close
Perubahan Iklim

Tak Punya ‘One Map’, Izin Lahan di Indonesia Tumpang Tindih

Mubariq Ahmad | Foto: int

Secara karikatif dikatakan Indonesia memiliki sekitar 15 lembaga pemberi izin penggunaan lahan yang menggunakan peta yang berbeda-beda. Alhasil konsesi yang diberikan menjadi tumpang tindih. Hal ini dikatakan oleh mantan penyusun strategi Nasional REDD+, DR. Mubariq Ahmad dalam Lokakarya Meliput Perubahan Iklim, di Banda Aceh, Selasa (28/1/2014).

Mubariq Ahmad memberi contoh apa yang terjadi Kabupaten Morowali, di Propinsi Sulawesi Tengah. Pemerintah Kabupaten Morowali memberikan konsesi tambang nikel yang luasnya melebihi luas kabupatennya. “ Jadi satu peta saja sudah di abuse  oleh mereka,” ujar Mubariq.

Kewajiban penggunaan satu peta (one map) yang sama sebagai acuan dalam pemberian izin pemakaian lahan tidak ada di Indonesia. One map masih dalam pengerjaan, belum selesai dibuat pemerintah dan sistem baru penggunaan lahan pun belum ada. “ Makanya moratorium (izin lahan-red) diperpanjang selama dua tahun,” kata Mubariq.

Selain tanpa one map, tidak ada kewajiban cross check ke lapangan bagi lembaga pemberi izin lahan. Tak pelak lagi akhirnya terjadi tumpang tindih lahan di lapangan. Mubariq secara karikatif mengansumsikan mulai dari tingkat kabupaten hingga pemerintah pusat ada 15 lembaga pemberi izin. “ Kita asumsikan saja mulai dari kabupaten ada lima lembaga berbeda yang mengeluarkan izin untuk tiap sektor, kemudian hal sama di tingkat propinsi dan seterusnya hingga pemerintah pusat,” jelas Mubariq.

Ketika ditanyakan kenapa tidak memakai peta yang dikeluarkan oleh lembaga resmi seperti Badan Informasi Geospasial (dulu Bakorsutanal-red), Mubariq menjawab bahwa konsolidasi informasi pada satu lembaga susah. “ Ada kepentingan ekonomi yang terganggu. Ini the most extreme case. Informasi is power, power is money,” katanya.

Prioritas REDD+

Mubariq juga menyampaikan bahwa Propinsi Aceh bersama Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur mendapat prioritas dalam pelaksanaan REDD+. Yang dimaksud prioritas disini adalah dukungan implementasi REDD+ dari pemerintah pusat melalui dukungan pendanaan secara konkrit.

“ Kaltim paling siap secara teknis, Aceh diharapkan menjadi pelopor dalam REDD+,” kata Mubariq.
Dukungan pendanaan untuk implementasi secara programatik melalui program penataan perizinan dan percepatan pengukuhan kawasan hutan. Kesiapan dan proaktif dari daerah prioritas sangat diharapkan.

Mubariq mengatakan, bekas Kepala BRR Aceh-Nias yang kini menjadi Ketua UKP4, Kuntoro punya perhatian khusus pada Aceh. Aceh sendiri merupakan propinsi “Darling donor”. Peluang ini bisa dimanfaatkan untuk perbaikan tata kelola hutan.

Saat ini telah dibentuk Badan Pelaksana REDD+ yang setingkat menteri, dikepalai oleh Heru Prasetyo. Ia juga merupakan salah seorang staf Kuntoro di BRR Aceh-Nias.

Tags : kuntoroREDD

Leave a Response