close
Ragam

Bayi-Bayi Cacat ini Korban Merkuri?

Aulida Putri (9 bulan), warga Keude Panga, Kecamatan Panga, Aceh Jaya, yang diduga menjadi korban logam merkuri Gunong Ujeun | Foto: serambinews

Sejak pagi, Nidar (31), warga Keude Panga Kecamatan Panga, Aceh Jaya yang merupakan istri seorang penambang emas di Gunong Ujeun, Yusri (35) sudah merasakan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa mules pun semakin terasa sehingga ia segera dibawa oleh keluarganya menuju RSU Cut Nyak Dhien di Meulaboh, Jumat tahun lalu (17 Mei 2013). Di tengah perjalanan, Nidar tak mampu lagi bertahan. Ia pun terpaksa bersalin di mobil saat masih dalam perjalanan ke rumah sakit. Anak keduanya ini kemudian diberi nama Aulida Putri.

Belum hilang rasa sakit akibat persalinan tanpa bantuan petugas medis, ia malah harus merasakan sedih begitu melihat kondisi fisik anaknya yang cacat fisik. Di dahi bayi itu terdapat sebuah benjolan cukup besar di antara dua matanya. Jari telunjuk dan jari tengah pada tangan kiri bayi itu juga puntung, seperti juga jari manis di kaki kirinya. Sementara, dua jari kaki lainnya juga tumbuh tidak sempurna.

Saat tiba di RSU Cut Nyak Dhien, Nidar dan bayinya langsung diberikan pertolongan pertama dan hari itu juga dirujuk ke RSU Zainoel Abidin di Banda Aceh. “Melihat kondisi anak saya, dokter di RS Cut Nyak Dhien menanyakan apa yang sering saya makan selama hamil. Saya katakan, suka makan kerang. Dokter itu pun menuding bahwa kerang yang saya makan tercemar merkuri,” cerita Nidar, Kamis (13/2/2014).

Kepada media lokal yang menanyakan lebih lanjut asal kerang (lokan) yang ia makan, Nidar menjawab, bahwa saat ia hamil, suaminya bekerja sebagai penambang emas di Gunong Ujeun Kecamatan Krueng Sabee. Setiap pulang bekerja, suaminya kerap membeli kerang yang dijual di Pasar Krueng Sabee.

Pasar dimaksud berlokasi tak jauh dari Kuala Kabong, muara sungai Krueng Sabee yang airnya berasal dari mata air Gunong Ujeun, tempat ratusan penambang tradisional mengambil batu mengandung emas. Aliran sungai itu melewati desa Panggong, Curek, Paya Seumantok, hingga Desa Kabong. Di desa-desa itu banyak terdapat tempat pengolahan emas menggunakan air raksa, karena penambang hanya mengambil batu emas untuk kemudian dibawa turun ke desa-desa sekitar, untuk dipisah unsur emasnya dari batu atau tanah.

Alat-alat pengolahan emas di sepanjang sungai tersebut tidak memiliki tempat pembuangan limbah yang baik. Sebagian hanya menggunakan kolam limbah dengan dinding tanah, sebagian lagi malah membuang  ke saluran pengairan untuk sawah, bahkan ada yang langsung membuangnya ke sungai.

Sebenarnya bukan penambang emas yang melakukan pencemaran merkuri–meskipun mereka tetap saja merusak lingkungan dengan melubangi lereng-lereng gunung hingga bisa menyebabkan longsor. Namun, aktivitas pengolahan emas dengan alat berat (warga setempat menyebutnya gelondong) yang menggunakan air raksa sebagai bahan pemisah emas lah yang berperan besar dalam pencemaran merkuri, karena pembuangan limbah yang tidak ramah lingkungan. Tanpa mereka sadari, perilaku ini telah menimbulkan masalah kesehatan yang serius, bahkan menyebabkan kematian.

Kisah tragis juga dialami seorang bayi di Desa Blang Baro pada tahun 2008 lalu yang ususnya terburai akibat tidak memiliki kulit perut. (Nama bayi dan keluarganya sengaja tak disebut atas pertimbangan kemanusiaan -red). Saat bayi ini masih dalam kandungan, banyak tetangganya yang bekerja sebagai pengolah batu emas yang dibawa dari Gunong Ujeun, termasuk kakek dari bayi malang itu. Lokasi mesin gelondong untuk memisahkan emas dari batu dan tanah gunung itu pun berada di sekitar rumahnya.

Saat itu, eksploitasi emas dari Gunong Ujeun sedang pada puncaknya. Tak heran, puluhan kilogram air raksa digunakan secara massal di sekitar tempat tinggalnya yang masuk dalam wilayah Kecamatan Panga. Hasil penelitian pada air sumur warga yang dilakukan Dinkes Aceh Jaya di kecamatan tersebut, menyebutkan tingkat pencemaran merkuri mencapai 83 persen, karen dari 12 sampel air yang diteliti, 10 sampel dinyatakan tercemar merkuri.

Ditambah lagi, perilaku pekerja yang jarang menggunakan sarung tangan dan penggunaan merkuri di tempat terbuka, menambah tingkat kerawanan paparan logam berat itu.

Bidan desa bernama Rosalina yang membantu proses persalinan di rumah pasien itu, tak mampu berbuat banyak untuk menyelamatkan bayi terebut. Apalagi untuk membawanya ke rumah sakit terdekat yang berjarak belasan kilometer dari rumah pasien.

“Bayi itu meninggal sesaat setelah lahir. Hampir semua bidan dan petugas Puskesmas di sini tahu kejadian itu yang kami yakini sebagai dampak dari pencemaran merkuri,” ujar Kepala Puskesmas Panga yang akrab dipanggil Mami, kepada Serambi, Kamis lalu. []

Sumber: serambinews.com

Tags : aceh jayaemasmerkuritambang

Leave a Response