close
Ragam

Melacak Semangat Kartini Penyelamat Bumi

Kaum perempuan, warga desa Lubuk Beringin, propinsi Jambi memotong-motong buah kacang, hasil pertanian utama desa mereka | Foto: Tri Nugroho/CIFOR

Kebanyakan orang menjadikan Kartini sebagai ikon pejuang perempuan Indonesia. Meski banyak tokoh perempuan yang lain yang hidup pada masa yang sama. Malahan mereka banyak melakukan aksi nyata dengan benar-benar mengangkat senjata hingga berdiplomasi. Bukan dengan cara surat menyurat mendongkrak dinding sosial seperti yang dilakukan Kartini.

Memperingati Hari Kartini di masa sekarang ini dianggap sebagai bentuk perjuangan emansipasi antara laki-laki dan perempuan dalam segala hal. Peringatan Hari Kartini pun dilakukan dengan berpakaian kebaya yang lebih nampak sebagai peringatan tata busana masa lampau. Semangat perjuangan Kartini dalam bidang pendidikan justru banyak disalahkaprahkan.

Peringatan Hari Kartini sering diikuti beragam aktivitas yang mengedepankan emansipasi perempuan, kesetaraan gender, perjuangan feminisme, dan masih banyak lagi. Tidak sedikit kaum perempuan yang menganggap kesetaraan gender adalah kebebasan berbuat dalam segala hal. Ini berorientasi pada kebebasan kaum hawa mengeksplorasi segala kemampuan baik fisik maupun akal. Jika ini tetap di fungsikan sesuai koridornya maka akan menghasilkan indikasi ke arah positif, namun pada nyatanya eksplorasi berlebihan dari kaum hawa menjadikan mereka di eksploitasi oleh kaum lelaki.

Kartini menginginkan hak mengenyam pendidikan bagi perempuan agar sama dengan laki-laki. Tak lebih. Ilmu yang diperoleh melalui pendidikan ini bukan lantas dijadikan sebagai sarana untuk tampil lebih ‘gagah’daripada laki-laki. Pendidikan wanita dipersiapkan agar kelak mereka mampu mengedukasi anak-anaknya. Anak-anak yang dibesarkan dan dididik dengan baik oleh ibu yang berpendidikan baik tentu mempunyai kualitas yang berbeda dengan anak yang tidak terdidik sama sekali.

Kartini menginginkan agar perempuan setara dengan laki-laki dalam memperoleh pendidikan. Bukan lantas lari dari fitrahnya sebagai perempuan. Saat ini fungsi ibu sebagai pendidik utama dalam keluarga banyak yang tergantikan oleh baby sitter. Karier di luar rumah jauh lebih menggiurkan daripada berkutat dengan anak-anak di rumah. Sementara perempuan yang hanya berdiam diri di rumah dianggap tidak produktif. Makna produktif berarti menghasilkan uang dan penilaian penuh dari sisi materi.

Ketika pemikiran mengenai emansipasi menjadi tidak murni lagi, perempuan banyak mendapatkan ruang untuk berjuang. Bahkan mendobrak batas kodratnya sebagai perempuan. Maka kaum laki-laki pun berusaha menuntut hak yang telah dirudapaksa oleh perempuan. Mereka menuntut untuk dihormati oleh istri dan anak-anaknya di rumah. Fenomena ini muncul ketika istri menuntut hak yang sama dengan suami dalam segala hal. Akhirnya, tercetuslah istilah “suami-suami takut istri”.

Bumi sama halnya dengan isu gender yang terus dirongrong dan dieksploitasi. Industrialisasi tanpa batas terus memicu kerusakan di sana-sini. Masyarakat kita harus lebih cerdas dalam bersikap. Peringatan kartini telah di muati unsur-unsur eksploitasi perempuan. Bumi merana akibat liberalisasi yang mereka terapkan.

Kita harus berpikir lebih cerdas bahwa Kartini mendambakan kesetaraan hak untuk mendapatkan pendidikan. Terlepas dari itu, perempuan tetap harus kembali pada kodratnya sebagai pendidik dalam keluarga didampingi oleh laki-laki yang menjadi pemimpinnya dalam rumah tangga.

Sebagai anggota masyarakat yang mempunyai hak pilih dalam negara demokrasi ini, kita juga harus cerdas dalam menentukan siapa orang-orang yang tepat untuk duduk sebagai anggota legislatif, kepala daerah, maupun presiden. Mereka bukan sekedar ‘pemerintah’ yang terkesan mempunyai kuasa untuk menjadi adidaya dengan kedudukannya. Para pengurus negeri ini haruslah merupakan wakil ‘suara’ rakyat yang pro-lingkungan.

