close
Ragam

Gawat, Mainan Asah Otak Mengandung Kimia Berbahaya

Jakarta, Indonesia/Firenze, Italia – Beberapa mainan yang dirancang untuk melatih kecerdasan otak kemungkinan mengandung bahan kimia beracun yang berasal dari limbah elektronik daur ulang, yang dapat merusak sistem saraf pusat dan mengurangi kapasitas intelektual anak-anak. BaliFokus, sebuah LSM advokasi yang menaruh perhatian pada penanganan bahan kimia dan limbah, mengumumkan hasil observasi ini sebagai bagian dari rilis hasil survei global kandungan bahan kimia beracun dalam mainan asah otak pada Scientific Conference on Persistent Organic Pollutants ( POPs ), konferensi ilmiah tentang polutan organik yang persisten di Firenze, Italia minggu ini.

Penelitian, yang dilakukan oleh IPEN ( jaringan masyarakat sipil global yang mempromosikan kebijakan dan praktik kimia yang aman) dan Arnika (sebuah organisasi lingkungan di Republik Ceko) menunjukkan bahwa sampel mainan berbentuk kubus seperti Rubik dari 16 negara, termasuk Indonesia (yang diambil dari Jakarta dan Bali), mengandung kimia  polybrominated diphenyl ethers (PBDEs) yang disebut OctaBDE dan/atau DecaBDE. Kedua zat kimia ini, OctaBDE dan DecaBDE, merupakan kimiawi brominated flame retardant yang banyak digunakan pada casing atau selubung plastik produk elektronik. Zat kimia ini diketahui dapat mengganggu sistem hormon, berdampak negatif perkembangan sistem saraf dan kecerdasan anak.

Tiga dari 17 sampel  mainan kubus Rubik yang dibeli BaliFokus dari pengecer di Jakarta dan Bali yang dikirim ke Republik Ceko dianalisis di laboratorium, ternyata mengandung kadar OctaBDE dan/atau DecaBDE dengan jumlah yang signifikan. Sampel yang diuji dari Indonesia berada dalam konsentrasi PBDEs rata-rata diantara 47 sampel dari 16 negara, termasuk sampel yang berasal Uni Eropa, negara-negara Eropa Timur dan Asia Tenggara.

Dari 41 sampel mainan kubus  dan enam sampel tambahan (thermo cup, jepit rambut, hand band, skateboard jari, mainan robot dan tongkat hoki), 40 sampel (85%) mengandung OctaBDE pada konsentrasi berkisar 1-108 bagian per juta (ppm), sedangkan 42 sampel (89%) mengandung DecaBDE, bahan kimia beracun yang biasa ditemukan dalam limbah elektronik, antara 1 sampai dengan 293 ppm.

OctaBDE sudah dilarang dalam Konvensi Stockholm, konvensi tentang polutan organik yang persisten, yang merupakan perjanjian kimia internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2009, sementara DecaBDE diharapkan akan dilarang pada pertemuan POPs Review Committee pada bulan September 2016.

“Mainan puzzle mirip dengan kubus Rubik seharusnya menambah kecerdasan anak, namun keberadaan brominated flame retardant dari daur ulang sampah elektronik (e-waste) menciptakan dampak yang berlawanan pada anak-anak yang bermain dengan rubik tsb. Daur ulang sampah elektronik dapat menghemat sumber daya dan energi, tetapi harus dilakukan dengan cara benar dan baik agar tidak mengembalikan zat kimia berbahaya  kembali ke alur perdagangan, yang dapat mengancam kesehatan manusia dan lingkungan,” jelas Jitka Strakova, Koordinator survei dari Arnika.

“Temuan kami terkait bahan kimia yang telah dilarang penggunaannya yang berasal dari sampah elektronik  dalam produk konsumen yang umum, seperti mainan kubus mirip Rubik ini mungkin hanya puncak dari gunung es. Mengingat peraturan keamanan bahan kimia di Indonesia dan beberapa negara berkembang belum memadai, ada kemungkinan zat-zat beracun didaur-ulang menjadi berbagai produk yang tidak disadari dan tidak diketahui oleh konsumen,” kata Sonia Buftheim, Toxics Program Officer BaliFokus.

“Untuk kesehatan anak-anak dan pekerja, kami mendesak para pembuat kebijakan untuk menetapkan bahwa tidak ada pengecualian untuk daur ulang polutan organik yang persisten seperti OctaBDE dan DecaBDE. Daur ulang yang kotor ini, sering terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, menyebarkan racun di fasilitas tempat daur ulang, di rumah konsumen dan dalam tubuh kita,” ujarnya lebih lanjut.

Pada tahun 2009, PentaBDE dan OctaBDE telah masuk daftar kimia yang disepakati untuk dieliminasi secara global dalam Konvensi Stockholm namun perjanjian masih memungkinkan daur-ulang material yang mengandung bahan kimia beracun tersebut hingga tahun 2030.

“Selama kita mengizinkan pengecualian bahan yang didaur-ulang, kita tidak akan dapat mengontrol aliran flame retardants yang berbahaya ini,” kata Joe DiGangi, Penasihat Senior IPEN di bidang Sains dan Teknis.[]

Tags : kimiamainanplastikpolutan

Leave a Response