close
Ragam

Membangun Agama Ramah Lingkungan

Ilustrasi Bencana | Foto: int

Republik ini memang negeri multibencana. Setelah bencana yang satu berlalu, datang bencana baru. Saat kemarau tiba, kekeringan dan kebakaran hutan melanda, kini di musim hujan, datang banjir bandang dan tanah longsor di mana-mana. Ketika Jakarta dan Menado dilanda banjir, tidak sedikit yang menganggapnya sebagai ‘takdir’ Tuhan.

Kenapa Tuhan selalu ‘dikambinghitamkan’ setiap terjadi malapetaka. Hampir tidak pernah kita menuduh diri kita sendiri sebagai subjek yang bertanggung jawab terhadap malapetaka dan bencana tadi. Karena adanya keyakinan bahwa setiap malapetaka sebagai ‘siksa’ atau ‘cobaan’ dari Tuhan, maka setiap kali terjadi peristiwa yang menyayat kalbu itu, yang dilakukan umat beragama adalah berdoa, mohon ampun, istighotsah, menggelar zikir nasional sambil berderai air mata dan begitu seterusnya.

Saya tidak bermaksud meremehkan aktivitas ritual batin semacam ini, akan tetapi ‘terapi spiritual’ jenis ini, hemat saya, di samping merendahkan (bahkan ‘mengolok-olok’) martabat Tuhan karena menganggap-Nya sebagai zat yang ‘Maha Buas’, juga dengan cara demikian berarti kita seolah hendak ‘cuci tangan’, melepaskan tanggung jawab dari musibah kemanusiaan itu.

Padahal, jika kita menggunakan perspektif Schumacher dalam A Guide for The Perplexed, masalah krisis lingkungan ini sangat terkait dengan krisis kemanusiaan, dengan moralitas sosial serta krisis orientasi kita terhadap Tuhan. Mengikuti kerangka berpikir Schumacher ini, maka seharusnya manusia yang dipersalahkan dan bukannya Tuhan. Kitalah yang melakukan berbagai tindakan destruktif terhadap alam semesta, sehingga alam pun ‘marah’ dan ‘mengutuk’ kita dengan banjir, tanah longsor, dan sebagainya.

Perusakan lingkungan, penebangan liar, illegal loging, eksploitasi properti alam secara besar-besaran dan segala tindakan merusak alam lain merupakan ‘sumber’ malapetaka dan bencana tadi. Bukankah Alquran sendiri juga telah mengingatkan bahwa, “Kerusakan di darat dan laut adalah akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab” ?

Jika Alquran sendiri menganggap manusia sebagai mastermind dari kerusakan lingkungan, lalu kenapa kita justru menyalahkan Tuhan? Bukankah, kita umat manusia – jika mengikuti alur cerita kitab suci Agama Semit – pada dasarnya ‘terlempar’ ke dunia yang gersang dan tandus ini juga akibat kecerobohan Adam yang tidak mengindahkan ajaran fundamental Tuhan, yakni kearifan ekologis? Sebab, Adam dan Hawa telah memakan dan merusak pohon kekekalan (buah kuldi).

Wawasan Teologi
Beberapa masalah di atas yang menimpa hampir semua agama adalah sangat terkait dengan wawasan teologis umat beragama itu sendiri. Dalam perspektif Islam, wawasan teologis yang dibangun selama ini hanyalah hal-ihwal yang berkaitan dengan dunia akhirat, kurang memberi respons proporsional mengenai masalah keduniaan.

Wawasan teologi umat Islam memandang masalah ibadah hanyalah yang berhubungan dengan ruang privat (bukan ruang publik). Bahwa pahala dan dosa dipandang hanya berkaitan dengan moralitas individual (bukan moralitas sosial). Bahwa ibadah yang fardlu ‘ain hanyalah yang berkenaan dengan ritual-individual (bukan sosial-komunal), dan seterusnya.

