close
Wilayah hutan yang telah dibakar di Riau | Foto: reuters

Qanun/Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Aceh 2013-2033 belum memperoleh persetujuan dari Kemendagri RI namun sudah menjadi dasar hukum dalam melakukan pembangunan Aceh.  Qanun RTRW Aceh ini telah mengajukan perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan yang telah ditetapkan melalui SK Menhut No. 103 tahun 2015.

Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA) melihat perubahan fungsi dan peruntukan ini tidak berdasarkan analisis keilmuan melainkan lebih menggunakan pendekatan celah regulasi dan perspektif ekonomi semata, terlihat pada areal kawasan hutan yang telah diusulkan dan dirubah tersebut adalah kawasan hutan yang memiliki nilai sumber daya mineral seperti yang banyak terdapat di wilayah tengah Aceh dan selatan Aceh.

Perusahaan yang menguasai sebagian besar saham di perusahaan-perusahaan tersebut di atas adalah perusahaan milik asing, sehingga perusahaan lokal hanyalah alat pengantar saja setelah seterusnya sebagaian besar keuntungan akan diperoleh oleh asing (komprador).

Kawasan hutan yang dirubah tersebut kebanyakan adalah kawasan hutan lindung, hal ini tidak aneh karena kawasan lindung sudah dimoratorium izin secara nasional sehingga tidak ada izin yang boleh diberikan dalam kawasan tersebut, ditenggarai untuk memperoleh izin harus menurunkan dulu fungsi dan peruntukan kawasan lindung tersebut.

Secara tipologi topografi kawasan hutan yang diusulkan dan telah dirubah tersebut adalah merupakan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan memiliki ketinggian yang lebih tinggi dari wilayah pemukiman penduduk, sehingga dipastikan akan terpengaruh oleh curah hujan yang menyebabkan banjir.

Tahun 2014 KPHA mencatat peristiwa bencana alam banjir dan longsor sebanyak 23 kali di Aceh dengan angka kerugian yang melebihi 1 miliar rupiah, baik itu kerugian yang dialami oleh masyarakat maupun kerugian yang timbul akibat rusak dan hancurnya infrastruktur yang telah dibangun pemerintah.

Tanpa memerlukan analisis yang hebat sekalipun kita bisa menyimpulkan bahwa penyusunan RTRW Aceh sarat dengan kepentingan investor, padahal jelas-jelas terlihat bahwa investasi bukan satu-satu nya jalan untuk mengangkat kehidupan Aceh menjadi lebih sejahtera.

Masyarakat Aceh menginginkan sejahtera tanpa harus merusak dan menghancurkan lingkungan hidup, namun mimpi ini tidak bersambut dengan visi misi pemerintah yang hanya memiliki perspektif eksploitatif.

Pemerintah hendaknya jangan mewarisi watak “komprador” bagi generasi penerus bangsa, sebuah watak yang hanya mengedepankan kebutuhan pragmatis tanpa melihat kebutuhan dan kepentingan generasi mendatang.
KPHA mengajak seluruh stakeholder Aceh untuk melihat kebutuhan pembangunan secara holistik dengan tidak meninggalkan batasan dan daya dukung lingkungan, kajian-kajian ilmiah dan pengalaman empiris harus menjadi cermin dalam membuat dan mengambil keputusan yang akan berdampak jangka panjang untuk anak bangsa.[rel]

Tags : rtrwtata ruang

Leave a Response