close
Kebijakan Lingkungan

Pemerintahan Gubernur Zaini Tidak Lebih Ramah Lingkungan

Gubernur Aceh, dr. Zaini Abdullah | Foto: Walhi Aceh

Selama beberapa dekade, konflik di Aceh mengurangi laju deforestasi sebagaimana yang terjadi di tempat lain di Indonesia. Tahun 2004 terjadi bencana gempa bumi dan tsunami yang menewaskan sekitar 170.000 orang dan menyebabkan setengah juta orang kehilangan tempat tinggal. Bencana dahsyat ini ternyata membuka jalan perjanjian perdamaian yang mengakhiri pertempuran dan menempatkan mantan pemberontak memimpin Propinsi Aceh.

Mantan pemberontak, Irwandi Yusuf, yang menjabat gubernur Aceh periode 2007-2012, dikenal karena melakukan kejutan menetapkan moratorium logging untuk konsesi penebangan hutan bahkan turun sendiri ke hutan menangkap pelaku ilegal logging. Irwandi adalah ” gubernur hijau” yang berjanji melestarikan hutan basah Aceh.

Pada tahun 2007, ia melarang pembukaan hutan primer atau lahan gambut. Tiga tahun kemudian, ia mengusulkan rencana penggunaan lahan yang akan meningkatkan luas hutan lindung sebesar 1 juta hektar.

Pada tahun 2011, Irwandi berbalik arah, mengeluarkan izin untuk perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Kallista Alam membuka hutan gambut Rawa Tripa, rumah bagi Orangutan Sumatera terancam punah menjadi kebun sawit.

Langkah ini menyebabkan kegemparan di kalangan konservasionis yang menyatakan bahwa konsesi melanggar hukum nasional. Irwandi membela keputusannya, dengan mengatakan uang yang diharapkan dari proyek pengurangan deforestasi tidak terwujud, sebagian karena keterlambatan birokrasi nasional. WALHI Aceh, membawa kasus ini ke pengadilan. Kebijakan Irwandi ini menandai awal transisi dari kepemimpinan berfokus pada perlindungan lingkungan menjadi mendahulukan kepentingan pembangunan ekonomi.

” Banyak orang di Aceh tidak setuju bahwa seperti area luas tempat menampung air harus dilindungi oleh konservasionis,” kata McCarthy, peneliti dari Australian National University. Banyak yang berharap uang tunai dari kesepakatan makelar karbon untuk akses ke sumber daya alam Aceh. Irwandi sebenarnya mendukung konservasi sebagai sarana pembangunan, tetapi ketika skema karbon gagal memberinya uang, maka ia meninggalkannya.

Penggantinya, dr. Zaini Abdullah, terbukti tidak lebih ramah lingkungan. Tak lama setelah menjadi gubernur pada bulan Juni 2012, Ia membubarkan Badan Pelaksana Kawasan Ekosistem Leuser (BP KEL), sebuah badan yang bertugas untuk memastikan konservasi di KEL, salah satu tempat terakhir di mana gajah Sumatera, badak, harimau dan orangutan hidup bersama. Konservasionis mengatakan pembubaran ini menghambat pemantauan hutan KEL.

” Orang-orang meraih apa yang mereka dapat saat mereka bisa, “kata Dr Ian Singleton, kepala konservasi di organisasi lingkungan PanEco dan direktur Program Konservasi Orangutan Sumatera. Program pusat rehabilitasi orangutan, dibangun untuk menampung sekitar 25 hewan, saat ini penghuninya dua kali lipat, terutama karena peningkatan pembukaan hutan, kata Dr Singleton.

Proposal Zaini kepada pemerintah nasional untuk mengubah rencana penggunaan lahan akan diberlakukan segera jika disetujui. Pejabat yang membantu rancangan proposal, Martunis Muhammad, mengatakan perubahan diperlukan untuk mengakomodasi perluasan pemukiman dan pembangunan infrastruktur.

” Populasi telah berkembang pesat sejak rencana tata ruang sebelumnya disusun, ” kata Martunis Muhammad, kepala investasi dan pembiayaan pembangunan di Badan Pperencanaan Pembangunan Aceh (Bappeda). ” Perubahan perlu untuk memperhitungkan perubahan pola penggunaan lahan. ”

Berdasarkan rencana yang diusulkan, Martunis mengatakan, beberapa hutan lindung akan dikonversi sebagai hutan produksi, yang memungkinkan masyarakat mengolah tanah yang mereka tempati. Dia mengakui bahwa rencana itu akan mengurangi kawasan hutan lindung tetapi mengatakan itu tidak akan melanggar hukum nasional yang menetapkan Kawasan Ekosistem Leuser terlarang untuk aktivitas manusia.

” Rencana tata ruang ini ditujukan untuk memajukan pembangunan Aceh, sekaligus melindungi lingkungan, ” katanya.

Bahkan jika rencana tersebut tidak disetujui, Dr Singleton mengatakan, tanpa tindakan tegas dari pemerintah nasional,
perkebunan terus mengganggu kawasan lindung . “Sekarang semua terbuka untuk bisnis, “katanya.

Sumber: nytimes.com

Tags : hutan

Leave a Response