh rusak seperti kolom dan balok retak, pondasi amblas, dan lainnya.

Namun bila terjadi gempa sedang, bangunan bisa saja mengalami kerusakan pada komponen non-strukturalnya akan tetapi komponen struktural tidak boleh rusak. Sedangkan filosofi terakhir bila gempa besar, bangunan boleh mengalami kerusakan baik pada komponen non-struktural maupun komponen strukturalnya, akan tetapi jiwa penghuni bangunan tetap selamat. Artinya sebelum bangunan runtuh masih cukup waktu bagi penghuni bangunan untuk keluar dan mengungsi ke tempat aman.

Kualitas material merupakan unsur terpenting dalam konstruksi. Jika kualitas material yang digunakan jelek, maka hasilnya tidak bisa menjamin bangunan tahan gempa. Kualitas material ini dipengaruhi oleh berbagai hal pada berbagai tahapan. Kualitas material ditentukan sejak pengadaan, pengangkutan, penyimpanan sampai pengolahannya. Jangan sampai material yang sudah bagus kemudian tercampur dengan material buruk. Ini seperti mencampur pertamax dengan minyak tanah, bisa hancur jadinya.

Waktu telah membuktikan ucapan Faisal tersebut. Pasca gempa 2004, gempa-gempa susulan tak terhitung banyaknya terjadi di Aceh. Bahkan ada dua gempa kembar, karena terjadi dalam selang waktu berdekatan dengan kekuatan yang nyaris sama. Gempa terjadi hari Rabu 11 April 2012 sore, dimana gempa pertama terjadi pada pukul 15.38 WIB dengan kekuatan 8,5 skala Richter. Adapun gempa kedua terjadi pada pukul 17.43 WIB dengan kekuatan 8,1 skala Richter. Penulis yang saat itu berada di Banda Aceh, tidak menjumpai kerusakan yang signifikan akibat dua gempa tersebut. Ini paling tidak menandakan apa yang disampaikan Faisal ada benarnya.

Pasca gempa 2004 memang ada sebagian warga menjadi lebih “cerewet” alias mengajukan berbagai kriteria memilih rumah dan bangunan. Mereka terutama memprioritaskan lokasi bangunan tidak berada di wilayah bekas dampak tsunami. Namun hal ini tidak sepenuhnya dipegang erat masyarakat. Menurut Faisal, para calon pembeli rumah tetap berpegangan sesuai dengan kepentingannya masing-masing.

“Lokasi, kualitas bangunan dan harga menjadi pertimbangan utama menempati rumah. Ada yang pilih lokasi jauh dari bekas daerah tsunami, ada yang ingin dekat tempat kerja, dekat sama tempat saudara dan sebagainya,” katanya. Sedangkan bagi yang ingin investasi maka pertimbangannya lain pula. Investor memilih lokasi yang paling cepat naik harganya dan menguntungkan.

Pasca bencana tsunami, bantuan mengalir ke Aceh bagaikan air bah. Rumah, jembatan, gedung dan berbagai infrastruktur dibangun baik oleh pemerintah maupun pihak yang populer di sebut NGO (Non Govermental Organization). Lantas apakah dengan uang yang melimpah tersebut kualitas bangunan menjadi lebih baik?

Seorang warga Banda Aceh yang kini menempati rumah bantuan yang dekat pantai, Zakia Najdi, mengatakan bawah rumah yang mereka tempati kualitas betonnya lumayan baik. “ Ga ada retak-retak dindingnya kayak bantuan lain. Padahal sudah beberapa kali gempa umurnya hampir sepuluh tahun juga,” ucapnya. Zakia tidak merasa khawatir ketika ia berada dalam rumah jika gempa melanda Aceh karena yakin dengan kualitasnya. Ia menerima bantuan dari sebuah NGO asing yang sangat teliti mengawasi pembangunan rumah bantuan. Zakia menyampaikan jika ada rumah yang tidak sesuai spesifikasi maka akan dibongkar kembali oleh pengawas bangunan NGO tersebut. Namun sayangnya tidak semua rumah bantuan seperti itu.

Zakia melihat ada juga rumah bantuan milik tetangga disekitar rumahnya di daerah Peukan Bada Aceh Besar, yang berasal dari lembaga lain mempunyai kualitas buruk. Dindingnya retak, kayunya melengkung bahkan ada yang atapnya copot dihempas angin kencang. Namun Zakia juga mengakui bahwa rumahnya juga masih jauh dari sempurna. Bagian rumahnya yang terbuat dari kayu kini banyak yang rusak.

“ Kayunya bisa dibilang kayu nomor 3, udah dimakan rayap, kusen jendela pun melengkung,” tambahnya. Rumah yang ditempatinya berukuran 36 meter persegi, tidak memiliki ruang dapur dan kamar mandinya di luar.

Penataan kampung tempat tinggalnya pun sudah lumayan bagus dibanding sebelum tsunami. Kini banyak rambu-rambu petunjuk arah evakuasi jika terjadi bencana. “ Kalau dulu, pas ada kejadian kita tidak tahu lari kemana. Sekarang sudah ada penunjuk arah jadi bisa cepat larinya,” ucapnya.

Pemerintah pasca kejadian gempa dan tsunami tahun 2004 lalu menetapkan banyak persyaratan dalam mendirikan bangunan. Mulai dari persyaratan lokasi hingga material bangunan yang tercantum dalam cetak biru pembangunan (blue print) Aceh-Nias. Salah satu syarat yang menonjol adalah larangan mendirikan rumah dalam jarak 200 meter dari bibir pantai. Hal ini untuk mencegah rumah tersebut dari hantaman gelombang laut yang pada waktu-waktu tertentu sangat ganas menghantam daratan.

Sayangnya masih banyak masyarakat tak mematuhinya. Mereka mendirikan bangunan dalam radius larangan tersebut malah disebagian daerah, pemerintah setempat juga ikut-ikutan mendirikan bangunan dalam kawasan berbahaya. Ini menjadi PR pemerintah untuk terus mengawasi pembangunan pasca tsunami agar korban yang ditimbulkan akibat bencana bisa diminimalkan.[]

Tags : acehtsunami

Leave a Response