close
Kebijakan Lingkungan

Pemerintah Bantu Perusahaan Serobot Lahan Rakyat (2)

Kebun sawit milik Kallista Alam di lahan gambut Rawa Tripa | Foto: M. Nizar Abdurrani

Investor kelapa sawit berbondong-bondong ke Indonesia ketika Pemerintah menerapkan kebijakan membuka seluas-luasnya izin perkebunan. Tak pelak lagi, ini menjadi ajang kampanye terbuka dan fasilitas yang mudah bagi investor mendapatkan izin konsesi lahan dan hutan di Pulau Sumatera.  Namun, kebijakan kehutanan tersebut memperlihatkan dampak serius sebagaimana yang terlihat pada pemetaan kehutanan terkini.

Di area tertentu, permasalahan kehutanan tidak terkontrol lagi. Pembalakan liar difasilitasi oleh oknum pemerintah, dan oknum yang berada dibalik proses perizinan. Pertukaran hutan dengan sejumlah uang dapat dilakukan dengan mudah karena tidak ada kontrol prosedur penetapan harga penebangan kayu. Ketika aturan hukum dan penegakannya saling berbenturan, Badan Pertanahan Propinsi Aceh tetap melajutkan memberikan izin lahan konsesi. Bahkan, banyak lahan konsesi yang ditinggalkan setelah proses penebangan dan pembersihan lahan dilakukan.

Seharusnya kebijakan pengelolaan hutan menerapkan mekanisme satu pintu agar berjalan efektif. Pemetaan hutan, izin konsesi dan pemukiman dikelola oleh satu lembaga saja. Sehingga tidak ada celah penyalahgunaan prosedur sebagaimana telah terjadi.Bahkan, sampai ada kesalahan pada perumusan data geografis yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional. Mekanisme izin dan biaya serta denda untuk pelanggaran yang dilakukan juga tidak ada aturan yang jelas. Ini seperti sebuah lubang hitam bagi pemerintah Indonesia.

Tahapan persiapan lahan perkebunan kelapa sawit dimulai dengan pengurusan izin konsesi lahan, pembersihan, penebangan kemudian pembakaran. Kondisi menimbulkan masalah dengan masyarakat, serta menyebabkan banyak kerusakan lainnya. Sistem kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak berorientasi melindungi lingkungan dan masyarakat.

Konflik Investor Nasional: Studi kasus Hutan Gambut Rawa Tripa
Sejak 1980, konflik di hutan gambut Rawa Tripa telah dimulai. Pemerintah Aceh telah mengeluarkan izin konsesi lahan kepada Perusahaan Kalista Alam untuk membuka perkebunan seluas 1,605 hektar pada tahun 2010.

Hutan gambut Rawa Tripa telah rusak akibat invasi pembukaan lahan untuk perkebunan dan perambahan oleh masyarakat setempat. Berdasarkan data assessment terakhir, hutan gambut rawa Tripa telah berkurang hingga 50 persen dari total 61,803 hektar, 36,185 hektar telah menjadi lahan konsesi.

Perusahaan Surya Panen Subur mengelola lahan konsesi seluas 13,177 hektar dan Perusahaan Kalista Alam mengelola lahan konsesi seluas 6,888 hektar. Perusahaan Gelora Sawita Makmur mengelola lahan konsesi seluas 8,604 hektar dan Perusahaan Cemerlang Abadi mengelola lahan konsesi seluas 7,516 hektar. Jumlah keseluruhan lahan konsesi mencapai 20,200 hektar mencakup dua tahap pemberian. .

Mengacu kepada konflik yang terjadi di hutan gambut Rawa Tripa, Perusahaan Kalista Alam telah melanggar peraturan karena membuka lahan di gambut dengan kedalaman lebih dari tiga meter. Semua kasus pelanggaran tersebut telah diproses secara hukum.

Kasus serupa lainnya terkait perusakan hutan gambut Rawa Tripa adalah Perusahaan Surya Panen Subur II yang menjalankan bisnisnya dibawah manajemen perusahaan Amara.