Jika pendidikan dalam keluarga sudah diterapkan dengan baik. Generasi yang akan terlahir dari setiap rumah di sudut-sudut kampung diatas gunung hingga di kota pasti generasi cerdas. Cerdas berpikir untuk kemaslahatan umat ketika memberanikan diri untuk maju sebagai pengurus daerah atau negara. Sebagai pemilih, generasi yang cerdas juga tidak akan tinggal diam seperti kerbau dicucuk hidungnya ketika menerima materi untuk pemenangan pihak tertentu dalam Pemilu.

Hal ini hanya berujung pada proses pengembalian materi yang diberikannya apabila mereka terpilih dan berkuasa. Mereka akan lebih leluasa untuk melakukan apapun sesukanya. Khusus daerah kita, orientasi itu sangat terbuka untuk pembukaan daerah pertambangan dan alih fungsi hutan maupun lahan pertanian. Jika itu terjadi maka para pemilih di analogikan sebagai sekumpulan orang yang menyerahkan belati tajam kepada pemimpin tersebut untuk menyiksa rakyat secara perlahan hingga mati.

Saat ini orang banyak bicara siapa Caleg bermodal sosial yang naas tidak bisa duduk di kursi dewan. Media massa, media sosial, di kafe hingga warung kopi di terminal membicarakan tentang gula dan kemungkinan terbongkarnya dinasti yang bercokol di negeri Lampung ini. Tidak jarang juga bermunculan komentator politik dadakan yang berupaya menimbang si kotak-kotak atau siapa yang lebih layak menjadi orang nomor satu di Indonesia.

Ketika orang-orang sibuk mengurusi masalah kepimpinan orang kafir. Ketika orang mengurusi mana syiah mana sunni. Pada saat yang sama, Gunung Rajabasa digadaikan kepada Supreme, sawah untuk bertanam padi berganti sawit, pengelola lahan di kawasan hutan tetap dianggap perambah sementara hak kelola malah diberikan kepada investor, tambang dan perkebunan besar dikuasai korporasi.

Sementara para TKI pejuang devisa pulang tanpa nyawa, anak-anak di bawah umur disodomi lalu dihabisi. Pada saat yang sama kita dihujani kemiskinan di negeri gemah ripah loh jinawi. Pada saat yang sama kita berlomba-lomba memborong kendaraan yang bahkan tak laku di negara asalnya dan menyumbangkan emisi di tanah air sendiri.

Mau sampai kapan kita seperti ini? Mau sampai kapan kita menghancurkan tubuh sendiri? Kapan kita bosan saling bantai dan menyudutkan? Kapan ada jaminan rasa aman ketika pengguna rok mini yang dianggap emansipasi bertebaran diantara banyak laki-laki? Kapan kita bisa berpegangan tangan tanpa mempermasalahkan yang satu makan anjing dan yang lain tidak? Kapan?

Tantangan kita adalah memahami bagaimana mencari jalan tengah konflik kepentingan. Titik temu antara kebutuhan untuk memajukan ekonomi manusia dan kebutuhan bumi untuk selalu dilindungi. Masih banyak orang berpikir bahwa industrialisasi kelapa sawit adalah cara terbaik untuk mengangkat perekonomian mereka. Tidak heran jika Rawa Pacing di Tulang Bawang airnya surut dan tak ada lagi kayu gelam dan mendong. Tidak heran dihutan tumbuh kelapa sawit di sana sini.

Menjadi manusia yang cerdas adalah solusinya. Pemaknaan cerdas baik laki-laki maupun perempuan seperti harapan Kartini. Menyikapi segala isu dengan lebih cerdas. Cerdas mengelola bumi yang memberikan kita napas dengan cuma-cuma. Bumi dimana jasad kita dimakamkan kelak.

Di pelosok-pelosok kampung sejak zaman dahulu masyarakat telah melakukan pengelolaan sumber daya alam secara arif dan bijaksana. Di Pesisir Krui, misalnya, mereka telah melakukan penanaman pohon damar sejak ratusan tahun silam. Sejak itulah, mereka melakukan pemanenan getah damar tanpa boleh menebang batang pohonnya. Kartini-Kartini yang tinggal di tepi-tepi hutan inilah yang memanjat pohon damar dan mengambil getah damar setiap harinya. Agar dapur tetap mengebul dan anak-anak tetap bersekolah, mereka membantu para suami untuk mencari nafkah.

