close
Ragam

Menjelajahi Krueng Aceh Nan Asri

Krueng (Sungai) Aceh yang mengalir sepanjang kota Banda Aceh dan Aceh Besar | Foto: Adrian Fajriansyah

Tali senar berumpan udang dari joran dilempar Bahrul (30). Belum lima menit, tali itu sudah meliuk-liuk. Bahrul lekas menarik joran dan ikan bulan-bulan sepanjang 60 sentimeter didapat.

Tak terasa Bahrul telah mendapatkan 55 ikan bulan-bulan dari empat jam memancing di Krueng (Sungai) Aceh yang melintasi Kota Banda Aceh. ”Di Krueng Aceh, kalau air pasang pasti banyak ikan. Paling banyak ikan bulan-bulan yang sejenis ikan bandeng,” ujar warga asli Banda Aceh itu saat saat ditemui awal Februari lalu.

Krueng Aceh adalah salah satu sungai terbesar di Aceh. Sungai sepanjang 145 kilometer itu mengalir dari hulu di Cot Seukek, Aceh Besar, ke hilir di Gampong (Kampung) Nelayan Lampulo, Banda Aceh.

Kelestarian lingkungan sungai ini masih terjaga. Setidaknya hal itu tampak pada lebih kurang 10 kilometer aliran Krueng Aceh di Banda Aceh. Air sungai masih bersih dengan warna hijau kebiruan. Ikan pun masih banyak. Itu yang membuat pemancing berdatangan saat air pasang.

Bahkan, sejumlah warga, salah satunya Bahrul, menjadikan memancing sebagai kegiatan sampingan. Sehari-hari Bahrul bekerja sebagai pedagang jus, tetapi pekerjaan itu ditinggalkan ketika Krueng Aceh pasang.

Ia mengatakan paling sering mendapatkan ikan bulan-bulan. Ikan itu dijual seharga Rp 5.000 per ekor. ”Sekali memancing paling sedikit dapat 30 ikan bulan-bulan. Lumayan bisa menambah penghasilan,” ujarnya.

Bagi warga, memancing di Krueng Aceh bisa menjadi pelepas penat. Juanda Arjuna (34), contohnya. Pria pegawai negeri sipil ini sering meluangkan waktu untuk memancing di sungai itu selepas bekerja. ”Di sini, ikan masih banyak. Ketika dapat rasanya lega, stres hilang,” ucapnya.

Warga pun menjadikan Krueng Aceh sebagai tempat rekreasi. Sore adalah waktu terbaik para keluarga berkumpul di pinggiran sungai. Mereka bercengkerama sembari makan rujak buah dari pedagang keliling.

Kondisi itu sangat didukung suasana sungai yang masih asri. Di pinggiran sungai masih ada tanah lapang selebar 5-10 meter yang ditumbuhi pepohonan rimbun, semisal pinus.

Krueng Aceh mempunyai peranan yang sangat penting dalam menunjang aktivitas warga Banda Aceh. Banyak warga yang memanfaatkan air sungai untuk mandi dan mencuci pakaian. Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Daroy Banda Aceh menjadikan air sungai itu sebagai sumber air baku.

Di muaranya, Krueng Aceh menjadi tempat kapal-kapal nelayan bersandar. Aktivitas kehidupan masyarakat di muara sungai telah berlangsung lama. Tercatat Gampong Pande di sisi barat muara sungai itu dibangun Sultan Alaidin Johansyah pada 22 April 1205. Permukiman ini diyakini menjadi cikal bakal Kerajaan Aceh Darussalam dan Banda Aceh sekarang.

Belum maksimal
Warga berharap pemerintah setempat bisa memaksimalkan dan melestarikan Krueng Aceh. Sungai ini belum dikelola dengan baik. Belum ada fasilitas memadai yang membuat warga nyaman menikmati sungai itu, semisal jalur khusus pedestrian, tempat duduk, dan pondokan.

Di beberapa sudut sungai, warga harus duduk lesehan di sembarang tempat. Wadah sampah pun tak banyak sehingga warga masih membuang sampah sembarangan di pinggiran sungai atau ke sungai.

Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Rere Meiliza (21), berpendapat, pemerintah patut berkaca pada Malaysia yang cerdik menggarap tempat wisata sekalipun tak terlalu istimewa. ”Di sini, Krueng Aceh bersih dan asri. Itu modal untuk mengembangkan sektor pariwisata Aceh dan Banda Aceh,” kata warga asal Kota Langsa ini.

Warga pendatang berpendapat serupa. Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosiologi dan Ilmu Politik Unsyiah asal Medan, Sumatera Utara, Alfri Sinulingga (22), menilai, dibandingkan sungai-sungai di daerahnya, Krueng Aceh jauh lebih baik. ”Wisatawan akan sangat betah di sini kalau ditunjang fasilitas untuk pedestrian, tempat duduk, dan gazebo yang nyaman. Apalagi kalau ada sarana perahu wisata,” ucapnya.

Pemerintah Kota (Pemkot) Banda Aceh telah berupaya memaksimalkan potensi Krueng Aceh. Pada 2010, mereka membangun lima dermaga di sepanjang sungai yang melintasi kota itu. Tujuannya, sebagai penunjang warga dan wisatawan yang ingin menggunakan fasilitas perahu wisata. Sayang, fasilitas itu terbengkalai.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Banda Aceh Muhammad Bahagia mengungkapkan, program itu belum berjalan karena dangkalnya air Krueng Aceh. ”Saat itu, perahu yang dioperasikan tidak bisa jalan karena terhalang sampah sisa tsunami yang memenuhi sungai tersebut,” katanya.

Pada 2013, Pemkot Banda Aceh dan Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum menandatangani nota kesepahaman untuk mengeruk sampah di Krueng Aceh sepanjang 5 kilometer. Proyek itu dikerjakan dengan dana dari APBN Rp 10 miliar. ”Nantinya bukan hanya untuk pariwisata. Sungai ini pun akan dimaksimalkan sebagai jalur utama transportasi air,” kata Bahagia.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh Hermanto mengatakan, Pemerintah Provinsi Aceh harus berupaya meningkatkan kualitas wisatawan yang berkunjung ke Aceh. Wisatawan perlu dipikat agar mau tinggal dalam waktu lama. Semakin lama mereka di Aceh, kian banyak pula uang yang berputar di daerah itu.

Merujuk Aceh dalam Angka 2013, kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara meningkat tiga tahun ini. Tamu domestik ke Aceh pada 2010 sebanyak 720.079 orang. Jumlah itu meningkat menjadi 959.545 orang (2011) dan 1.026.800 orang (2012). Adapun tamu mancanegara ke Aceh sebanyak 20.648 orang pada 2010. Jumlah itu meningkat menjadi 28.054 (2011) dan 28.993 (2012).

Namun, dunia wisata Aceh hanya meningkat dari segi kuantitas wisatawan, tetapi tidak dalam kualitasnya. Data BPS Aceh 2013 menunjukkan, lama kunjungan wisatawan justru menurun setahun terakhir.

Menurut Hermanto, kondisi itu karena kurangnya fasilitas pendukung di sejumlah tempat wisata di Aceh sehingga wisatawan tidak ingin berlama-lama. []

Sumber: kompas.com

Leave a Response