close
Kebijakan Lingkungan

Pascasebaran Merkuri di Aceh Jaya, Korban Mulai Berjatuhan

PENAMBANG menggali batu yang mengandung bijih emas dari Gunong Ujeun, Kecamatan Krueng Sabee, Aceh Jaya. Foto direkam pada Minggu (15/11/2008) | Foto: Serambi/M. Anshar

Sepanjang 2013 lalu angka kematian bayi di Aceh Jaya yang sebagian sungai dan sumur warganya tercemar merkuri, mencapai 33 orang. Dari jumlah itu, beberapa meninggal dengan kelainan bawaan sejak lahir. Misalnya, ada bayi yang mengalami kelainan jantung bawaan (cardioseptal defect), lahir prematur, atau terlahir sumbing mulai dari bibir sampai ke langit-langitnya (kelainan kongenital).

Begitupun, belum dapat dipastikan apakah kelainan bawaan pada bayi yang baru lahir itu disebabkan ibu dan ayahnya merupakan orang yang selama ini terpapar merkuri (air raksa) yang banyak digunakan penambang emas ilegal di Aceh Jaya untuk memisahkan butiran emas dari batu dan gumpalan tanah.

“Memang belakangan ini mulai banyak ditemukan di Aceh Jaya bayi yang lahir tidak normal atau dengan kelainan bawaan dan akhirnya meninggal. Tapi untuk mengklaim bahwa itu ada kaitannya dengan sebaran limbah merkuri di sejumlah tempat di Aceh Jaya, saya tak berani. Tentulah diperlukan penelitian yang mendalam,” kata Kepala Dinas (Dinkes) Aceh Jaya, Cut Kasmawati MM melalui Sekretaris Dinas, Ernani Wijaya SKep yang dikonfirmasi Serambi, Selasa (18/2/2014) malam.

Menurut Ernani, dengan sudah terungkapnya data lapangan tentang peredaran dan persebaran merkuri di Aceh Jaya itu, maka sebaiknya ke depan penyebab bayi lahir dengan kelainan bawaan dan kemudian meninggal, haruslah segera ditelusuri dengan saksama.

Ia mengaku khawatir dengan maraknya penggunaan air raksa yang didorong oleh maraknya penambangan emas di Gunong Ujeun, Kecamatan Krueng Sabee, Aceh Jaya. Karena, selain pekerja yang melakukan kontak langsung dengan bahan berbahaya itu, masyarakat yang mengonsumsi ikan/udang/kerang (lokan) dari laut dan sungai juga ikut teracuni. Bahkan anak-anak, bayi, hingga janin yang masih dalam kandungan pun berpotensi terkena bahaya merkuri.

Erna menilai, warganya tidak begitu peduli dengan bahaya merkuri karena dampaknya pada tubuh manusia tidak langsung terjadi dalam waktu singkat. Padahal, efek dari merkuri itu bisa menyebabkan kerusakan sistem saraf pusat, kerusakan otak, kerusakan sistem pencernaan, hingga berujung pada kematian.

Ia rincikan, sepuluh dari 33 bayi yang meninggal itu, disebabkan kondisi tidak normal saat masih dalam kandungan, sehingga bayi lahir prematur. Ke-13 bayi yang meninggal saat lahir itu, merupakan warga Kecamatan Panga, Teunom, Krueng Sabee, dan Sampoiniet. Kawasan ini merupakan kawasan yang banyak terdapat mesin pengolahan bijih emas menggunakan air raksa.

Sementara itu, mantan direktur eksekutif Walhi Aceh, Ir TM Zulfikar mendesak Pemerintah Aceh segera bertindak untuk membatasi peredaran cairan merkuri di Aceh. “Kami mempertanyakan mengapa air raksa ini bisa dengan gampang sekali diperoleh masyarakat. Padahal, untuk memperoleh merkuri, harus ada izin dengan prosedur yang ketat. Terkesan, peredaran merkuri di Aceh sama seperti peredaran narkoba. Cuma, pengedar narkoba sering tertangkap, sedangkan pengedar merkuri tidak pernah,” ujarnya. []

Sumber: serambinews.com

Tags : aceh jayamerkuritambang

Leave a Response