Hutan gambut rawa Tripa berperan penting dalam sistem ekologi. Hutan gambut ini berfungsi sebagai penahan gelombang besar seperti tsunami, tempat daur ulang air, mencegah banjir dan habitat keanekaragaman hayati. Jika proses pembersihan lahan untuk perkebunan dilakukan maka akan memicu hilangnya sistem ekologi dan penahan alami dari bencana tsunami, banjir, kekeringan, dan ketidakseimbangan alam. Dampak penggundulan hutan adalah banjir besar yang akan melanda kawasan pemukiman dan mengakibatkan sejumlah kerusakan.

Konflik Investor Multinasional: Studi kasus Kabupaten Aceh Singkil
Pada tahun 1986, perusahaan Ubertraco, yang merupakan milik Teungku Muslim, warga Kecamatan Trumon, Kabupaten Aceh Selatan, mulai beroperasi. Perkebunan kelapa sawit tersebut mulai dibuka di Kecamatan Simpang Kiri. Kemudian pada tahun 1988, perusahaan tersebut mendap atkan izin nomor 1/1988 untuk menggunakan lahan seluas 10,917 hektar di Kecamatan Kota Baharu dan Kecamatan Gunung Meriah, Singkil Utara dan Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil.

Enam tahun kemudian, sekitar tahun 1994, perusahaan tersebut memperoleh izin konsesi lahan tahap kedua dengan nomor 2/1994 dengan total lahan seluas 3,000 hektar, letaknya sepuluh kilometer dari Kecamatan Singkohor, Kabupaten Aceh Singkil. Pada tahun 1998, sebagian saham kepemilikan perusahaan dialihkan kepada pengusaha dari Malaysia bernama Haji Muhammad Sobri yang mengelola perkebunan tidak sesuai target dan meninggalkan lahan terbengkalai.

Dampak terhadap kesehatan dan sistem ekologi
Sebelumnya, hutan gambut rawa Tripa merupakan sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Perahu merupakan alat transportasi yang digunakan pada saat itu. Setelah perusahaan mulai beroperasi kondisi nyaman tersebut berubah, jumlah ikan dan siput berkurang,  hutan menjadi gundul, air tercemar, hewan yang hidup di air mati dan sumber makanan menjadi langka .

Abdul Majid menggambarkan dampak yang disebabkan oleh Perusahaan Surya Panen Subur II. Sejak perkebunan mulai dibuka disekitar pemukiman penduduk telah terjadi perubahan cuaca, polusi udara mengakibatkan masalah pernapasan dan gangguan penglihatan,  sejauh ini sudah ditemukan tiga jenis penyakit mata di masyarkat setempat.

Kondisi ini memicu bencana lebih sering terjadi. Jika hujan turun sepanjang hari maka akan menyebabkan banjir dan sebaliknya, jika musim kemarau datang maka akan terjadi kekeringan. Jika kondisi normal, maka musim hujan akan dimulai sejak bulan September sampai bulan Januari, namun saat ini musim tidak lagi dapat diprediksi.

Polusi air merupakan persoalan utama yang dihadapi masyarakat dan harus segera ditemukan solusinya. Polusi air tersebut diakibatkan oleh sampah dan racun yang dibuang ke sungai. Meskipun bahaya limbah tersebut tidak secara langsung mengalir ke sungai, namun ketika hujan turun maka limbah pupuk berbahan kimia dan pestisida yang terakumulasi tersebut akan mengalir ke sungai hingga akhirnya mengalir ke laut.

Perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan sejumlah besar lahan dibersihkan. Ini merupakan factor kunci perubahan sistem penyimpanan air di hutan dan terjadinya kebakaran hutan, fungsi hutan gambut Rawa Tripa sebagai penyimpan karbon akan berubah.
(bersambung)

 

Penulis, Ruayrin Pedsalabkaew, fellow pada Asian Public Intellectual (API), Reporter Deep South Watch yang telah melakukan penelitian tentang isu-isu perampasan lahan oleh perusahaan multinasional di Aceh: Dampaknya terhadap Hak Asasi Manusia dan Kearifan Lokal. Pendapat penulis tidak menggambarkan pandangan API Fellowships Program, The Nippon Foundation, the Coordinating Institution, dan/atau lembaga partner.

Tags : hutanrawa tripa

1 Comment

  1. Moratorium berpengaruh pada ijin perkebunan kelapa sawit
    Kami menyadari kebutuhan pengurusan ijin / izin perkebunan kelapa sawit pasca moratorium
    Salam
    Andi
    0818198658,081288463333

Leave a Response