close
Staf YEL, Graham Usher sedang memperlihatkan daerah Rawa Tripa | Foto: M. Nizar Abdurrani

Landscape Protection Specialist Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dalam presentasinya menyatakan bahwa di lahan gambut Rawa Tripa sampai hari ini masih ada pembukaan. Hal ini tampak dari gambar citra satelit dimana titik hutan gambut yang dibuka bisa dilihat dengan jelas. Selain itu, hasil survey YEL pada 59 titik di Rawa Tripa menunjukan kedalam gambut yang bervariasi.

Landscape Protection Specialist YEL, Graham Usher, dihadapan Tim Koalisi Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT), Senin (3/2/2014) melakukan presentasi kondisi Rawa Tripa terkini. Dalam presentasi yang dilaksanakan di kantor Yayasan Leuser International, Graham mengatakan berdasarkan peta satelit yang diperolehnya pada Januari 2014 tampak ada perluasan atau pembukaan lahan di kawasan 1605 hektar hutan gambut Rawa Tripa milik PT Kallista Alam (KA) dan PT SPS.Lahan ini sendiri telah dicabut izin usaha budidaya perkebunan-nya oleh Gubernur Aceh, Dr. Zaini Abdullah sehingga seharusnya tidak boleh dijamah siapapun.

Ada dugaan masyarakat membuka lahan tersebut namun dibekingi oleh pemodal karena melibatkan alat-alat berat untuk membuka kanal untuk mengeringkan gambut.

Selain itu juga ada pembukaan jalan oleh Pemkab Aceh Barat Daya yang membelah hutan gambut menuju pelabuhan yang akan dibangun dalam waktu dekat.

” Kami memakai peta dasar yang dulu dipakai Wetland sebagai perbandingan. Survey gambut di 59 titik Rawa Tripa mendapatkan hasil bahwa gambut di lahan PT KA merupakan gambut dalam, antara 4 sampai 7 meter,” ujar Graham. Sampel gambut masih berada di Bogor untuk dianalisa jenis gambutnya dan juga sedang dibor lebih banyak titik lagi di lahan gambut agar diperoleh hasil yang lebih akurat tentang kedalaman gambut dan luasnya.

Gambut terdalam yang pernah diukur mencapai 8,5 meter dimana daerah gambut ini akan dilintasi oleh jalan tembus ke pelabuhan baru di kabupaten Aceh Barat Daya. ” Ini butuh investasi yang besar untuk penimbunan dan jalan kemungkinan akan amblas,” kata Graham.

Selain survey yang dilakukan YEL, Tim dari Universitas Syiah Kuala juga melakukan survey yang sejenis di daerah yang sama. Namun bagi Graham dan sebagian besar anggota TKPRT, Survey dari Unsyiah ini masih menimbulkan tanda tanya besar.

“Survey Unsyiah menyatakan jenis tanah aluvial di lahan gambut yang bisa ditanam, padahal lahan ini malah memiliki kedalaman gambut hingga 7 meter,” ungkap Graham.

Senada dengan Graham, anggota TKPRT, T. Muhammad Zulfikar juga meminta diadakan konsolidasi hasil survey antara YEL dengan Tim Unsyiah mengingat hakikat dari dua survey ini sama, yaitu meneliti kondisi gambut di Rawa Tripa.

” Kita minta dilakukan telaah hasil survey atau penelitian antara tim peneliti dari YEL dengan tim peneliti Unsyiah dan akan melakukan kolaborasi hasil temuan para pihak untuk menjadi hasil bersama,” ujar T. Muhammad Zulfikar.

Blokir Kanal

YEL juga saat ini sedang mengusulkan pemblokiran kanal di kawasan seluas 1.605 hektar di Rawa Tripa dimana daerah ini telah mendapat penetapan dari PN Meulaboh sebagai sitaan negara. ” Kami mengusulkan kepada program TFCA (sebuah program yang didanai USAID-red) untuk memblokir kanal dalam beberapa bulan ke depan. Ada 4 kanal utama yang akan diblokir,” jelas Graham.

Menurutnya Bupati Nagan Raya bersedia mengeluarkan surat dukungan pemblokiran lahan dengan terlebih dahulu YEL dan TFCA mempresentasikan rencananya dihadapan bupati.

Hutan gambut Rawa Tripa saat ini sudah terbelah-belah dalam konsesi milik perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sebenarnya pemanfaatan lahan gambut yang bertekstur lembut dan mudah amblas dalam jangka panjang akan merugikan pengelola sendiri.

Saat ini tidak jelas berapa luas daerah berhutan yang masih bersisa di Rawa Tripa karena dari total luasnya 61.803 hektar, hampir seluruhnya telah menjadi konsesi kebun sawit. Sebagian besar sudah dibuka, sebagian masih hutan namun terfragmentasi, sebagian ada yang sudah dibuka namun ditinggalkan karena tidak cocok untuk ditanami sawit.

Jika melihat keadaan hutan gambut yang terus menerus mengalami kehancuran, sulit rasanya bisa menjalankan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi GRK sebesar 26 persen dari tingkat business as usual (BAU, kondisi tanpa adanya rencana aksi) pada tahun 2020 atau sampai dengan 41persen dengan bantuan internasional, sebagaimana yang diumumkan Presiden Yudhoyono pada tahun 2009.

“Ada yang tidak nyambung antara impian, aturan konservasi dan kenyataan di lapangan. Upaya penurunan emisi bisa nonsens. Kebakaran hutan terbesar terjadi di hutan gambut,” ucap Graham.

TKPRT berharap restorasi lahan gambut Rawa Tripa dapat dimulai dari penutupan kanal di lahan 1605 hektar yang telah dicabut izinnya oleh Pemerintah Aceh. Penutupan kanal bertujuan agar air dari gambut tidak mengalir keluar kawasan sehingga menyebabkan lahan kering. Penutupan juga dilakukan agar terjadi penghutanan kembali kawasan yang telah dibuka secara alami.

Tags : gambutkallista alamrawa tripa