close
Kebijakan Lingkungan

PN Meulaboh Putuskan Kallista Alam Bersalah Bakar Rawa Tripa

Suasana pembacaan putusan gugatan Kallista Alam, Rabu (8/1/2014) | Foto: Barlian

PN Meulaboh memutuskan bahwa PT Kallista Alam (KA) terbukti bersalah melakukan pembakaran lahan gambut Rawa Tripa sehingga menimbulkan kerusakan lingkungan. KA diminta untuk membayar ganti rugi materil sebesar Rp.114,3 miliar dan biaya pemulihan lingkungan sebesar Rp.251,7 miliar. Pihak penggugat dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mengapresiasi keputusan majelis hakim sementara pengacara tergugat kemungkinan akan melakukan banding.

Dalam sidang dengan nomor perkara No.12/PDT.G/2012/PN-MBO, gugatan pembakaran lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit, Rabu (8/1/2014), majelis hakim mengabulkan sebagian tuntutan penggugat. Majelis berpendapat berdasarkan keterangan para saksi, fakta-fakta di lapangan dalam sidang Pemeriksaan Setempat (PS) dan bukti-bukti yang diajukan kedua belah pihak maka gugatan pembakaran lahan terbukti dilakukan oleh KA. Sementara itu dikabulkannya ganti rugi materil dan biaya pemulihan lahan juga dikabulkan karena telah berdasarkan perhitungan para ahli.

Sidang dengan agenda pembacaan putusan berlangsung marathon, dimulai pada pukul 14.48 Wib  dan berakhir pada pukul 22.11 Wib dipimpin oleh Hakim Rahmawati SH, dengan anggota Rahma Novatiana SH, dan Juanda Wijaya, SH. Pengacara tergugat diwakili oleh Alfian C. Sarumaha SH dan Rebecca F. E Siahaan. Sedangkan dari KLH hadir pengacara negara Abdul Kadir SH dan Askar SH serta pengacara Syafruddin SH.

Beberapa fakta yang tak terbantahkan, yang berhasil dibuktikan penggugat adalah lahan yang terbakar di Desa Pulo Kruet Kecamatan Darul Makmur masuk dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang juga merupakan Kawasan Strategis Nasional (KSN). KSN sangat penting secara nasional dan merupakan warisan dunia yang tak tergantikan.
Kemudian dari sidang PS, hakim menemukan fakta-fakta bahwa lahan yang terbakar seluas 1000 hektar di Desa Pulo Kruet, ada yang berbatasan langsung dengan perkebunan milik perusahaan lain dan ada juga yang tidak. Lahan ini terletak dalam kawasan Izin Usaha Budidaya KA seluas 1.605 hektar yang izinnya telah dicabut oleh PTUN dan Gubernur Aceh.

Menariknya, dalil tergugat yang mengatakan bahwa api berasal dari lahan perkebunan milik PT SPS2 tidak beralasan. Dari fakta di lapangan, hakim melihat bahwa antara dua kebun milik perusahaan yang berbeda ini dibatasi oleh kanal dan jalan yang juga gambut. Jika memang api berasal dari kebun milik PT SPS2 maka tentunya yang terbakar lebih dahulu adalah jalan tersebut. Namun hakim yang melihat langsung ke lapangan tidak menemukan fakta tersebut karena jalan pembatas tidak ikut terbakar. KA juga tidak pernah melaporkan terjadinya kebakaran di lahan PT SPS2 yang terjadi selama 6 hari padahal kebun mereka bersebelahan.

Dalam PS, hakim melihat arang sisa-sisa pembakaran di lahan-lahan tersebut yang terjadi berulang kali sejak tahun 2009. Kebakaran yang terjadi berulang kali sesuai dengan data hot spot dari satelit NASA, keterangan dari para saksi penggugat dan tergugat. Pihak perusahaan sendiri mengakui telah terjadi kebakaran di lahan mereka tapi mengakui tidak tahu siapa pembakarnya. Perusahaan mengatakan ketika terjadi kebakaran di lahan mereka selama tiga hari berturut-turut di tahun 2012, hanya 8 orang karyawan yang berusaha memadamkan api dengan memakai ember.