Pemahaman demikian hampir-hampir sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari dunia kaum muslim: agama sudah menjadi bagian dari kebudayaan umat Islam. Inilah kira-kira yang dimaksud Emile Durkheim ketika ia berteori bahwa agama dan masyarakat merupakan dua entitas yang tidak bisa dipisahkan.

Pemikiran demikian tentu saja sangat sulit untuk ditembus dan dilawan. Padahal jika kita teliti dengan cermat, pemahaman keislaman seperti tadi merupakan produk dari pemahaman atau wawasan keislaman yang dibentuk masa imperium Islam (monarki Islam) klasik-skolastik, bukan berangkat dari semangat dan wawasan keislaman yang diusung Nabi Muhammad SAW, dan juga tidak dibangun dari cita-cita etik Alquran.

Kita tahu watak, semangat, dan mentalitas sebuah monarki adalah stabilitas. Logika stabilitas selalu menempati urutan pertama dari sebuah rezim politik, bukan keadilan, persamaan, kemaslahatan, kecerdasan, dan seterusnya.

Sementara spirit profetik dan cita-cita etik Alquran adalah terciptanya sebuah sistem atau tatanan kehidupan yang demokratis dalam segala hal, termasuk demokratis terhadap alam. Ini sejalan dengan cita-cita Islam yakni rahmatan lil alamin (rahmat bagi sekalian alam). Kata alam di sini jelas bukan hanya mahluk hidup seperti manusia dan binatang, tetapi juga alam semesta.

Sayang, pemahaman dan watak demokratis Islam yang ramah lingkungan ini tidak merembes menjadi living tradition-meminjam istilah Seyyed Hosein Nasr-dalam masyarakat Islam pasca kenabian. Bahkan, tragisnya para ulama fikih tidak menjadikan masalah ekologi sebagai bagian dari maqashid al-syari’ah, yakni tujuan disyariatkannya Islam. Imam Syathibi, misalnya, dalam kitabnya yang sangat populer, Al-Muwafaqat, merumuskan maqashid al-syari’ah menjadi lima hal: menjaga atau memelihara agama (hifdz al-din), menjaga jiwa (hifdz al-nafs), memelihara akal (hifdz al-aql), memelihara harta (hifdz al-mal) dan memelihara keturunan (hifdz al-nasl).

Ada yang menambahkan memelihara martabat (hifdz al-’irdh). Pendapat ini yang terus-menerus dijadikan sebagai pegangan dalam berijtihad untuk memecahkan masalah sosial-kemanusiaan. Sementara masalah lingkungan luput dari perhatian ulama fikih dan umat Islam tentunya. Mungkin hanya Yusuf Qardlawi yang menjadikan pemeliharaan lingkungan (hifdz al-‘alam) sebagai bagian dari maqashid al-syari’ah. Itupun sangat tidak populer bahkan dianggap kontraproduktif.

Di sinilah perlunya melakukan restorasi nalar pemikiran keislaman. Ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, menjelaskan hikmah perennial Islam tentang tatanan dan struktur alam, signifikansi religius, dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran ekologis yang berspektif teologis atau membangun teologi yang berbasis kesadaran dan kearifan ekologis. Dalam konteks ini, maka para ulama fikih harus berani melakukan terobosan penting mengenai pemahaman keislaman yang digali langsung dari teks-teks otoritatif utama Islam: Alquran dan Alsunnah.

Walhasil, bahwa bencana alam bukanlah sebuah takdir Tuhan akan tetapi berkaitan erat dengan masalah moral manusia. Karena itu, jika Republik ini ingin bebas banjir maka seluruh komunitas agama memiliki tanggung jawab untuk berteriak tentang pentingnya pemeliharaan lingkungan dan bahaya pengrusakan alam bagi kehidupan ekosistem kita, bukan malah cuci tangan dan menganggapnya sebagai takdir Tuhan belaka. Saatnya membangun agama yang ramah lingkungan. Semoga.

Sumber: padangekspress.com

Tags : lingkunganramah lingkungan

1 Comment

  1. I see you share interesting content here, you can earn some additional cash,
    your website has huge potential, for the monetizing method, just search in google – K2 advices how to monetize a website

Leave a Response