close
Pembangunan PLTA Tampur di Desa Lesten | Foto: monggabay

Mega proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang dibangun dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) berdampak besar terhadap ancaman bencana, baik bencana ekologi hingga berpengaruh terhadap perekonomian warga.

Bahkan juga mengganggu kelestarian hewan dilindungi seperti badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), harimau (Panthera tigris sumatrae), gajah (Elephas maximus sumatraensis) dan orangutan (Pongo abelii).

Kondisi ini tentu menjadi noktah hitam dalam KEL Aceh. Padahal KEL Aceh wilayah konservasi penting yang berada di dua provinsi, yaitu Provinsi Aceh dan Sumatera Utara dengan luas 2,6 juta hektar. Apa lagi KEL lebih luas masuk dalam provinsi Aceh yang meliputi 13 kabupaten/kota dan 4 kabupaten di Sumatera Utara.

Kabupaten yang masuk dalam KEL di Provinsi Aceh adalah Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, Aceh Selatan, Aceh Singkil, Subussalam, Aceh Tenggara, Gayo Lues, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, Aceh Timur dan Aceh Tamiang. Sedang kabupaten di Sumatera Utara yaitu Kabupaten Langkat, Dairi, Karo dan Deli Serdang.

Baca : Noktah Hitam di KEL Aceh

Berdasarkan data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh dalam laporan investigasi disebutkan, KEL menjadi pendukung kehidupan lebih dari empat juta orang yang bermukim di sekitarnya. KEL juga menjadi rumah bagi 105 spesies mamalia, 383 spesies burung dan sekitar 95 spesies reptil dan amfibi, atau setara dengan 54 persen dari fauna terestrial sumatera

Selain itu KEL menjadi tempat terakhir untuk mempertahankan populasi spesies-spesies langka di Asia Tenggara. Spesies langka seperti harimau, orangutan, badak, gajah hingga macan tutul.

KEL juga memiliki fungsi ekologis untuk penyediaan air untuk masyarakat, baik untuk dikonsumsi maupun untuk kebutuhan lainnya. Tentunya keberadaan mega proyek PLTA Tampur 1 akan mengancam upaya konservasi tersebut.

Menurut Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur menyebutkan, dampak yang paling nyata dan sudah ada di depan mata adalah terganggunya habitat satwa dilindungi. Apa lagi, kawasan pembanguan proyek tersebut masuk dalam wilayah jelajah gajah (home range) dan sejumlah hewan dilindungi lainnya.

“Ada berpendapat itu disebut kawasan koridor satwa, salah satunya gajah, ini memang harus juga dibuktikan oleh BKSDA, harus ada petawa koridor satwa,” kata Muhammad Nur.

Muhammad Nur menyebutkan, berdasarkan observasi langsung ke lokasi dan informasi dari masyarakat setempat, Dusun Berawang Gajah, Gampong Lesten yang masuk dalam pembangunan PLTA itu, merupakan lintasan gajah dan harimau dan bahkan sering juga dilintasi beruang madu.

Menariknya lagi, kawasan tersebut terdapat banyak kubangan gajah. Masyarakat setempat biasanya menyebutnya “Berawang Gajah. Adanya berawang gajah membuktikan bahwa kawasan itu sering dikunjungi gajah. Namun masyarakat setempat bisa hidup berdampingan dan beberapa warga sering bertemu dengan kawanan kecil gajah yang sedang melintas, namun tak pernah terjadi konflik di daerah tersebut.

“Jadi warga setempat khawatir dengan ada pembangunan genangan ini akan terjadi konflik gajah nantinya, karena hilang habitat gajah,” jelasnya.

Pembangunan dam dan power house seluas 10 hektar masuk dalam hutan lindung, ini tentunya akan berdampak terhadap menurunya daya dukung lingkungan. Tentunya akan meningkatkan potensi terjadi bencana ekologi, seperti banjir bandang, longsor hingga ancaman kekeringan.

Daerah hulu yang paling berdampak terjadi banjir bandang akibat pembangunan bendungan itu adalah Aceh Timur, Kota Langsa, Aceh Tamiang. Sedangkan yang berpotensi terjadi kekeringan yaitu di kawasan Gampong Lesten, Pining hingga kota Blangkejeren.

Muhammad Nur menyebutkan, sebelum pembangunan ini dilanjutkan pemerintah Aceh harus lebih kritis lagi menganalisa untung dan rugi setelah pembangunan selesai. Selain itu, kalau pun mega proyek ini dilanjutkan, akses air masyarakat harus terjamin.

Selama pembangunan nantinya sungai-sungai di kawasan pembangunan PLTA Tampur 1 ini akan dibendung. Selama pembangunan juga air diperkirakan akan berkeruh, tentunya bisa mengganggu kebutuhan air warga, baik untuk dikonsumsi maupun kebutuhan perekonomian.

Ini penting diperhatikan, mengingat akses air untuk masyarakat selama pembangunan tidak diatur dalam amdal. Sehingga bisa tidak dikelola dengan baik, dikhawatirkan akan lahirnya konflik baru, karena warga tidak bisa mengakses air.

“Sumber air warga, perusahaan harus menjamin tidak ada gangguan, pola akses air, saat dikurung dalam jumlah besar dan bagaimana pemanfaatan oleh warga. Karena tidak ada dalam dokumen amdal,” ungkapnya.

Walhi Aceh juga mengingatkan, KEL masuk dalam wilayah patahan sumatera yang rentan terjadi gampa bumi. Ditambah lagi, curah hujan di kawasan itu cukup tinggi, bahkan hampir setiap hari ada hujan. Tentunya bila daya dukung lingkungan lemah, berbagai ancaman bencana ekologi akan menghantui Aceh.

Bila terjadi gagal teknologi akan berakibat fatal kedepannya. Muhamma Nur mengingatkan, Indonesia sudah pernah mengalami gagal teknologi hingga terjadilah seperti di Lapindo. Apa lagi KEL berada 500 MDPL bila terjadi banjir semua daratan yang berdekatan dengan kawasan pembangunan PLTA Tampur 1 akan mengalami banjir bandang.

“Bila tidak ada jaminan bangunan kuat, harus bertanggungjawab bisa terjadi banjir bandang akibat gagal teknologi, kita tidak mau terjadi seperti Lapindo,” tegasnya.

Tentunya kalau ini terjadi, sama saja Aceh sedang menjemput maut dan pemerintah sedang menyiapkan bencana ekologi yang membuat Aceh lebih banyak mendapat kerugiannya.

Ini tulisan bagian dua dan akan dilanjutkan dengan judul Noktah Hitam di KEL Aceh “Dampak Sosial Ekonomi”.
Tags : acehKELPLTAtampur

Leave a Response