close
Ilustrasi | Gbr. Google.com

Judul kolom ini terdengar sangat satir, memperolok-olok Rancangan Qanun Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Propinsi yang tak kunjung selesai. Saya langsung mengatakan bahwa ada bau rupiah dalam penentuan struktur ruang dan pola ruang di Aceh ini. Indikasinya sederhana saja. Jika sebuah isu bolak-balik tapi tak ‘masak-masak’ maka biasanya ada banyak pihak yang bermain. Ada kepentingan sekelompok orang yang ingin kemauannya diakomodir. Ujung-ujungnya adalah jika kepentingan diakomodir maka akan ada fulus yang berpindah tangan.

Semenjak sebelum tsunami menghantam Aceh, pembahasan RTRW sudah dimulai. Ada banyak pihak yang terlibat terutama para ahli kehutanan dan hukum. Ada banyak persoalan yang harus diselesaikan melalui tata ruang terutamanya struktur ruang. Secara definisi struktur ruang menurut adalah  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Secara sederhana adalah ruang ini sebagai tempat tinggalnya manusia dengan segala aktivitasnya.

Manusia terus tumbuh dan berkembang, membutuhkan tempat tinggal baru. Tempat tinggal baru membutuhkan sarana dan sarana untuk menunjang kehidupan masyarakat. Sarana tersebut misalnya jalan raya, fasilitas air bersih, sekolah, pusat layanan kesehatan dan sebagainya. Prasarana dan sarana ini membutuhkan area tersendiri yang hari ini diklaim oleh pemerintah bahwa mereka sudah kehabisan lahan untuk membangunnya.

Selain struktur ruang, satu lagi ada namanya pola ruang. Definisinya menurut Undang-undang Penataan Ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Sederhana ruang ini menentukan dimana area hutan yang dilindungi alias tidak boleh dijamah dan dimana area bagi manusia untuk melakukan kegiatan ekonomi. Kedua fungsi inilah yang saat ini porsinya sedang diutak-atik oleh pihak tertentu dengan alasan yang sama seperti saya sebutkan diatas, yaitu terbatasnya ruang!

Dalam kajian tandingan yang dibuat teman-teman aktivis lingkungan ditemukan fakta bahwa dalam Raqan RTRWA Edisi Desember 2012 dituliskan kawasan lindung, dengan luas 2.649.072 Ha (46,66 persen) dan kawasan budidaya, dengan luas 3.027.742 Ha (53,34 persen). Terlihat bahwa kawasan hutan sudah jauh berkurang dari sebelumnya yang ditetapkan bahwa kawasan hutan Aceh sekitar 60 persen (angka ini tidak akurat, hanya sekedar perbandingan saja). Namun faktanya bisa jadi kawasan hutan jauh dibawah angka 60 tersebut. Banyak yang sudah dialih fungsikan secara illegal ataupun aspal (punya izin resmi tetapi menyalahi prosedur).

Nah apalagi kalau kawasan hutan Aceh berkurang hingga tinggal 46 persen? Siapa yang mendapat laba terbesar dari perubahan ini? Masyarakat kah? Atau pihak korporasi yang sudah menyiapkan buldosernya untuk meratakan hutan? Hasil kajian tim aktivis lingkungan lebih kurang memberikan gambaran bahwa yang mendapat laba adalah pihak korporasi. Tidak percaya boleh saja. Namun sudah banyak lahan-lahan yang diusulkan perubahan statusnya namun sebenarnya sudah dipersiapkan buat perkebunan atau konsesi pertambangan.

Sekedar menyebutkan contoh, ada 5  HGU yang diidentifikasi berada dalam usulan perubahan prioritas terbesar salah satunya adalah PT. Fajar Baizury & Brothers dengan luas sebesar 2.917  Ha. Selain itu ada 5  pertambangan yang diidentifikasi juga berada dalam usulan perubahan terbesar, yang terkenal adalah PT. East Minerals Corp dengan luas sebesar 6.476 Ha. Dan masih ribuan hektar lagi hutan yang dipersiapkan bagi korporasi. Terus, dimana lahan yang dipersiapkan bagi masyarakat untuk struktur ruang alias pemukiman? Ada tetapi tidak sebanyak untuk perusahaan-perusahaan kapitalis ini.

Jadi semakin jelas bahwa alasan pemerintah meminta hutan lindung untuk masyarakat adalah pepesan kosong belaka. Apalagi kita ketahui, untuk sekedar lahan masih banyak lahan kosong atau lahan ‘bobok’ yang tidak mesti berada di hutan. Lahan-lahan tidur ini berada diseputaran kawasan pemukiman namun sayangnya hanya dikuasai oleh segelintir orang kaya. Kenapa lahan tidur ini tidak disita saja dan didistribusikan kembali kepada masyarakat miskin. Ini baru landreform namanya.

Perusahaan-perusahaan besar sudah lama mengincar tanah indatu Aceh. Namun mereka tidak berani masuk ke Aceh saat konflik karena nyawa taruhannya. Saat itu hutan Aceh tumbuh subur dan lebat sehingga sinar matahari pun tak mampu menembus kerimbunannya. Namun pasca perdamaian, mereka bagaikan peserta marathon yang dilepaskan di garis start. Berlomba-lomba menguasai tanah Aceh dengan mengiming-imingi PAD untuk pemerintah dan peningkatan ekonomi masyarakat. Tapi celakanya Aceh, dalam sebuah kajian ilmiah, menjadi penerima dana Otsus nomor 7 terbesar namun sekaligus menyandang predikat memalukan sebagai daerah termiskin dengan nomor urut yang sama.

Alasan ekonomi untuk merusak hutan Aceh tidak boleh dilaksanakan sampai kapanpun. Ada banyak cara untuk sejahtera tanpa merusak lingkungan. Silahkan memanfaatkan hutan tanpa perlu membotakinya. Berikan rakyat hak-haknya. [m.nizar abdurrani]

1 Comment

Leave a Response