Jauh di bagian selatan Propinsi Lampung, masyarakat di kaki gunung Rajabasa melestarikan ritual tahunan bernama Peperahan. Bukan acara sakral yang bermakna tahayul. Mereka hanya berpesta dan bersyukur atas limpahan rezeki yang telah diberikan oleh alam, Gunung Rajabasa tempat mereka menggantungkan hidup. Ada aturan-aturan dalam masyarakat yang tak boleh dilanggar.

Ketentuan dalam menebang pohon di hutan, waktu penebangan, hingga apa-apa yang harus dilakukan setelah menebang pohon semuanya dihormati dan dilaksanakan secara turun-temurun. Jika tidak, karma akan berlaku bagi mereka yang ingkar. Kearifan lokal semacam ini yang mempu mempertahankan hutan kita tetap lestari di tengah himpitan masalah ekonomi. Pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan dengan teknologi yang mumpuni.

Pengelolaan sumber daya alam di Lampung cenderung mengacu pada sistem kapitalisme. Para pemilik kapital tengah gencar menancapkan tajinya dengan tameng perusahaan trans-nasional. Mereka melegitimasi isu globalisasi, kesejahteraan, kemapanan, dan teknologi. Mereka berusaha untuk merebut ruang dan hak kelola publik tanpa memberikan sedikit pun kesempatan kepada rakyat untuk ikut berperan baik dalam bdang ekonomi, sosial, dan politik. Pada tingkatan lokal, permasalahan pengelolaan sumber daya alam ini bermunculan akibat adanya mismanagement.

Permasalahan muncul mulai dari kebijakan pemerintah daerah, pertambangan dan energi, kehutanan, pertanian, yang berbuntut pada korupsi dalam berbagai segi. Ironisnya, pemerintah cenderung menanggulangi suatu masalah dengan beberapa masalah baru. Darah-darah kapitalisme telah merasuk pada setiap sel pengurus daerah hingga negeri ini. Tinggal menunggu waktu saja hingga jiwa-jiwa generasi muda bermoral bobrok bermunculan ke permukaan. Ini bukti kegagalan proses pendidikan.

Pendidikan yang berkualitas berawal di tingkatan keluarga. Generasi yang peka dengan lingkungan alam dan sosialnya harus senantiasa ditopang oleh support keluarga. Perempuan dengan fitrahnya bukan berarti lemah. Perempuan adalah tumpuan pendidikan bagi generasi yang berkualitas. Laki-laki dengan fitrahnya bukan berarti kuat dan bisa sewenang-wenang terhadap perempuan. Inilah fungsi kerjasama yang harusnya saling melindungi, menghormati, dan mendukung antara laki-laki dan perempuan.

Tidak ada lagi perjuangan untuk emansipasi jika kelahiran Kartini hanya diperingati dengan berkebaya. Tidak ada perubahan berarti jika pada hari bumi hanya ada simbol penanaman pohon tanpa ada penanaman dan perawatan jiwa-jiwa yang sayang kepada bumi itu sendiri. Ini seperti kode dari alam dengan menyandingkan peringatan Hari Kartini pada 21 April dan Hari Bumi pada 22 April. Kode agar manusia Indonesia menjadi lebih sadar bahwa upaya penyelamatan bumi tidak bisa lepas dari tangan-tangan perempuan.

Inilah saatnya bagi perempuan yang selama ini dianggap pihak yang rentan untuk membuktikan. Bahwa peranan perempuan yang hebat bukan saja dengan menunjukkan prestasi kepemimpinan korporasi atau pemerintahan. Bahwa perempuan hebat ialah mereka yang mampu melahirkan jiwa-jiwa yang peka terhadap kondisi lingkungan alam dan sosial. Perempuan hebat juga yang mampu menyuarakan dan membuktikan bahwa intelektualitas yang mumpuni bukanlah modal melacurkan diri kepada korporasi besar yang justru menghancurkan bumi dan rakyat pribumi. Lebih dari itu, semangat emansipasi yang ditanamkan Kartini adalah semangat untuk menjaga ibu pertiwi, menjaga bumi.

* Penulis adalah Mahasiswa Magister Teknologi Industri Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Tags : aktivisgreenpeace

Leave a Response