Saksi dalam persidangan mengatakan tidak melihat adanya peralatan pemadam kebakaran, akses jalan yang memadai ke lokasi kebakaran dan tidak ada personel khusus pemadam kebakaran. Saksi yang merupakan kontraktor perkebunan, Elvis, juga mengakui tidak adanya prosedur penanganan pemadaman kebakaran di lahan dan struktur organisasi pengendalian kebakaran milik perusahaan. Mempertimbangkan fakta-fakta ini hakim berkesimpulan bahwa KA terbukti tidak memiliki alat dan sarana penanggulangan kebakaran. Padahal kebakaran sudah berulang kali terjadi di lahan mereka. Hakim meyakini bahwa pembakaran memang diatur dan diinginkan oleh perusahaan KA.

Menurut hakim. tergugat KA membiarkan lahan mereka terbakar yang berarti tergugat ingin melakukan pembakaran lahan miliknya. Tergugat tidak bisa membuktikan dalil siapa yang membakar lahannya, sementara saksi dari PT SPS2 tidak pernah dihadirkan dalam persidangan.Tergugat melakukan pembiaran pembakaran lahan dan hal ini terjadi selama berkali-kali dalam kurun waktu 2009- 2012. Lahan terbukti dibuka dengan cara membakar.

Majelis hakim juga sepakat telah terjadi kerusakan lingkungan. Gas-gas yang dikeluarkan saat terjadi pembakaran telah melewati Nilai Ambang Batas sesuai hasil pengujian yang diajukan penggugat. Juga terjadi penurunan fungsi tanah di lahan tersebut sesuai hasil pengujian dari pihak Institut Pertanian Bogor. Terjadi kerusakan lingkungan tanah akibat kebakaran hutan dimana lapisan gambut setebal 10-15 cm lenyap. Kerusakan ini tidak bisa diperbaiki seperti sediakala lagi.

Perbuatan pembakaran lahan adalah perbuatan melanggar hukum dan tergugat wajib mengganti kerugian yang ditimbulkannya. Besaran ganti rugi yang harus dibayar tergugat mengacu pada Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Ganti Kerugian Akibat Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup.

Ganti rugi yang wajib dibayar oleh tergugat untuk kerusakan lahan 1000 hektar antara lain ganti rugi akibat kerusakan ekologis dan perawatannya, biaya pengaturan tata air, pengendalian erosi, pembentukan kembali tanah yang rusak, daur ulang unsur hara, penguraian limbah, kehilangan keanekaragaman hayati, hilangnya sumber daya genetika, pelepasan karbon (carbon release) dan kemerosotan karbon. Selain itu ada juga ganti rugi secara ekonomis dimana hilangnya umur pakai tanah dari yang seharusnya. Biaya ini dimulai dari hitungan biaya pemeliharaan tahunan dan total potensi hilangnya keuntungan hasil penjualan tanaman dari lahan tersebut.

Total ganti rugi materil dari kerusakan ekologis dan ekonomis yang wajib dibayarkan sejumlah Rp.114,3 miliar.
Sementara itu tergugat juga wajib membayar biaya pemulihan lingkungan di lahan seluas 1000 hektar sebesar Rp.251,7 miliar dimana biaya ini merupakan biaya pembelian kompos dan ongkos pengangkutannya. Kompos digunakan untuk pemulihan lahan karena mempunyai sifat yang mirip dengan tanah gambut. Pemulihan tidak bisa mengembalikan lahan seperti semula namun hanya mendekati saja.

Majelis hakim hakim juga menyatakan sita jaminan atas tanah seluas 5.769 hektar lahan milik PT. Kallista Alam yang terletak di hutan gambut Rawa Tripa. Lahan berada di Desa Pulo Kruet dinyatakan sah. Tanah ini tidak boleh berpindah tangan namun masih boleh diusahakan. Sita ini dilakukan untuk menjamin pemenuhan kewajiban tergugat membayar ganti rugi sebagaimana dalam perkara gugatan perdata.

Tergugat dibebankan membayar uang paksa sebesar Rp. 5 juta /hari atas keterlambatan membayar ganti rugi. Biaya perkara juga dibebankan kepada tergugat sebesar Rp.10,9 juta.

Sidang berakhir pukul 22.11 Wib atau menjelang tengah malam. Seusai sidang, pengacara KLH, Syafrudin SH mengatakan mengapresiasi keputusan majelis hakim. “Sebagin dalil kami terbukti, ini membuktikan penegakan hukum lingkungan berjalan,” katanya.

Sementara pengacara KA, Alfian C. Sarumaha SH mengatakan keputusan ini dipaksakan. “ Luas lahan 1000 hektar tidak pernah diperiksa di lapangan. Ini seolah-olah ada target. Kalau ini keputusannya sebaiknya ajukan banding,” ujarnya singkat.[]

Tags : kallista alam

Leave a Response